Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2013/06

e-JEMMi edisi No. 06 Vol. 16/2013 (5-2-2013)

Misi di Pulau Jawa 1


Februari 2013, Vol.16, No.06
______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Misi di Pulau Jawa 1
No.06, Vol.16, Februari 2013

Shalom,

Sejarah perkembangan kekristenan di Indonesia selalu menarik untuk 
disimak dan dipelajari. Dalam dua edisi pertama bulan ini, kami akan 
mengajak pembaca setia e-JEMMi untuk menyusuri sejarah penyebaran 
agama Kristen di Pulau Jawa, khususnya pada masa penjajahan Belanda 
dan Inggris. Seperti apa kondisi ladang misi yang harus dihadapi para 
misionaris pada saat itu? Dan, sejauh apa pengaruh kebijakan politis 
terhadap perkembangan pelayanan misi? Temukan jawabannya dalam artikel 
yang kami sajikan ini. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net >
< http://misi.sabda.org/ >


             ARTIKEL MISI: PENYEBARAN KEKRISTENAN DI JAWA 
           DAN PERTEMUANNYA DENGAN ISLAM PADA ABAD KE-19 (1)

Pemerintahan Peralihan Inggris di Jawa (1811-1816) yang dipimpin oleh 
Thomas Stamford Raffles, hanya berlangsung singkat. Tetapi, dalam 
waktu yang singkat itu, Raffles mampu membuat beberapa perubahan 
penting dalam peta keagamaan di Pulau Jawa. Sebagai seorang pejabat 
muda di bidang administrasi politik, Raffles dipengaruhi oleh ide-ide 
baru mengenai kebebasan yang pernah mencapai puncaknya pada masa 
Revolusi Perancis, yaitu hak untuk terbebas dari tirani feodal dan 
hierarki gereja. Hak-hak dasar dan kebebasan pribadi, terutama 
kebebasan beragama sesuai keyakinan tiap-tiap pribadi, merupakan 
sebagian dari apa yang dijunjung oleh Raffles.

Meskipun Raffles menjabat sebagai otoritas tertinggi bagi pemerintah 
Inggris di kawasan Semenanjung Melayu, ia menyatakan bahwa sebagai 
seorang pejabat asing, ia tidak ingin membuat perubahan struktural 
yang akan mengganggu `status quo` kehidupan beragama masyarakat Muslim 
di Semenanjung Melayu dan wilayah-wilayah sekitarnya. Ia bahkan 
mencoba bersikap positif terhadap agama Islam dan Nabi Muhammad, yang 
dianggapnya menempati posisi terhormat dalam sejarah dan kehidupan 
masyarakat Timur. Namun, harus dicatat bahwa sentimen ini ia 
ekspresikan sebelum menginjakkan kaki di Pulau Jawa.

Ketika tiba di Jawa, Raffles tampaknya lebih tertarik pada ide 
mengenai kebebasan beragama, terutama karena ia menyadari bahwa 
kondisi di Jawa sama sekali berbeda dengan yang ia hadapi di 
Semenanjung Melayu. Ia pun tidak keberatan dengan para misionaris 
Kristen yang bekerja di Pulau Jawa, sehingga ia tidak menghalangi 
mereka. Sikap ini tidak pernah diperlihatkan oleh para pejabat 
administratif Belanda. Sikapnya yang fleksibel ini didukung oleh 
hubungan dekatnya dengan lembaga-lembaga pelayanan misi di Inggris, 
terutama dengan Baptist Missionary Society. Pemerintahan Raffles tidak 
menggaji maupun mencampuri pembayaran gaji para misionaris, ia juga 
tidak memberikan bonus untuk keberhasilan yang mereka capai. Kehadiran 
para misionaris dari Baptist Missionary Society ini memulai babak baru 
dalam sejarah pelayanan misi di Pulau Jawa.

Kehidupan beragama di Pulau Jawa pada dua abad terakhir, yaitu sejak 
mendaratnya kapal-kapal Belanda di pantai utara sampai masa 
Pemerintahan Peralihan Inggris, dapat digambarkan sebagai berikut: 
kekristenan tidak pernah keluar dari kapal-kapal dagang. Awak kapal 
dagang Belanda yang adalah orang-orang percaya jarang sekali bergaul 
dengan awak kapal lain. Sebaliknya, pemandangan di sepanjang pantai 
utara Pulau Jawa ditandai oleh kehidupan yang dinamis dari para 
saudagar Muslim, yang pada saat bersamaan, dengan penuh semangat 
melakukan tugas mereka sebagai penyebar agama. Kehidupan rohani 
masyarakat Jawa, baik di desa maupun di pusat-pusat kekuasaan politik 
pribumi, diwarnai dengan gaya hidup esoteris. Gaya hidup seperti ini 
merupakan sebuah gabungan dari agama Islam, Hindu, dan Buddha, yang 
memiliki dasar yang sama, misalnya kepercayaan dan penghormatan kepada 
roh-roh nenek moyang.

Seorang penulis menggambarkan bentuk kepercayaan masyarakat Jawa 
sebagai berikut:

  "Di permukaan, kepercayaan orang Jawa adalah Islam. Namun, jauh di 
  dalam hati, mereka adalah penganut animisme. Mereka menyembah roh-
  roh di alam, terutama roh-roh yang mereka lihat dalam tanda-tanda 
  alam, yang memberi mereka tanda-tanda akan keberuntungan dan 
  kesialan. Berdasarkan inilah mereka memberikan sedekah, bunga, dan 
  uang logam pada beberapa tempat tertentu sebagai persembahan, dan 
  mereka juga memercayai berbagai cerita dan penyebutan supernatural 
  untuk menjamin keselamatan mereka. Semua hal ini bertentangan dengan 
  ajaran Islam, yang menentang segala bentuk penyembahan dewa-dewi."

Kepercayaan orang Jawa seperti yang digambarkan itu tetaplah tidak 
tersentuh oleh pengaruh Barat. Otoritas di Batavia dan VOC sangat 
berhati-hati dalam menjaga "kedamaian dan ketertiban", dan sangat 
berhati-hati dalam menjaga keharmonisan kehidupan beragama. Karenanya, 
agama Kristen terbatas pada orang Belanda sendiri dan tidak disebarkan 
pada penduduk asli. Paling jauh, agama Kristen hanya berkembang di 
kalangan pegawai negeri atau di antara prajurit di barak mereka.

Yang menjadi masalah adalah perkembangan agama Kristen di Pulau Jawa 
berbarengan dengan penyebaran kekuasaan Belanda. Agama Kristen 
berkembang bersamaan dengan perkembangan kota-kota yang terhubung 
dengan kegiatan VOC. Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara 
terhubung dalam sebuah mata rantai penting dalam pengapalan berbagai 
komoditas ke Eropa, pusat-pusat pemerintahan dan wilayah-wilayah 
berbenteng pun dibangun di daerah-daerah pedalaman sesuai dengan 
perkembangan kekuatan politik daerah itu. Pada masa-masa berikutnya, 
ketika ekspor tanaman perkebunan mulai mencapai skala besar di 
pedalaman Jawa, fasilitas produksi, transportasi, pabrik-pabrik, dan 
pemukiman untuk para pegawai mulai dibangun. Jalan-jalan utama yang 
menghubungkan suatu kota dengan kota lain pun mulai dibangun.

Dengan munculnya kota-kota besar di seluruh pulau Jawa, muncul juga 
tempat-tempat ibadah untuk orang Kristen, baik kapel maupun gereja. 
Pemerintah Belanda mulai menunjuk pendeta-pendeta untuk melayani 
kebutuhan rohani komunitas Belanda di daerah-daerah itu. Selanjutnya, 
gereja-gereja ini dikenal dengan "Gereja Kristen Hindia Belanda" atau 
"Indische Kerk". Cakupan gereja ini sangatlah terbatas, yaitu hanya 
sebatas orang Belanda. Kebijakan keagamaan semacam ini dipraktikkan di 
Jawa sejak masa VOC, dan pesan tersembunyinya adalah bahwa agama 
Kristen diperuntukkan, pantas, dan terbatas untuk masyarakat Belanda. 
Kekristenan tidak ditawarkan sebagai sebuah pandangan hidup baru yang 
perlu disebarkan kepada penduduk Jawa. Sikap para pendeta "Gereja 
Belanda" di berbagai kota di Jawa, baik di pesisir maupun di pedalaman 
ini akhirnya membentuk daerah-daerah kantong yang dikelilingi oleh 
Islam dan kepercayaan sinkretis kepercayaan Jawa. Situasi ini semakin 
memperkuat prasangka penduduk pribumi bahwa agama Kristen, dalam 
kenyataannya, adalah agama orang Belanda.

Kehidupan rohani orang Kristen Belanda di Jawa juga memiliki andil 
dalam menentukan peningkatan isolasi agama ini pada kantong-kantong 
masyarakat Barat. Di samping fakta bahwa pemerintah tidak mendukung 
atau mendorong penyebaran agama Kristen, para pendeta sebagai pegawai 
negeri yang digaji oleh pemerintah juga sepenuhnya tunduk pada 
keinginan-keinginan pemerintah. Mereka takut dijatuhi hukuman, 
dipindahkan ke tempat terpencil dan sulit dijangkau, atau dipulangkan 
ke Belanda. Berbagai faktor ini membuat kehidupan kerohanian jemaat 
semakin berpuas diri, dan pada akhirnya membuat kehidupan bergereja 
tidak menarik. Di samping faktor-faktor ini, masih terdapat berbagai 
alasan lain yang menyebabkan kegagalan penyebaran agama Kristen. 
Pendeta L.J. van Rhijn, sekretaris NZG, dalam kunjungannya ke Hindia 
Belanda pada tahun 1846, memberikan tiga alasan yang melarang dan 
membatasi penyebaran agama Kristen di antara orang-orang Jawa:

1. Politis. "Injil terlarang untuk orang Jawa karena dapat menimbulkan 
   fanatisme di kalangan komunitas Islam, terutama di antara para 
   pemimpin mereka." Menurut pertimbangan ini (demi menjaga 
   keharmonisan kehidupan beragama di antara orang Jawa), jika 
   penyebaran agama Kristen dipaksakan maka akan menimbulkan bahaya 
   berupa pemberontakan Islam dan konflik tersebut akan menghambat 
   aktivitas Belanda. Alasan tersebut dihubungkan dengan pemberontakan 
   bersenjata yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830), yang 
   sepenuhnya didukung oleh para Kiai (guru agama) yang memiliki 
   kekuasaan besar atas rakyat. Mengingat biaya yang diperlukan sangat 
   besar untuk mengatasi pemberontakan tersebut, maka pemerintah 
   Belanda sangat berhati-hati dalam menangani masalah agama.

2. Sosio-Ekonomi. "Mereka yang sampai saat ini telah memberi kita 
   banyak pertolongan, setia, dan taat, akan merasa bahwa mereka 
   sederajat dengan kita; jika mereka harus menjadi orang Kristen di 
   masa yang akan mendatang, mereka tidak akan lagi bersedia bekerja 
   demi kepentingan kita." Orang Belanda takut jika orang Jawa menjadi 
   Kristen, agama akan membuat orang Jawa sadar akan hak sosial 
   mereka. Karena itu, perbedaan dalam beragama haruslah 
   dipertahankan, sehingga perbedaan dalam kelas, pekerjaan, hubungan 
   kerja, dan hubungan sosial antara penduduk asli dan orang Belanda 
   menjadi jelas.

3. Keagamaan. "Jika pemerintah mengizinkan misionaris Protestan 
   bekerja dengan bebas di Jawa, maka Gereja Katolik Roma akan meminta 
   hak yang sama untuk para misionaris mereka. Hal itu akan 
   menimbulkan kebingungan dan mengarah pada konflik untuk waktu yang 
   lama." Hal ini didasarkan pada konflik yang telah berlangsung lama 
   antara Protestanisme dan Katolikisme yang terjadi di Eropa, 
   terutama di Belanda (Protestanisme menjadi mayoritas di negara 
   tersebut). Karena itu, alih-alih memberikan kesempatan terjadinya 
   konflik antara kedua aliran tersebut, pemerintah membuat kebijakan 
   untuk tidak memberikan izin kepada pelayanan misi mana pun untuk 
   bekerja di Jawa.

Kehadiran pemerintah Inggris membuat halangan-halangan ini 
disingkirkan. Keputusan Raffles menerima para misionaris dari Baptist 
Missionary Society untuk bekerja di Jawa memiliki makna historis. 
Dilihat dari keterbukaan dan izin yang diberikan oleh pemerintah 
Inggris, dapat dikatakan bahwa merekalah yang pertama berada dalam era 
baru penyebaran agama Kristen di Jawa. Dengan kehadiran para 
misionaris dari Gereja Baptis, Jawa diperlakukan sebagai sebuah ladang 
terbuka, yaitu sasaran penyebaran agama Kristen. (t/Rento)

Diterjemahkan dan di sunting dari:
Judul buku   : Mission at the Crossroads
Judul bab    : The Spreading of Christianity in Java and Its Encounter 
               with Islam in the 19th Century
Judul artikel: The Propagation of Christian Religion in the First Half 
               of the 19th Century in Java
Penulis      : Th. Sumartana
Penerbit     : PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994
Halaman      : 5 -- 8


Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Amy G., dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org