Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/414

e-Konsel edisi 414 (9-10-2018)

Menyikapi Ujaran Kebencian

e-Konsel -- Menyikapi Ujaran Kebencian -- Edisi 414/Oktober 2018
 
Gambar: Situs Christian Counseling Center Indonesia (C3I)

Publikasi Elektronik Konseling Kristen
Menyikapi Ujaran Kebencian

Edisi 414/Oktober 2018

Salam konseling,

Setiap bulan Oktober, bangsa kita memperingati peristiwa Sumpah Pemuda. Semangat dari peringatan ini adalah persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh bangsa kita untuk tetap menjaga semangat ini sampai sekarang. Salah satu hal yang saat ini marak terjadi dan menjadi tantangan tersendiri adalah ujaran kebencian. Tidak sedikit pula orang percaya yang menjadi korban dari sikap yang dapat merusak kesatuan bangsa ini, atau bahkan menjadi salah satu pelakunya. Mungkin, beberapa dari kita yang terlibat dalam pelayanan konseling pernah menghadapi konseli dengan kasus ini. Atau, kita sendiri sedang mengalaminya.

Dalam edisi ini, mari kita menggali bersama mengenai apa itu ujaran kebencian, dan bagaimana seharusnya kita menyikapinya dengan benar berdasarkan firman Tuhan. Kiranya sajian edisi ini menolong kita semua, baik konselor maupun konseli yang terlibat dalam masalah ini, untuk mendapat jalan keluar yang baik berdasarkan hikmat dari Tuhan. Selamat menyimak.

Davida

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
Davida


CAKRAWALA Ujaran Kebencian

Maraknya ujaran kebencian di masyarakat Indonesia telah menimbulkan beberapa konflik horizontal. Rasa benci membuat banyak informasi menjadi bias, palsu, dan terjadi penyebaran fitnah. Tenggang rasa, empati, dan persaudaraan menjadi terkoyak hanya karena berbeda pandangan. Bahkan, serangan fisik dan bentrokan terjadi di beberapa daerah karena ujaran kebencian di media sosial.

Hate Speech

Bentuk-bentuk ujaran kebencian, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, dan penyebaran berita bohong, dapat berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, maupun konflik sosial. Sasaran ujaran kebencian, antara lain suku, agama dan kepercayaan, ras, golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel atau orang-orang berbeda secara fisik dan mental, termasuk berbeda orientasi seksual pria, wanita, atau transgender. Media ujaran kebencian, antara lain media sosial, media massa cetak dan elektronik, pamflet, spanduk, orasi kampanye, ceramah, termasuk ceramah keagamaan.

Kepolisian Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri berkenaan penanganan ujaran kebencian sebagai panduan dalam penanganan kasus-kasus ujaran kebencian. Harapannya, ketika ada kasus ujaran kebencian dalam masyarakat, tindakan pencegahan segera diambil agar tidak bergulir membesar dan antarpihak yang berselisih pun didamaikan. Jika tidak bisa didamaikan, barulah diambil langkah hukum.

Mengapa Ujaran Kebencian Marak Terjadi?

Buah Represi Masa Orde Baru

Selama 30 tahun, Indonesia hidup dalam rezim Orde Baru yang menekan kebebasan berpendapat. Pada 1998, setelah terjadi Reformasi, kebebasan berpendapat diraih, tetapi belum disertai cukup kematangan pikiran dan emosi, kesiapan bertanggung jawab, maupun kontrol diri yang baik. Pencapaian pendidikan kita masih cukup rendah secara populasi. Kualitas pendidikan lebih banyak menekankan aspek rasionalitas kognitif semata. Dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi melalui media sosial, Indonesia belum pernah mengalami badai ujaran kebencian dan pertentangan terbuka di masyarakat semasif ini. Ujaran kebencian di media sosial telah menjadi strategi kelompok tertentu untuk memprovokasi kebencian dan tindakan anarki.

Kepribadian Negativistik

Kebencian seseorang bisa berasal dari pola pikir menetap hasil pengasuhan dan pengalaman masa kecil yang buruk. Jika sejak kecil terpapar dan terbiasa menerima hinaan, ejekan, atau kata-kata merendahkan, dia cenderung menjadi pribadi yang berpandangan negatif. Memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahaya. Akibatnya, [dia] tak bisa berpikir kritis dan objektif. Hanya informasi yang disukai atau ingin dilihatnya yang diyakini benar, selain itu dianggap salah.

Situasi Politik Sesaat

Situasi politik mengubah sifat alamiah otak dan menyeret sebagian orang menuju arus kebencian. Otak manusia menyukai kesenangan. Sebab itu, secara alami, otak manusia menghindari kebencian. Kebencian menyedot energi otak dan membuat otak tumpul serta tak bisa tajam berpikir. Akibatnya, orang-orang yang membenci akan sulit berpikir dan bertindak adil. Namun, kebencian politik mudah berubah, tergantung pada kemampuan orang yang membenci untuk mengakomodasi kepentingan kelompok lain.

Peran Kita dan Keluarga

Perundungan

Sebaiknya, kita tidak usah mengomentari ujaran kebencian, apalagi menyebarkan karena akan memberi angin dukungan. Laporkan saja ke pihak berwenang. Misalnya, di Facebook, ada pilihan untuk melaporkan ke pihak Facebook tentang tindakan si pemilik akun itu. Belum tentu akun yang disebarkan posting-annya itu benar dibuat oleh pemilik akun. Bisa jadi, dia diretas atau di-hack, atau menggunakan akun palsu. Cara berikutnya bisa dengan unfollow akun itu di media sosial. Kalau akun itu masih lalu-lalang, bisa di-block saja. Jangan malah membuat orang-orang itu menjadi terkenal dan follower-nya naik. Jika akun itu melanggar hukum, bisa dilaporkan.

Jika kita terlibat dalam rasa benci, sadari bahwa kebencian itu akan merugikan diri kita sendiri: berpikir tumpul dan berat sebelah. Akui rasa benci kepada Tuhan, lepaskan, ampuni, dan ambil jarak. Berbeda pendapat tidak sama dengan bermusuhan. Dalam pilihan-pilihan politik yang berbeda, jelaskan argumentasi secara jernih dan tolak pilihan kalimat yang merendahkan maupun menghina. Izinkan perbedaan dan tidak memaksakan kehendak serta pilihan politik. Bangun keintiman dengan firman Allah dan resapi keberhargaan dalam Kristus. Amsal 10:12, "Kebencian menimbulkan pertengkaran tetapi kasih menutupi segala pelanggaran."

[Baca transkrip selengkapnya Tautan ]

Audio: Ujaran Kebencian

Diambil dari:
Nama situs : TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga)
Alamat situs : http://telaga.org/audio/ujaran_kebencian
Narasumber : Ev. Sindunata Kurniawan, M. K.
Tanggal akses : 29 Agustus 2018

 

BIMBINGAN ALKITAB Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Memandang Ujaran Kebencian?

Apa yang Alkitab Katakan?

Tidak ada definisi universal resmi mengenai ujaran kebencian. Umumnya, ujaran kebencian merupakan komunikasi yang digunakan untuk secara sengaja menyakiti kelompok apa pun yang ada, termasuk kelompok-kelompok yang dikategorikan berdasarkan etnis, gender, orientasi seksual, atau agama. Tanggapan orang Kristen bergantung pada definisi yang mana yang digunakan untuk mengartikan ujaran kebencian itu.

Komunikasi yang digunakan untuk menghasut kebencian, kekerasan, dan/atau tindakan prasangka.

Komunikasi kebencian

Alkitab mengatakan bahwa orang Kristen dipanggil untuk berdamai (Matius 5:9; 1 Korintus 7:15). Kita seharusnya tidak mencoba untuk meningkatkan kebencian maupun kekerasan dalam atau terhadap suatu kelompok. Meski demikian, "tindakan berprasangka" merupakan argumen yang buruk. Jika pilihannya adalah antara kebebasan mutlak dan standar Allah, kita seharusnya mengikuti standar Allah.

Menggunakan kata-kata untuk menghasut orang lain untuk membenci orang-orang tidak percaya merupakan hal yang salah, tetapi mengizinkan orang-orang tidak percaya tersebut menggunakan kebebasan beragama yang bertentangan dengan hak asasi manusia, seperti membunuh demi kehormatan/pahala dan pernikahan di usia dini, juga merupakan hal yang salah.

Ujaran yang bertujuan menghina suatu kelompok masyarakat atau menyakiti perasaan mereka.

Roma 12:18 berkata, "Jika mungkin, sekiranya hal itu tergantung padamu, hiduplah berdamai dengan semua orang." Meski kita tidak berusaha untuk menyerang, prioritas kita adalah pada kebenaran. Menghidupi iman kita seharusnya dilakukan dengan kepekaan tanpa mengorbankan fakta dan kebenaran alkitabiah.

Ketika berkunjung ke suatu negara kerajaan, tidaklah pantas untuk bersikap menghina atau tidak menghormati raja di negara itu. Namun, sebagai orang percaya, kita harus mengingat bahwa Yesus adalah Raja kita yang sejati.

Ujaran yang merendahkan suatu kelompok.

Semua orang diciptakan serupa dengan gambar Allah (Kejadian 1:27). Yesus secara khusus mengatakan bahwa kita tidak dipanggil untuk merendahkan orang lain (Matius 5:22).

Menyatakan bahwa suatu kelompok dan anggotanya memeluk kepercayaan yang tidak benar dan tidak alkitabiah merupakan hal yang wajar, tetapi menyebut mereka bodoh tidaklah demikian.

Komunikasi yang membenarkan, menyangkal, atau meremehkan penghinaan yang telah dilakukan kepada suatu kelompok.

Menilai rasa sakit dari suatu kelompok ketika kita tidak mengetahui sendiri tentang apa yang telah mereka alami merupakan hal yang bodoh. Ditambah lagi, bersikeras bahwa penghinaan yang mereka alami tidak pernah terjadi bisa berarti ketidaktahuan yang disengaja atau bahkan kebohongan yang bersifat terang-terangan.

Meremehkan atau menyangkal bagaimana kaum homoseksual telah dilukai dengan perkataan yang sembarangan atau jahat dari orang Kristen merupakan hal yang salah; mengakui dan meminta maaf atas penghinaan yang disebabkan oleh reaksi yang tidak saleh terhadap dosa tidak hanya dimungkinkan, tetapi juga merupakan hal yang baik.

Memaki-maki

Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa orang Kristen seharusnya mengasihi sesamanya (Matius 22:37-40), tidak membicarakan atau bersikap kepada mereka dengan penuh kebencian. Masalahnya muncul dikarenakan pengertian masyarakat mengenai "kebencian". Kita harus menghargai, mengampuni, dan berdamai, tetapi kita tetap harus menyuarakan kebenaran. Ujaran yang paling membangkitkan kebencian yang dapat dilakukan oleh orang Kristen adalah ujaran yang mendorong orang lain untuk lebih menjauh dari kebenaran dan kasih Allah.

Ini membawa kita kepada sisi mata uang yang lain. Hal yang tak terelakkan dari dunia yang sudah berdosa ini adalah bahwa mereka yang menolak Allah akan menyampaikan penolakan tersebut dalam cara yang akan merendahkan pengikut-Nya. Yesus memberi tahu kita untuk bersiap terhadap penganiayaan (2 Timotius 3:12), yang merupakan tanda bahwa kita adalah pengikut-Nya (Yohanes 15:18-19). Akan tetapi, Dia juga memberi kita sebuah contoh tentang bagaimana kita seharusnya menanggapi: "Ketika Ia diejek, Ia tidak membalas dengan ejekan; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi menyerahkan diri-Nya kepada Allah yang akan menghakimi dengan adil" (1 Petrus 2:23). Demikian juga, Yesus memberi tahu kita jika seseorang mengejek kita, kita seharusnya menanggapinya dengan lemah lembut dan tanpa menyerang (Matius 5:38-39).

Alkitab memberi tahu kita alasannya: "Pelayan Tuhan haruslah tidak bertengkar, tetapi ramah dengan semua orang, terampil mengajar, dan sabar, dengan lembut mengoreksi lawannya. Semoga Allah menganugerahi mereka pertobatan yang menuntunnya kepada pengetahuan akan kebenaran supaya mereka menjadi sadar dan melepaskan diri dari jebakan Iblis yang telah menawan mereka untuk menjalankan keinginannya" (2 Timotius 2:24-26). Setiap kata yang kita ucapkan dan setiap reaksi yang kita nyatakan melalui perkataan kita harus diukur untuk mencapai tujuan ini: membawa yang lain menuju pengertian akan kebenaran. (t/Rode)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Compelling Truth
Alamat situs : https://www.compellingtruth.org/Bible-hate-speech.html
Judul asli artikel : How should Christians view hate speech? What does the Bible say?
Penulis artikel : Compelling Truth
Tanggal akses : 14 Desember 2017

 
Kunjungi Situs Gereja.co

Jika Anda rindu supaya pelayanan gereja Anda semakin memberkati banyak orang, lengkapilah diri Anda dengan bahan-bahan dari situs Gereja.co. Situs ini menyajikan artikel, humor, biografi tokoh gereja, komunitas gereja, dan situs gereja di Indonesia ataupun mancanegara. Tersedia juga bahan berupa kursus Alkitab bahan penggembalaan khusus bagi pendeta dan gembala sidang.

Ayo, segera kunjungi situs Gereja.co dan bagikan informasi ini kepada rekan-rekan pelayanan kita supaya semua orang mendapatkan berkat yang sama.

 
Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-Konsel.
logo e-Konsel logo surel konsel@sabda.org
Facebook e-Konsel
Twitter @sabdakonsel
Redaksi: Davida, Lena, dan Markus
Berlangganan | Berhenti | Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2018 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org