Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2018/02

e-JEMMi edisi No. 02 Vol. 21/2018 (27-2-2018)

Pemuridan

Pemuridan
e-JEMMi -- Edisi 02/Februari/2018
 

e-JEMMi

DARI REDAKSI:

Membayar Harga untuk Memuridkan

Pemuridan mungkin menjadi kata yang semakin jarang kita dengar dari dalam gereja. Tidak banyak lagi gereja yang benar-benar menjadikan pemuridan sebagai fokus dalam kegiatannya. Aksi-aksi sosial, kegiatan pengumpulan dana, seminar, rapat-rapat komisi, dan berbagai kesibukan lain justru lebih sering mewarnai gereja kita hari-hari ini. Seperti halnya penginjilan, pemuridan tampaknya semakin menjadi kegiatan yang dipandang tidak penting, menarik, atau malah terlupakan. Alasan paling mungkin untuk itu adalah karena nilai-nilai dunia sudah semakin merasuki pengajaran gereja. Kita sudah terlampau nyaman dengan kehidupan kita sebagai orang percaya yang rajin beribadah ke gereja, bersekutu, memberi persembahan, dan mengikuti beberapa persekutuan doa, dan tidak lagi memiliki kerinduan atau semangat untuk melakukan penginjilan dan pemuridan. Kenyamanan hidup membuat kita tidak acuh untuk membayar harga dan melakukan apa yang menjadi panggilan Allah bagi gereja-nya.

Memandang betapa pentingnya masalah ini, edisi e-JEMMi bulan ini menyajikan artikel yang akan mengingatkan kita semua mengenai tugas dan panggilan kita dalam pemuridan. Panggilan-Nya tetap sama kepada kita sampai hari ini, yaitu menginvestasikan hidup kita untuk mengajak dan membawa orang dari setiap suku, bahasa, budaya, bangsa, dan kelompok masyarakat ke dalam tubuh Kristus supaya mereka juga dapat menjadi pengikut-Nya. Maukah kita membayar harga dan mengikuti jejak-Nya? Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.

N. Risanti

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
N. Risanti

 

ARTIKEL
Seorang Murid yang Memuridkan

Artikel ini disadur dari Worship and Witness: Becoming a Great Commission Worshiper oleh David Wheeler dan Vernon M. Whaley.

Murid yang Menghasilkan

Proses pemuridan yang hanya bergantung pada pendidikan, tanpa mobilisasi ke ladang tuaian (misi) secara simultan dan konsisten, dapat menghasilkan penyembah yang apatis, tidak acuh terhadap kepentingan Amanat Agung yang mendesak.

Tidak diragukan lagi, sikap acuh tak acuh sedang membunuh gereja. Banyak anggota gereja tidak peduli soal memuridkan orang lain. Kitab Suci mendeskripsikan sikap ini sebagai suam-suam kuku (lihat Wahyu 3:16). Dikatakan bahwa lawan dari kasih bukanlah kebencian, melainkan keacuhan. Setidaknya, kebencian masih digerakkan oleh suatu dorongan (passion). Sementara itu, apatis tidak cukup peduli untuk mengasihi. Sikap semacam ini, secara bertahap, akan membawa gereja memisahkan diri dari budaya.

Saat ini, ketidakacuhan telah menjadi norma bagi banyak kongregasi. Bukannya merangkul kebutuhan masyarakat, kita malah memilih untuk tetap tinggal jauh dari garis depan pelayanan. Sikap ini memengaruhi cara gereja melaksanakan pemuridan. Ketimbang bergaul dengan dunia luar untuk memenuhi kebutuhan mereka dan membagikan kasih Kristus, gereja memisahkan diri, berfokus pada kebutuhannya sendiri, dan mengecam dunia karena berbuat dosa.

Merepresentasikan Kristus dalam Dunia

Sikap tidak acuh yang egois amat mematikan bagi berkembangnya reproduksi para pengikut Amanat Agung. Sebagian anggota gereja menjalani kehidupan dengan hanya sedikit perhatian terhadap kebutuhan orang yang terluka.

Konsep mereka tentang penyembahan dan penginjilan terbatas dalam gedung gereja pada hari Minggu pagi. Mereka dikondisikan untuk menjadi tidak acuh karena mereka kekurangan pemuridan alkitabiah yang menantang mereka untuk mereproduksi iman mereka. Mereka percaya bahwa pelayanan adalah kewajiban orang-orang tertentu yang dibayar untuk itu, bukan orang Kristen secara umum. Mereka setia pada gereja, asalkan gereja tidak ikut campur dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sebaliknya, Yesus memanggil kita untuk menghasilkan murid. Ingatlah perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya ketika Ia menampakkan diri setelah kebangkitan: "Seperti Bapa telah mengutus Aku, demikianlah Aku mengutus kamu" (Yohanes 20:21). Sebagaimana Yesus memanggil murid-murid-Nya keluar dari balik pintu ruang atas yang terkunci, Ia juga memanggil gereja-Nya untuk pergi ke dalam dunia untuk menjadi wakil-Nya dan membagikan pesan Injil-Nya. Rasul Yohanes mendeskripsikan kehadiran orang percaya dalam dunia sebagai perpanjangan kasih Allah: Allah adalah kasih. Barangsiapa tinggal di dalam kasih, ia tinggal di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dengan ini, kasih disempurnakan di antara kita supaya kita dapat memiliki keyakinan diri pada Hari Penghakiman karena di dunia ini kita sama seperti Dia (1 Yohanes 4:16-17, NIV, terjemahan bebas).

Para pengikut Amanat Agung menjalankan misi bersama Allah dalam kehidupan sehari-hari, dengan penuh kasih terlibat dalam masyarakat, memenuhi kebutuhan manusia dalam nama Kristus, dan membagikan pesan keselamatan.

Pemuridan Linier versus Pemuridan Sirkular

Kesalahpahaman dalam gereja masa kini adalah kekeliruan mengenai pemuridan linier. Konsep ini tumbuh dari pemikiran bahwa pengikut yang sejati dihasilkan melalui proses pemuridan yang mengutamakan pelatihan intensif seumur hidup, biasanya dalam lingkungan yang terlindung seperti gedung gereja.

Sayangnya, sebagaimana dibuktikan oleh sebagian besar praktik penginjilan yang lemah dari orang Kristen, hasilnya adalah generasi orang percaya yang mengejar pengetahuan Alkitab tanpa keinginan untuk mengikuti Kristus dalam misi "mencari dan menyelamatkan yang hilang" (Lukas 19:10). Dan, amat disayangkan, pendekatan linier ini telah menjadi proses pemuridan yang diterima dalam banyak lingkungan Kristen, yaitu penginjilan sering kali dikemukakan sebagai saran, bukan perintah.

Berlawanan dengan pemuridan linier, ada konsep alkitabiah mengenai pemuridan sirkular. Dalam bentuk ini, ketika seseorang berespons terhadap Injil dan benar-benar dilahirbarukan, ia segera terhubung dengan proses menjadi murid yang memuridkan. Karena murid dipanggil untuk menghasilkan lebih banyak murid lain, penginjilan dan pemuridan saling bergantung. Karena itu, penginjilan lebih dari sekadar membagikan berita Injil dan mengundang orang mengambil keputusan. Pemuridan lebih dari sekadar melatih orang untuk menghafalkan ayat-ayat Alkitab. Proses penginjilan dan proses pemuridan tidaklah lengkap sebelum keduanya secara sengaja berjalin dengan tujuan, yakni membawa orang yang diinjili menjadi pengikut yang memuridkan.

Para murid yang memuridkan tidak harus didorong oleh pendeta atau pemimpin gereja agar terlibat dalam kegiatan pelayanan. Mereka memiliki pemahaman yang baik bahwa gereja bukanlah bangunan atau lokasi, melainkan umat Allah. Murid yang memuridkan mengerti bahwa iman mereka adalah ekspresi dari apa yang dimaksud dengan pengikut Kristus. Karena itu, penginjilan dan penyembahan merupakan panggilan untuk dihidupi dan dihasilkan melalui kehidupan sehari-hari. Dan, pada akhirnya, pengikut yang sejati digerakkan oleh ketaatan, bukan kewajiban.

Paulus sedang melihat masa depan dari proses pemuridan yang memuridkan tatkala ia menasihati dan mengajar gereja mula-mula: "Apa pun yang telah kamu dengar dari aku di depan banyak saksi, percayakan itu kepada orang-orang yang setia, yang juga mampu mengajar orang lain" (2 Timotius 2:2). Paulus mengajarkan kepada muridnya yang masih muda, Timotius, bahwa Amanat Agung dapat diteruskan (direproduksi). Paulus memuridkan Timotius, yang akan mengajar "orang-orang yang setia". Orang-orang ini akan "mengajar orang lain juga".

Sebagai murid yang memuridkan, tujuan kita hari ini tetap sama: untuk mengajak dan membawa orang dari setiap suku, bahasa, budaya, bangsa, dan kelompok masyarakat ke dalam tubuh Kristus supaya mereka juga dapat menjadi pengikut. Prinsip dari 2 Timotius dan peran kita sebagai para penginjil yang menyembah terikat pada tanggung jawab kita untuk memuridkan.

Sebagai pengikut yang memuridkan, kita bertanggung jawab untuk memberi dampak spiritual kepada mereka yang harus menjadi pelaksana Amanat Agung maupun yang perlu dimuridkan. Oleh kuasa Roh Kudus, kita dapat membuat perbedaan kekal dalam kehidupan orang lain. (t/Joy)

Download Audio

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Lifeway
Alamat situs : http://www.lifeway.com/Article/reproducing-disciple-worship-witness-evangelism
Judul asli artikel : A Reproducing Disciple
Penulis Artikel : David Wheeler
Tanggal akses : 14 Juli 2017
 

PROFIL SUKU
Dondo di Indonesia

Populasi Bahasa Utama Agama Terbanyak
17.000 Dondo Islam (100,00%)
Kristen Protestan Proses
0,00% 0,00% Belum terjangkau

Pendahuluan/Sejarah

Suku Dondo tinggal di wilayah Baolan, Dondo, Galang, dan Dampal bagian Utara di Toli-Toli kabupaten Sulawesi Tengah. Mereka biasanya hidup dalam kelompok-kelompok yang tersebar di seluruh daerah ini. Umumnya, mereka lebih memilih untuk tinggal di dekat pinggir sungai dalam hutan. Kelompok-kelompok ini biasanya dinamai menurut nama-nama sungai tempat mereka tinggal, seperti Salungan, Ogomolobu, Oyom dan Kambuno. Suku Dondo memakai bahasa Dondo. Menurut orang-orang Dondo sendiri, bahasa ini berbeda dari bahasa Toli-Toli. Ini dikarenakan suku Dondo terpisah dari daerah Tomini. Orang-orang di desa Oyom adalah yang paling tradisional dan terpisah dari subsuku Dondo. Bahasa Dondo merupakan bagian dari kelompok linguistik yang lebih luas yang disebut subsuku Tomini Utara yang juga meliputi bahasa Lauje dan Tomini.

Seperti Apakah Kehidupan Mereka?

Mata pencarian utama suku Dondo adalah bertani dan menangkap ikan. Mereka berpindah-pindah dalam bertani (beralih dari satu lahan ke lahan lainnya), terutama karena pekerjaan bertani mereka menghabiskan nutrisi di tanah dan mereka tidak bisa memelihara kesuburan tanahnya. Ladang pertanian yang baru dibuka dengan cara menebang pohon-pohon dan membakar semak belukar (metode menebas dan membakar). Mereka cenderung menanam padi di lahan yang tidak diirigasi dan memiliki beberapa hasil panen sampingan seperti pisang, kelapa, biji cokelat, dan kopi. Hutannya terkenal dengan hasil rotan, kayu, dan damar. Mereka juga berburu kijang, babi, dan ayam liar. Mereka berburu dengan menggunakan tombak, jerat, dan panah serta dibantu oleh anjing pemburu.

Rumah tradisional Dondo dibangun di dasar yang ditinggikan dan terbuat dari kayu, bambu, dan rotan. Rumah-rumah didirikan di atas tanah setinggi 2 meter. Rumah-rumahnya berbentuk empat persegi panjang, sekitar 5 - 7 sampai tujuh meter. Biasanya, terdapat satu pintu saja dan ada tangga di depan rumah itu. Atapnya terbuat dari daun pohon palem sagu. Pada masa lalu, Dondo adalah kesultanan. Sultan Dondo dan para bangsawan serta ajudannya dipilih berdasarkan garis keturunan mereka. Selama waktu itu, terdapat empat kelas dalam masyarakat: keluarga raja, kaum bangsawan, rakyat biasa, dan kaum budak. Seorang Dondo dianggap sudah dewasa saat menginjak usia 16 tahun. Status ini ditandai dengan memotong atau mengasah giginya dalam upacara masyarakat. Setelah menikah, pasangan pengantin yang baru bisa memilih untuk tinggal di keluarga suami atau istri. Menurut kebiasaan suku Dondo, seorang pria boleh memiliki lebih dari satu istri. Perceraian diperbolehkan jika pasangan tidak lagi cocok. Akan tetapi, perceraian harus disaksikan oleh pemimpin tradisi (Kapitalau).

Apakah Kepercayaan Mereka?

Suku Dondo memeluk agama Islam sejak lama. Akan tetapi, banyak suku Dondo yang masih menjalankan praktik animisme, terutama mereka yang tinggal di pegunungan. Menurut sejarah, suku Dondo menyimpan jasad anggota keluarga di dalam batang pohon palem sagu yang telah dikeluarkan isinya. Kuburan ada di halaman tempat tinggal keluarga dan para anggota keluarga mengucapkan selamat berpisah kepada roh dari jasad dengan tidur di sekeliling kuburan selama beberapa hari.

Apakah Kebutuhan Mereka?

Pelatihan dan bantuan dalam hal pertanian dalam pemanfaatan teknologi yang tepat akan membantu suku Dondo meningkatkan hasil panen mereka. Mereka juga sangat membutuhkan bantuan dalam mengembangkan sistem pendidikan formal di daerah mereka. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Joshua Project
Alamat situs : https://joshuaproject.net/people_groups/11604/ID
Judul asli artikel : Dondo in Indonesia
Penulis artikel : Tim The Joshua Project
Tanggal akses : 16 Oktober 2017
 
BERGABUNGLAH DALAM KELAS PASKAH MARET/APRIL 2018

Paskah merupakan peristiwa besar dalam kekristenan di mana Anak Allah menderita dan mati di kayu salib. Kematian-Nya menjadi jalan supaya manusia dapat dipersatukan dengan Allah melalui darah-Nya. Paskah memiliki sejarah yang panjang sejak Perjanjian Lama dan puncaknya dalam Perjanjian Baru saat Anak Domba Allah dikorbankan sebagai korban penghapus dosa.

PESTA Kelas Paskah

Anda ingin mempelajari sejarah Paskah dalam Perjanjian Lama, tradisi Paskah Yahudi, Paskah dalam Perjanjian Baru, dan kematian Kristus di kayu salib? Silakan klik tautan berikut untuk mendaftar dan mengikuti kelas Paskah, dan admin kami akan segera merespons Anda:

Kusuma (admin PESTA)
Formulir Pendaftaran Kelas PESTA
Google Form di Situs e-Learning PESTA

Dengan sukacita, kami menyambut Anda untuk bergabung dalam kelas Paskah Maret/April 2018.

 
Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-JEMMi.
misi@sabda.org
e-JEMMi
@sabdamisi
Redaksi: N. Risanti, Davida, Rostika, dan Yulia Oeniyati
Berlangganan | Berhenti | Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2018 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org