Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2012/38

e-JEMMi edisi No. 38 Vol. 15/2012 (18-9-2012)

Paul Freed dan Trans World Radio

______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Paul Freed dan Trans World Radio
No.38, Vol.15, September 2012

SEKILAS ISI
TOKOH MISI: PAUL FREED DAN TRANS WORLD RADIO

Shalom,

Memiliki visi besar untuk melayani di ladang misi sering kali
memerlukan kesadaran akan tantangan besar yang mungkin dihadapi.
Kenyataannya, banyak kesuksesan merupakan hasil dari kemampuan untuk
mengatasi tantangan. Di mana pun, mengawali pelayanan tidak pernah
mudah. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dihadapi. Sajian kami
pada edisi kali ini adalah tentang kisah perjalanan pelayanan Paul
Freed dalam membangun visinya. Semoga kisah ini memperluas pandangan
kita pada ladang misi dan memberikan dorongan untuk terus maju dalam
pelayanan kita bersama. Tuhan Yesus memberkati.

Redaksi Tamu e-JEMMi,
Berlian Sri Marmadi
< http://misi.sabda.org/ >

               TOKOH MISI: PAUL FREED DAN TRANS WORLD RADIO

Dari seluruh organisasi penyiaran misi yang ada, Trans World Radio
(TWR) adalah satu-satunya organisasi terbesar dan yang memiliki
perbedaan secara geografis. Didirikan pada tahun 1954, hari ini TWR
mampu menjangkau 80 persen populasi dunia. Dari Monte carlo, Bonaire,
Swaziland, Siprus, Sri Lanka, dan Guam, TWR memancarkan
program-program radio Kristen melalui pemancar raksasanya dalam 80
bahasa dan dialek yang berbeda. Bagaimana penginjilan semacam ini
dibangun dan dikembangkan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini adalah
kisah menarik tentang cobaan yang dialami dan kemenangan yang dicapai
oleh tim, yang terdiri dari seorang ayah dan anaknya, Ralph dan Paul
Freed.

Paul Freed, pendiri TWR, tumbuh di Timur Tengah sebagai seorang anak
misionaris. Ayahnya, Ralph, adalah seorang manajer yang kariernya
sedang menanjak dalam perusahaannya ketika ia mendengar panggilan
Tuhan ke ladang misi; dan setelah belajar di Nyack Missionary Training
Institute, ia dan keluarganya dikirim ke Palestina untuk melayani di
bawah naungan Christian and Missionary Alliance. Masa kanak-kanak Paul
di ladang misi adalah masa-masa yang menyenangkan, walaupun sama
seperti anak-anak misionaris lain, ia juga mengalami kepedihan akibat
berpisah dari orang tuanya. Pada usia 11 tahun, Paul dikirim untuk
melanjutkan pendidikannya. Hal ini berarti ia harus tinggal bersama
dua misionaris wanita yang masih lajang, yang sama sekali tidak
memenuhi syarat sekaligus tidak siap untuk menangani seorang bocah
pemberontak, yang selalu rindu pulang ke rumahnya, dan juga memiliki
perasaan tidak suka terhadap situasi ini sama seperti Paul. Setelah
beberapa waktu, Paul kembali tinggal bersama orang tuanya, tetapi pada
tahun berikutnya, Paul dikirim ke luar lagi -- kali ini untuk tinggal
bersama sebuah keluarga di rumah misi di luar Yerusalem, yang menjadi
tempat pendidikan bagi anak-anak misionaris lain. Sekali lagi,
perasaan rindu terhadap rumah sangat menekannya. Pada usia 13 tahun,
Paul sangat ingin pulang sehingga suatu malam setelah semua orang
tertidur, ia menulis surat yang menjelaskan apa yang dilakukannya.
Kemudian, ia menyelinap dari rumah itu menuju rumahnya. Walaupun Paul
dimarahi karena apa yang dilakukannya itu, tetapi ia diizinkan untuk
tinggal di rumah orang tuanya dengan syarat ia harus bekerja keras
dalam pelajarannya. Hal itu merupakan dorongan yang cukup bagi Paul,
sehingga selama tahun berikutnya ia berhasil menyelesaikan tahun
ajaran pertamanya tanpa bantuan siapa pun, serta siap untuk menjalani
kelas selanjutnya di Wheaton Academy pada tahun berikutnya, ketika
orang tuanya kembali ke Amerika untuk menjalani cuti.

Dua tahun masa sekolah menengah atas Paul dihabiskan di Beirut,
Lebanon. Setelah itu, ia kembali ke Amerika untuk belajar di Wheaton
College dan lulus dari sana dengan mengambil Antropologi sebagai
pelajaran utamanya. Setelah lulus dari Wheaton College, Paul
meneruskan ke Nyack Missionary College. Di sana, ia diajar oleh para
pengkhotbah hebat seperti Clarence Jones, pendiri HCJB di Quito, dan
Ekuador.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Nyack, Paul melayani bersama
Youth for Christ di bawah bimbingan Torrey Johnson. Melalui organisasi
inilah, ketika ia menghadiri konferensi YFC di Eropa dan mengunjungi
Spanyol, ia merasa terbeban untuk menjadi misionaris di negara itu.
Spanyol benar-benar dinomorduakan oleh pelayanan misi penginjilan dan
tantangan untuk meluruskan apa yang salah di negara itu sangatlah
besar. Walaupun Paul tidak memiliki pengalaman dalam bidang penyiaran
radio, tetapi media itu adalah satu-satunya hal yang menjadi harapan
untuk menjangkau Spanyol dengan Injil. Sekembalinya dari Eropa, Paul
mengundurkan diri dari pelayanannya di YFC dan mulai berkeliling
sebagai penginjil dan mengabarkan tentang kebutuhan Spanyol. Tetapi,
kebanyakan gereja yang dikunjunginya tidak memberikan tanggapan
terhadap hal itu.

Pada tahun 1951, Paul dan istrinya, Betty Jane, dengan ditemani oleh
beberapa rekan, mengunjungi Spanyol guna mencari tahu kemungkinan
untuk membangun sebuah stasiun radio. Meskipun Paul tidak memikirkan
tempat spesifik untuk membangun stasiun radio itu selain di Spanyol,
namun lama-kelamaan, Tangier di Afrika Utara, yang berjarak 33,8 Km
dari Spanyol dan berseberangan dengan Selat Gibraltar, adalah tempat
yang paling sempurna untuk membangun stasiun radio. Di tempat itulah
mereka membeli, secara patungan, sebuah gedung bekas sekolah misi yang
akan menjadi tempat ideal untuk sebuah stasiun radio.

Keluarga Freeds kembali ke Amerika dengan gembira karena pelayanan
baru mereka itu. Mereka bertekad untuk membuka mata orang-orang
Kristen mengenai kebutuhan tersebut. Untuk melakukan hal itu mereka
membuat sebuah film berjudul "Banderilla", yang secara dramatis
menunjukkan orang-orang Spanyol sebagaimana adanya, tanpa saksi-saksi
penginjilan yang efektif. Kemudian, tanpa pemasukan maupun sokongan
dana, Paul, Betty Jane, dan kedua anak mereka yang masih kecil memulai
perjalanan yang melelahkan sejauh 14.300 Km melintasi Amerika Serikat
dan Kanada, demi membangun fondasi pelayanan mereka. Walaupun
perjalanan itu memberikan banyak pengalaman berharga, tetapi jadwal
yang padat dan kritik-kritik yang mereka hadapi benar-benar
menghabiskan energi. Kecaman itu datang dari berbagai sisi. Bahkan,
pelayanan yang mereka tawarkan tidak begitu jelas dan tidak memiliki
hubungan dengan lembaga misi resmi mana pun. Hal tersebut sangat
mengganggu beberapa orang, yang lainnya mencemooh kekurangtahuan Paul
mengenai dunia penyiaran radio, dan beberapa lainnya percaya bahwa
sudah cukup banyak stasiun radio Kristen dan tidak perlu ada tambahan
lagi.

Meskipun menghadapi berbagai kritik dan kata-kata yang melemahkan
semangatnya, Paul tetap melanjutkan rencana. Pada bulan Februari 1952,
TWR pun secara resmi didirikan. Tahun berikutnya, Paul pergi ke
Tangier untuk membangun stasiun radio itu. Pembangunannya tidak
didanai oleh para pejuang doa yang bersemangat, tetapi oleh hasil
penjualan rumah dan mobil pribadinya. Di Tangier, Paul membuat
kesepakatan dengan lembaga penyiaran lain untuk menyewa pemancar,
antena, dan menyiarkan programnya di bawah izin lembaga penyiaran itu.
Dengan semuanya itu, kini Paul hanya tinggal mengambil langkah
selanjutnya, yaitu mengamankan posisi untuk direktur stasiun radio
tersebut. Tidak ada orang yang cocok untuk posisi itu selain ayahnya
sendiri, seorang misionaris veteran, yang pada saat itu mengajar di
Western Canadian Bible Institute. Tetapi ketika ia menelepon ayahnya,
ayahnya mengatakan bahwa 3 hari sebelumnya, ia baru saja menerima
tawaran jabatan sebagai rektor di sekolah Alkitab tersebut. Paul
benar-benar hancur. Walaupun demikian, beberapa hari kemudian, Paul
menerima telepon dari ayahnya bahwa ia menerima tantangan pelayanan
itu.

Pada bulan Januari 1954, Ralph dan Mildred Freed berlayar menuju
Tangier untuk memulai pelayanan mereka sebagai misionaris untuk yang
kedua kalinya. Akan tetapi, kali ini mereka tidak didukung secara
finansial oleh Christian and Missionary Alliance, melainkan benar-
benar berjalan dalam iman kepada Allah melalui dana yang disediakan
oleh kemampuan penggalangan dana putra mereka. Dengan menggunakan
pemancar bekas masa perang berdaya 250 watt, Ralph berhasil membuat
TWR mengudara; tetapi di Amerika, hanya terjadi sedikit kemajuan. Paul
menumpang mobil-mobil di jalan untuk dapat berkeliling di negara itu.
Ia berbicara di mana pun ia mendapat pendengar, tetapi donasi yang
didapatnya sangat sedikit. Tagihan-tagihan yang tak terbayar menumpuk
dan menciptakan situasi yang tidak dapat ditolerir lagi oleh Ralph dan
Mildred. "Tekanan itu menjadi sangat kritis," menurut Paul, "sehingga
memaksa ayah menanggung semuanya sendiri. Pada suatu pagi saya
menerima telepon di Greensboro, hanya 3 bulan setelah ayah dan ibu
berlayar ke Tangier. `Paul, jika kita tidak mendapat dukungan yang
lebih besar, bantuan yang lebih dalam minggu ini, maka kami memutuskan
untuk meninggalkan penyiaran dan kembali ke Amerika.`"

Hal itu merupakan berita yang sangat menyesakkan. Jika orang tuanya
meninggalkan pelayanan ini sekarang, maka Paul harus membatalkan
seluruh operasi ini. Tanpa kehadiran mereka di saat-saat yang krusial
ini, maka pelayanan ini akan sangat sulit untuk diteruskan. Tetapi di
hari Sabtu, akhir minggu di mana ayahnya menelepon itu, Paul mendapat
sebuah kunjungan dari seorang pendeta yang mengenal ayahnya, dan
selama kunjungan tersebut, pendeta itu mengemukakan bahwa gereja yang
dipimpinnya berencana untuk mengambil bagian dalam mendukung pelayanan
mereka. Hal itu merupakan kabar yang melegakan, sehingga dapat
mencegah pembubaran TWR yang masih sangat muda.

Jaminan akan dukungan itu menjadi titik balik bagi TWR, dana yang
masuk semakin besar, dan orang-orang maupun gereja-gereja di Amerika
dan Eropa mulai menunjukkan ketertarikan mereka. Pada tahun 1959,
setelah mengudara selama 5 tahun, jumlah pegawai di Tangier berkembang
dari 2 menjadi 25 orang, dan "The Voice of Tangier" dapat didengar di
seluruh Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, hingga di balik Tirai Besi.
Namun, muncullah krisis baru. Maroko menyatakan kemerdekaannya dan
dalam perubahan politik itu, pemerintah mengumumkan bahwa seluruh
stasiun radio di negara tersebut akan diambil alih oleh pemerintah
pada akhir tahun 1959.

Walaupun berita itu benar-benar buruk, tetapi peraturan itu tidak
membatasi keluarga Freed tanpa pilihan sama sekali. Pada tahun 1957,
mereka mengunjungi Monako untuk mencari kemungkinan memindahkan
stasiun mereka ke Monte Carlo. Meskipun mereka harus mengeluarkan
biaya lebih mahal, tetapi ada banyak keuntungan yang didapat apabila
berlokasi di Benua Eropa, sekaligus kesempatan untuk mengembangkan
daya siar mereka. Oleh karena itu, pada musim semi 1959, Paul dan
ayahnya bernegosiasi dengan pejabat berwenang di Monte Carlo, dan pada
tahun 1960, setelah tidak mengudara selama 9 bulan, sekali lagi TWR
kembali mengudara -- kali ini dengan daya sebesar 10.000 watt.

Meski demikian, masa transisi dari Tangier ke Monte Carlo tidak
semulus yang diharapkan. Tuntutan finansial dari kesepakatan yang
baru, benar-benar melelahkan pikiran keluarga Freed yang hanya
mengalami kenaikan pemasukan berkala mereka sebesar .000 per tahun,
tetapi fasilitas yang baru dan pemancar membutuhkan dana yang sangat
besar, termasuk uang muka sebesar $ 83.000 yang harus dibayar sebanyak
enam kali pada tahun pertama -- sebuah hal yang menurut Paul,
membutuhkan tidak kurang dari enam mukjizat; dan itu benar-benar
terjadi.

Cicilan pertama, yang dibutuhkan dalam waktu yang sangat singkat,
secara tak terduga ditanggung oleh sekelompok pengusaha Norwegia.
Cicilan kedua, menurut Paul "Terlihat lebih mustahil daripada
pembayaran yang pertama." Pada hari tenggat waktu pembayaran itu tiba,
uang itu masih kurang .000. Pagi itu, cek sebesar .000 dikirimkan
ke kantor. Paul pun pergi ke bank, dengan kekurangan sebesar .000,
menyerah dengan pikiran bahwa akan menerima denda yang berat karena
terlambat membayar cicilan. Sebelum tiba di bank, Paul bertemu dengan
salah seorang pegawainya yang baru saja mengambil paket surat yang
tidak terduga dari kantor pos. Dalam surat itu terdapat uang sebesar
.000. Dengan kekurangan sebesar .000, Paul memasuki kantor
direktur bank itu; dan selama duduk di kantor itu, ia berpikir
bagaimana cara membayar cicilan itu, sebuah telegram masuk mengirimkan
dana sebesar .000 ke dalam rekening TWR.

Cicilan ketiga merupakan kisah mukjizat yang lain lagi. Sekali lagi,
pada hari habisnya tenggat waktu, kali ini hanya kekurangan .500,
tetapi walaupun kotak surat sudah diperiksa, namun tidak terdapat uang
lagi. Sebagian besar uang itu disumbangkan oleh orang-orang percaya di
Jerman, sehingga kekurangan itu tertutup ketika pada pemantauan nilai
mata uang terdapat lonjakan harga di mata uang Jerman, tepat .500
lebih tinggi daripada nilai di hari sebelumnya. Tenggat waktu untuk
tiga cicilan berikutnya juga merupakan masa-masa yang dipenuhi oleh
ketegangan, tetapi setiap pembayaran itu bisa dilunasi tanpa terkena
denda.

Pada bulan Oktober 1960, 13 bulan setelah penandatanganan kontrak
dengan para pihak berwenang di Monako, TWR di Monako pun akhirnya
mengudara. Selama tahun pertama saja, sekitar 18.000 surat datang dari
pendengar dan kebanyakan dari mereka meminta bimbingan kerohanian,
sementara yang lainnya mengirimkan sumbangan dana, sehingga pada tahun
1965 setengah dari seluruh dukungan dana untuk TWR datang dari Eropa.

Mengudara di Eropa dan ke seluruh daerah Mediterania membutuhkan
program-program radio sebanyak 20 bahasa yang berbeda-beda. Hal itu
bukan berarti bahwa TWR memiliki staf yang berkemampuan bahasa
sebanyak itu. Untuk membuat program radio yang bervariasi, TWR
memproduksi program radio untuk negara-negara yang dapat dijangkau
oleh siaran mereka, sehingga banyak pemimpin Kristen setempat yang
dapat mengabarkan Injil kepada kaum mereka sendiri.

Untuk dapat memproduksi program-program semacam itu secara efektif,
direktur-direktur yang kompeten sangat dibutuhkan di negara-negara
tersebut, dan TWR sungguh beruntung karena dapat bertemu dengan
seorang pria seperti Horst Marquardt, yang menjabat sebagai direktur
TWR Jerman. Setelah Perang Dunia II, Horst berada di Jerman Timur yang
dikuasai oleh Soviet. Saat itu, ia adalah seorang mahasiswa yang
keranjingan Marxisme. Ia bergabung dengan Partai Komunis dan menjadi
staf East Berlin Radio Station, yang menjadi tempatnya untuk
mengembangkan program propaganda Komunis dan program untuk pemuda.
Setelah beberapa waktu, ia menjadi begitu terobsesi dengan Komunisme
sekaligus mulai mempelajari Alkitab, sehingga kemudian bertobat. Pada
tahun 1960, setelah berkenalan dengan Ralph Freed, ia bergabung dengan
TWR dan menggarap pelayanan di Jerman.

Staf-staf yang berdedikasi dan berbakat, mukjizat-mukjizat finansial,
dan ratusan surat membanjiri kantor pusat TWR setiap bulan. Hal itu
menunjukkan kesuksesan Paul Freed dan stasiun radio yang ia
perjuangkan dengan sekuat tenaga. Tetapi, ketegangan mental dan fisik
yang disebabkan oleh pelayanan itu memuncak, sehingga pada tahun 1961,
ketika berusia 61 tahun, Paul terkena serangan jantung. Selama 1 bulan
ia terbaring di rumah sakit, namun di saat seperti itu pun ia masih
merencanakan penjangkauan yang lebih luas dan lebih efektif lagi
dengan TWR.

Pada tahun 1962, setelah beberapa bulan beristirahat, Paul berkunjung
ke Puerto Rico untuk mencari informasi mengenai kemungkinan mendirikan
stasiun radio di Karibia. Para ahli di Eropa telah memberikan saran
kepada Paul bahwa jika TWR ingin menjangkau daerah yang sudah
ditargetkan dengan lebih efektif, maka akan dibutuhkan sebuah stasiun
pendukung dan itu akan lebih baik jika dibangun di Karibia. Di Puerto
Rico, Paul menemukan bahwa peraturan pemerintah membatasi penyiaran
radio hanya ke dalam dua frekuensi secara bersamaan -- sebuah
peraturan yang bagi radio internasional seperti "perlombaan lintas
alam dengan tangan dan kaki yang terikat".

Setelah kunjungannya ke Puerto Rico, Paul menghubungi pejabat Belanda
berkaitan dengan kemungkinan untuk membangun sebuah stasiun radio di
Antilles, Belanda. Pejabat itu sangat antusias terhadap proyek itu,
sehingga Paul kembali mengunjungi Karibia, dan dua minggu setelah
kedatangannya di sana, ia mendapat izin untuk membangun sebuah stasiun
radio berkekuatan 500.000 watt.

Bonaire, sebuah pulau karang seluas 145,6 Km kubik dipilih sebagai
tempat untuk stasiun yang baru. Pulau itu adalah tempat yang tepat,
menurut Paul. Bonaire adalah sebuah pulau garam yang dikelilingi oleh
air garam, yang menyediakan konduktivitas tak terbayangkan. Sebab,
garam basah adalah konduktor terbaik setelah besi. Kelebihan lain yang
didapat karena berlokasi di Bonaire adalah penerimaan pejabat
pemerintah yang memberikan TWR dua pulau, dan setuju untuk meratakan
jalan, membersihkannya, dan memasang instalasi telepon secara gratis.
Pada tahun 1964, pembangunan itu selesai dan TWR mulai mengudara dari
bagian bumi sebelah barat.

Pada tahun-tahun ketika TWR mengudara dari Bonaire, TWR membangun 4
stasiun lagi di beberapa tempat di dunia dan pekerja misinya meningkat
menjadi lebih dari 400.000 orang. Keterbebanan Paul yang pertama-tama
untuk menjangkau Spanyol dengan Injil telah meluas menjadi beban untuk
menjangkau seluruh dunia. (t/Yudo)

Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: From Jerusalem To Irian Jaya
Judul asli artikel: Paul Freed and Trans World Radio
Penulis: Ruth A. Tucker
Penerbit: Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan
Halaman: 381 -- 386

"HE MAKES ALL THINGS BEAUTIFUL IN HIS TIME "

Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan
         Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org