Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/26

e-Konsel edisi 26 (15-10-2002)

Pastoral Konseling

><>                 Edisi (026) -- 15 Oktober 2002                <><

                               e-KONSEL
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Daftar Isi:
   - Pengantar
   - Cakrawala : (1) Kelebihan dan Batasan dalam Pastoral Konseling
                 (2) Isu-isu dalam Pastoral Konseling
   - Tips      : Ciri-ciri "Professional Pastor" yang Trampil
   - Surat     : e-Konsel Sebagai Bahan Sharing

*REDAKSI -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*- REDAKSI*

                    -*- PENGANTAR DARI REDAKSI -*-

  Keterlibatan seorang hamba Tuhan (pendeta) dalam pelayanan konseling
  merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Ketika seorang jemaat
  datang dan berbicara kepada pendeta tentang masalah-masalah hidup
  atau rohaninya, maka saat itu pelayanan konseling sedang dilakukan.
  Namun sayang banyak pendeta yang sering kali tidak mempergunakan
  waktu ini dengan baik, bahkan ada yang tidak mengetahui dengan jelas
  apa pelayanan "Pastoral Konseling" itu.

  Apakah sebenarnya "Pastoral Konseling"? Hal-hal apa yang perlu
  diperhatikan dalam pelayanan pastoral konseling? Apakah kelebihan
  dan batasan-batasan pelayanan ini? Untuk menjawab dan membuka
  wawasan kita tentang pelayanan pastoral konseling, maka pada edisi
  ini kami memilih topik "Pastoral Konseling" sebagai pokok bahasan
  kita yang utama. Kiranya melalui sajian ini pendeta dan konsele yang
  terlibat dalam pelayanan pastoral konseling bisa mendapatkan manfaat
  yang besar.

  Selamat melayani.

  Tim Redaksi


*CAKRAWALA *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* CAKRAWALA*

Artikel (1)
===========

    -*- KELEBIHAN DAN BATASAN-BATASAN DALAM PASTORAL KONSELING -*-

  Kita telah mengetahui bahwa meskipun pastoral konseling berhubungan
  dengan bentuk-bentuk konseling lainnya, pastoral konseling juga
  memiliki bentuk khusus yang membedakannya dari bentuk-bentuk
  konseling lainnya. Ciri-ciri pastoral konseling berkaitan baik
  dengan kelebihan maupun keterbatasannya.

  Kelebihan utama pastoral konseling adalah:
  -----------------------------------------
  - Pelatihan pelayanan secara teologi;
  - Ketajaman rohani;
  - Penggunaan sumber-sumber rohani;
  - Adanya kepercayaan dan penyesuaian proses konseling sehubungan
    dengan pelayanan sebagai seorang pribadi dan sebagai perwakilan
    dari gereja;
  - Kesempatan untuk menggunakan sumber-sumber seputar kehidupan
    berjemaat;
  - Kesempatan untuk mengambil inisiatif dalam membangun suatu
    hubungan konseling dan kemungkinan diadakannya intervensi awal;
  - dan Kesediaan pelayanan-pelayanan konseling dengan mengabaikan
    masalah pembayaran.

  Ada juga batasan-batasan tertentu dalam pastoral konseling:
  ----------------------------------------------------------
  Batasan PERTAMA adalah waktu. Hanya sedikit pendeta (jika ada) yang
  memiliki waktu bagi semua jemaatnya yang membutuhkan konseling.
  Bahkan pendeta yang tanggung jawab utamanya adalah memelihara dan
  memberikan konseling pun merasa kekurangan waktu; tekanan dari
  tanggung jawab lain seringkali memungkinkan untuk melihat bahwa
  seseorang mengalami krisis yang parah. Namun sayangnya hal ini
  merusak kelebihan pastoral yang unik dari konseling intervensi awal
  yang potensial dan berorientasi-prevensi. Meskipun demikian, seperti
  yang diketahui banyak pendeta, permintaan pelayanan adalah tekanan
  yang konstan, mengurangi waktu yang tersedia untuk konseling dan,
  dalam beberapa kasus, membatasi konseling untuk intervensi-
  intervensi yang jelas.

  Batasan KEDUA berhubungan dengan pelatihan yang biasanya diperoleh
  para pendeta dalam psikologi. Dalam beberapa kasus, pelatihan ini
  hanya bersifat sementara dan mempunyai implikasi untuk jenis
  konseling yang perlu ditangani. Beberapa model pastoral konseling
  memisalkan pengetahuan yang lebih maju tentang teori kepribadian dan
  psikoterapi dan merupakan pertanyaan-pertanyaan berguna bagi para
  pendeta yang hanya mengikuti satu atau dua kursus psikologi atau
  konseling. Sebagian besar pendeta tidak memiliki latar belakang yang
  dibutuhkan dalam teori kepribadian dan psikologi psychotherapeutic
  untuk memberikan psikoterapi rekonstruktif yang intensif. Atau
  mereka juga tidak memiliki pra-syarat pelatihan mengenai
  psikodiagnostik dan psikopatologi untuk memberikan perawatan total
  bagi beberapa individu yang bermasalah. Para pendeta, sama seperti
  konselor profesional lainnya, harus secara jelas menyadari
  keterbatasan mereka dalam bersaing dan siap serta bersedia
  mengalihkannya kepada orang lain ketika keterbatasan-keterbatasan
  itu dicapai. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam keterbatasan ini.
  Namun pastoral konseling seharusnya tidak dipandang sebagai suatu
  pengganti bagi terapi medis atau terapi psikologi lainnya. Ketika
  terapi lain dibutuhkan, pastoral konseling masih merupakan sumber
  pertolongan tambahan yang khusus dan berguna.

  Batasan KETIGA berhubungan dengan konflik yang mudah sekali muncul
  ketika pendeta berganti profesi dan mengaitkan dengan apa yang
  dilihat dalam konseling dengan berbagai jenis peran lainnya. Tidak
  sama seperti para profesional konseling lainnya, pendeta tidak
  memiliki batasan kontak yang istimewa dengan para klien-nya di luar
  kantor konseling. Alasan mengapa para psikoterapis membatasi kontak
  adalah jika kontak tersebut menyulitkan terapi, kadang-kadang meng-
  kontaminasi perawatan secara menyeluruh sehingga kontak ini harus
  dihentikan. Aturan-aturan yang mengatur pelaksanaan pertemuan-
  pertemuan psikoterapi passien dan ahli terapinya dibuat untuk
  memfasilitasi tugas 'psychotherapeutic'. Aturan-aturan ini berbeda
  dengan aturan yang terkait dengan masalah sosial, bisnis, atau
  hubungan kekeluargaan. Namun, pendeta secara rutin bertemu dengan
  mereka yang terlibat dalam konseling melalui berbagai peran mereka.
  Hal ini seringkali membuat baik pendeta maupun jemaatnya dalam
  situasi yang janggal, terutama dalam hubungan konseling jangka
  panjang.

  Batasan KEEMPAT berhubungan dengan tidak adanya pembayaran. Meskipun
  hal ini merupakan kelebihan yang membuat bantuan pendeta tersedia
  bagi mereka yang terbatas sumber keuangannya, tidak adanya
  pembayaran akan menurunkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab dalam
  proses konseling. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan bahwa
  seseorang mengambil keuntungan dari waktu pelayanan, menggunakannya
  dengan cara-cara yang tidak produktif. Tidak adanya pembayaran,
  bagaimanapun juga, bisa merupakan kelebihan maupun kekurangan dari
  pastoral konseling yang biasa dilakukan.

  Pastoral konseling tampaknya, sesuai dengan uraian di atas,
  menempati posisi terbaik sebagai konseling yang terfokus dan berani.
  Terapi intensif jangka panjang tampaknya tidak sesuai dengan
  terbatasnya waktu dari sebagian besar pendeta, atau sebagian besar
  pendeta tidak pernah mengikuti pelatihan yang penting dan tidak
  memiliki latar belakang psikologi sehingga tidak memiliki pengalaman
  yang sesuai ataupun produktif. Konseling jangka pendek juga membuat
  para pendeta dapat menghindari beberapa pemindahan komplikasi yang
  digolongkan sebagai bagian utama dari pertemuan konseling jangka
  panjang. Secara ringkas, pastoral konseling harus benar-benar
  terfokus, dan fokus yang sarankan sebaiknya berhubungan dengan
  tujuan utama dari pertumbuhan rohani.

-*- Artikel diterjemahkan dari sumber -*-:
  Judul Buku   : Strategic Pastoral Counseling
  Penulis      : David G. Benner
  Judul Artikel: The Uniqueness of Pastoral Counseling
  Penerbit     : Baker Book House, 1998
  Halaman      : 33 - 36


Artikel (2)
===========

              -*- ISU-ISU DALAM PASTORAL KONSELING -*-

  APA ITU PASTORAL KONSELING?
  ---------------------------

  Definisi:
     Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal
     relationaship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb.)
     sebagai konselor dengan konselenya (klien, orang yang minta
     bimbingan), dalam mana konselor mencoba membimbing konselenya ke
     dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (condusive
     atmosphere) yang memungkinkan konsele itu betul-betul dapat
     mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya
     sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya di mana ia berada, dsb;
     sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan
     tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan itu
     dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah
     diberikan Tuhan kepadanya.

  Berdasarkan definisi di atas kita bisa melihat paling tidak ada
  empat aspek penting yang harus dikenal oleh setiap konselor (hamba
  Tuhan), yaitu:
  a. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara
     konselor dengan konselenya.
  b. Hamba Tuhan sebagai konselor.
  c. Suasana percakapan konseling yang ideal (condusive atmosphere).
  d. Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada
     Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan
     kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan padanya.

  [Red.: Kami akan menyajikan aspek pertama dari keempat aspek
   tersebut dalam artikel ini, dan bagian dari aspek kedua dalam
   kolom Tips.]

  HUBUNGAN TIMBAL BALIK (INTERPERSONAL RELATIONSHIP) ANTARA PENDETA
  DAN KONSELENYA.
  -----------------------------------------------------------------

  Pastoral Konseling adalah suatu interpersonal relationship, suatu
  dialog (dan bukan monolog) yang terjadi antara pendeta dan
  konselenya, yang bisa melibatkan, seluruh aspek kehidupan mereka
  masing-masing. Sebagai konselor, pendeta tidak hadir sebagai
  pengkotbah di atas mimbar yang memberikan firman Tuhan, nasihat,
  teguran, dan ajaran pada konselenya; karena ia sekarang berhadapan
  muka dengan konselenya sebagai dua pribadi yang utuh, yang masing-
  masing punya hak (dan kebebasan) untuk mengekspresikan dirinya.

  "Kenapa" hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu dialog.

  Pertama, oleh karena role (peran) seorang konselor tidak sama dengan
  role seorang pengkhotbah. Sebagai pengkotbah, seorang hamba Tuhan
  membawa role yang lebih cenderung pada role Nabi yang memberitakan
  firman Tuhan. Secara praktis ia adalah seorang mediator (pada saat
  berada di atas mimbar antara Allah dan umat-Nya. Oleh sebab itu,
  kata-kata dan pidato yang ia sampaikan dari atas mimbar boleh
  (bahkan seharusnya) diterima sebagai firman Tuhan sendiri. Jemaat
  adalah penerima kotbahnya yang ia persiapkan dengan kepercayaan
  bahwa itulah yang dibutuhkan oleh mereka. Padahal sebagai konselor,
  seorang hamba Tuhan membawakan role yang lebih cenderung pada role
  Imam. Oleh sebab itu sama seperti Tuhan Yesus ia terpanggil untuk
  mengorbankan dan merendahkan dirinya sendiri menjadi sama (equal)
  dengan konselenya (Filipi 2:5-8).

  Kedua, oleh karena sebagai konselor, hamba Tuhan menyadari bahwa
  satu-satunya kemungkinan untuk membawa percakapan konseling itu pada
  suasana percakapan yang ideal (condusive atmosphere) adalah jika
  konsele betul-betul merasa diperlakukan sebagai satu subyek, pribadi
  yang utuh yang persoalannya, perasaannya, cara berpikirnya bahkan
  segala sesuatu yang ada padanya mempunyai nilai untuk dihargai.

  Hal-hal "apa" yang perlu diperhatikan konselor dalam hubungan timbal
  balik ini.

  1. Sikap merugikan dari pihak konsele.
  --------------------------------------
  Dalam hubungan interpersonal relationship, konselor mesti menyadari
  adanya berbagai kemungkinan yang merugikan, ditimbulkan oleh sikap
  konsele terhadap konselornya.
  a. Dalam hubungan dengan "simbol Allah" (symbol of God) yang melekat
     pada hamba Tuhan.

     Hamba Tuhan, siapa pun mereka, adalah pembawa simbol Allah. Tipe
     pelayanannya (sering berdiri di atas mimbar dengan membawakan
     "firman Allah"), pakaian, dan alat-alat pelayanan yang dipakai,
     telah menyebabkan sebagian besar jemaat memandang hamba Tuhan
     tidak seperti manusia pada umumnya.

     J. Piaget pernah menulis, bahwa pada fase remaja (adolescence),
     seorang anak yang normal seharusnya sudah dapat mengembangkan
     konsepsi tentang Allah yang abstrak. Tetapi kenyataannya ada
     banyak orang, yang oleh karena satu dan lain sebab, masih terus
     menerus hidup dengan konsepsi tentang Allah yang konkrit pada
     masa dewasanya, yang sebenarnya merupakan konsepsi Allah yang
     manusiawi (anthropomorphic concept of God), yang modelnya tidak
     lain daripada orang tuanya sendiri. ("The Moral Judgement of the
     Child", New York, Hartcourt, 1932.) Dan ini adalah alasan utama
     dari sikap yang tidak wajar pada banyak anggota jemaat terhadap
     pendetanya. Rupanya ada banyak sekali anggota jemaat yang tidak
     mampu melepaskan konsepsi tentang Allah yang anthropomorfistis
     itu dan mengembangkan konsepsi tentang Allah yang abstrak. Oleh
     sebab itu, setiap kali mereka bertemu dengan orang-orang yang
     mempunyai otoritas (authority figures), mereka secara otomatis
     cenderung untuk menhidupkan sikap penyerahan diri secara total
     (total dependency) pada orang itu.

     Selama konsele melihat hamba Tuhan (konsele) sebagai pembawa
     simbol Allah (yang setiap katanya diterima sebagai firman Allah
     yang mutlak benar), maka proses konseling itu menuju pada arah
     yang tidak sehat.

  b. Dalam hubungan dengan gejala "transference" (pemindahan perasaan)
     dalam setiap interpersonal relationship (hubungan timbal balik)
     antara dua pribadi.

     Transference adalah istilah psikologis untuk menunjuk pada gejala
     pemindahan perasaan dari yang seharusnya ditujukan pada obyek
     lain pada masa lampau kepada obyek yang baru pada masa kini.
     Transference adalah gejala yang tidak mungkin dihindari yang
     pasti akan terjadi dalam setiap interpersonal relationship antara
     dua pribadi. Oleh sebab itu transference pasti akan terjadi dalam
     proses konseling di antara konsele dan konselornya.

     Seperti yang dikatakan Sigmund Freud,
        "Transference is an inevitable phenomenon of emotional
        involvement in every interpersonal relationship. Transference
        arises spontaneously in all human relationships just as it
        does between the patient and physician" (Five Lectures on
        Psychoanalysis, New York, W.W. Norton & Co Inc., 1977, p. 51).

     Sebagai gejala dari alam ketidaksadaran (unconsciousness),
     transference terjadi mula-mula oleh karena adanya banyak
     kebutuhan pada masa lampau yang tidak atau belum terpenuhi, yang
     terpaksa ditekan untuk dilupakan (repressed). Kebutuhan-kebutuhan
     itu (yang sebagian besar timbul dalam hubungan dengan orang tua)
     bisa positif bisa negatif, bisa merupakan kebutuhan untuk
     mengasihi dan dikasihi maupun kebutuhan untuk melampiaskan
     kebencian, kemarahan, dsb.

     E.M. Rosenweig mengatakan,
        "As the representative of God, the minister is the object of
        the universal ambivalence toward father authority; on the one
        hand veneration and respect, on the other hand resentment,
        rebellion and hostility" ("The Minister and Congregation: A
        Study in Ambivalence", Psychoanalytic Review, 1941, pp.
        218-228).

     Kebutuhan-kebutuhan itu (oleh karena belum terpenuhi dan
     terpuaskan) akan selalu mencari kesempatan (sebagai rangsangan
     insting) untuk dipenuhi. Dan transference adalah salah satu jalan
     yang secara natural dimiliki oleh setiap orang untuk memenuhi
     kebutuhan-kebutuhan tadi. Dalam setiap interpersonal relationship
     dengan orang lain, pasti terjadi suatu gejala transference,
     gejala pemindahan perasaan(yang sebagian besar tidak disadari)
     yang arahnya adalah pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi pada
     masa lampau. Begitu juga dalam hubungan antar konsele dan
     konselor, gejala transference ini pun pasti terjadi. Konselor
     harus menyadari bahwa dalam interpersonal relationship itu  pasti
     ada hal-hal dari dirinya sendiri (entah wajahnya, pandangan
     matanya, suaranya, mode rambutnya, pakaiannya, cara berbicaranya,
     dsb.), yang menstimulir proses terjadinya gejala transference.
     Dan sikap dari konsele terhadap konselor sebagian besar terjadi
     oleh karena gejala transference itu. Kegagalan konselor untuk
     mengatasi atau mengontrol gejala tranference adalah permulaan
     kegagalan proses konseling itu sendiri.

  2. Dorongan yang merugikan dari dalam diri konselor sendiri.
  ------------------------------------------------------------
  Dalam interpersonal relationship itu, konselor sendiri mesti waspada
  terhadap dorongan dan rangsangan, yang sering kali timbul justru
  dari dalam dirinya sendiri, yang bisa menjadi penyebab kegagalan
  pelayanan konselingnya.

  PERTAMA, ialah kebutuhan untuk melakukan counter-transference.

  Counter-transference adalah istilah psikologis yang artinya tidak
  lain daripada sikap menyambut dan menanggapi gejala tranference dari
  konsele yang ditujukan padanya. Dan sebab yang terutama ialah oleh
  karena sebagai manusia biasa hamba Tuhan (konselor) juga punya
  banyak persoalan dan banyak kebutuhan (positif maupun negatif) yang
  tidak atau belum terpenuhi.

  E. Mansell Pattison, M.D. mengatakan,
     "Counter-transference distortions occur when a pastor attempts to
     solve his own problems through the problems of the parishioners
     which he feels he must deny in himself" ("Tranference and Counter-
     transference in Pastoral Care". The Journal of Pastoral Care,
     Vol. XIX, No. 4, 1965, p. 199).

  Kegagalan proses konseling dialami oleh banyak hamba Tuhan oleh
  karena ia tidak menyadari akan gejala counter-transference dari
  dirinya sendiri. Sebagai konselor seharusnya hamba Tuhan bersikap
  betul-betul netral, mampu mengontrol emosinya dan tidak membiarkan
  sikapnya dipengaruhi oleh sikap (yang biasanya merupakan gejala
  transference) dari konselenya. Seperti yang dikatakan Karl Meninger,
  hendaknya ia selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk
  melakukan counter-transference, yang bisa mengambil salah satu
  bentuk dari duabelas sikap tidak sehat di bawah ini:

  1. Carelessness in appointment schedules. (Tidak menepati janji dan
     semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia).
  2. Repeated erotic or hostile feelings. (Munculnya perasaan berahi
     atau sebaliknya, yaitu benci kepada konsele).
  3. Boredom or inattention during counseling. (Munculnya perasaan
     bosan selama proses pembimbingan).
  4. Permitting or encouraging misbehavior. (Membiarkan sikap dan
     tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi).
  5. Trying to impress the parishioner. (Selalu ada keinginan untuk
     menyenangkan konsele).
  6. Arguing. (Berdebat).
  7. Taking sides in a personal conflict. (Memihak dalam konflik yang
     dihadapi konsele).
  8. Premature reassurance to lessen anxiety. (Memberikan janji-janji
     dan jaminan-jaminan pada konsele yang terlalu dini untuk
     mensukseskan kelanjutan pemimbingan).
  9. Dreaming about parishioner. (Terbayang-bayang wajah konsele).
 10. Feeling that the parishioner's welfare or solution to a problem
     lies solely with you. (Merasa bahwa hidup dan penyelesaian
     persoalan seluruhnya tergantung pada kita).
 11. Behavior toward one parishioner in a group differently from other
     group members. (Sikap membedakan dari anggota yang satu dengan
     yang lain dalam gereja yang kita gembalakan).
 12. Making unusual appointments or behaving in a manner unusual for
     you. (Membuat janji-janji pertemuan yang tidak biasa dengan
     konsele dan bersikap tidak wajar).
  (Theory of Psychoanalitic Technique, Basic Books, New York, 1958,
  footnote 5).

  Sama seperti transference itu sendiri ambivalence pada naturenya
  (bisa positif bisa negatif) begitu juga dengan counter-tranference.
  Hamba Tuhan harus selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk
  melakukan counter-tranference, baik terhadap ibu yang kehausan kasih
  dari suami, yang mentranfer kebutuhan kasih itu padanya, atau
  terhadap seorang pemuda yang karena kebutuhan balas dendam pada
  orang tuanya telah mentranfer kebenciannya pada konselor, dsb.

  Bagi hamba Tuhan (konselor) kebutuhan untuk melakukan counter-
  transference adalah kebutuhan yang sangat berbahaya yang akan
  menggagalkan pelayanan konselingnya. Hamba Tuhan harus menyadari
  bahwa dia bukan psikiater (dokter jiwa) ataupun psychoanalyst (yang
  memang terlatih untuk memakai gejala transference dan counter-
  transference untuk tujuan terapi), oleh sebab itu dia tidak boleh
  mencoba dengan sengaja melakukan counter-transference dan
  menstimulir gejala transference dari konsele untuk tujuan apa pun
  juga.

  Douglas G. Burgoyne mengingatkan dalam suatu artikel,
     "Since the transference relationship ..... is generally conceded
     to be one of the most difficult parts of the therapist's work to
     handle and requires therefore considerable psychiatric training
     for its successful handling, it is strictly "hands off" for the
     clergyman in his counseling unless he is also a trained
     psychiatrist" (Some Basic Concern for the Clergyman as
     Counselor", Journal of Pastoral Care, 1961, 15, pp 72-85).

  Karena tanggung jawab utama dari hamba Tuhan dalam menghadapi gejala
  transference ialah:

  i. Mengenal secara benar gejala itu, dan tahu memakai role-nya yang
     penuh otoritas sebagai hamba Tuhan, untuk menolong konsele.
     (Howard J. Clinebell, "Mental Health Through Christian
     Community", New York, Abingdon Press 1965, p. 180).

 ii. Menyadarkan konsele akan apa yang sedang terjadi pada dirinya,
     dan menyadari unsur-unsur yang tidak realistis yang mempengaruhi
     perasaan dan tingkah lakunya pada saat itu. (Kathleen Heasman, An
     Introductioin to Pastoral Counseling, London Constable 1959, pp.
     59-60).

iii. Menolong konsele untuk menemukan identitasnya sebagai orang
     percaya dalam tanggung jawabnya pada Tuhan dan mendorong dia
     untuk mengambil keputusan etis yang rasional (James E. Davison
     "On Transference", Journal of Pastoral Psychology, April 1971,
     p. 26)

  KEDUA, ialah kebutuhan untuk menikmati simbol Allah yang ada
  padanya.

  Ada banyak hamba Tuhan yang tanpa sadar telah menyalahgunakan simbol
  Allah yang ada padanya untuk kepentingannya sendiri. Gejala ini
  disebut oleh Ernest Jones sebagai "The God Complex", di mana ia
  mengatakan:
     "In which we may learn that identification with God results in
     feeling of omnipotence, omniscience and belief in the magical
     power of one's word to change things just saying so "Thus saith
     the Lord". Further, the pastor maybe tempted into beliving that
     he knows all the answers to each personal problem or that people
     will change because of his authority. So it is always expected to
     produce a feeling of admiration and dependency on the part of
     the client" ("The God Complex", Essays in Applied Psycho-
     analysis, Vol II, Hogard Press, London, 1951).

  Yang patut mendapat perhatian ialah, ternyata kebutuhan yang
  merugikan ini sering kali bukan hanya sekedar ekspresi dari
  kebutuhan manusiawi pada umumnya (kebutuhan akan pujian dan
  penghargaan), tetapi kebutuhan tidak sehat dari kepribadian yang
  sakit yang sering kali disebut dengan istilah 'narcissism'.

  Menurut psyshoanalyst yang kenamaan Otto Kernberg, 'narcissism'
  sebenarnya bukan 'self-love' (mengasihi diri sendiri) melainkan
  'self-hatred' (membenci diri sendiri), yaitu ekspresi yang unik dari
  sikap membenci diri sendiri. Oleh karena itu seorang yang menderita
  'pathological narcissism' selalu merasa tidak mampu hidup tanpa
  pujian dan kekaguman dari orang-orang lain. ("Why Some People Can't
  Love", Otto Kernberg, interiewed by L. Wolfe, Psychology Today, June
  1978, p. 55)

  Seorang 'pathological narcissism' sangat peka terhadap kekurangan dan
  cacat cela yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi sayang sekali
  kepekaan itu tidak mendorong dia untuk menghadapi realitas yang ada
  dan mencoba memperbaikinya, melainkan justru mendorong dia untuk
  melupakan kelemahan dan cacat cela yang ada pada dirinya sendiri.

  Dan celakanya, Andre Bustanoby dalam risetnya menemukan bahwa banyak
  sekali orang Kristen yang memilih profesi hamba Tuhan atau pendeta
  justru oleh karena kecenderungan pada pathological narcissism yang
  tidak disadari dalam dirinya sendiri. Di mana mereka melihat bahwa
  melalui profesi ini, mereka bisa melampiaskan kebutuhan narcissism
  itu secara tersembunyi. Ia mengatakan,

  "The narcissism-competitive personality is the most common
  personality among ministers .... the ministry is an especially
  suitable profession for this sort of person" ("The Pastor and the
  Other Woman", Christianity Today, August 30, 1974, pp.7-10).

  Sebagai konselor hamba Tuhan harus menyadari apakah dalam pelayanan
  konseling itu ia punya kebutuhan untuk justrus menikmati simbol
  Allah yang ada padanya. Apakah kecenderungannya untuk selalu
  menyatakan firman Allah ("Thus saith the Lord") dengan mengutip
  ayat-ayat Alkitab dan memaksakan nasihat-nasehat dan resep-resepnya
  yang manjur justru ada padanya oleh karena kepribadian narcissistic-
  nya. Apakah pelayanan konselingnya (yang biasanya penuh kasih itu)
  betul-betul lahir dari suatu kepribadian yang sudah diperbaharui
  oleh Roh Kudus atau oleh karena ketakutannya kalau dianggap sebagai
  konselor yang tidak becus dan terbatas kemampuannya. Seperti yang
  dikatakan oleh Shirley Sugerman,
     "In order to avoid falling ill, he must begin to show love to
     others" ("Sin and Madness, Studies in Narcissism", Philadelpia
     Westminster Press, 1976, p.130).

  Otto Kernberg dengan tajam sekali menyingkapkan fakta yang sering
  dialami oleh seorang 'narcissistic pastoral couselor', yang
  pelayanannya sebenarnya dilakukan tanpa kasih.
     ".... then this relationship to them is exploitative and
     parasitic, although this maybe masked behind a surface which is
     very often engaging and attractive, he can very easily become
     restless and bored" ("Why Some People Can't Love", Psychology
     Today, June 1978, p.56).

-*- Sumber -*-:
  Judul Buku   : Pastoral Konseling Jilid 1
  Judul Artikel: Apa Itu Pastoral Konseling?
  Pengarang    : Dr. Yakub B. Susabda
  Penerbit     : Yayasan Gandum Mas
  Halaman      : 4 - 11


*TIPS *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* TIPS*

               -*- CIRI-CIRI "PROFESSIONAL PASTOR" -*-
               YANG TRAMPIL DALAM PELAYANAN KONSELING

  Alasan utama hamba Tuhan untuk mengembangkan 'skill' dan disiplin
  dalam konseling bukanlah untuk menjadikan dia "Professional
  Counselor", tetapi "Professional Pastor" yang trampil dalam
  pelayanan konseling. Yang menurut ahli-ahli konseling, seharusnya
  ditandai oleh beberapa hal:

  1. Adanya pengetahuan yang cukup tentang teori-teori personality dan
     psikologi pada umumnya. (Richard L. Hester, "Toward
     Professionalism or Voluntarism in Pastoral Care", Pastoral
     Psycology, vol 24, No. 4, Summer 1976, p. 305).

  2. Adanya kemampuan untuk menghubungkan teori dan praktek, khususnya
     teori-teori tentang metode-metode observasi dan diagnosa (Hester,
     ibid, p. 305).

  3. Adanya training yang cukup di bawah bimbingan dan supervisi
     seorang profesional khususnya dalam Clinical Psycology (Edward E.
     Thornton, "Professional Education for Ministry: A History of
     Clinical Pastoral Education", Nashville, Abingdon Press 1970,
     p. 27-33).

  4. Adanya kemampuan untuk memelihara identitasnya sebagai hamba
     Tuhan dalam peranannya sebagai konselor dalam interpersonal
     relationship-nya dengan konsele (Nelson N. Foote & Leonard S.
     Cottrell, "Identity and Interpersonal Competence", The
     University of Chicago Press, 1966, p. 53).

  5. Adanya kemampuan untuk mengolah dan memakai sumber-sumber yang
     tersedia untuk mensukseskan pelayanan konselingnya. (Nelson &
     Leonard, ibid, p. 53).

  6. Adanya pengertian yang benar tentang skop pertanggungjawabannya
     sebagai konselor, (Wayne Oates, "Pastoral Counseling",
     Westminster Press: Philadelphia 1974, p. 86).

  7. Adanya disiplin dalam menggunakan perlengkapan-perlengkapan
     konseling dalam batasan profesinya sebagai hamba Tuhan, yang
     antara lain meliputi:
     a. Penyusunan data-data dan penyimpanan catatan dalam sistim file
        yang rapi dan aman.

     b. Membedakan dengan jelas antara short-term dan long-term
        konseling, juga antara konseling secara informal maupun
        formal. Di mana dalam konseling formal dan long-term,
        pelayanan diatur oleh:

        i. Appoinment.
       ii. Batasan "waktu" konseling yang tidak merugikan pelayanan
           dan kegiatan yang lain.
      iii. Rules dan cara kerjanya sebagai konselor, yang sudah
           dijelaskan terlebih dahulu pada konselenya.

     c. Tersedianya kantor atau ruang konseling yang tidak terganggu
        (yang menciptakan suasana konseling yang baik dan dapat
        dipertanggungjawabkan).

     d. Tersedianya referrals yang dapat dihubungi setiap saat (dokter
        umum, dokter jiwa, psikolog, ahli hukum, hamba-hamba Tuhan
        yang lain, dll).

     e. Tidak mencoba melakukan diagnosa medis, psycho-test,
        eksperimen-eksperimen, hypnose (pemakaian sugesti secara
        sengaja), pemberian resep obat-obatan dan hal-hal yang menjadi
        wewenang profesional-profesional lain.

     f. Tahu bagaimana menjernihkan perbedaan-perbedaan antara "free
        gift" dan pembayaran yang diberikan oleh konselenya (hamba
        Tuhan tidak seharusnya mengharapkan, mendorong apalagi
        menuntut pembayaran atas pelayanannya).

  Meskipun hamba Tuhan bukan konselor profesional, tetapi tanggung
  jawabnya pada Tuhan seharusnya mendorong dia mengembangkan skill-nya
  dalam pelayanan konseling.

-*- Sumber -*-:
  Judul Buku   : Pastoral Konseling Jilid 1
  Judul Artikel: Apa Itu Pastoral Konseling?
  Pengarang    : Dr. Yakub B. Susabda
  Penerbit     : Yayasan Gandum Mas
  Halaman      : 12 - 14


*SURAT *-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*- DARI ANDA -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-* SURAT*

  Dari: ignatius setyawan <pm_gitj@>
  >Trimakasih atas kiriman e-Konsel. Mohon kirim terus dan ijinkan
  >untuk digunakan sebagai bahan sharing di gereja GITJ Yogya
  >Ignatius SJ

  Redaksi:
  Sesuai keingan Anda, Nama dan alamat e-mail Anda telah kami catat
  sebagai anggota e-Konsel. Dengan demikian, Anda akan terus-menerus
  menerima kiriman edisi e-Konsel setiap bulan -- dua kali (setiap
  tanggal 1 dan 15). Kami senang jika Anda akan menggunakan bahan
  dalam e-Konsel untuk menjadi bahan sharing di gereja; jangan lupa
  untuk menyebutkan sumber artikelnya, e-Konsel sebagai penerbit
  elektroniknya, dan bagaimana orang/teman lain bisa mendapatkan
  edisi-edisi e-Konsel secara berkala.


e-KONSEL*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*e-KONSEL

                         STAF REDAKSI e-Konsel
                      Yulia O., Lani M., Ka Fung
                    PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS
                         Yayasan Lembaga SABDA
                     INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR
                          Sistem Network I-KAN
                      Copyright(c) 2002 oleh YLSA

*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
 Anda punya masalah atau perlu konseling? <masalah-konsel@sabda.org>
 Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
 dapat dikirimkan ke alamat:             <owner-i-kan-konsel@xc.org>
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*
 Berlangganan: Kirim e-mail kosong ke: subscribe-i-kan-konsel@xc.org
 Berhenti:     Kirim e-mail kosong:  unsubscribe-i-kan-konsel@xc.org
 Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel
 ARSIP publikasi e-Konsel:  http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org