Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/116 |
|
e-Konsel edisi 116 (18-7-2006)
|
|
Edisi (116) 15 Juli 2006 e-KONSEL ====================================================================== Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen ====================================================================== Daftar Isi: = Pengantar : Selamatkan Anak Korban Perceraian = Cakrawala : Menolong Anak Menanggulangi Perceraian = TELAGA : Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak (II) = Tanya Jawab Konseling: Ayah dan Ibu akan Bercerai, Apa yang Harus Saya Perbuat? ========== PENGANTAR REDAKSI ========== Salam sejahtera, Tidak ada kehidupan pernikahan yang aman dari masalah. Berbagai perbedaan pasti akan muncul mengingat lembaga ini dibangun oleh dua individu yang berbeda. Jika perkawinan tidak memiliki fondasi yang kuat dalam Tuhan maka tak jarang permasalahan yang muncul akan berujung pada perceraian yang tentunya membawa dampak yang amat besar, khususnya bagi anak-anak mereka. Jika memang perceraian sudah terjadi, apa yang kita bisa lakukan untuk menolong anak-anak korban perceraian tersebut? Kiranya sajian kami kali ini dapat membuka wawasan para pembaca tentang dampak perceraian bagi anak-anak. Sekaligus, harapan kami sajian ini dapat membantu memberikan solusi bagi anak-anak korban perceraian. Selamat melayani. Staf Redaksi e-Konsel, Raka ========== CAKRAWALA ========== MENOLONG ANAK MENANGGULANGI PERCERAIAN Waktu di SD aku ingat, orang tua seorang temanku bercerai. Kupikir peristiwa itu menyedihkan karena terjadi ketika ia masih amat muda, tetapi aku yakin bahwa orang tuaku tak akan pernah bercerai. Sayangnya pada usia tiga belas tahun, pendapatku keliru. Orang tuaku bercerai dan walau sudah lebih tua dari temanku tersebut, peristiwa itu sangat memengaruhi diriku, bahkan terus memengaruhiku sebagai orang dewasa. Kita cenderung berpikir perceraian hanya masalah orang tua. Kalau mempertimbangkan anak-anak, biasanya kita hanya mengkhawatirkan saat-saat mereka harus hidup hanya dengan satu orang tua. Kukira konflik-konflik itu akan berakhir saat aku akhirnya pindah untuk berdiri sendiri; tetapi di tiap tahap baru dalam hidupku - wisuda, perkawinan, penahbisan - aku harus berurusan dengan keluargaku yang pecah. Perceraian adalah perubahan yang bersifat tetap dalam hubungan keluarga (kecuali bila orang tua itu kembali saling menikah). Meski penyesuaian diri yang pertama itu sudah selesai, banyak peristiwa baru yang mengharuskan kita untuk terus berurusan dengan kenyataan keluarga yang hancur. Pengaruhnya pada Anak-Anak Jangan lupa, anak-anak saudara kehilangan salah satu dari dua orang terpenting dalam hidup mereka. Walau ketegangan sudah reda, anak- anak akan tetap merasa kehilangan orang tua yang tidak ada lagi itu. Meski tetap masih berhubungan, pertemuan terakhir itu terasa jauh berbeda daripada interaksi spontan waktu masih tinggal bersama. Sebelum bercerai, ayah sering menghindar dari rumah, jarang kelihatan, dan pulang larut malam. Ia menganggap kepergiannya tidak akan banyak berpengaruh karena kami akan tetap meluangkan waktu bertemu, barangkali malah lebih sering. Namun, aku sangat kehilangan saat-saat singkat yang kupakai untuk bercakap-cakap dengannya setiap pagi sebelum aku berangkat ke sekolah. Anak-anak saudara mungkin mempunyai perasaan yang sama mengenai orang tua yang absen itu. Walau banyak kesempatan untuk bertemu, tetapi untuk tidak tinggal satu rumah memerlukan penyesuaian. Banyak penelitian yang menunjukkan pengaruh tidak adanya salah satu orang tua, biasanya ayah. Pengaruh-pengaruh itu semakin hebat terutama saat anak-anak menginjak masa remaja, suatu masa di mana kita menganggap mereka sudah cukup tua untuk menyesuaikan diri. Anak laki-laki memerlukan ayah untuk menjadi laki-laki yang bijaksana; anak perempuan memerlukan ayah untuk belajar bagaimana berhubungan dengan laki-laki. Masing-masing memerlukan penerimaan sebagai laki- laki dan perempuan sewaktu mereka tumbuh menjadi dewasa. Karena keperluan-keperluan ini, anak-anak seharusnya menggunakan banyak waktu bersama ayah maupun ibu, baik dengan penjagaan bersama atau dengan kunjungan yang sering. Tentu berbagai keadaan seperti perlakuan kejam atau ditinggal minggat akan meniadakan kemungkinan itu. Tetapi dalam keadaan hubungan yang normal, situasi dimana orang tua tidak tinggal bersama itu sangat penting. Sadarilah bahwa anak-anak saudara akan menunjukkan beberapa perubahan dalam tingkah laku, sikap, dan perangainya. Saya teringat waktu mengalami saat-saat yang amat mengesalkan. Anak-anak lain mungkin menunjukkan kemarahan, kemunduran, agresivitas, atau kemalasan, lainnya kelihatan gembira secara berlebihan. Saudara mengetahui reaksi normal anak-anak saudara - perhatikan gejala- gejala perubahan, apakah perubahan itu ke arah "lebih baik" atau "lebih buruk". Apa pun yang tidak biasa dapat menjadi tanda bahwa pertolongan diperlukan. Kalau saudara sudah bercerai, anak-anak saudara akan mengalami kekalutan. Perlakuan saudara terhadap mereka akan memengaruhi hidup mereka selanjutnya. Walau saudara sendiri susah, sebagai orang tua saudara harus membantu penyesuaian diri anak-anak saudara. Penanggulangan Sekuat mungkin, usahakanlah agar hidup saudara tetap stabil sesudah perceraian. Mungkin saudara merasa perlu pindah tempat tinggal dan mengubah kehidupan. Meski hal itu mungkin bermanfaat bagi saudara dan kadang-kadang memang perlu, tetapi anak-anak saudara akan hancur. Yang mereka perlukan adalah sistem penyokong yang sudah lengkap. Dalam kenyataannya saudara mungkin memerlukannya juga. Anak-anak saudara perlu dekat dengan orang tua mereka yang satunya lagi. Menyesuaikan diri dengan kehidupan tanpa ayah atau ibu itu cukup sukar tanpa mengubah keadaan. Trauma kehilangan ayah atau ibu, ditambah dengan pindah rumah, pindah gereja, ganti kawan-kawan dapat benar-benar menghancurkan seorang anak. Anak-anak hampir selalu merasa sedikit bersalah atas perceraian orang tua mereka. Ingat, mereka sudah menderita karena kehilangan yang sama seperti kehilangan karena ditinggal mati, meski perasaan bersalah itu reaksi yang normal. Orang tua harus peka terhadap perasaan ini dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Orang-orang yang terlibat dalam keluarga itu secara tidak disadari dapat juga membebankan kesalahan pada anak-anak. Ketika orang tuaku sedang dalam proses perceraian, salah seorang anggota keluarga kami menasihati, "Kalau saja engkau mau mendatangi ayahmu, memeluknya, dan mengajaknya pulang, dia pasti mau." Aku merasa seakan-akan seluruh beban diletakkan di pundakku. Setelah mempelajari cerita dari pihak ayah, aku sadar bahwa keadaannya terlalu rumit untuk dapat diselesaikan hanya dengan permintaan tersebut. Orang tua harus menahan diri agar tidak mengatakan hal-hal seperti "kalau saja engkau tidak lahir dulu waktu itu", atau "kalau saja kami tidak begitu banyak menghabiskan waktu bersama kalian", atau "kalau saja kau tidak menimbulkan kesulitan itu". Dalam kekecewaan sekalipun, jangan pernah memberi kesan bahwa anak-anak ikut menyebabkan perceraian saudara. Walaupun kehadiran mereka mungkin menyebabkan bertambahnya ketegangan, ingatlah bahwa bukan mereka yang memutuskan untuk dilahirkan. Di samping tidak membebankan kesalahan, perhatikanlah kalau ada tanda-tanda perasaan bersalah yang mereka bebankan pada diri mereka sendiri. Tanyakan kepada anak-anak bagaimana perasaan mereka. Perhatikanlah kalau tiba-tiba mereka berlaku sangat baik. Mereka mungkin mengira kalau mereka bertindak cukup baik saudara akan bersatu kembali dengan pasangan saudara. Pastikanlah mereka mengerti bahwa bukan perbuatan mereka yang menyebabkan saudara berpisah, dan juga bukan perbuatan mereka yang dapat kembali mempersatukan saudara. Ada pernikahan yang berakhir dengan perceraian yang sopan sementara ada yang berakhir dengan terus bermusuhan. Bagaimanapun perasaan saudara terhadap pasangan sebagai mitra dalam pernikahan, anak-anak akan mendapat keuntungan kalau saudara tetap dapat berhubungan baik dengan mantan istri atau mantan suami saudara. Ingatlah bahwa mantan istri atau mantan suami saudara tetap merupakan orang tua anak-anak saudara dan mereka memerlukan saudara berdua. Jangan memaksa anak-anak saudara memilih antara saudara dan mantan istri atau mantan suami saudara. Seorang teman saya mempertimbangkan untuk kawin lari karena ibunya tak mau hadir kalau ayahnya diundang, demikian pula sebaliknya. Ia merasa lebih baik tidak menyelenggarakan pesta perkawinan daripada harus memilih antara ayah dan ibunya. Doronglah anak-anak saudara untuk berhubungan dengan orang tua mereka yang satunya lagi itu. Sopan santun ini perlu diperluas dalam tingkat keluarga yang lebih besar. Walau mantan mertua saudara telah mendukung perceraian itu, ingatlah bahwa mereka tetap kakek-nenek anak-anak saudara. Lihatlah keluarga mantan pasangan saudara dengan mata anak-anak saudara. Mungkin saudara merasa sudah tidak mempunyai hubungan lagi, tetapi anak-anak selalu mempunyai pertalian! Saudara bukan saja perlu membiarkan anak-anak meluangkan waktu bersama mantan pasangan saudara, tetapi saudara juga perlu menjaga perkataan saudara tentang mantan pasangan saudara itu kepada mereka. Walaupun anak-anak mendengar kemarahan terhadap mantan pasangan saudara itu sebagai suami atau istri, hendaknya hal itu tidak dicampuradukkan dengan tindakan sebagai orang tua. Orang tua Kim bercerai, lalu ia dan saudara perempuannya mengikuti ibu mereka pindah ke Florida, ayahnya tinggal di Kentucky. Ibunya menegaskan bahwa ayahnya sama sekali tidak menyenangkan sebagai pribadi maupun sebagai orang tua. Namun dengan naik kapal, Kim dan saudara perempuannya dikirim ke Kentucky untuk menghabiskan musim panas bersama ayah mereka. Sesudah beberapa waktu tinggal bersama ayahnya, Kim sadar bahwa ayahnya adalah orang yang baik. Ia marah kepada ibunya yang telah menghasutnya agar membenci ayahnya dan ia senang telah menemukan sendiri hal yang sebenarnya. Walaupun orang tuaku gagal sebagai pasangan suami istri, mereka adalah orang tua yang luar biasa. Keduanya sangat penting bagi pertumbuhanku. Kadang-kadang mereka mengungkapkan kekecewaan satu sama lain, tetapi mereka tidak saling mencerca peranan mereka sebagai orang tua. Kebanyakan kalau harus tampil di depan umum sebagai orang tua, mereka mengutamakan aku dan saudara laki-lakiku dan mereka bertahan untuk saling menemani. Di samping jangan saudara merendahkan mantan istri atau mantan suami, jangan juga memakai anak saudara sebagai "mata-mata". Sering kali orang tua yang sudah cerai bertanya kepada anak-anak apakah ibu atau ayah mereka sedang berkencan, apakah ia bersikap sebagai orang tua yang baik, apakah ia menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Apa pun yang saudara perlu ketahui mengenai mantan istri atau mantan suami saudara seharusnya ditanyakan secara langsung. Anak saudara akan merasa bersalah karena menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Anak-anak sering merasa harus berbohong bila menghadapi keadaan seperti itu. Jangan ikutkan anak-anak saudara dalam tugas mata-mata. Kehidupan baru saudara Kemampuan anak-anak untuk menyesuaikan diri sebagian bergantung pada keinginan saudara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kalau saudara tetap peka terhadap trauma mereka dan berusaha membantu, penyesuaian diri mereka akan berjalan lebih lancar. Jelas kesedihan saudara sendiri sangat mengganggu, tetapi kesediaan untuk berusaha membantu mereka berpengaruh penting. Ingat, anak-anak saudara tahu bahwa saudara sedang menderita. Mereka tidak mengharapkan saudara harus sempurna dan tidak pernah menunjukkan pergumulan saudara. Tetapi mereka memang membutuhkan perhatian saudara. Pastikan bahwa saudara menerima bantuan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri. Semakin baik kemajuan yang dicapai dalam masa transisi saudara, semakin lancar masa transisi anak-anak saudara. Mintalah bantuan teman-teman saudara, pendeta, bahkan seorang penasihat ahli untuk menyembuhkan emosi saudara supaya tidak membingungkan anak-anak. Mungkin saudara merasa seperti tukang sulap yang sedang mengembangkan keperluan saudara dan keperluan anak-anak saudara. Pastikan bahwa orang-orang lain memenuhi keperluan saudara agar tidak semua beban menjadi tanggungan saudara. Orang lain dapat membantu anak-anak saudara juga. Anak-anak beruntung kalau dapat meluangkan waktu bersama sanak keluarga yang lain untuk mempelajari bagaimana hubungan suami-istri. Apa pun yang menyebabkan perceraian saudara, anak-anak perlu mengetahui bahwa perkawinan dapat berhasil. Mereka perlu contoh perkawinan yang berhasil untuk menunjukkan bagaimana hubungan yang baik antara suami dan istri. Inilah kuncinya, ingat saja bahwa anak-anak saudara menderita juga dan cintailah mereka lebih dari masa-masa yang lalu! Sumber diambil dan diedit dari: Judul Buku : Pola Hidup Kristen Judul Artikel: Menolong Anak Menanggulangi Perceraian Penulis : Kathy Callahan - Howell Penerbit : Gandum Mas, Malang; Yayasan Kalam Hidup, Bandung; YAKIN, Surabaya 2002 Halaman : 433 - 438 ========== TELAGA ========== Perceraian tidak hanya melukai pasangan yang bercerai saja, namun juga anak dari hasil pernikahan itu. Ringkasan tanya jawab dengan narasumber Pdt. Paul Gunadi, Ph.D berikut akan menjelaskan besarnya dampak yang dirasakan oleh anak akibat perceraian orang tua mereka. DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP ANAK (II) T : Ada pasangan yang bercerai meskipun perkawinan mereka sudah berusia 26 tahun, bagaimana itu bisa terjadi? J : Fase kedua yang memang rawan terhadap perceraian adalah usia pertengahan, yaitu usia sekitar 45-55 tahun. Meski secara sejarah, mereka sudah menikah dua puluh tahun misalnya, tapi saat itu adalah saat di mana anak-anak sudah besar. Anak-anak sering kali menjadi pengikat orang tua sekaligus merupakan suatu pengalihan problem. Kalau anak-anak sudah besar berarti tidak ada lagi yang jadi pengalihan, kita harus menghadapi pasangan kita secara langsung. Di situlah kecocokan kita diuji mati- matian. Kalau pada awal pernikahan sebelum punya anak kita sudah bermasalah dan tidak dibereskan dengan tuntas, biasanya problem itu muncul kembali di usia pertengahan. Jadi betul sekali, jika ada orang yang sudah menikah dua puluh tahunan tapi akhirnya bubar. ------ T : Perceraian itu justru sering kali terjadi ketika pasangan sudah punya anak. Apa dampak-dampaknya pada anak? J : Yang jelas ANAK MERASA TERJEPIT di tengah-tengah. Meski si anak itu tahu, misalkan mamanya atau papanya yang kurang benar, tetapi anak mengalami kesulitan untuk memilih antara mama atau papanya, siapa yang harus dia bela, siapa yang harus dia ikuti jika terjadi perceraian. Pada waktu terjadi perceraian, di situlah anak mulai bingung harus pilih siapa. Dia merasa sungkan terhadap orang tua yang satunya jika harus berkata, "Saya pilih mama", atau "Saya pilih papa". ------ T : Tapi sering kali sejak dini anak itu sudah bisa menilai orang tuanya, siapa yang salah sebenarnya. Benarkah demikian? J : Betul. Dalam hati dia sudah ada penilaian siapa yang lebih salah, dan siapa yang lebih benar. Namun, waktu mereka menyadari orang tua sekarang bercerai, tetap ada rasa sungkan mengkhianati orang tuanya. Dampak lain dari perceraian adalah anak sering kali MEMPUNYAI RASA BERSALAH karena dia pilih orang tua yang satu bukan yang satunya, bersalah karena kadang-kadang anak merasa bahwa merekalah yang menjadi penyebab perceraian. Memang ada kalanya, dalam rumah tangga yang sedang bermasalah, salah satu bahan keributan adalah anak. Ini memang suatu proses yang alamiah, orang selalu mencari kambing hitam atau penyebab atau titik kesalahan, supaya mereka bisa mengerti, memahami dengan akal penyebab terjadinya perceraian. ------ T : Ada anak korban keluarga yang bercerai yang menjadi sangat nakal sekali. Apa sebenarnya yang diharapkan oleh anak ini? J : Sebetulnya yang terjadi adalah si anak mempunyai KEMARAHAN, KEFRUSTRASIAN, dan dia mau melampiaskannya. Pelampiasannya ialah dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan, memberontak, dan sebagainya. Atau anak yang orang tuanya bercerai dan tinggal dengan mamanya, mereka kehilangan figur otoritas, figur ayah. Waktu figur otoritas itu menghilang, anak sering kali tidak terlalu takut pada mama. Ini adalah suatu fakta. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan orang tua tunggal, oleh seorang ibu, cenderung nakal. ------ T : Apakah anak juga bisa KEHILANGAN IDENTITAS SOSIALnya? J : Ya, anak akhirnya merasa tidak pas karena dia melihat teman- temannya punya papa mama tapi dia tidak. Pada waktu teman- temannya membicarakan papa dan mama, dia tidak bisa. Apalagi kalau papanya menikah lagi dengan orang lain, dia lebih susah lagi bicara tentang papanya yang sudah punya istri lain. Jadi, statusnya sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan bahwa dia berbeda dari anak-anak lain. Inilah yang dimaksud dengan kehilangan jati diri sosialnya, identitas sosialnya itu. ------ T : Ada kasus kebanyakan anak-anak yang orang tuanya bercerai mencari pasangan yang latar belakang orang tuanya bercerai juga karena dia PUNYA PERASAAN MINDER. Apa benar begitu? J : Betul. Sering kali mereka itu membawa suatu perasaan bahwa mereka anak-anak yang cacat, anak-anak yang tidak setara dengan anak-anak lain. Oleh karenanya, timbul suatu rasa takut kalau menikah dengan orang yang baik-baik nanti dipandang rendah atau ada perasaan tidak pantas berpasangan dengan orang dari keluarga baik-baik. Harapannya adalah yang senasib dengannya, yang lebih bisa menerima, dan orang tuanya pun bisa menerima. Dia tahu bahwa banyak orang tua tidak rela menikahkan anaknya dengan seseorang yang dari keluarga "broken-home". ------ T : Kalau kedua orang tua itu sangat mengasihi anaknya dan kebetulan anaknya cuma satu atau dua, apa yang terjadi dalam diri anak? J : Ada PERASAAN TERBELAH, DICABIK-CABIK. Satu pihak harus ke mama, satu pihak harus ke papa. Akan muncul suatu dorongan dalam diri si anak untuk menjadi perekat, penyatu. Dia akan menjadi juru bicara dari orang tuanya. Maksudnya, jika mama atau papanya ingin saling berkomunikasi, mereka tidak berkomunikasi secara langsung tetapi melalui anak supaya disampaikan. Atau bisa juga dia yang menjadi peredam persoalan atau konflik di antara kedua orang tuanya yang sudah bercerai ini karena dia tahu dua-duanya mengasihi dia dan dia mau supaya jangan sampai lebih buruk lagi keadaannya, dengan kata lain sejak kecil dia akhirnya belajar untuk mendistorsi fakta kehidupan. ------ T : Ada orang tua yang mengatakan bahwa mereka memang bermasalah dengan pasangannya, tapi tidak dengan anak-anak mereka. Sebenarnya pandangan seperti itu bagaimana? J : Dalam hubungan nikah yang sudah sangat jelek, yang pertengkarannya sudah sangat parah, kebanyakan anak-anak akan memilih supaya mereka bercerai. Hasil riset memperlihatkan, demi kesehatan jiwanya anak-anak akan lebih tenteram sewaktu dilepaskan dari suasana seperti itu. Pada waktu orang tua tidak tinggal bersama-sama dengan mereka rasanya lebih tenang karena tidak harus menyaksikan pertengkaran. Akhirnya, mereka lebih mantap, lebih damai hidupnya, dan lebih bisa berhubungan dengan orang tuanya secara lebih sehat. ------ T : Ada sisi positif dari anak korban perceraian, misalnya anak cepat dewasa, punya rasa tanggung jawab yang baik, bisa membantu ibunya. Apakah benar demikian? J : Memang ada anak yang bisa jadi nakal luar biasa, tapi ada yang kebalikannya justru menjadi anak yang sangat baik dan bertanggung jawab. Yang terjadi sebetulnya adalah pengompensasian. Si anak seolah-olah mengompensasi kekurangan atau kehilangan dalam keluarganya. Misalkan dia anak laki dan tinggal dengan mamanya, kecenderungannya adalah dia menggantikan fungsi papanya. Dialah yang akhirnya menjadi teman bicara mamanya dan dia tidak bisa menolak karena keadaan memaksanya untuk menjadi lebih dewasa. Atau seorang anak wanita yang harus tinggal dengan papanya, umumnya si anak ini menjadi seperti mamanya, menjadi teman bicara, menjadi orang yang mengerti isi hati papanya. Anak-anak ini akhirnya didorong kuat untuk mengambil alih peran orang tua yang tidak ada lagi dalam keluarganya. Secara luar kita melihat sepertinya baik menjadi lebih dewasa, tapi sebetulnya secara kedewasaan tidak terlalu baik karena dia belum siap untuk mengambil alih peran orang tuanya itu. ------ T : Kalaupun sudah terjadi perceraian dan ada dampak yang begitu besar terhadap diri anak-anak, adakah firman Tuhan untuk ini? J : Hidup ini kompleks dan kita ini menikah untuk sungguh-sungguh langgeng selamanya. Jadi kalau sampai ada orang yang menderita dalam pernikahan, sering kali itu di luar kehendak dan harapan mereka. Jadi, sebisanya carilah bantuan karena sering kali ini bukanlah masalah satu atau yang satunya, tapi masalah berdua. Selanjutnya, kita harus tetap kuat di dalam Tuhan. Kita tidak bisa mengerti mengapa kita mendapat porsi kehidupan yang seperti ini. Untuk kasus-kasus di mana mulai timbul perceraian- perceraian firman Tuhan berkata, "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." Ini dicatat oleh Injil Matius 18:10. Tuhan Yesus menegaskan bahwa anak-anak itu berharga dan Tuhan memerhatikan mereka, ada malaikat yang menjaga mereka. Dengan kata lain, Tuhan mau kita mengingat anak-anak bahwa anak- anak itu penting dan berharga di mata Tuhan, jangan sampai gara- gara menuruti kehendak kita anak-anak menjadi korban. Jadi, bertahanlah sebisanya, bereskanlah itu, rendahkanlah diri, mintalah bantuan, dan jangan tunggu-tunggu lagi. [[Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #042B yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan. Jika Anda ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-Mail, silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)xc.org> atau: < TELAGA(at)sabda.org > ]] ==> http://www.telaga.org/transkrip.php?dampak_perceraian_2.htm ========== TANYA JAWAB KONSELING ========== AYAH DAN IBU AKAN BERCERAI, APA YANG HARUS SAYA PERBUAT? PERTANYAAN: ----------- Saya tetap mengasihi ayah walaupun beliau sudah berzinah. Ia berusaha untuk bercerai dengan ibu, bahkan sudah memikirkan menikah dengan wanita tersebut. Di satu pihak saya merasa terpukul. Namun, saya tahu bahwa kesalahan utama memang terletak pada ibu yang sangat keras kepala, menjengkelkan, cerewet, dan mau menang sendiri. Saya akui bahwa ibu adalah seorang pekerja yang ulet, berani mati. Tapi beliau tidak menghargai ayah, bahkan sering menekan dan memaki ayah di depan kami sejak kami kecil. Saya juga harus mengakui ayah tidak sepandai ibu dalam usaha dagangnya, cepat putus asa, dan pesimis. Tapi beliau sudah cukup berusaha keras untuk maju. Sekarang keluarga kami sudah berantakan. Saya mulai kasihan juga melihat ibu saya yang depresi. Bahkan ia berulang kali mencoba bunuh diri setelah mengetahui perselingkuhan ayah dan mengajukan proses penceraian tahun lalu. Sudah berulang kali saya mengajak ibu untuk berkonsultasi, tapi beliau selalu menolak dengan alasan, "Ayah yang salah mengapa ibu yang dikonseling?" Ibu selalu berpikir karena bukan dia yang berzinah, ia tidak bersalah dan tidak seharusnya menemui konselor. Ia juga tidak lagi mau ke gereja karena malu ataupun berdoa. Bagaimana saya harus bersikap? JAWAB: ------ Memang hidup penuh dengan hal-hal yang tidak "fair", tetapi sebagai manusia dewasa kita harus bertanggung jawab untuk memilih sikap yang terbaik. Sayangnya, ayah Anda sudah memilih respon yang keliru atas ketidakdewasaan dan kelemahan ibu. Seharusnya, ia tidak bersikap kekanak-kanakan dan merasa berhak untuk mendapatkan kebahagiaan seperti yang ia mau. Seharusnya beliau memahami bahwa hidupnya adalah hidup seorang dewasa yang siap menghadapi dan menyelesaikan setiap masalah yang ada demi membangun keluarga dan memenuhi segala kebutuhannya. Memang menurut Anda beliau sudah berusaha keras, tapi tanggung jawabnya bukan cuma di situ. Ia juga harus menjadi kepala keluarga yang dapat memimpin, memberi rasa aman, dan menghadirkan hal-hal yang baik dalam kehidupan keluarga. Sebagai anak Tuhan Ia juga harus mempunyai kehidupan rohani yang sehat, pengenalan akan Tuhan yang benar, dan sikap yang dewasa dalam mengatasi watak-watak buruk istri. Sayangnya, ia memilih sikap seperti anak-anak, yaitu lari dari realita karena tidak mampu menyelesaikannya. Bahkan sebagai orang Kristen ia tidak takut berbuat dosa, mencoba menceraikan istri dan berusaha menikah dengan perempuan lain. Ia merasa berhak untuk menikmati hidup sesuai dengan yang ia mau karena kegagalannya sendiri. Di lain pihak, Anda simpati dan membela ayah tanpa alasan yang jelas. Sesuai dengan subjektivitas dan perasaan yang muncul, Anda cenderung menyalahkan ibu. Memang ibu Anda adalah wanita dengan banyak kelemahan pribadi, yang mungkin justru hidup dan berkembang karena kesalahan ayah yang mungkin cenderung pesimis, penakut, dan mungkin juga tidak bijaksana dan tidak dewasa. Memang kelihatannya untuk saat ini hati nurani ayah belum terbuka untuk kebenaran, begitu pula dengan ibu yang masih belum mau mencari pertolongan konselor karena jiwanya sangat terpukul dan merasa gagal dalam hidup. Tanpa pimpinan dan pertolongan Tuhan, memang sulit untuk membawa mereka rujuk kembali. Walau itu juga bukan sesuatu yang mustahil. Untuk sementara waktu, saat mereka masih bersitegang dengan kebenaran masing-masing, memang tidak ada hal konkrit yang bisa Anda lakukan kecuali bergantung pada kasih karunia Tuhan dan banyak berdoa. Apabila mereka sudah mulai tenang, cobalah membangun suasana komunikasi yang dialogis dan lebih dewasa antara ayah dan ibu. Anda harus bersikap "fair" terhadap mereka berdua. Cobalah untuk mengenali ayah dan ibu dengan lebih baik tanpa memihak. Hanya dengan pengenalan yang utuh inilah Anda memulai apa yang baik yang nantinya akan mendewasakan Anda. Mintalah kebijaksanaan dari Tuhan untuk apa yang dapat Anda katakan dan perbuat. Anda bisa memulainya dengan menerjemahkan kata-kata mereka dengan bahasa yang lebih sehat. Jadi, tugas utama Anda adalah ikut menciptakan kembali kontak di antara mereka, sambil berharap suatu hari kelak mereka juga mau bertemu dengan konselor. Pengalaman ibu Anda yang begitu pahit membutuhkan terapi yang cukup panjang untuk bisa mengampuni ayah. Sebaliknya, ayah dan ibu juga membutuhkan campur tangan Tuhan untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka berdua. "Semoga Tuhan yang sudah memulai hal yang baik (melalui Anda) akan meneruskannya sampai pada akhirnya (Fil. 1:6)" dan membuka peluang untuk timbulnya lagi cinta kasih antara mereka berdua. Bahan diambil dan diedit dari: Judul buletin: Parakaleo (Edisi Juli - Sept. 2002) Narasumber : Esther Susabda, Ph.D. Penerbit : Departemen Konseling STTRII Halaman : 4 ============================== e-KONSEL ============================== STAF REDAKSI e-Konsel Ratri, Evie, Raka PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS Yayasan Lembaga SABDA INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR Sistem Network I-KAN Copyright(c) 2006 oleh YLSA http://www.sabda.org/ylsa/ http://katalog.sabda.org/ Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ====================================================================== Anda punya masalah/perlu konseling? masalah-konsel(at)sabda.org Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll. dapat dikirimkan ke alamat: owner-i-kan-konsel(at)xc.org Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Berhenti : unsubscribe-i-kan-konsel(at)xc.org Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel ARSIP : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/ Situs C3I : http://www.sabda.org/c3i/ ======================================================================
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |