|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/misi/2012/43 |
|
e-JEMMi edisi No. 43 Vol. 15/2012 (23-10-2012)
|
|
______________________________ e-JEMMi _____________________________
(Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________
e-JEMMi -- Christian David dan Hans Egede
No.43, Vol.15, Oktober 2012
TOKOH MISI: CHRISTIAN DAVID DAN HANS EGEDE
Shalom,
Hans Egede dan Christian David adalah misionaris yang berasal dari dua
negara berbeda. Hans Egede adalah misionaris senior dari Norwegia,
sementara Christian David merupakan misionaris muda dari Moravia,
Ceko. Meski berasal dari tempat yang berbeda, mereka berada dalam
pelayanan yang sama, yaitu Tanah Hijau. Mereka memiliki cara yang
berbeda dalam menyebarkan Injil kepada orang-orang Eskimo, sehingga
mereka sering mengalami konflik. Namun, di tengah konflik itu, mereka
masih saling memerhatikan ketika salah satu dari mereka mengalami
kesusahan. Sesuatu yang menarik dan bisa kita pelajari. Selamat
membaca.
Redaksi Tamu e-JEMMi,
Yusak Charisma Nugraha
< http://misi.sabda.org/ >
TOKOH MISI: CHRISTIAN DAVID DAN HANS EGEDE
Selain Count Zinzendorf, pribadi yang paling terlibat dalam pendirian
gereja Moravia adalah Christian David. Ia bertugas membawa saudara-
saudara (Unitas Fratum) yang diasingkan dari seluruh wilayah Eropa
sampai ke kediaman Zinzedorf. David dilahirkan di Moravia pada tahun
1690 dalam sebuah keluarga Katolik Roma. Sewaktu kecil, dia adalah
seorang penganut Katolik yang saleh, sangat tekun dalam ritual ibadah,
hari-hari suci, dan pemujaannya terhadap Perawan Maria. Di kemudian
hari, ia menceritakan bahwa hatinya berkobar-kobar oleh ketaatan
beragama. Namun di samping kesungguhannya, ia tidak memunyai pemahaman
yang benar tentang kekristenan yang sejati, sampai dia dikirim untuk
magang pada seorang ahli pertukangan, yang bersama dengan keluarganya
secara diam-diam memeluk iman Injili. Namun demikian, pengetahuan
David mengenai pengajaran Kristen sangatlah terbatas. Akhirnya,
sebelum usianya genap 20 tahun, ia mendapatkan Alkitab, sebuah buku
yang tidak pernah ia baca sebelumnya.
Tahun 1717, pada usia 27 tahun, David bertobat dan segera sesudah itu,
melalui dorongan istrinya yang setia, Anna, dia menjadi pengajar awam
keliling. Selama perjalanannya, dia bertemu dengan ratusan orang
Kristen yang dianiaya dan putus asa, yang mendambakan sebuah tempat
perlindungan, tempat mereka bisa beribadah dengan bebas. Dengan latar
belakang demikianlah, David bertemu dengan Zinzendorf pada tahun 1722,
yang membawanya pada usaha bersama mereka untuk mendirikan Herrnhut.
Tahun-tahun berikutnya, David mewakili Herrnhut berkeliling Eropa
menerima tenaga baru dari para penghuni tetap.
Meskipun sejatinya dia adalah seorang tukang kayu dan sukses dalam
merekrut tenaga baru dari para penghuni Herrnhut, Christian David
memiliki kerinduan untuk terlibat langsung dalam penginjilan, dan pada
tahun 1733 peluang itu datang. David bersama dengan 2 orang Moravia
lainnya ditugaskan sebagai misionaris ke Tanah Hijau untuk
menggairahkan kembali pekerjaan misi di sana. Dua tahun sebelum
keberangkatan mereka ke Tanah Hijau, Zinzendorf mendengar rumor bahwa
misionaris Lutheran, Hans Egede, berencana menutup pelayanannya di
sana. Kesalahan informasi inilah yang mendorong Zinzendorf datang
untuk menyelamatkan. Dia segera mencari relawan di antara pengikut
Moravianya untuk mengisi kekosongan itu, dan David terpilih untuk
menjadi pemimpinnya.
Kedatangan misionaris Moravia menjadi sebuah kejutan bagi Egede. Dia
menyambut mereka, namun dengan cepat hampir semua permasalahan dan
kesalahpahaman muncul. Baik Egede maupun David, keduanya adalah
pribadi yang keras hati dan keras kepala, dan kendala bahasa membuat
permasalahan menjadi lebih rumit. Egede, seorang penutur Norwegia
pribumi, memunyai kesulitan untuk memahami bahasa lisan Jerman dari
pendatang baru Moravia itu, sementara David pun tidak dapat memahami
bahasa Norwegia sama sekali. Namun, David dan rekan-rekannya dengan
cepat menyadari bahwa Egede sebenarnya tidak bermaksud untuk
meninggalkan misinya.
Hans Egede dan keluarganya telah tinggal di Tanah Hijau selama lebih
dari 1 dekade ketika orang-orang Moravia itu tiba; dan bukannya
mundur, mereka justru semakin mengabdi kepada pelayanan misi dengan
sepenuhnya. Hans Egede lahir di Norwegia pada tahun 1686 dan ia tumbuh
di tengah keluarga Lutheran yang saleh, dan sangat dipengaruhi oleh
semangat Pietisme yang telah menembus negeri-negeri Skandinavia. Dia
belajar untuk tujuan pelayanan dan kemudian menghabiskan 10 tahun yang
sulit dalam pelayanannya sebagai pendeta. Konflik dengan pelayan lain
di keuskupannya mengenai masalah uang, berakhir dengan didendanya
Egede oleh sidang gerejawi sebanyak lebih dari sekali. Tampaknya,
Egede tidak menerima cukup uang untuk mengentaskan keluarganya dari
kemiskinan, namun perilakunya dalam usaha untuk mengatasi situasi itu
melampaui batas.
Sejak kecil, Egede telah mendengar kisah tentang Tanah Hijau dan
orang-orang Kristen dari Skandinavia yang berabad-abad lampau
bermigrasi ke sana, yaitu orang-orang Kristen yang keturunannya tidak
terdengar lagi selama lebih dari 200 tahun. Dia tahu dari sejarah
Norwegia bahwa Injil telah dibawa ke Tanah Hijau ratusan tahun yang
lalu oleh Si Leif yang Beruntung (anak Eric si Merah, seorang pria
kejam yang sebelumnya diminta untuk meninggalkan Norwegia dan kemudian
diminta meninggalkan Islandia karena dua pembunuhan yang terpisah.
Leif, ditemani oleh seorang pendeta, menyebarkan kekristenan di antara
penduduk Tanah Hijau. Menjelang abad ke-12, gereja di Tanah Hijau
telah berkembang hingga ke suatu titik yang mengizinkan mereka untuk
memiliki uskup sendiri; tetapi seiring dengan berjalannya waktu,
gereja di Tanah Hijau mengalami kemunduran dan jatuh menjadi penyembah
berhala).
Kisah ini, digabungkan dengan semangat misi Pietistik, mendorong
pendeta muda Norwegia itu mencari kemungkinan untuk memulai sebuah
misi ke Tanah Hijau, kepada orang-orang yang malang itu, yang tadinya
adalah orang-orang Kristen dan mendapat pencerahan melalui iman
Kristen, tetapi yang sekarang jatuh kembali pada kebutaan kekafiran
dan kebiadaban penyembahan berhala karena kurangnya pengajar dan
petunjuk. Tanpa ada yayasan misi yang mendukungnya, Egede mengirim
sebuah proposal kepada raja, yang memerintah gabungan kerajaan
Denmark-Norwegia, dan kepada pihak gereja yang berwenang tentang
menobatkan dan memberi pencerahan kepada penduduk Tanah Hijau. Namun,
perang yang terjadi dengan bangsa Swedia menunda pelaksanaan
permintaannya itu selama beberapa tahun.
Sementara itu, Egede menghadapi pertentangan sengit yang bersifat
pribadi atas rencananya itu. Ibu mertuanya marah ketika mendengar
kabar itu, dan istrinya, Giertrud, yang berusia 13 tahun lebih tua
darinya terkejut dan mengisyaratkan bahwa dia menyesal pernah
menikahinya. Sikap istrinya segera berubah setelah dia dan suaminya
berdoa bersama mengenai masalah itu, bahkan istrinya menjadi pendukung
setia imannya, dan mereka maju bersama dalam apa yang saat ini dikenal
sebagai panggilan bersama. Ketika orang-orang lain menekan Egede untuk
meninggalkan rencananya, sang istri tetap teguh dalam dukungannya.
Pada musim panas tahun 1718, Egede bersama dengan istri dan empat
anaknya meninggalkan jemaat gerejanya di Utara, dan berlayar ke
Selatan menuju pelabuhan di Bergen. Dari sana, ia berharap dapat
mencapai Tanah Hijau. Awal perjalanan ini, di sepanjang pesisir
Norwegia yang berbahaya, berubah menjadi mimpi buruk yang penuh
bahaya, yang bisa saja menghancurkan komitmen. Egede terjatuh keluar
dari kapal dan nyaris meninggal kalau tidak ditolong oleh seorang
nelayan. Bukannya menciutkan hatinya, kecelakaan itu justru
memunculkan kembali imannya, dan meyakinkan dirinya bahwa Allah
menyelamatkan nyawanya demi sebuah tujuan ilahi.
Setelah lebih dari 2 tahun penundaan dan ketidakjelasan di Bergen,
keluarga Egede mendapatkan jalan dengan berlayar melalui pertolongan
Perusahaan Bergen, dan tiba di Tanah Hijau pada musim panas tahun
1721. Setelah dengan tergesa-gesa membangun sebuah rumah bagi
keluarganya selama bulan-bulan yang dingin, Egede mulai tinggal dalam
kehidupan yang sama sekali tidak menyenangkan dengan menjadi
misionaris asing. Cuaca musim panas yang menyenangkan dirusak oleh
sejumlah besar agas yang selalu muncul. Namun yang lebih menyusahkan
daripada agas-agas itu adalah kendala bahasa. Egede berharap menemukan
sebuah bahasa yang mirip dengan bahasanya, yang dibawa ke Tanah Hijau
berabad-abad yang lampau oleh orang sebangsanya, namun harapan ini
segera sirna. Usaha untuk mengomunikasikan frase yang paling sederhana
sekalipun berubah menjadi siksaan yang berkepanjangan, dan yang lebih
buruk, Egede gagal mendeteksi bahkan satu jejak kepercayaan Kristen
yang ia harap telah diturunkan berabad-abad.
Komunikasi bukanlah satu-satunya rintangan budaya yang harus diatasi
oleh Egede. Gaya hidup orang-orang Eskimo juga sangat berbeda dari
gaya hidupnya. Mereka tinggal di rumah yang primitif setinggi 1,2 –
1,8 m dan sering kali terlalu sesak dengan beberapa keluarga dalam
satu rumah, serta terlalu panas di musim dingin. Bau amis yang
menyengat dari daging dan ikan busuk, bercampur dengan bau busuk yang
menjijikkan dari kantong-kantong yang berisi urine untuk menyamak
kulit binatang yang basah, membuat atmosfer menjadi hampir tak
tertahankan bagi pendeta Norwegia itu; namun kunjungan ke rumah adalah
satu-satunya alat yang paling efektif, untuk menjalin hubungan dengan
orang-orang Eskimo selama masa musim dingin yang panjang.
Sementara anak-anaknya yang masih kecil, Paul dan Niels, langsung
menemui kesulitan bahasa saat bermain dengan teman-teman mereka. Egede
bergumul selama bertahun-tahun dengan kerumitan tata bahasa, dan
bahkan dia mendapati sangat sulit untuk mengomunikasikan nilai-nilai
rohani. Dia sangat bergantung pada Paul dan Niels, dan mereka terbukti
menjadi aset yang sangat hebat dalam pelayanannya. Metode Egede yang
paling efektif untuk menjalin persahabatan dan menarik perhatian
orang-orang Eskimo selama tahun-tahun pertamanya di Tanah Hijau,
adalah melalui musik.
Meskipun demikian, kemajuan penginjilannya begitu lamban. Egede
mendesak orang-orang Eskimo meninggalkan cara kafir mereka, dan dengan
keras dia menyatakan bahwa tidak boleh ada kompromi antara kekristenan
dengan penyembahan berhala. Dia tidak mengubah pendiriannya dalam
menentang ritual-ritual penyembahan berhala, menuntut orang-orang
Eskimo menghapuskan guna-guna mereka, tarian, gendang, nyanyian, serta
permainan sulap dengan kekuatan mistis. Egede hanya memiliki sedikit
pemahaman tentang kepercayaan orang-orang Eskimo, sehingga ia tidak
mampu membangun kesamaan tingkatan antara agama penyembah berhala
mereka dengan kekristenan. Selain itu, tujuan Egede adalah untuk
memanusiakan orang-orang Eskimo ini sebelum berusaha untuk
mempertobatkan mereka menjadi orang Kristen. Pendekatan inilah yang
mendorongnya untuk memusatkan usahanya pada anak-anak. Karena mereka
belum melangkah ke penyembahan berhala seperti orang tua mereka,
mereka lebih mudah diajar. Dengan seizin orang tua mereka, Egede
membaptis mereka dan mulai mengajar mengenai kebenaran kekristenan
sedini mungkin begitu mereka bisa menangkap artinya.
Egede tidak pernah meninggalkan mimpinya untuk menemukan penduduk
Tanah Hijau yang nenek moyangnya dapat dilacak ke tanah pribuminya
sendiri, Norwegia. Melalui pencariannya, dia menemukan sisa-sisa
arsitektur Eropa, termasuk fondasi sebuah gereja yang masih ada dari
reruntuhan bergaya Norwegia; tetapi dia tidak pernah bisa menemukan
jejak kekristenan yang mungkin diwariskan oleh generasi orang-orang
Kristen sebelumnya.
Pada tahun 1730, Raja Frederick IV, seorang pendukung yang kuat bagi
usaha pelayanan di Tanah Hijau, meninggal. Penggantinya, Raja
Christian VI, berkuasa. Di tahun berikutnya, Christian VI memutuskan
untuk menutup perusahaan komersial Bergen, pegawai dan pekerja
perusahaan itu ditarik kembali. Egede sendiri diizinkan untuk tinggal,
namun tempat tinggal baginya pun masih dipertanyakan. Situasi inilah
yang menyebabkan munculnya rumor bahwa Egede akan meninggalkan
pelayanannya, dan itu mendorong Zinzendorf menugaskan Christian David
beserta rekan-rekan Moravianya untuk melanjutkan pekerjaan yang telah
dimulai oleh Egede.
Permasalahan yang terjadi antara orang-orang Morivia yang baru datang
dengan para misionaris veteran Hans Egede jelas-jelas tidak dapat
dihindarkan. Egede, dengan kepribadiannya yang mendominasi dan keras,
menyinggung perasaan orang-orang Moravia yang percaya dengan
pendekatan penginjilan yang lebih halus. Konflik di antara dua
kelompok itu berfokus pada metode penginjilan. Bagi orang-orang
Moravia, Egede adalah seorang Lutheran yang kaku dan dogmatis, yang
lebih peduli dengan mengajarkan ortodoksinya yang kaku daripada
menyelamatkan jiwa-jiwa. Mereka mempertanyakan, bagaimana bisa orang-
orang Eskimo memahami doktrin yang kompleks kecuali Allah memberi
mereka terang keselamatan? Egede, sebaliknya, melihat orang-orang
Morivia seperti mengajarkan agama sentimental yang menyedihkan, dengan
sedikit perhatian pada doktrin Kristen dan pemberantasan penyembahan
berhala. Injil kasih Kristus mereka yang satu sisi saja, dengan
sedikit pengetahuan tentang Allah yang suci, adil, dan Mahakuasa.
Di samping perbedaan-perbedaan itu, Egede dan orang-orang Moravia
bekerja berdampingan, sesekali menjaga pertemanan yang cukup dekat.
Egede membagikan semua catatan dan materi linguistiknya kepada orang-
orang Moravia saat mereka bergumul untuk menguasai bahasanya; dan
ketika misionaris Motavia menderita sakit kudis, Egede sering
mengunjungi mereka, melakukan apa pun yang bisa mengurangi penderitaan
mereka. Istrinya, Giertrud, juga menunjukkan kebaikan kepada mereka,
dan sebaliknya mereka pun dikasihi dan dihormati oleh mereka.
Terobosan pertama yang sesungguhnya bagi Egede dalam pelayanannya
kepada orang-orang Eskimo terjadi pada tahun 1733, sekitar masa
kedatangan Christian David bersama rekan-rekannya. Kabar baik datang
dari Denmark, yaitu bahwa raja mereka yang baru telah menetapkan untuk
melanjutkan pekerjaan misi Tanah Hijau. Namun bersamaan dengan kabar
baik ini, muncul seorang petobat Tanah Hijau yang kembali dari
kunjungannya di Denmark, yang ternyata menjadi pembawa bakteri cacar.
Sewaktu kembali pulang, dia bepergian dari desa ke desa, melayani
bersama Egede, dan tanpa diketahui justru menyebarkan bakteri
mematikan ke mana pun dia pergi. Tidak lama kemudian, orang-orang
Eskimo diporak-porandakan dengan penyakit dan berjuang mempertahankan
hidup mereka. Namun saat itulah kasih yang hangat dan lembut, serta
penuh pengorbanan dari pendeta yang kaku ini, dengan jelas ditunjukkan
kepada mereka. Apa yang tidak bisa disampaikan melalui kata-kata, kini
ditunjukkan dalam pelayanan yang tidak mementingkan diri sendiri.
Mendengar kemurahan hatinya, orang-orang Eskimo datang dari jauh untuk
pengobatan, dan yang paling parah di antara mereka, dibawa ke rumahnya
sendiri, di mana dia dan istrinya memberikan tempat tidur dan
perhatian yang penuh kasih kepada mereka.
Setelah bahaya itu berlalu dan ketenangan kembali ke daerah itu, Egede
memerhatikan adanya ketertarikan yang lebih besar terhadap hal-hal
rohani di antara orang-orang itu. Mereka menyayangi Egede dan orang-
orang Eskimo sekarang mencari dia untuk bimbingan rohani. Sementara
itu, orang-orang Moravia telah terbukti dalam pekerjaan misi mereka
dan segera melihat keberhasilan yang luar biasa. Pada tahun 1738,
sebuah kebangunan rohani terjadi dan di tahun-tahun berikutnya ratusan
orang Eskimo menjadi Kristen. Dipahitkan oleh iri hati dan sakit hati,
Egede menuduh Christian David menuai apa yang ia tabur. Tuduhan Egede
tentu saja memiliki sisi kebenaran, tetapi tetap menjadi fakta bahwa
metode para misionaris Moravia lebih sesuai bagi orang-orang Eskimo
daripada metode Egede. Segera gereja kecil di New Herrnhut menjadi
terlalu penuh, dan sebuah gereja baru pun dibangun oleh pengusaha kayu
sekaligus misionaris, Christian David.
Setelah kematian istrinya, Hans Egede kembali ke Copenhagen dan
menikah lagi. Dari sana, dia mengawasi pekerjaan misi Tanah Hijau dan
melatih orang-orang muda untuk pelayanan misionaris, namun dia melihat
hasil yang sangat sedikit dari kerja kerasnya. Sukacita terbesarnya
adalah melihat anaknya melanjutkan pekerjaan penginjilan di Tanah
Hijau. Anaknya, Paul, menghasilkan pelayanan yang sangat efektif di
daerah Teluk Disko, di mana kebangunan rohani terjadi dan orang-orang
dari tempat yang sangat jauh datang untuk mendengar dia berkhotbah.
Namun pelayanannya harus terhenti karena hilangnya penglihatan yang
dialaminya, tetapi hatinya masih terus di dalam misi. Dia kembali ke
Copenhagen, di situ dia melanjutkan pekerjaan penerjemahan Alkitab dan
bekerja sama dengan ayahnya dalam mengembangkan panduan doktrinal
untuk orang-orang Tanah Hijau. Hans Egede meninggal pada tahun 1758
pada usia 72 tahun, dan Paul masih hidup 30 tahun lagi, mendukung
perintisan misi di Tanah Hijau sampai akhir. (tJing Jing)
Diterjemahkan dari:
Judul Buku: From Jerusalem To Irian Jaya
Penulis: Ruth A. Tucker
Penerbit: Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan
Halaman: 74 -- 78
"FAILURE ID THE PATH OF LEAST PERSISTANCE"
Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |