Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2013/07

e-JEMMi edisi No. 07 Vol. 16/2013 (12-2-2013)

Misi di Pulau Jawa 2


Februari 2013, Vol.16, No.07
______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Misi di Pulau Jawa 2
No.07, Vol.16, Februari 2013

Shalom,

Pada masa pemerintahan Inggris, yang diwakili oleh Thomas Stamford 
Raffles, penyebaran Injil di Tanah Jawa tidak lagi dibatasi seperti 
pada pemerintahan Belanda. Pada saat itu, misionaris-misionaris, 
khususnya dari British Missionary Society, diizinkan untuk menyebarkan 
kekristenan dengan leluasa. Akan tetapi, keadaan itu tidak berlangsung 
lama. Ketika Belanda kembali menguasai Pulau Jawa, larangan 
menyebarkan Injil dengan alasan demi mempertahankan status quo pun 
muncul kembali. Namun, Tuhan selalu bekerja dengan cara-Nya yang 
ajaib. Ketika pintu-pintu pelayanan misi seakan tertutup, muncullah 
sebuah karya yang nantinya menjadi pilar yang menopang pelayanan misi 
di Pulau Jawa. Siapa hamba Tuhan yang menjadi alat-Nya? Dan, apa 
karyanya? Simaklah dalam artikel yang telah kami siapkan di edisi ini. 
Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati kita sekalian.

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://misi.sabda.org >


           ARTIKEL MISI: PENYEBARAN KEKRISTENAN DI JAWA 
          DAN PERTEMUANNYA DENGAN ISLAM PADA ABAD KE-19 (2)
                        Diringkas oleh: Yudo

William Carey, seorang tokoh misi dari Inggris, yang juga disebut 
sebagai "bapak misi modern" mendirikan British Missionary Society pada 
tahun 1792. Dalam tempo satu tahun, ia telah membuka posnya di 
Kalkuta, India. Dari sana, ia mengorganisasi misinya dan mengirim 
banyak utusan ke semua sudut Asia, termasuk Jawa. Setelah Carey 
berkonsultasi dengan Raffles, tibalah waktunya untuk mengirim William 
Robinson sebagai misionaris Baptis pertama ke Pulau Jawa. Robinson 
tiba di Batavia pada 1 Mei 1813. Tugas utamanya ialah menyampaikan 
Injil pada orang Jawa. Target utama yang diberikan oleh Carey kepada 
Robinson adalah ia harus menguasai Bahasa Jawa secepat mungkin agar 
mampu berkhotbah dalam bahasa tersebut, dan kemudian menerjemahkan 
Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa. Namun, ketika tiba di Batavia 
dan mengenali keadaan kota tersebut, Robinson menyadari bahwa tujuan 
awal yang telah dirancangkan di Kalkuta harus diubah. Batavia 
merupakan sebuah kota yang amat kompleks. Batavia merupakan kota 
perniagaan yang sibuk, pusat pemerintahan, dan dihuni oleh berbagai 
macam orang. Banyak sekali kelompok orang Kristen yang telah memulai 
karya misi di situ dan mereka bisa berbahasa Melayu, Portugis, maupun 
Belanda, namun tidak bisa berbahasa Jawa. Orang Jawa yang tinggal di 
Batavia, yang sebelumnya diperkirakan berjumlah besar oleh kantor 
pusat di Kalkuta, sebenarnya sangat sedikit. Sementara itu, ia mulai 
mempelajari Bahasa Melayu dan Belanda secara intensif.

Pada tahun 1814, pusat misi Baptis di India mengirim lagi dua orang 
misionaris untuk membantu Robinson. Mereka adalah J. Reily dan William 
Milne. Pada Mei 1815, J.C. Supper, G.Bruckner, dan J. Kam, dikirim 
oleh London Missionary Society bekerja sama dengan Netherlands 
Missionary Society. Dua bulan kemudian, Thomas Trowt, seorang 
penginjil lain dari misi Baptis pun menyusul. Trowt langsung dikirim 
dari Inggris untuk bekerja di Jawa. Sejak kedatangan Robinson pada 
1813 sampai akhir masa pemerintahan Inggris di Jawa pada 1816, jumlah 
misionaris di Jawa berjumlah 10 orang.

Sebanyak dua orang dari sepuluh misionaris tersebut hanya berada di 
Jawa selama waktu yang singkat: Milne segera pergi ke Cina dan Joseph 
Kam melanjutkan perjalanannya ke Ambon. Walaupun mereka hanya tinggal 
dalam waktu singkat, buah yang mereka hasilkan sangatlah mengesankan. 
Milne berhasil membukakan kesadaran terhadap kelompok orang Cina, yang 
sampai saat itu belum mendapatkan perhatian apa-apa. Juga, kehadiran 
Joseph Kam di Surabaya telah meletakkan sebuah fondasi yang kuat untuk 
jemaat Kristen di sana. Kelompok J. Emde di Surabaya tidak dapat 
digambarkan tanpa pengaruh Kam. Kam turut serta dalam mempercepat 
proses penginjilan di Surabaya.

Para donatur untuk para pelopor Barat mengalami masalah dengan 
kepribadian orang Jawa, yang mereka gumulkan untuk mereka pahami. A. 
Kruyt, yang dari masa mudanya menemani ayahnya, J. Kruyt, dalam 
pelayanannya sebagai misionaris di Jawa Timur menyimpulkan bahwa, 
dalam kepribadian orang Jawa terdapat sesuatu yang tersembunyi seperti 
sebuah teka-teki yang telah menjadi sebuah rahasia selama berabad-
abad. Karenanya, kaum misionaris sering merasa tertipu atau salah 
mengerti. Mereka sering mengira bahwa orang Jawa ingin menjadi percaya 
dan menjadi seorang Kristen, padahal dalam kenyataannya tidak. Hal 
yang sama dialami oleh Bruckner. Setelah 8 tahun berada di Semarang, 
ia merasa bahwa pekerjaannya tidak menghasilkan apa-apa, sehingga ia 
memasuki daerah pedalaman dan tinggal di Salatiga. Di sana, ia 
mendekati penduduk desa dan mereka tampaknya menerima apa yang 
disampaikannya. Meskipun mereka mengiyakan apa yang ia katakan, tetapi 
pada akhirnya Bruckner pun menyadari bahwa sikap mereka itu tidak 
dapat ditafsirkan sebagai penerimaan terhadap agama yang dibawanya. 
Pengalaman ini juga dialami oleh Robinson dan Supper di Batavia. 
Robinson dengan antusias menulis bahwa orang Muslim di Batavia tidak 
sefanatik orang Muslim yang ditemuinya di India. Namun demikian, dari 
orang-orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tanpa 
penolakan atau penentangan itu, tak satu pun dari mereka yang ingin 
menjadi orang Kristen.

Di sisi lain, antusiasme mereka kandas pada kesulitan-kesulitan yang 
mendasar, seperti masalah pengetahuan dan penguasaan Bahasa Jawa. 
Robinson, penginjil pertama yang tiba di Jawa, gagal mempelajari 
Bahasa Jawa dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa tersebut. Hal 
itu juga dialami oleh Thomas Trowt, yang sangat berbakat dalam bahasa 
dan kemampuan beradaptasi. Setelah bekerja selama 2 tahun di Semarang, 
di tempat dia menikmati sebuah hubungan yang baik dengan seorang 
pegawai Jawa, ia mampu melengkapi sepertiga bagian dari sebuah kamus 
Jawa-Inggris, sebelum ia mengalami nasib yang sangat mengenaskan. 
Trowt menderita disentri dan demam, dan selama 2 tahun ia terus 
menderita berbagai penyakit serius. Ia meninggal pada 25 Oktober 1816. 
Sebelum kematiannya, Trowt bisa berbahasa Melayu dengan lancar dan 
mulai menguasai Bahasa Jawa. Andai Trowt tidak meninggal terlebih 
dulu, misi Baptis di Semarang mungkin telah meninggalkan sebuah 
peninggalan yang sangat berharga.

Dalam sebuah periode singkat tersebut, Trowt telah membuka sebuah 
sekolah untuk penduduk setempat dan telah mengembangkan sebuah 
hubungan yang sangat dekat dengan Bupati Sura Adimenggala yang sangat 
terbuka terhadap pendidikan Barat. Adimenggala mengirim kedua 
putranya, Saleh dan Shukur, untuk belajar dengan Marshman dari 
Serampore, dari tahun 1812 sampai 1814. Sekolah ini disponsori oleh 
misi Baptis. Trowt berdiskusi dengan Adimenggala, berencana untuk 
mendirikan sebuah sekolah, menerbitkan berbagai buku dalam Bahasa 
Jawa, dan mendirikan sebuah sekolah untuk orang Jawa di Semarang. 
Menurut Trowt, Adimenggala sangat mendukung rencananya ini.

Dalam hubungan ini, baik Trowt maupun Adimenggala mendapatkan 
keuntungan. Dalam diskusi-diskusi mereka, tidak hanya ketertarikan 
Adimenggala dalam hal pendidikan saja yang didiskusikan, namun 
perhatian terhadap pemikiran keagamaan Trowt juga diperhatikan. 
Adimenggala menyatakan kesiapannya untuk mendukung tugas-tugas misi 
Trowt. Ia juga menanyakan hal-hal tentang agama pada Trowt. Dua hal 
yang sangat penting bagi Adimenggala: Mengapa ada banyak agama di 
dunia? Bagaimana kita bisa menentukan bahwa suatu agama adalah yang 
terbaik di antara agama-agama lain yang ada? Trowt menjawab 
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sebuah cara yang tidak menyerang 
agama yang dianut oleh Adimenggala. Ia tidak menggambarkan kesimpulan 
dari dialog tersebut. Trowt hanya ingin Adimenggala mengenal 
kekristenan dan hubungan baik dengannya akan terus berlanjut.

Berbagai macam keadaan menghalangi karya misi di Jawa agar tidak 
berlanjut dan tidak mencapai hasilnya yang maksimal. Supper, yang 
terus bekerja di Batavia sejak kedatangannya, menderita penyakit yang 
sama seperti yang dialami Trowt, ia meninggal pada 1816. Thomas 
Philips, yang menggantikan Trowt di Semarang, juga meninggal dini 
setelah mengalami penderitaan fisik dan mental. Nampaknya, kondisi 
kehidupan di negara tropis dan lingkungan sosial menghasilkan sebuah 
penghalang besar, yang pada akhirnya menghabiskan stamina fisik dan 
mental mereka. Minimnya fasilitas kesehatan, situasi politik yang 
tidak menentu, dan sedikitnya gaji yang diberikan oleh badan misi, 
tidak cukup untuk membuat mereka memiliki peluang mendapatkan 
perawatan kesehatan yang memadai. Kebanyakan dari mereka terserang 
demam, malaria, tifus, dan disentri.

Kondisi keuangan Baptist Missionary Society yang baru saja didirikan 
membuat mereka tidak mampu menjamin keseluruhan karya yang 
dilaksanakan oleh para pekerjanya. Karena kesulitan keuangan, beberapa 
orang meninggalkan tugas mereka dan bekerja di bidang lain. Robinson 
sibuk melayani sebuah jemaat militer; Supper, yang juga tinggal di 
Batavia, lebih banyak menghabiskan waktunya melayani komunitas orang 
Belanda daripada menjalankan upaya penginjilan di kalangan penduduk 
asli; James Reily, meninggalkan posnya sebagai seorang misionaris dan 
mengambil pekerjaan lain.

Pada 1816, pemerintahan dikembalikan kepada Belanda dan secara 
bersamaan pelarangan penyebaran agama Kristen kembali diadakan. 
Kebijakan keagamaan Raffles yang liberal menjadi terbatas oleh 
kebijakan otoritas Belanda yang sangat berhati-hati. Hal ini dilakukan 
demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan keagamaan, namun terutama 
untuk menjaga agar tidak timbul guncangan dan hal-hal yang dapat 
memicu perlawanan pada komunitas Islam di Jawa. Satu-satunya 
misionaris yang diizinkan oleh pemerintah Belanda untuk terus bekerja 
adalah Gottlob Bruckner. Hal ini tentu saja tidak disebabkan oleh 
keberhasilannya dalam menyebarkan agama di antara para penduduk Jawa 
di Semarang! Sebaliknya, mereka memberikan izin karena Bruckner adalah 
satu-satunya misionaris yang gaya bekerjanya diam-diam dan tidak 
menonjol.

Bruckner bekerja di Jawa selama 43 tahun, tanpa tercatat seorang pun 
sebagai `buah` dari tugasnya untuk memberitakan Injil. Ia tidak 
membaptis siapa pun. Namun sepanjang hidupnya, dengan stamina fisik 
dan mental yang luar biasa, Bruckner berhasil menerjemahkan Perjanjian 
Baru ke dalam bahasa dan tulisan Jawa. Ia menyelesaikan karyanya 
tersebut dalam waktu yang relatif singkat, kira-kira selama 8 tahun. 
Walaupun ia cukup baik diterima oleh penguasa, `buah` yang terpenting 
dari karyanya, yang dilakukan dengan bersemangat, sangat terhalang. 
Atmosfer politis di seluruh Hindia Belanda mulai menunjukkan gejala 
kekacauan.

Puncak kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah Belanda selama 
periode ini, terutama kepada para misionaris "non-Belanda" adalah 
penyitaan dan pelarangan penyebaran karya monumental Bruckner: 
Perjanjian Baru edisi Bahasa Jawa. Bruckner telah menyelesaikan 
manuskrip tersebut pada 1823. Ia harus menunggu selama 5 tahun sebelum 
ia bisa pergi ke Serampore untuk mencetak teksnya, dan di sana, ia 
menunggu selama 3 tahun. Akhirnya, 3000 kopi berhasil dicetak. Dengan 
sukacita, ia mengambil 2100 kopi untuk Batavia dan memberikannya 
kepada Dutch Bible Society -- ia sendiri hanya menerima 300 kopi. 
Sebelum membagikan Alkitab, direktur Dutch Bible Society merasa perlu 
untuk meminta izin Gubernur Jenderal. Keputusan yang dibuat oleh 
Gubernur Jenderal sangat mengecewakan Bruckner: "Perang baru saja 
berakhir; situasi yang tidak menguntungkan ini akan digunakan oleh 
orang untuk memberontak lagi jika kitab tersebut dibagikan di kalangan 
pribumi!" Terjemahan bersejarah Perjanjian Baru "untuk sementara 
waktu, sampai keadaan memungkinkan", disita oleh pemerintah. 
Sayangnya, kebanyakan dari kitab tersebut dimakan rayap ketika berada 
di gudang. Pada 1848, 17 tahun kemudian, sisa hasil terjemahan 
tersebut dibebaskan dari "penahanan".

Fase pertama kepeloporan misi Kristen di Jawa, dipimpin oleh Baptist 
Missionary Society telah dihalangi dan menemui kegagalan. Bahkan 
Bruckner, orang terakhir pada periode ini, tidak berhasil memenuhi 
harapan rekan-rekannya dari misi Baptis. Tidak ada seorang Jawa pun 
yang memilih untuk mendengar pesannya dan mengikuti jejak imannya. 
Namun, Bruckner telah memulai sebuah fase penting, sebuah fase yang 
diperlukan untuk pembentukan Gereja Kristen untuk orang Jawa: ia telah 
mempersiapkan sebuah manuskrip suci yang akan dibaca oleh orang Jawa 
sebagai fondasi kehidupan kerohanian mereka. Ia telah melaksanakan 
sebuah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun juga. Orang 
Jawa tidak dapat melakukannya, tidak juga orang Kristen dari misi 
Belanda. Bruckner sendirilah yang menyelesaikan tugas ini.

NZG mengirim J. F. C. Gericke ke Jawa pada 1826. Ia merupakan orang 
pertama dari kalangan misi yang memiliki bakat besar dalam linguistik, 
dan ia mendemonstrasikan sebuah profesionalisme yang melampaui 
kemampuan Bruckner. Gericke menggunakan terjemahan Bruckner sebagai 
sumber utamanya, dalam upayanya untuk menerjemahkan Perjanjian Baru ke 
dalam Bahasa Jawa. Periode ketiga ini diakhiri dengan sepucuk surat 
dari Bruckner pada rekan-rekannya di pusat misi Baptis di Serampore, 2 
bulan sebelum kematiannya pada 9 Juli 1857.

Kisah pertama sejarah agama Kristen di Jawa dimulai dengan penuh 
antusiasme dan berakhir dengan kekecewaan. Karya Bruckner, pada paruh 
awal abad ke-19 merupakan representasi pergumulan para pelopor. Paruh 
kedua abad ke-19 merupakan kisah kedua dalam sejarah ini. Banyak badan 
baru muncul dengan berbagai cara, sehingga terdapat peluang yang lebih 
besar untuk berhasil. Para aktor dan layarnya mungkin berganti, namun 
karya terjemahan Bruckner merupakan sebuah pilar dalam sejarah yang 
akan menjadi pendukung utama untuk masa perkembangan agama Kristen di 
Jawa pada periode selanjutnya. (t/Rento)

Diterjemahkan dan diringkas dari:
Judul buku: Mission at the Crossroads
Judul bab : The Spreading of Christianity in Java and Its Encounter 
            with Islam in the 19th Century
Penulis   : Th. Sumartana
Penerbit  : PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994
Halaman   : 10 -- 15


Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Amy G., dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org