Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2012/27

e-JEMMi edisi No. 27 Vol. 15/2012 (3-7-2012)

Menjadi Berkat Bagi "Saudara Sepupu"

______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Menjadi Berkat Bagi "Saudara Sepupu"
No.27, Vol.15, Juli 2012

SEKILAS ISI
ARTIKEL MISI: MENGUBAH BATU SANDUNGAN MENJADI BATU PIJAKAN BAGI
              "SAUDARA SEPUPU"
DOA BAGI MISI DUNIA: IRAN
DOA BAGI INDONESIA: KEKERASAN DI PAPUA

Shalom,

Kita terkadang tidak tertarik untuk menceritakan Kabar Baik kepada
"saudara sepupu" karena menurut kita, mereka sepertinya tidak
bersahabat dan tidak menanggapi pelayanan kita. e-JEMMi edisi 27,
mengajak Anda mencermati apa yang menjadi masalah di dalam
menceritakan Kabar Baik kepada mereka. Kiranya, sajian ini
menggerakkan hati kita untuk mengenalkan Kristus kepada mereka.
Selamat membaca dan berdoa. Tuhan Yesus memberkati!

Staf Redaksi e-JEMMi,
Yosua Setyo Yudo
< http://misi.sabda.org/ >

           ARTIKEL MISI: MENGUBAH BATU SANDUNGAN MENJADI BATU
                   PIJAKAN BAGI "SAUDARA SEPUPU"

"Mengapa aku harus menggunakan hidupku untuk menjangkau `saudara
sepupu` yang sangat tidak responsif?" Pertanyaan ini mungkin membuat
kita bingung. Saya sendiri tidak dapat menjawab dengan cepat masalah
yang menjadi pergumulan saya secara rohani selama 20 tahun! Mungkin
kita sama seperti Thomas, ragu-ragu. Apakah merupakan hal yang
bijaksana mengurbankan waktu bagi "saudara sepupu" yang sama sekali
tidak responsif.

Batu-Batu Sandungan Kita

1. Penghalang Psikologis

Batu sandungan pertama yang perlu diatasi dalam melakukan pelayanan di
"dunia sepupu" adalah pikiran dan sikap kita, yang merupakan
penghalang psikologis. Apakah kita bersedia menyerahkan hidup kita di
atas altar? Pernyataan dari Uskup Hill dapat menangkap inti
permasalahan: "Perhatikan penyembah berhala yang tidak memiliki
Kristus dan Anda akan menemukan sebuah altar ... dan kiranya Allah
menolong Anda untuk menjadi korban persembahan." Tetapi siapa yang
menginginkan altar seperti itu? Kebanyakan kita lebih memilih untuk
mempersembahkan sesuatu yang lain, apa pun selain diri kita sendiri!
Pisau itu terkenal keras, tajam, dingin, serta dipakai untuk memotong.
Lebih mudah menyanyikan lagu bertemakan "mempersembahkan segalanya di
atas altar", selama kita tidak perlu mempersembahkan diri kita di
atasnya. Kita seharusnya menceritakan tentang penderitaan Kristus,
Allah telah merencanakan/mengatur proses pembuatan buah yang
memerlukan pengorbanan. Tetapi banyak orang dengan berbagai cara,
mengubah altar menjadi sebuah panggung dan mencari pujian/tepuk
tangan.

Kita harus menghadapi pertanyaan ini. Apakah kita terlibat dalam
pelayanan Tuhan dengan tujuan untuk bersaing meraih sukses, untuk
menunjukkan apa yang dapat kita lakukan, atau untuk membuktikan jati
diri kita? Jika kita bersikap demikian, maka melayani "saudara sepupu"
merupakan hal yang menakutkan dan membuat frustrasi. Allah lebih
menghargai siapa diri kita atau apa yang telah Dia perbuat melalui
kita. Karena itu, kita harus bersedia melayani sesuai dengan rencana
Allah, meskipun hal itu berarti Allah memberikan akibat-akibat yang
kita sukai ataupun yang tidak kita sukai.

2. Mentalitas di Garis Terendah

Penghalang subjektif lainnya, yang mengancam/membahayakan komitmen
gereja untuk melayani "saudara sepupu", adalah mentalitas di garis
terendah, yang menyatakan bahwa pertumbuhan adalah satu-satunya nilai
yang penting. Orang-orang Barat cenderung untuk mengukur, yaitu
membuat perbedaan ilmiah berdasarkan observasi dan kalkulasi
matematika. Teori pertumbuhan gereja baru-baru ini menekankan pada
penuaian, petobat yang dapat dihitung, dan gereja-gereja yang
terbentuk. Jadi, misiologi kontemporer memberikan fondasi alkitabiah
dan teoritis, yang mencari sukses berdasarkan pertumbuhan yang jelas.
Ide pertumbuhan gereja menjadi anugerah terbesar bagi pelayanan misi.
Hal ini menjadi koreksi terhadap pelayanan misi terdahulu, yang
cenderung khawatir akan adanya panenan besar, dan menganggapnya
sebagai bahaya terhadap tata ibadah dan doktrin.

Kita perlu waspada terhadap mentalitas di garis terendah yang juga
dikembangkan sebagai hasil aplikasi dari pelayanan manajerial bisnis
modern, metode ilmiah, serta penemuan-penemuan ilmu sosial. Jika
diterapkan secara keras, akibatnya adalah pelayanan misi tidak
bersedia menginvestasikan uang dan pekerjanya, di mana hasil-hasil
yang dapat diukur tidak tersedia dengan cepat. Mentalitas ini tidak
dapat memperoleh pembenaran alkitabiah dengan mendebat pernyataan
bahwa kita harus siap untuk "mengibaskan debu dari kaki kita", saat
mereka menolak pesan yang kita sampaikan. Sehubungan dengan buah yang
jelas, harus diakui bahwa di masa lalu, pelayanan misi Kristen kepada
"saudara sepupu" mengalami kegagalan di banyak tempat. Salah satu dari
kegagalan tersebut adalah kekerasan dalam keyakinan mereka. "Saudara
sepupu" mengizinkan penggunaan tekanan legal dan sosial, atau bahkan
kekerasan secara fisik, baik dengan tujuan untuk mendapatkan anggota
(tingkat pertama) dan untuk menguasai anggotanya (tingkat kedua).
"Saudara sepupu" cenderung memilih sarana-sarana perdamaian, tetapi
ada banyak kasus tentang penggunaan tekanan dan kekerasan untuk
melawan orang-orang yang "mengingkari" mereka. Tetapi, setiap ideologi
yang harus menggunakan kekerasan untuk mempertahankan pengikutnya,
sedang mengakui kelemahan-kelemahan yang menjadi sifatnya. Membangun
Tembok Berlin tidak membuktikan menariknya komunis. "Qur`anic Curtain"
(Tirai Qur`anic) tidak membuktikan kekuatan "saudara sepupu".

Mentalitas di garis paling bawah dapat berarti lonceng kematian
pelayanan misi untuk "saudara sepupu". Apakah utusan Injil akan
memilih pergumulan yang terus-menerus di sepanjang hidupnya, ketika
dia bisa mendapat pekerjaan di tempat lain dan dia dapat mengirimkan
kisah-kisah suksesnya tentang sejumlah petobat yang ditolongnya kepada
gereja-gereja dari tempat asalnya? Jawaban pertama untuk mentalitas di
garis paling bawah adalah dengan menyadari bahwa setiap garis batasan
yang dibuat manusia bukanlah garis batasan akhir. Batasan akhir
sesungguhnya adalah Hari Penghakiman, saat kita berdiri di hadapan
Kristus dan dihakimi. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak perlu
membuat batasan sama sekali, tetapi yang terbaik batasan-batasan
tersebut hanyalah "batasan sementara". Jadi, marilah kita mengizinkan
Allah untuk menggambarkan garis batasan itu. Dengan kekuatan sendiri,
kita secara efektif menghalangi setidaknya 1/6 penduduk dunia untuk
mendengar Kabar Baik.

Jawaban kedua untuk mengatasi mentalitas di garis terendah adalah
mengisi pikiran kita dengan "mentalitas penuaian". Tidak menjadi
masalah bagaimana pada masa lalu "saudara sepupu" menentang Kabar
Baik, setiap generasi baru adalah kesempatan baru bagi Allah yang
tidak menghendaki setiap manusia binasa. Mentalitas penuaian memiliki
2 komponen yang menentukan: pengetahuan bahwa Yesus menyatakan bahwa
masa ini adalah masa penuaian, di mana Dia telah mengalahkan setan dan
bangkit dari kematian: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah
sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan
matang untuk dituai" (Yohanes 4:35) dan iman bahwa Kabar Baik
benar-benar merupakan kuasa Allah bagi setiap orang yang percaya.
Jika kita ingin mengajak orang untuk beriman, kita harus beriman
kepada Allah, tetap setia kepada janji-Nya, membeli mereka bagi Allah
dari tiap-tiap suku dan bahasa di bumi (Wahyu 5:9-10). Setan tidak
akan menang dalam membungkam Kabar Baik dari suku-suku di dunia.
"Sukses" secara alkitabiah memerlukan ekspansi primer Kabar Baik
kepada semua suku sampai ke ujung bumi. Ekspansi sekunder dalam semua
suku sehingga setiap orang dimenangkan, bukanlah syarat pemenuhan
tugas utusan Injil yang sukses.

Perumpamaan Yesus tentang penabur seharusnya meneguhkan hati kita.
Sama seperti dalam perumpamaan, penabur saat ini tidak perlu merasa
gagal saat tidak dapat menaburkan benih di seluruh ladang. Kita tidak
perlu mengkritik penabur karena menabur benih di tanah berbatu, tanah
yang penuh duri, atau di tanah dangkal. Penabur memiliki keinginan
untuk menumbuhkan benih itu di atas semua jenis tanah. Dia tidak dapat
menulis segala sesuatu, bahkan di tanah berbatu. Dia memiliki iman
bahwa benih yang bagus dapat melekat di tanah-tanah yang paling keras
dan dapat menghasilkan panenan yang berharga (Matius 13:3-9).

Batu Sandungan "Saudara Sepupu",
1. Inkarnasi

Kita seharusnya dapat bersimpati dengan pembelaan "saudara sepupu"
terhadap inkarnasi yang merupakan batu sandungan terbesar. Apakah
Allah benar-benar harus menangani semua permasalahan tersebut (seperti
yang ditegaskan dalam kekristenan) untuk berurusan dengan "kekurangan"
atau kelemahan manusia (penilaian "saudara sepupu" terhadap dosa)?
Apakah manusia begitu jahatnya, sehingga Allah harus mengambil rupa
manusia dan datang ke bumi untuk memperbaikinya? Apakah perjalanan
Yesus sangat penting? Hal ini tidak dapat digambarkan kepada "saudara
sepupu" bahwa Allah dapat rendah hati. Penjelasan bahwa Allah telah
mengorbankan diri-Nya tidak dapat mereka pahami.

Hanya Roh Kudus yang dapat mengubah batu sandungan ini menjadi batu
pijakan. Secara pasti, tidak ada pikiran manusia yang dapat memikirkan
skema seperti itu -- dan kemudian kemuliaan di dalamnya serta
menjadikannya dasar keselamatan merupakan konsep yang terlalu agung
bagi beberapa pengkhotbah untuk dipahami dan diberitakan. Kita juga
menyatakan tidak ada bukti bahwa Allah sangat mengasihi manusia, jika
pengorbanan dari inkarnasi tersebut adalah salah. Inkarnasi adalah
kasih dari Allah yang tidak terbatas. Pada kenyataannya, jika Allah
mengasihi dengan sungguh-sungguh, maka kasih-Nya yang berlimpah itu
hanya dapat dinyatakan melalui inkarnasi dan puncaknya adalah
penyaliban. Cara lain untuk mendorong "saudara sepupu" memercayai
inkarnasi adalah dengan mengarahkan pikirannya ke permasalahan yang
sama dalam keyakinan mereka, sehingga mereka dapat dengan mudah
menerimanya.

2. Wahyu

Konsep "saudara sepupu" tentang wahyu adalah berusaha melindungi
firman Allah dari segala pengaruh manusia. Seperti Dewi Diana di
Efesus, "Kitab Suci sepupu" dipandang sebagai firman yang datang
langsung dari surga, tanpa menggunakan tangan manusia dan diberikan
kepada manusia. Pandangan ini tampaknya lebih menghargai wahyu Allah
dan hal tersebut menjadikannya sebagai pandangan yang tidak
tergoyahkan, guna menghindari kompleksitas dari posisi Kristen, di
mana Allah yang menjadi aktif dalam sejarah dan memberikan wahyu itu
melalui api serta kesengsaraan dari penderitaan manusia.

Banyak "saudara sepupu" tidak menyadari bahwa banyak masalah telah
melekat dalam sistem teologia mereka. Dalam semangat mereka untuk
menjaga kemurnian dan otoritas firman Allah, mereka memahami wahyu
sebagai sejenis "inkarnasi" dari Allah yang tidak terbatas, yaitu
perkataan Allah. Karena Allah dan perkataan-Nya adalah kekal, maka
"Kitab Suci sepupu" pastilah kekal. Sungguh ironis karena "Kitab Suci
sepupu" yang menyangkal inkarnasi Kristus menganggap dirinya sendiri
sebagai inkarnasi dari perkataan Allah. Jika Allah dengan kekuatannya
dapat memberikan salah satu sifat-Nya dan mengirimkannya ke bumi dalam
bentuk sebuah buku, maka tidaklah mustahil bagi Allah untuk menyatakan
kepribadian-Nya dalam bentuk manusia yang diutus ke bumi. Ini bukannya
kasus gereja membuat manusia menjadi dewa, tetapi karena Allah yang
memiliki kuasa untuk menggunakan tubuh manusia yang Dia ciptakan pada
mulanya. Yang dapat kita kerjakan untuk mengatasi batu sandungan ini
adalah dengan mengubah fokus diskusi kepada pribadi Kristus, daripada
memperdebatkan tentang buku atau konsep pewahyuan.

3. Tritunggal

Batu sandungan lain dalam pikiran "saudara sepupu" adalah konsepnya
yang mantap tentang ke-Mahaesa-an Allah. Tidak suka dengan istilah
Tritunggal, "saudara sepupu" percaya bahwa kita memiliki konsep
trinitas. Ini bukan berarti kita menjawab pertanyaan mereka tentang
1+1+1=3 dengan jawaban 1x1x1=1. Jawaban yang lebih baik adalah dengan
menggunakan simbol (- + - + - = -), tetapi jawaban ini lebih cenderung
filosofis dan tidak alkitabiah. Permasalahan dasar dalam pemikiran
"saudara sepupu" adalah mereka lebih memercayai keesaan secara
matematis daripada keesaan kehidupan organis; keesaan yang abstrak
daripada susunan keesaan kepribadian; Allah yang dingin dan jauh
daripada Bapa yang ramah dan mengasihi.

Dalam usaha mereka untuk melawan politeisme, "saudara sepupu"
mengungkapkan misteri yang menakutkan itu dengan istilah "Allah yang
tidak dikenal". Bagi orang Kristen, untuk mengatasi batu sandungan
ini, dia harus lebih memahami karakter Allah. Kita tidak menyembah
"Allah" yang ditulis dengan huruf besar; kita secara pribadi perlu
mengenal Bapa yang menjalin hubungan dengan manusia. Meskipun
Tritunggal adalah unik, sehingga setiap ilustrasi yang dipakai untuk
menggambarkannya selalu memiliki kekurangan, kita dapat menyatakan
ciptaan Allah sebagai seseorang yang naik dari tingkat yang paling
bawah dalam kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi, dan kita menemukan
kemajuan dari keesaan yang tunggal menjadi kesatuan dari kompleksitas.
Setiap manusia adalah satu, tetapi dia memiliki kesatuan sel yang
lebih kompleks. Apakah hal ini memuliakan Tuhan, yaitu dengan
menganggap keesaan yang dimilikinya sama seperti sel tubuh? Jika
keesaan manusia melibatkan aspek rohani dan juga jasmani, pastilah
keesaan Allah tidak akan berkurang dengan memandang kompleksitas
dengan cara demikian. Pikiran manusia dapat menerima kemungkinan
tentang Allah yang kompleks sebagai satu kesatuan; hati manusia yang
menyatakan kebutuhannya. "Saudara sepupu" percaya kepada "Kitab Suci
sepupu" dan orang Kristen percaya kepada Yesus, menunjukkan bahwa
mereka setuju akan pentingnya jembatan yang memisahkan antara Allah
dan manusia. Kita mungkin dapat menyatakan jika Allah adalah manusia,
maka hanya manusia yang mampu menyatakannya. Jika kita hanya memiliki
buku, maka kita hanya dapat mengetahui tentang Allah, tetapi pribadi
Allah tetap tidak kita kenal. Meskipun permasalahan teologi seperti
Tritunggal dan ketuhanan Kristus tidak dapat dihindari, maka lebih
baik tidak membicarakan hal tersebut di awal pertemuan, lebih baik
mengawalinya dengan pembahasan dasar: bagaimana manusia dapat
diselamatkan?

4. Salib

"Saudara sepupu" tidak memahami arti keselamatan dengan jelas. Jawaban
beragam dapat diberikan untuk pertanyaan, "Bagaimana manusia
diselamatkan?" Orang yang lebih liberal pasti menjawab selama
seseorang memercayai satu Allah, maka dia dapat mengharap akan
memperoleh keselamatan. Orang tradisional kemungkinan akan menjawab
seseorang memercayai nabi-Nya dan percaya kepada satu Allah untuk
mendapatkan keselamatan. Orang aliran keras akan mengatakan hidup
kudus sebagai tambahan setelah memercayai Allah dan nabi-Nya dengan
sungguh-sungguh. Orang fatalis menganggap bahwa seseorang tidak dapat
merasa pasti akan keselamatannya, sementara itu ada juga orang yang
membawa api penyucian untuk membayar dosa mereka.

Pribadi Kristus merupakan alat yang paling menarik untuk mengubah batu
sandungan ini menjadi batu pijakan. Kasih Allah dinyatakan melalui ide
pengorbanan yang juga dilakukan oleh "saudara sepupu" saat mengadakan
festival tahunan, di mana seekor binatang dipersembahkan sebagai
korban bakaran. Kita dapat menunjukkan dari kitab-kitab Musa bahwa
sejak awal, para nabi mengetahui bahwa pengorbanan merupakan perintah
Allah sebagai cara untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya. Sejak zaman
Adam dan Nuh, kita melihat bahwa Allah menerima pengorbanan
persembahan. Abraham bersedia mempersembahkan anaknya untuk menaati
perintah Allah menunjukkan betapa pentingnya arti persembahan. Jika
"saudara sepupu" menegaskan bahwa anak Abraham yang akan
dipersembahkan itu Ismael dan bukannya Ishak, maka kita perlu
menghindari perdebatan itu dengan mengatakan bahwa siapa pun yang
dikorbankan, prinsip pengorbanan merupakan suatu hal yang tidak dapat
diingkari. Hal ini menyatukan tiga ide tentang keselamatan,
pengorbanan, dan Yesus sebagai fokus diskusi kita, daripada kita
membahas tentang beberapa teologia abstrak. Hal ini juga membawa kita
kepada batu sandungan berikutnya -- Salib, di mana dalam beberapa
cara, karakternya akan selalu dianggap sebagai batu sandungan, bahkan
bagi orang Kristen, dan pada waktu yang bersamaan, Salib juga
merupakan batu pijakan kepada keselamatan.

Kita telah menyadari hanya sedikit perangkap teologi yang ditanam
Setan dalam "saudara sepupu". Kesaksian orang Kristen yang bijaksana
akan mempelajari bagaimana menangkal setiap senjata "saudara sepupu",
sehingga setiap kritikan yang dilontarkan dapat diubah menjadi hal
yang positif bagi orang Kristen dan karya keselamatan-Nya. Dengan
taktik ini, kita bekerja sama dengan Allah yang dengan senang hati
akan mengubah senjata kematian dari Setan menjadi senjata yang membawa
kehidupan. Senjata Allah adalah salib, kubur kosong, dan kesediaan
untuk bersaksi.

Tetapi para utusan Injil dapat juga menyangkal salib dengan cara
mereka sendiri. Jika kita mengkhotbahkan ajaran tentang keselamatan,
namun kita memiliki gaya hidup yang menyangkal pengorbanan, maka kita
telah mengingkari ajaran yang kita sampaikan itu. Jika kita
mengajarkan tentang kasih dengan cara yang tidak mengasihi, maka para
pendengar akan bertanya-tanya, apakah kita memercayai apa yang kita
ajarkan tersebut. Dengan cara itu, kita mengubah kembali batu pijakan
menjadi batu sandungan.

Sumber: On Touring Muslim Stumbling Blocks into Stepping Stones,
Warren Chastain in Perspectives on the World Christian Movement, Page
650 -- 654. Third Edition, William Carey Library, 1999

                      DOA BAGI MISI DUNIA: IRAN

Menurut pihak Amnesti Internasional, Pengacara utama Pendeta YN, yang
saat ini berada di bawah vonis hukuman mati, kemungkinan besar
menghadapi hukuman penjara karena telah membela dan melindungi hak
masyarakat Iran. DA, seorang aktivis pembela hak manusia ini telah
divonis hukuman penjara 9 tahun dan masa skors selama 10 tahun, untuk
melakukan praktik penegakkan hukum dan pengacara pada bulan Juli 2010,
dan pada 28 April ini, pengadilan banding telah mendukung vonis
tersebut. Sampai saat ini, belum diketahui status penahanannya.
Seorang ahli dari Iran yang namanya dirahasiakan mengatakan, jika DA
yang tengah menjadi pengacara utama Nadarkhani dipenjara, maka nasib
YN akan semakin tidak menentu.

Sumber: Buletin Frontline Faith, Edisi Juli-Agustus 2012, Hal.11

Pokok doa:

1. Mari berdoa untuk DA, agar tetap kuat dalam menanti status
penahanannya. Doakan agar imannya tidak goyah di tengah kondisi yang
cukup sulit baginya saat ini.

2. Doakan juga agar Tuhan menguatkan hati dan melindungi anggota
keluarganya, dan mereka semua tetap setia dalam mengikut Tuhan.

                  DOA BAGI INDONESIA: KEKERASAN DI PAPUA

Kekerasan bersenjata lagi-lagi terjadi di Papua. Minggu (1/7) terjadi
penembakan di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom. Akibat insiden
ini, seorang warga tewas.

Sumber: Kompas, Senin, 2 Juli 2012, Hal.1

Pokok Doa:

1. Mari berdoa untuk Papua, agar peristiwa kekerasan bersenjata tidak
terus terjadi.

2. Doakan untuk aparat keamanan yang bertugas di Papua, agar Tuhan
melindungi mereka dalam menjaga keamanan di Papua.

3. Doakan masyarakat Kristen Papua, agar mereka terus berdoa dan
mengandalkan Tuhan untuk kedamaian di Papua.

"THE GOSSIP USUALY GETS CAUGHT IN HIS OWN MONTH TRAP"

Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Tim editor: Davida Welni Dana, Santi Titik Lestari, dan Berlian Sri Marmadi
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org