Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2012/37

e-JEMMi edisi No. 37 Vol. 15/2012 (11-9-2012)

Kontekstualisasi 2

______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Kontekstualisasi 2
No.37, Vol.15, September 2012

SEKILAS ISI
ARTIKEL MISI 1: KONTEKSTUALISASI ALA PAULUS (LUKAS 4:18-19)
ARTIKEL MISI 2: DENGAN WANITA DI TIMUR
DOA BAGI MISI DUNIA: INDIA
DOA BAGI INDONESIA: UTUSAN INJIL DI SUMATERA

Shalom,

Sebagai kesinambungan dari edisi sebelumnya, edisi kali ini masih
berbicara tentang "penyesuaian" yang dibutuhkan dalam penginjilan.
Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan bahwa kontekstualisasi dalam
pelayanan sangat dibutuhkan. Anda tentu saja pernah menghadapi
berbagai situasi dalam pelayanan yang membutuhkan kontekstualisasi.
Mungkin dengan menggali dan mempelajari latar belakang Perjanjian
Baru, dalam artikel berikut ini, dapat juga memberikan beberapa contoh
dan alasan perlunya kontekstualisasi pelayanan. Beberapa pemikiran dan
fakta di sini diharapkan menjadi tambahan pertimbangan dalam melihat
dan menerapkan kontekstualisasi pelayanan. Selamat membaca.

Redaksi Tamu e-JEMMi,
Berlian Sri Marmadi
< http://misi.sabda.org/ >

    ARTIKEL MISI 1: KONTEKSTUALISASI ALA PAULUS (LUKAS 4:18-19)

Naskah Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani karena
bahasa ini menjadi bahasa yang paling luas digunakan di wilayah
Kekaisaran Romawi pada zaman itu, meskipun Perjanjian Baru Yunani
tersebut banyak memelihara kata bahasa Aram -- yang saat itu juga bisa
disebut bahasa Ibrani -- sebab dianggap salah satu dialek tutur saja
oleh masyarakat Yahudi di Galilea. Contoh kata-kata Aram yang
dipelihara antara lain: "Talita Kum" (Markus 5:41), "Gabbatta"
(Yohanes 19:13), dan "Maranatha" (1 Korintus 16:23). Salah satu bukti
bahwa Yesus membaca targum berbahasa Aram, di mana kata `Alaha` (yang
seakar dengan bentuk Ibrani: Eloah, dan Arab: Allah) adalah ungkapan
Yesus dalam Markus 15:33; Elohi, Elohi, L`mah Sh`vaktani. Sebab teks
dalam Mazmur 22:2 bahasa Ibraninya: Eli, Eli, Lamah`azvatani (karena
dalam pengalihaksaraan Yunani Elohi dan bukan Elohim. Tidak ada dialek
bahasa Ibrani dari orang-orang Yahudi dari dulu hingga sekarang, baik
dialek sefardin maupun Azkernazim yang membaca Elohim menjadi Eloim).
Oleh sebab itu, bila Perjanjian Baru yang aslinya ditulis dalam bahasa
Yunani namun rasul-rasul sendiri tidak mempertahankan nama Yahweh,
mengapa beberapa orang mati-matian mempertahankannya? Rasul-rasul yang
menulis Perjanjian Baru saja menerjemahkannya dengan kata "Kyrios"
(Tuhan). Ambillah satu contoh ayat, misalnya Ulangan 6:4, "Shema`
Yiasra`el, Yahweh Elohenu yahweh Ehad". Dalam Markus 12:29, nama
Yahweh diterjemahkan dengan Kyrios (Tuhan) mengikuti terjemahan
Septuaginta: `Akoue, Israel, Kurios ho theos hermin, kurios eis esti"
(Dengarlah, wahai Israel, Kurios (Tuhan) itu Theos/Allah kita,
Kurios/Tuhan itu esa). Jadi sekali lagi, Markus sang penulis Injil pun
tidak mempertahankan nama Yahweh. Lalu, apakah ada yang berani
mengatakan bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru salah?

Dalam bahasa Ibrani, "nama" tidak bisa dipahami secara harfiah seperti
nama-nama: Suharto, Suradi, Baidi, dan sebagainya. Dalam hal ini, kita
perlu membedakan antara "nama" (yang berasal dari bahasa manusia yang
dibatasi konteks ruang dan waktu) dengan "Dia yang di Nama-kan" (yang
absolut, tidak terhingga). "Nama" dalam teologi Yahudi lebih menunjuk
pada "Kuasa di balik Dia yang di-Nama-kan. Karena itu, orang-orang
Yahudi hanya mempertahankan tetagramaton (keempat huruf suci: yhwh)
tetapi tidak membacanya secara lisan, melainkan sudah lazim dibaca
dengan: Adonai (Tuhan, Tuhanku) atau Ha-Shem (Sang Nama).

Kesimpulannya, apabila kita menolak usulan para "penentang Allah" itu,
sebenarnya kita bukan sekadar menimbang manfaat atau mudlaratnya saja.
Namun, manfaatnya jelas tidak ada sama sekali dan mudlaratnya pun
jelas -- bukan hanya membingungkan umat Kristen, melainkan juga
membuka "front permusuhan" dengan "Saudara Sepupu". Tetapi yang lebih
penting lagi, tidak ada gunanya berdialog dengan orang-orang yang
memang tidak memenuhi standar berpikir ilmiah itu. (Yudas 1:10)

Yesus Kristus telah memberikan kepada Paulus sebuah resep yang manjur
untuk mengatasi berbagai persoalan komunikasi antarbudaya, seperti
yang dialaminya di Atena. Melalui penglihatan yang begitu meyakinkan,
Paulus dipenuhi dengan banyak pengertian baru dan cemerlang, sehingga
ia menjadi buta untuk sementara waktu. Pada saat itu Yesus berkata,
"Aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata mereka,
supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang." (Kisah Para
Rasul 26:17-18)

Jalan pemikiran Yesus sungguh sempurna. Agar bisa berbalik dari
kegelapan, mata setiap orang harus dibuka terlebih dulu sehingga
mereka dapat melihat perbedaan antara gelap dan terang. Apa yang kita
perlukan untuk membuka mata seseorang?

Sebuah Pembuka Mata!

Tetapi, di manakah Paulus yang dilahirkan sebagai orang Yahudi dan
dilahirkan kembali sebagai orang Kristen, dapat menemukan pembuka mata
supaya kebenaran mengenai Allah Yang Mahatinggi dapat dilihat oleh
Kota Atena yang penuh dengan patung-patung berhala itu? Bagaimana ia
dapat mengharapkan bahwa dalam sistem agama yang secara mutlak terikat
pada politeisme itu akan ada pengakuan bahwa monoteisme lebih baik?

Namun, ketika Paulus "berjalan-jalan di kota dan melihat-lihat" (Kisah
Para Rasul 17:23), dijumpainya di tengah-tengah "sistem" itu sesuatu
yang "tidak termasuk" di dalamnya -- sebuah altar yang tidak
berhubungan dengan sebuah patung berhala! Sebuah altar dengan tulisan
aneh: "Kepada Allah yang tidak dikenal". Sebagaimana Abraham tidak
menganggap Melkisedek sama dengan raja Sodom, begitu juga Paulus
melihat perbedaan antara altar itu dan patung-patung berhala. Altar
itu menjadi sekutunya -- sebuah kunci komunikasi yang mungkin dapat
membuka gembok-gembok pada hati dan pikiran ahli-ahli pikir Stoa dan
Epikuros itu. Ketika mereka mempersilakannya mengemukakan semua
pandangannya secara resmi dalam lingkungan yang lebih cocok untuk
diskusi intelektual daripada di pasar kota, Paulus sudah siap.

Lalu Paulus dibawa menghadap sidang "Aeropagus", yaitu Perhimpunan
Bukit Mars yang terdiri atas sekelompok orang Atena terkemuka dan yang
bersidang di Bukit Mars untuk membicarakan perkara-perkara sejarah,
filsafat, dan agama. Di atas Bukit Mars pula, hampir 6 abad yang lalu,
Epimenides telah bergumul dengan persoalan wabah di Atena.

Paulus bisa saja memulai pidatonya di Bukit Mars itu dengan berbicara
tanpa tedeng aling-aling. Dia bisa saja berkata, "Hai, orang-orang
Atena, dengan segala filsafatmu yang muluk-muluk itu; kamu tetap
menyembah berhala yang jahat. Bertobatlah, kalau tidak kamu akan
binasa!" Dan, setiap perkataan itu boleh jadi benar!

Selanjutnya, ia bisa juga berusaha membuat "mereka berbalik dari
kegelapan kepada terang", menurut perintah Yesus. Tetapi, itu sama
seperti seorang pemukul bola dalam permainan kasti, yang setelah
memukul bola langsung berlari ke patok kedua. Pemukul bola harus
menyentuh patok pertama terlebih dulu! Itulah sebabnya, Yesus
menambahkan perintah supaya "membuka mata mereka" sebagai prasyarat
untuk membuat orang-orang berbalik "dari kegelapan kepada terang".

Paulus "berlari ke patok pertama" dengan kata-kata ini, "Hai kamu
orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat
beribadah kepada dewa-dewa (ini merupakan penguasaan diri yang luar
biasa, mengingat betapa bencinya Paulus kepada penyembah berhala).
Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat,
barang-barang pujaanmu (orang lain dengan latar belakang Paulus
mungkin lebih suka menyebutnya "berhala-berhala yang keji"), aku
menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: KEPADA ALLAH YANG TIDAK
DIKENAL."

Kemudian, Paulus menyuarakan sebuah pernyataan yang telah menunggu
selama 6 abad untuk diucapkan, "Apa yang kamu sembah tanpa
mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu." (Kisah Para Rasul
17:22-23) 
Apakah Allah yang diberitakan Paulus itu benar-benar dewa
asing seperti yang diduga oleh para ahli pikir itu? Sama sekali bukan!
Menurut jalan pikiran Paulus, Yahweh, Allah Yahudi-Kristen itu, telah
didahului oleh altar Epimenides. Sebab itu, Dia adalah Allah yang
sudah ikut campur dalam sejarah Atena. Pastilah nama-Nya berhak
diberitakan di situ!

Tetapi, sungguhkah Paulus memahami latar belakang sejarah altar itu
dan konsep tentang Allah yang tak dikenal? Ada bukti bahwa ia
memahaminya! Sebab Epimenides, selain memunyai kemampuan untuk memberi
keterangan mengenai persoalan yang suram mengenai hubungan-hubungan
manusia/dewa adalah juga seorang penulis sajak!

Selanjutnya, dalam pidatonya di Bukit Mars itu Paulus menyatakan bahwa
Allah telah "menjadikan semua bangsa dan umat manusia ... supaya
mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan dia,
walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing." (Kisah Para
Rasul:17:26-27) Kata-kata itu boleh jadi merupakan suatu referensi tak
langsung kepada Epimenides sebagai contoh penyembah berhala yang
"menjamah dan menemukan" Allah, meskipun Allah itu tak diketahui
nama-Nya, tetapi pada kenyataannya Ia tidak jauh!

Barangkali, anggota-anggota Perhimpunan Bukit Mars itu juga mengenal
cerita tentang Epimenides dari tulisan Plato, Aristoteles, dan
lain-lainnya. Tentunya mereka mendengarkan dengan kagum ketika Paulus
memulai pidatonya di atas dasar antarbudaya yang berhubungan dengan
pengertian itu. Tetapi, dapatkah rasul Kristen ini -- yang dididik
oleh Gamaliel, sang sarjana Yahudi itu -- tetap mendapat perhatian
orang-orang yang telah disuapi dengan jalan pikiran plato dan
Aristoteles itu -- cukup lama untuk membuat mereka mengerti Kabar
Baik?

Setelah kata-kata pembukaannya yang memesona itu, maka keberhasilan
Paulus berkaitan dengan bagian terpenting dari pidatonya akan
bergantung pada satu hal. Sebutlah hal itu adalah "logika tanpa
lubang-lubang". Selama setiap pernyataan Paulus secara logis mengikuti
pernyataan-pernyataan sebelumnya, maka para ahli pikir atau filsuf itu
akan tetap mendengarkannya. Tetapi, jika ada lubang-lubang yang tak
diisinya, maka para ahli pikir itu akan langsung memotong
pembicaraannya. Itu sudah menjadi peraturan dalam pendidikan filsafat
yang mereka terima -- menjadi disiplin yang mereka bebankan pada
dirinya sendiri, dan yang mereka tuntut dari setiap orang asing yang
mengaku memunyai masalah yang pantas mendapat perhatian mereka.

Diambil dari:
Judul majalah: Bahana, No.05/Th.XI/Vol.115 - November 2000
Penulis: Don Richardson
Penerbit: ANDI Yogyakarta
Halaman: 16 -- 17

                 ARTIKEL MISI 2: DENGAN WANITA DI TIMUR

Selama mengajar sebagai seorang guru selama 13 tahun di sebuah negara
Arab, saya menyadari pola pikir kultural dan tradisi-tradisi
masyarakat melalui siswa-siswa saya dan keluarganya. Mereka,
sebaliknya, mengamati saya dengan hati-hati dan menanyakan kepercayaan
saya dan praktik-praktiknya. Saya segera sadar bahwa membagikan Kabar
Baik kepada mereka melibatkan seluruh hidup saya: kata-kata, tindakan,
dan pikiran saya.

Kebanyakan wanita yang saya temui di dunia Arab memiliki rasa ingin
tahu. Karena saya sangat tertarik untuk mengetahui kehidupan mereka,
maka hanya dibutuhkan satu menit sebelum kami benar-benar terlibat
dalam serangkaian tanya jawab. Mereka sangat suka membicarakan hal-hal
ruwet tentang hubungan keluarga. Jadi, saya harus benar-benar memberi
perhatian pada nama-nama, jumlah, ataupun istilah-istilah kekeluargaan
(seorang bibi mungkin juga menjadi saudara perempuan mertua!).
Selanjutnya, mereka akan menanyakan tentang keluarga saya.

Kehidupan saya yang membujang, meski sudah berusia setengah abad,
sangat membuat mereka heran. Saya menggunakan hal ini sebagai satu
pintu masuk untuk berbicara tentang Allah yang memberikan keamanan dan
perlindungan. Dia mengatur dan memimpin dalam mengambil keputusan
mengenai pernikahan dan pekerjaan. Saya juga yakin bahwa tetap
membujang dalam sebuah masyarakat yang memandang wanita sebagai objek
pemenuhan hubungan seksual, merupakan satu cara untuk mewujudkan nilai
atau harga dirinya sebagai pribadi yang diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah. Dari perspektif berbeda, rekan-rekan yang sudah menikah
ditambahkan pada gambaran ini sebagai nilai pribadi. Hubungan suami
istri yang saling tunduk, saling menghargai, dan saling mengasihi
mengungkapkan kebenaran yang sangat dalam tentang pria dan wanita dan
Allah.

Salah satu pertanyaan yang mereka ajukan mengenai gaya hidup saya
berkaitan dengan doa. Jawaban saya untuk pertanyaan "Apakah Anda
sembahyang?" adalah membandingkan penyucian tubuh mereka secara
jasmaniah dengan penyucian batiniah yang diberikan Allah melalui darah
pengorbanan-Nya. Kadang-kadang, saya menggunakan pengetahuan mereka
mengenai seekor domba yang disediakan untuk menggantikan putra
Abraham. Biasanya, saya akan membicarakan tentang ketulusan Allah,
hati yang suci, dan tentang bebas bertemu Dia kapan saja. Bahkan, saya
mungkin memberikan contoh-contoh tentang apa yang saya katakan di
dalam doa, memuji Dia, mengakui dosa, mendoakan orang lain. Dalam
penyembahan ini, saya berharap dapat menyampaikan realitas dan
dekatnya Bapa surgawi, seraya menjaga rasa hormat karena nama-Nya yang
kudus.

Persiapan pribadi bagi pelayanan terhadap wanita-wanita ini sangat
penting. Berdoa, membaca Kitab Suci, dan merenungkannya adalah bagian
dari kehidupan saya sehari-hari, sehingga pemikiran yang saya bagi
pada teman-teman agama lain benar-benar berasal dari minat, persoalan,
dan keyakinan pribadi. Mula-mula, saya berdoa dengan cara yang lebih
umum, agar Allah mengikat roh-roh jahat dan membebaskan hati para
wanita itu untuk mendengarkan perkataan-Nya. Saya akan menyebutkan
nama wanita tertentu dalam doa dan menunggu Dia memberikan kebenaran
khusus yang berkenaan dengan kebutuhan wanita itu. Kemudian, saya
menyelidiki ayat-ayat Alkitab yang relevan dalam bahasa Arab dan
memikirkan aplikasi dari ayat-ayat itu yang berkaitan dengan wanita
itu, contoh-contoh dari kehidupan mereka sehari-hari dan hal-hal yang
menarik secara pribadi. Sebelum bertemu dengan teman-teman agama lain,
saya menyerahkan kunjungan itu pada Allah dan mendoakan wanita yang
saya kunjungi, agar ada di rumah dan memiliki waktu luang untuk duduk
dan berbincang-bincang. Lalu, saya akan berbicara santai, menikmati
kebersamaan dengan wanita itu dan keluarganya, percaya bahwa Allah
akan bekerja.

Sumber: Muslim and Christian on the Emmaus Road. J.Dudley Woodberry.
Page 197 -- 218. MARC Pub, 1989

                       DOA BAGI MISI DUNIA: INDIA

Menurut salah satu organisasi penginjilan di India, kelompok ekstremis
dari agama tertentu memaksa 15 umat Kristen untuk mengikuti ritual
agama mereka, memukul, dan mengusir orang-orang Kristen dari desanya.
The Evangelical Fellowship of India mengatakan bahwa pada tanggal 19
Juni, sekitar 150 kelompok ekstremis menangkap 12 umat Kristen di
Jawanga, sebuah desa di daerah Chattisgarh, India Timur. Para umat
Kristen ini dibawa ke Pura Pendevi, di mana mereka dipaksa untuk
beribadah menggunakan tradisi agama mayoritas, kata seorang saksi, AE.
Ia juga menambahkan bahwa para penculik kemudian melakukan kekerasan
terhadap umat Kristen, meskipun AE belum dapat menggambarkan luka-luka
dan kerugian yang dialami, tetapi para korban mengalami luka fisik
yang cukup serius.

Sumber: Buletine Frontline Faith, September-Oktober 2012, Halaman 3

Pokok Doa:

1. Mari kita berdoa kepada Tuhan Yesus bagi umat Kristen di desa
Jawanga, India Timur, agar iman mereka tetap kokoh di dalam Tuhan
Yesus dan tidak menyembah allah-allah lain walaupun kekerasan,
penganiayaan, dan pembunuhan mengancam mereka.

2. Berdoalah agar Tuhan Yesus menolong orang-orang Kristen di Jawanga,
agar mendapatkan perlindungan dari pemerintah atau organisasi Kristen
yang ada di India.

             DOA BAGI INDONESIA: UTUSAN INJIL DI SUMATERA

Ratusan pekerja lokal dari organisasi Kristen yang tersebar di 10
provinsi di Sumatera Tengah membagikan firman Tuhan kepada 50 umat
agama lain. Kebanyakan dari mereka tidak saling mengenal karena
wilayah yang berjauhan dan sering merasa kesepian dengan dukungan yang
terbatas. Karena kondisi ini, beberapa pekerja menyelenggarakan sebuah
persekutuan doa yang mewadahi para pekerja Kristen di Sumatera.

Sumber: Buletine Frontline Faith, September-Oktober 2012, Halaman 10

Pokok doa:

1. Berdoa bagi para utusan Injil lokal di Sumatera, agar Tuhan Yesus
memberi sukacita dan damai sejahtera ketika melayani di ladang-Nya.
Doakan juga agar Tuhan memberikan perlindungan dan kesehatan kepada
mereka.

2. Doakan agar Tuhan Yesus memberi hikmat kepada utusan Injil lokal di
Sumatera ketika mereka membagikan Kabar Baik kepada orang yang belum
percaya, sehingga melalui pelayanan mereka semakin banyak jiwa
dimenangkan bagi Kristus.

3. Berdoa untuk jiwa-jiwa yang telah mereka jangkau, agar setiap jiwa
semakin bertumbuh di dalam pengenalan akan Tuhan.

4. Doakan juga untuk setiap kebutuhan hidup yang diperlukan oleh
utusan Injil lokal di Sumatera, agar Tuhan Yesus mencukupkannya.

5. Mengucap syukur kepada Tuhan Yesus atas setiap dukungan, baik doa
maupun dana yang telah diberikan kepada utusan Injil lokal di
Sumatera. Tuhan Yesus memberkati benih yang sudah Anda tabur.

"I HAVE ONLY AS MUCH OF JESUS IN ME AS I HAVE THE SPIRIT OF OBEDIENCE"

Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Kontributor: Yusak Charisma Nugraha
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org