Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/233

e-Konsel edisi 233 (15-3-2011)

Berdamai dengan Diri Sendiri

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

EDISI 233/MARET 2011

DAFTAR ISI
CAKRAWALA: BELAJAR MENGAMPUNI DIRI SENDIRI
TELAGA: KONSEP DIRI
ULASAN BUKU: KONSELING YANG EFEKTIF DAN ALKITABIAH

Salam kasih,

Ketika Anda sadar, Anda telah melakukan kesalahan -- entah disengaja
maupun tidak, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda merasa baik-baik
saja, seolah-olah tidak terjadi sesuatu? Atau Anda merasa Anda telah
melakukan suatu dosa yang sangat besar, yang mengakibatkan Anda
berpikir tidak mungkin Tuhan akan mengampuni kesalahan Anda? Sebagai
orang percaya, kedua sikap tersebut tidak berkenan kepada-Nya. Ketika
Anda telah berbuat salah, jangan ragu untuk meminta maaf. Jangan juga
Anda bersikap menyiksa diri Anda sendiri dengan pikiran-pikiran
negatif, sehingga membuat Anda tidak bisa mengampuni diri Anda
sendiri.

Mengampuni diri sendiri adalah salah satu cara untuk berdamai dengan
diri sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa berdamai dengan Allah dan
sesama, jika dengan diri sendiri saja kita masih bermusuhan. Apa yang
dimaksud dengan mengampuni diri sendiri dan bagaimana caranya
mengampuni diri sendiri? Temukan jawabannya di e-Konsel edisi ini.
Simak juga artikel dari TELAGA yang terkait dengan masalah diri, yang
berguna untuk memperlengkapi pelayanan Anda. Kami juga menyajikan
ulasan buku konseling sebagai bahan pertimbangan yang dapat Anda
gunakan jika Anda hendak membeli buku-buku seputar konseling. Harapan
kami, semoga sajian kami bermanfaat untuk Anda. Selamat membaca.

Pimpinan Redaksi e-Konsel,
Sri Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://c3i.sabda.org/ >

            CAKRAWALA: BELAJAR MENGAMPUNI DIRI SENDIRI

Mengampuni diri sendiri bukan berarti penyangkalan terhadap rasa
bersalah atau rasa menyesal. Saat mengampuni diri sendiri, kita tidak
berkata bahwa kita benar atau kita hanyalah korban yang tidak
bersalah; istilah rohaninya: tidak berbuat dosa. Mengampuni diri
sendiri tidak serta-merta menghilangkan akibat kesalahan kita atau
berakhir dengan rekonsiliasi.

Mengampuni diri sendiri mengharuskan kita untuk membuang perasaan
malu, baik yang berasal dari dosa atau kesalahan, karena keduanya
dapat melemahkan perkembangan kepribadian diri. Kita tidak perlu hidup
dengan rasa bersalah seumur hidup. Kita harus belajar mengampuni diri
sendiri.

Mengapa Kita Perlu Mengampuni Diri Sendiri?

Mengampuni diri sendiri adalah sesuatu yang harus dilakukan. Yesus
Kristus datang ke dunia untuk mengajar dan memberi contoh tentang
pengampunan. Meskipun kita bisa merasa sedih dan menyesali setiap
kegagalan, kita tidak perlu terus-menerus tenggelam dalam perasaan
bersalah dan malu. Mengampuni diri sendiri merupakan langkah positif
yang harus dilakukan. Mengampuni diri sendiri akan menguatkan kita.
Mengampuni berarti menganggap seseorang lebih berharga dibanding dosa
atau kesalahannya. Kita mungkin bersedih ketika menyadari
kekurangan-kekurangan kita. Banyak orang Kristen yang suka menghakimi
dan menghukum diri sendiri. Kita bersikap keras terhadap diri sendiri.
Kita menjadi tidak efektif jika kita merasa tidak berharga. Saat kita
menghabiskan energi untuk menyalahkan diri sendiri, kita sedang
membatasi energi untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Citra diri kita
akan sangat menderita sampai kita belajar mengampuni diri sendiri.
Mengampuni diri sendiri memampukan kita untuk memusatkan perhatian
kepada orang lain.

Jika kita tahu orang lain tidak akan menyukai kita bila mereka
mengetahui kegagalan kita, maka kita tidak akan bisa mengasihi mereka
seperti Yesus melakukannya. Berhenti bersikap merendahkan diri sendiri
akan memampukan kita untuk menghasilkan buah-buah Roh. Saat kita
menerima pengampunan Kristus dan mengampuni diri sendiri, kita bebas
untuk mengasihi.

Setelah kita menerima pengampunan dari Allah, pengampunan terhadap
diri sendiri menghapus rasa malu seperti yang rasul Paulus sebut
"dukacita menurut kehendak Allah." (2 Korintus 7:10) Keluar dari
perlindungan yang salah terhadap rasa malu psikologis menuju
aliran-aliran dukacita ilahi yang misterius itu, seperti terbang dari
satu pijakan ke pijakan lainnya. Suatu saat, kita harus melepaskan
pegangan kita pada satu-satunya penopang kita agar bisa berpindah ke
tempat yang baru. Kita tidak bisa memahami kebebasan untuk mengasihi
bila kita tidak membuang rasa malu. Pada satu sisi, mengampuni diri
sendiri melalui dukacita menurut kehendak Allah memberi kesempatan
bagi kita untuk berhenti memikirkan kegagalan-kegagalan kita. Dengan
menjalani hidup yang ekstrem, kita justru bisa memiliki kebebasan
untuk melakukan sesuatu yang kreatif dan bermanfaat bagi hidup kita.
Kuasa pengampunan juga mendorong kita untuk melakukan tindakan yang
bertanggung jawab.

Apa yang Terjadi Jika Kita Tidak Mengampuni Diri Sendiri?

Jika rasa malu terus berkembang, kita akan terjebak dalam kehidupan
yang penuh rasa malu. Kita mulai terdoktrin bahwa pada dasarnya ada
yang salah dengan kita sehingga kita pantas disalahkan. Kita ragu
bahwa kita bisa diampuni. Rasa malu yang kita rasakan karena peristiwa
masa lalu merenggut kepuasan akan pencapaian baru kita. Kita tidak
pernah merasa cukup baik. Rasa malu melumpuhkan kita dan rasa takut
membuat kita tidak berdaya. Rasa malu membuat kita merasa dikontrol
dan tidak dikasihi. Ketidakberdayaan mengatasi rasa malu dan kemarahan
terhadap diri sendiri yang tidak perlu, menuntun kita untuk melakukan
bentuk-bentuk kompensasi yang tidak sehat. Kita mungkin memiliki gaya
hidup ekstrem, melakukan hal-hal yang bersifat destruktif seperti gila
kerja, penyalahgunaan wewenang, kecanduan makanan, seks, atau gila
belanja. Kita menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan atau menutup
diri dari orang lain. Kita takut kalau orang lain mengetahui aib kita
dan melihat diri kita yang sesungguhnya.

Bagaimana Kita Mendapatkan Pengampunan -- Khususnya Jika Orang Lain
Tidak Mau Memaafkan Kita?

Orang lain pasti bereaksi terhadap kegagalan-kegagalan kita, tetapi
jangan biarkan reaksi mereka membuat kita tidak bisa mengampuni diri
sendiri. Seorang pendeta bijak pernah berkata, "Langkah pertama untuk
mendapatkan pengampunan dari Allah adalah dengan memberikan
pengakuan". Pengampunan diri sendiri dimulai dengan cara yang sama.

Langkah-langkah untuk mengampuni diri sendiri:

1. Akuilah dengan menyebutkan apa saja yang perlu diampuni.

Dengan menyatakan pengakuan kita secara jelas, kita bisa fokus
terhadap sumber rasa malu. Pengakuan berarti menempatkan kebenaran
sebagai dasar tindakan dan pertumbuhan. Pertobatan karena perbuatan
buruk muncul setelah pengakuan. Selanjutnya, kita bisa bergantung pada
pertolongan Allah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada masa
yang akan datang.

2. Sebisa mungkin, perbaikilah kegagalan-kegagalan masa lalu.

Sesudah kita membuat perbaikan, segera ambil langkah untuk keluar dari
bayang-bayang rasa malu pada masa lalu.

3. Selidikilah akar rasa malu Anda.

Menyelidiki akar rasa malu dengan seorang ahli memberikan keuntungan
jangka panjang. Ketika kita menyelidiki akar rasa malu itu, kita bisa
memutuskan untuk melakukan sesuatu di area-area yang rentan mendapat
kecaman.

4. Ekspresikan perasaan Anda dan pilihlah itu sebagai petunjuk
perubahan.

Sebagai contoh, "Aku masih jengkel tiap kali aku ingat bagaimana ibuku
yang pemabuk itu berteriak-teriak di depanku. Aku sangat terpuruk.
Hingga hari ini aku masih merasa malu karena aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan. Aku sadar, aku tidak bisa mengubah masa lalu,
tetapi saat ini aku benar-benar kewalahan. Daripada merasa malu, lebih
baik aku menggunakan kesempatan ini untuk mengalahkan perasaan malu
dan minderku". Setelah itu Anda bisa merasa lega dan siap untuk
melakukan perubahan.

5. Ungkapkan keputusan untuk mengampuni diri sendiri.

Kita bisa mengungkapkan keputusan kita untuk mengampuni diri sendiri
lewat doa, lukisan, atau jurnal pribadi. Kita bisa mengatakannya
kepada teman yang kita percaya, cermin, alat perekam, atau seorang
konselor. Kita juga bisa mengungkapkannya dalam bentuk-bentuk kreatif
lainnya, misalnya menulis daftar kesalahan pada kartu-kartu indeks
lalu membakarnya satu per satu ke dalam perapian.

Pengampunan adalah suatu gagasan, tindakan dari suatu keinginan, dan
sikap. Pengampunan bukanlah suatu perasaan. Coba katakan, "Aku tahu,
mengampuni diri sendiri berarti mengakui bahwa aku memiliki
keterbatasan, dan bahwa aku tidak bisa selalu menyenangkan orang lain.
Karena itu, aku mengampuni diriku sendiri karena rasa malu atas
semuanya ini. Aku memilih menolong diriku dan meninggalkan rasa
maluku. Aku menerima pengalaman ini untuk membantuku bertumbuh."

Sebagian besar orang menyadari bahwa mengasihi adalah sebuah
keputusan. Kita bisa memilih untuk mengasihi dan menghormati diri kita
sendiri -- tidak peduli apa yang kita rasakan tentang masa lalu --
karena Allah lebih dulu mengasihi kita. Mengampuni diri sendiri adalah
bagian dari mengasihi diri sendiri, sehingga kita bisa mengasihi orang
lain.

Sepanjang hidup, kita terus menyimpan perasaan malu. Kita
mengumpulkannya sedikit demi sedikit ke dalam sebuah ransel mental.
Setiap kali kita mengalami rasa malu yang baru atau menghidupkan
kembali sengatan rasa malu sebelumnya, kita melemparkan
perasaan-perasaan itu ke dalam ransel khayalan kita. Kita menyeret
beban berat yang terus bertambah setiap hari. Akan tetapi, saat kita
mengampuni diri sendiri, kita sedang melemparkan semua beban kita ke
tempat sampah dan berjalan bebas dari rasa malu. Tanpa ada ransel
untuk menyimpan rasa malu pada masa yang akan datang, kita bisa
menjadikan pengampunan diri sendiri sebagai gaya hidup.

Kita bisa memercayai pengampunan kita sendiri. Jika perasaan ragu
datang kembali, kita boleh mengakui perasaan tersebut sebagai suatu
kenyataan, lalu menenangkan diri sambil mengingat kapan dan di mana
kita telah mengampuni diri sendiri. Saya tidak mengerti mengapa
perasaan yang mengganggu itu kadang-kadang muncul lagi ke permukaan
setelah pengampunan diri sendiri. Barangkali emosi kita cenderung
kembali ke pola lama yang kita kenal. Mungkin Yesus mengizinkan
perasaan-perasaan tersebut untuk mengingatkan kita betapa Dia
menghendaki kita untuk terus datang kepada-Nya dengan segala perasaan
atau keinginan yang mengganggu kita. Setelah semuanya itu, Dia
berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat,
Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28)

Sesudah kita benar-benar mengampuni diri sendiri, kita bisa melatih
pikiran untuk memutar kembali video pengampunan diri sendiri. Kita
bisa mengingat bagaimana kita membuang ransel yang penuh dengan rasa
malu kita ke tempat sampah, dan kita bisa merasa tenang dalam
kebenaran. Setelah itu kita bisa memandang ke depan -- ke masa depan
dengan bebas, penuh dengan petualangan, dan penuh dengan harapan.
Bahkan lebih dari itu, kita bisa memusatkan perhatian untuk mengasihi
sesama. (t/Setya)

Diterjemahkan dan diringkas dari:
Judul asli buku: The Me I See -- A Christian Approach to Self-Esteem
Judul asli artikel: Learning to Forgive Ourselves
Penulis: Jay Frye
Penerbit: Beacon Hill Press of Kansas City, Missouri 1994
Halaman: 40 -- 45

                           TELAGA: KONSEP DIRI

Konsep diri merupakan cara seseorang memandang atau menggambarkan
dirinya. Kita dapat memiliki gambaran yang baik dan menyenangkan
tentang diri kita. Sebaliknya, kita juga bisa memunyai gambaran yang
buruk tentang diri sendiri.

Konsep diri merupakan bagian yang sangat penting dalam kepribadian dan
hidup kita, karena selain menyangkut aspek pengetahuan, juga
menyangkut aspek perasaan. Konsep diri menentukan bagaimana kita
bereaksi atau menanggapi dunia di luar kita, dan menentukan juga
sejauh mana kita puas dengan hidup kita.

Konsep diri sebetulnya relatif stabil, tapi tetap dapat berubah secara
perlahan. Kita bisa mengubahnya seiring dengan berjalannya waktu.
Jadi, kita tidak harus terus-menerus tersiksa dan dibelenggu oleh
gambaran diri yang buruk. Ketika gambaran diri kita semakin membaik,
kita pun semakin mampu menghargai diri sehingga relasi kita dengan
Tuhan dan orang lain pun semakin baik pula. Tapi sekali lagi proses
ini membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Jika kita memiliki konsep diri yang baik, kita akan merasakan betapa
berharganya diri kita. Kita tidak akan mudah kecewa dan kecil hati
karena diremehkan atau dihina orang lain. Selain itu, kita pun tidak
mudah dipatahkan oleh penderitaan. Karena merasa diri berharga, kita
pun terdorong untuk lebih memerhatikan orang lain.

Konsep diri haruslah didasarkan pada pandangan yang objektif dan
sehat, sebagaimana yang diwahyukan Tuhan di dalam Alkitab. Dengan
dasar ini, kita akan lebih mampu menghargai dan menerima diri, serta
memiliki kehidupan yang lebih memuaskan di dunia ini.

Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang
yang Kautempatkan, apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah
anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah
membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan
kemuliaan dan hormat. (Mazmur 8:4-6)

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: TELAGA.org
Alamat URL: http://telaga.org/audio/konsep_diri
Judul transkrip: Konsep Diri (T173A)
Penulis: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Tanggal akses: 5 Februari 2011

          ULASAN BUKU: KONSELING YANG EFEKTIF DAN ALKITABIAH

Judul asli buku: Effective Biblical Counseling: A Model for Helping
                 Caring Christian Become Capable Counselors
Penulis: Dr. Larry Crabb
Penerjemah: Dra. Agnes Maria Frances
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta dan Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1995
Ukuran buku: 14 x 21 cm
Tebal: 251 halaman

Berbeda dari bukunya yang berjudul "Basic Principles of Biblical
Counseling", yang menawarkan pemikiran filosofis dan konseptual. Buku
Larry yang satu ini lebih menitikberatkan pada model konseling yang
bisa digabungkan ke dalam fungsi gereja lokal. Meskipun ada perbedaan,
namun konsep kedua buku Larry tersebut tetap sama -- berdasar pada
Alkitab dan mengajarkan konsep serupa dengan gambar Kristus.

Konseling merupakan sarana yang bisa dipakai untuk menyelamatkan atau
menuntun orang dalam mengambil keputusan yang benar sesuai kehendak
Tuhan. Dr. Larry Crabb menulis buku ini untuk membekali Anda menjadi
konselor Kristen yang andal. Pembahasan-pembahasan seputar konseling
yang disampaikan oleh Dr. Crabb mencakup sasaran konseling,
kekristenan dan psikologi, kebutuhan-kebutuhan pribadi, motivasi,
sebuah model sederhana bagi konseling, hingga konseling dalam kelompok
Kristen. Semuanya disajikan secara runtut, jelas, dan lengkap. Dalam
uraiannya, Dr. Crabb tidak jarang melampirkan diagram dan kasus-kasus
nyata yang memudahkan pembaca mengambil inti pelajaran yang
disampaikan. Di setiap akhir bab, Dr. Crabb memberikan ringkasan dan
catatan yang berisi daftar pustaka untuk membantu pembaca menarik
kesimpulan dan mendapatkan referensi tanpa harus membolak-balik
halaman. Banyak istilah konseling yang dipakai dan dijelaskan oleh Dr.
Crabb, sehingga pembaca pun dapat memperoleh wawasan yang baru.

Peresensi: Sri Setyawati

Kontak: < konsel(at)sabda.org >
Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Yulia Oeniyati
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/konsel >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org