Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/348

e-Konsel edisi 348 (10-9-2013)

Suami dan Keluarga

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________


e-Konsel -- Suami dan Keluarga
Edisi 348/September 2013

Salam,

Dalam sebuah pernikahan, istri dan suami harus bisa bekerja sama untuk 
mewujudkan kehendak Allah melalui pernikahan mereka. Suami dan istri memiliki 
peran masing-masing dalam keluarga. Dalam edisi bulan September, e-Konsel 
membahas tentang suami. Salah satu perannya adalah sebagai imam. Posisi ini 
sangat berharga karena suami dapat melakukan dua tugas istimewa, yaitu melayani 
Tuhan dan anggota keluarganya (istri dan anak-anak). Lalu, apa saja yang harus 
dilakukan seorang suami agar dapat menjadi imam seperti yang dikehendaki Allah? 
Simaklah sajian e-Konsel hari ini, dan jangan lewatkan pembahasan salah satu 
masalah dalam pernikahan, yaitu perselingkuhan, dalam kolom Studi Kasus. Selamat 
membaca, Tuhan Yesus memberkati.

Staf Redaksi e-Konsel,
Santi T.
< http://c3i.sabda.org/ >


BIMBINGAN ALKITABIAH: SUAMI ADALAH IMAM DALAM KELUARGA
Diringkas oleh: S. Setyawati

Allah sudah menentukan bahwa yang menjadi iman dalam sebuah keluarga adalah 
pria. Oleh karena itu, jika Anda adalah seorang pria, Anda adalah seorang imam. 
Tidak masalah apakah Anda seorang sarjana teologia atau tidak. Tugas seorang 
imam adalah melayani Tuhan dan melayani orang-orang yang dipercayakan kepadanya: 
istri dan anak-anak. Pelayanan kaum pria harus diwujudkan dalam tindakan nyata 
seperti yang diberikan Allah dalam Alkitab. Setiap laki-laki harus diperlengkapi 
sebagai seorang imam agar dapat melayani di dalam keluarga.

Seorang imam dalam keluarga harus mau berdoa bagi istrinya. Berdoa bersama akan 
menghasilkan keakraban. Saudara akan menjadi akrab dengan seseorang yang 
"kepadanya" Saudara berdoa, dan dengan seseorang yang "dengannya" Saudara 
berdoa. Suatu hari, Musa naik ke gunung Sinai. Ia tinggal beberapa saat di sana 
dan berdoa. Allah menghampirinya sehingga Musa dapat berbicara dengan-Nya 
seperti seorang "sahabat dengan sahabat". Ini membuktikan bahwa doa menghasilkan 
keakraban.

Demikian juga Yesus. Ia menjadi akrab dengan Bapa ketika Ia berdoa di Bukit 
Transfigurasi Getsemani. Kemuliaan hadirat Bapa bercahaya atas Dia. Hal ini juga 
dialami oleh para murid pada hari Pentakosta. Mereka diperlengkapi dengan kuasa 
Allah setelah mereka berdoa bersama-sama. Bahkan, mereka semakin akrab dan 
membentuk satu kesatuan. Hasilnya, dengan adanya kesatuan dan kesepakatan dalam 
doa, doa mereka berkuasa.

Ketika seorang suami berdoa bersama istrinya, ia akan menjadi akrab dengan 
istrinya. Di dalam doa, keakraban akan berkembang jauh lebih pesat daripada di 
dalam kesatuan fisik karena hal itu terjadi di dalam roh. Ketika seorang wanita 
berdoa bagi suaminya, sebenarnya ia sedang menjalin keakraban bersama suaminya 
di dalam roh, dan doa akan menarik dirinya kepada suaminya. Ia akan mengetahui 
kebutuhan-kebutuhan suaminya dan menolong suaminya untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.

Kegagalan seorang pria untuk berdoa bagi istrinya mengandung arti bahwa ia dapat 
memperoleh keintiman fisik dengan istrinya, tetapi tidak dapat mengembangkan 
keintiman roh yang menghasilkan kesatuan dengan benar. Di satu sisi, keintiman 
dapat diperoleh dengan berhubungan seks, dan di sisi yang lain dengan kesatuan 
roh. Untuk itu, jika Saudara ingin memiliki kesatuan dengan istri Saudara, 
berdoalah bagi dan dengan dia.

Setiap wanita ingin menjadi unik di dalam pandangan pribadinya. Namun, bila 
suaminya tidak pernah mendoakannya, maka ia akan menerima kebutuhan pribadinya 
yang terdalam tanpa perhatian. Setiap wanita mengharapkan keakraban dengan 
beberapa pria. Ketika ia tidak memperoleh keintiman dari suaminya, sifat 
alamiahnya akan bekerja dan mencari sumber alternatif yang lain. Pria yang 
mengenal istrinya di dalam doa akan mengenal istrinya di setiap ruang di 
rumahnya -- di ruang tamu, dapur, dan kamar tidur. Ketahuilah, melayani bukan 
hanya dengan berkhotbah. Melayani juga bisa melalui doa. Allah menetapkan kaum 
pria bertanggung jawab untuk menjadi seorang imam di dalam rumah tangga. Karena 
itu, belajarlah untuk melayani istri Anda.

Seorang pria bisa melayani istrinya dengan cara memberi keyakinan kepada 
istrinya. Setiap wanita ingin tahu apakah ia unik bagi suaminya. Itulah 
sebabnya, mengapa kaum wanita sering merasa tidak bersalah bila mereka melakukan 
hubungan seksual tanpa cinta. Jadi, tidak mengherankan jika sebelum melakukan 
hubungan intim, wanita akan terlebih dahulu bertanya, "Apakah kamu mencintai 
aku?" Seks yang dilakukan seperti mesin, tidak akan pernah bisa memuaskan 
kebutuhannya dengan benar di dalam melakukan hubungan intim. Maka dari itu, 
yakinkan istri Saudara bahwa kasih sayang Saudara hanya untuk dia. Sumpah 
pernikahan adalah suatu pengakuan yang mengandung komitmen. Namun, ketidakadaan 
komitmen menjadi pokok persoalan yang dihadapi pasangan suami istri zaman 
sekarang. Banyak pria merasa terpaksa menikah karena diselewengkan atau 
dipojokkan oleh keadaan. Alhasil, mereka senang membayangkan keadaan yang lain, 
yang lebih baik.

Suami istri yang berada dalam keraguan, melihat orang lain dan berfantasi, 
"Apakah dia orangnya?" dan "Apa yang terjadi jika saya bersama orang itu?" Hal 
ini tentu mengganggu hubungan pernikahan. Karena itu, setiap suami perlu 
menyadari bahwa kesucian kesatuan pernikahan adalah prioritas Allah yang 
tertinggi dalam setiap pernikahan. Jadi, setiap pria seharusnya menetapkan hati 
bahwa wanita yang dinikahinya adalah satu-satunya wanita yang dicintainya. 
Setelah itu, ia harus mengakuinya di dalam dirinya sendiri dan terhadap wanita 
tersebut.

Saudara melayani istri Saudara ketika Saudara mengakui bahwa dia adalah satu-
satunya wanita di dunia yang diperuntukkan bagi Saudara. Itulah jaminan baginya, 
itulah rasa aman yang dibutuhkannya. Kaum pria adalah imam. Karena itu, kaum 
pria harus melayani. Namun, sebagaimana yang Saudara lihat, melayani jauh lebih 
sulit dari berkhotbah. Melayani adalah mengasihi.

Sayangnya, kemerosotan moral saat ini sudah menciptakan filosofi yang memecah-
belah pernikahan, rumah tangga, dan masyarakat. Beberapa pria berpikir bahwa 
doktrin dan ketetapan pemisahan gereja berarti bahwa setiap agama, kesucian, 
atau kerohanian juga harus dipisahkan dari jam-jam penyembahan gereja, dan 
mereka melakukan sesuatu untuk bisa menyenangkan hati mereka saja. Itu salah.

Seorang pria tidak akan pernah berhenti melayani. Itulah kehidupannya. Ia 
melayani ketika ia sedang menjual mobil, mengontrak gedung, membuat seperangkat 
komputer, membuat keputusan kerja sama dagang, dst.. Segala sesuatu yang ada di 
dalam hidupnya adalah melayani. Banyak pria, setelah melayani orang-orang lain 
seharian, pada sore harinya sudah tidak lagi bergairah untuk melayani istrinya 
di rumah. Hal ini tentu membuat para istri mengeluh. Terkadang, kaum pria 
membela diri dengan alasan kesibukan, lelah setelah bekerja seharian, beban 
kerja, tekanan ekonomi, kegelisahan klien, namun pada saat yang sama ia melayani 
seluruh dunia. Tidak dapat disangkal, itulah harga yang harus dibayar oleh kaum 
pria. Sesampainya di rumah, ia hanya ingin dilayani. Ini salah.

Pria modern saat ini menukar istri mereka dengan bisnis. Sering kali, "sindrom 
pekerjaan" membuat pria lebih mengutamakan pekerjaan daripada istri dan anak-
anaknya. Allah menciptakan pria untuk menjadi pemimpin dan pengurus di dalam 
rumah tangga. Sayangnya, sebagian besar pria tidak mengakui bahwa mereka 
sebenarnya orang yang disuruh Allah untuk mengurusi keluarga. Kesehatan, 
pernikahan, anak-anak, pekerjaan, dan bisnis, adalah milik Allah. Kaum pria 
hanyalah pelayan. Jadi, pria harus merawat dan menghargai hal-hal itu.

Kaum pria sebenarnya sedang membuat kesalahan ketika berpikir bahwa merekalah 
yang empunya istri. Pemikiran itu membuat mereka bereaksi secara bebas terhadap 
Allah. Dan, inilah awal timbulnya semua permasalahan. Yang berhak atas kasih 
istri bukanlah si suami. Suami hanyalah seorang pengurus yang dikirim Allah 
terhadap wanita. Itulah karunia Allah atas seorang pria. Oleh karena itu, suami 
haruslah menjadi seorang pengurus, imam, dan pelayan yang baik. Layanilah istri 
Saudara. Sesekali, titipkan anak-anak kepada orang tua atau mertua Saudara. 
Lalu, berliburlah dan nikmatilah hari-hari bersama istri. Jatuh cintalah lagi 
kepadanya, dan itu akan membuat istri Saudara setia.

Setiap pasangan yang sudah menikah perlu kembali berbulan madu setiap enam bulan 
sekali, dan setidaknya pergi berlibur selama empat hari. Tanpa ada waktu spesial 
untuk Saudara berdua, maka setelah seperempat abad Saudara menikah, anak-anak 
Saudara pergi semua, Saudara akan lupa bagaimana harus mengasihi atau 
berkomunikasi. Hal ini dapat memunculkan kata-kata perpisahan.

Kesimpulan

Berdoalah untuk dan bersama istri Saudara. Kembangkan keakraban di antara 
Saudara dan istri Saudara. Akuilah bahwa ia adalah istri Saudara. Dengan 
melayani istri, Saudara akan membuatnya tenang. Tindakan Saudara tersebut akan 
menyenangkan hatinya. Bawalah dia berlibur dan berilah perhatian penuh baginya. 
Jatuh cintalah lagi secara periodik terhadapnya. Pria, Saudara tidak punya 
pilihan lain. Allah memanggil Saudara untuk menjadi imam di dalam rumah tangga 
Saudara.

Diringkas dan disunting dari:

Judul asli buku: Maximized Manhood -- A Guide to Family Survival By Edwin Louis Cole
Judul buku terjemahan: Kesempurnaan Seorang Pria -- Penuntun Kepada Kelangsungan Hidup Keluarga
Judul bab: Adakah Seorang Imam di dalam Rumah Tangga Saudara?
Penulis: Edwin Louis Cole dengan Dough Brendel
Penerjemah: Daniel S.E.P. Simamora
Penerbit: Metanoia, Jakarta
Halaman: 80 -- 91


STUDI KASUS: WIL (WANITA IDAMAN LAIN)

Tidak satu pun pasangan menikah yang membayangkan atau mengharapkan adanya 
interupsi pria atau wanita lain dalam keluarganya. Namun, di tengah dunia yang 
sangat berdosa dan berbahaya ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa keluarga bisa 
tersentuh oleh masalah ini, entah berapa besar kadarnya. Di dalam kekristenan, 
hal ini harus diperangi secara total. Kekristenan secara keseluruhan, juga 
setiap orang Kristen, bertanggung jawab dan harus secara serius melawan segala 
bentuk interupsi pihak ketiga ini. Namun, jika kita terjebak di dalamnya, kita 
perlu memiliki sikap yang berbeda dari sikap dunia terhadap kondisi ini.

Banyak kasus yang sudah berjalan dengan sangat kompleks, beberapa pihak sudah 
saling merusak dan menimbulkan luka batin yang berat. Pelanggaran seksual sering 
kali menimbulkan masalah relasi yang sulit dipulihkan. Maka dari itu, di dalam 
banyak kasus, masalah perselingkuhan ini harus diselesaikan dengan bijaksana. 
Dalam banyak kasus, masalah perselingkuhan, apalagi yang sudah berjalan lama dan 
panjang, tidak bisa dipulihkan lagi ke kondisi semula. Dalam kasus seperti ini, 
seluruh relasi sudah rusak, dan kita hanya bisa berusaha melakukan usaha 
meminimalisasi (mengecilkan sekecil-kecilnya) dampak kerusakan dan juga ekses 
yang ditimbulkan. Dalam hal ini, kita hanya mencoba mendapatkan yang lebih baik 
dari apa yang sudah rusak.

Namun, jika kasus ini masih sangat dini dan ada kesadaran untuk menyelesaikan, 
maka setiap pihak yang terlibat perlu melakukan kewajibannya masing-masing 
dengan takut akan Tuhan.

1. Dari si pelaku.

Jika suami atau istri selingkuh, ia harus segera bertobat. Ia harus sadar 
selingkuh itu dosa yang paling dibenci oleh Tuhan dan tidak ada pilihan lain, 
kecuali sepenuhnya bertobat. Kalau tidak, Tuhan pasti menghukumnya. Ia harus 
ingat akan janji nikah yang telah diikrarkannya di depan altar. Itu bukanlah 
suatu permainan, tetapi dinyatakan di hadapan Tuhan dan harus siap menghadapi 
hukuman Tuhan yang pahit ketika melanggarnya. Kita terkadang bisa jatuh karena 
manusia tidak sempurna. Namun, bukan berarti kita boleh berbuat dosa semaunya 
dan tidak bertanggung jawab. Tuhan tidak akan menoleransi perbuatan seperti itu. 
Biasanya, kasus ini tidak terjadi secara mendadak dan kesalahan terletak di 
kedua belah pihak. Berarti, dari pihak pasangan juga harus mengevaluasi diri. 
Namun, itu pun tetap bukan alasan untuk berselingkuh.

2. Dari teman hidupnya.

Dalam masalah perselingkuhan, pihak yang tidak melakukan merasa sebagai pihak 
yang benar, lalu berusaha menghancurkan seluruh kehidupan pihak yang 
berselingkuh. Ia berpikir dengan cara itu, dapat menarik pasangannya kembali. 
Padahal, cara bermain keras seperti itu merusak semua relasi, menjadikan situasi 
semakin keruh, dan sulit dipulihkan. Perlu disadari, kasus perselingkuhan adalah 
masalah dari kedua belah pihak. Yang pertama, adalah kegagalan di dalam 
pembentukan dan proses penyelenggaraan keluarga. Artinya, keluarga itu sudah 
gagal dan tidak bisa berproses secara benar. Keadaan ini adalah masalah kedua 
belah pihak, bukan cuma satu pihak. Itulah sebabnya, kedua belah pihak harus 
bersama-sama mengevaluasi diri dan bertobat. Dalam hal ini, teman hidupnya tidak 
bisa mempersalahkan pasangannya sepenuhnya. Ia sendiri pasti turut ambil bagian, 
entah secara pasif atau aktif. Kalau seorang suami terus-menerus menekan dan 
melecehkan istrinya, serta tidak lagi mengasihi dan memperhatikannya, jangan 
kaget kalau istri itu akan berselingkuh dengan pria lain yang memperhatikan dia. 
Terlalu banyak alasan lain yang dapat menyebabkan pasangan kita berselingkuh. 
Maka dari itu, teman hidup pelaku itu harus melihat kesalahan dirinya juga dan 
bertobat, serta memperbaiki kesalahan tersebut sehingga permasalahan ini bisa 
diselesaikan dengan baik.

3. Dari PIL dan WIL.

Ia harus sadar bahwa merusak keluarga orang adalah dosa yang besar. Tidak ada 
alasan apa pun yang bisa membenarkannya. Dalam kasus ini, PIL atau WIL merasa 
menjadi "juru selamat" yang menolong kekasih gelapnya, yang telah disia-siakan 
atau dirugikan oleh teman hidupnya. Akan tetapi, cara penyelesaian dengan 
mengambil alih posisi teman hidup adalah suatu pelanggaran terhadap Allah. 
Ingat, pernikahan adalah lambang ikatan Kristus dan jemaat. Dengan 
perselingkuhan, seseorang telah menginterupsi relasi agung ini. Itu adalah dosa 
besar. Jika mau menolong, harus memulihkan ketidakberesan yang terjadi di dalam 
keluarga itu, bukan memecahkannya. PIL atau WIL harus merelakan dan 
mengembalikan "mangsanya" kepada teman hidupnya yang berhak dan yang benar. Apa 
yang dipersatukan Allah jangan diceraikan oleh manusia. Hendaklah ia selalu 
memikirkan hal ini sebagai tuntutan yang akan jatuh kepadanya dan menghasilkan 
penghukuman bagi dirinya.

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Indahnya Pernikahan Kristen
Judul bab: Tips dalam Pernikahan
Judul asli artikel: PIL dan WIL
Penulis: Sutjipto Subeno
Penerbit: Momentum, Surabaya 2010
Halaman: 124 -- 127


Kontak: konsel(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati, Santi T., dan Adiana
Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-konsel/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org