Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-binaanak/208

e-BinaAnak edisi 208 (14-12-2004)

Kesederhanaan Natal

     ><>  Milis Publikasi Elektronik untuk Para Pembina Anak  <><

Daftar Isi:                                    Edisi 208/Desember/2004
~~~~~~~~~~~
 o/ SALAM DARI REDAKSI
 o/ RENUNGAN (1)         : Sederhana Namun Tak Ternilai
 o/ RENUNGAN (2)         : Menjadi Miskin Karena Kita
 o/ KESAKSIAN NATAL      : Saat Kami Merayakan Natal Secara Sederhana
 o/ DARI ANDA UNTUK ANDA : Selamat Hari Natal dan Tahun Baru
 o/ MUTIARA GURU

=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
 Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan ke staf Redaksi:
     <staf-BinaAnak@sabda.org> atau <owner-i-kan-BinaAnak@xc.org>
=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
o/ SALAM DARI REDAKSI

  Salam kasih dalam Yesus Kristus,

  Satu hal yang biasanya dipikirkan oleh guru-guru Sekolah Minggu
  menjelang Natal adalah bagaimana dapat membuat perayaan Natal yang
  berkesan bagi anak-anak Sekolah Minggunya. Pernahkah Anda berpikir
  untuk merayakan Natal secara sederhana tetapi mengesankan? Ketika
  Kristus lahir, Ia lahir sebagai seorang yang papa, hina dan miskin.
  Ia miskin untuk kita. Betapa luar biasanya kenyataan ini. Dia yang
  adalah Allah pemilik segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun di
  surga, tapi rela untuk menjadi miskin demi manusia. Natal merupakan
  perayaan yang membuktikan bahwa kasih Allah kepada manusia sungguh
  luar biasa.

  Nah, berkaitan dengan hal tersebut, e-BinaAnak Edisi 208/2004
  mengangkat tema KESEDERHANAAN NATAL. Anda dapat belajar bagaimana
  merayakan Natal dengan sederhana namun berkesan melalui sajian-
  sajian yang sudah kami siapkan berikut ini. Semoga, Natal bersama
  anak-anak Sekolah Minggu Anda menjadi Natal yang tak terlupakan.
  Tuhan memberkati!

  Tim Redaksi

      "Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus
  Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun
    Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya."
                            (2Korintus 8:9)
          < http://www.sabda.org/sabdaweb/?p=2Korintus+8:9 >


=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
o/ RENUNGAN (1)

                     SEDERHANA NAMUN TAK TERNILAI
                     ============================
                       GIGI GRAHAM TCHIVIDJIAN

  Pernahkah Anda bertanya-tanya dalam hati bagaimana malam Natal yang
  pertama itu dirayakan? Apakah kerubim dan serafim -- para malaikat
  dengan tugas yang berbeda -- begitu sibuk mempersiapkan kedatangan
  Tuhan yang turun ke bumi dalam wujud bayi laki-laki?

  Mungkin di suatu tempat di surga, para malaikat surgawi saat itu
  sibuk mempersiapkan pertunjukan yang luar biasa untuk dinyatakan
  kepada para gembala. Sementara, malaikat lain menyusun rencana untuk
  menampakkan sebuah bintang khusus yang akan menuntun orang-orang
  majus. Mungkin pula, malaikat lainnya sedang mengawasi Yusuf dan
  Maria tatkala mereka sedang menuju kandang domba.

  Tentu saja, kita takkan pernah tahu dengan pasti apa yang
  sesungguhnya terjadi, namun yang kita ketahui adalah bahwa ketika
  semua telah siap, "Allah mengutus Anak-Nya" (Galatia 4:4). Dan semua
  penghuni surga berkumpul tatkala Raja di atas segala raja dan Tuhan
  di atas segala tuhan itu menanggalkan kemuliaan-Nya, dan
  meletakkannya di bawah kaki sang Bapa sembari berkata, "Engkau telah
  menyediakan tubuh bagiku .... Sungguh, Aku datang ... untuk
  melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku" (Ibrani 10:5,7).

  Persiapan yang dilakukan di surga begitu rumit, namun orang-orang di
  dunia yang terlibat dalam Natal yang pertama itu menyambut-Nya
  dengan sederhana.

  Hati dari beberapa orang yang tidak meremehkan Natal itu adalah
  Maria, Yusuf, para gembala, orang majus -- tampak sangat bersahaja.
  Tempat kelahiran-Nya pun sederhana, yakni sebuah kandang kecil di
  sebuah kota yang kecil pula. Perayaannya juga sederhana: para
  gembala, para pekerja keras meninggalkan pekerjaan mereka selama
  beberapa jam untuk pergi dan "melihat apa yang terjadi di sana"
  (Lukas 2:15). Setelah itu, mereka pun kembali pada tanggung jawab
  masing-masing.

  Persembahan yang mereka berikan pun begitu sederhana, namun tak
  ternilai:
     * Yusuf mempersembahkan ketaatannya.
     * Maria mempersembahkan tubuhnya.
     * Para gembala mempersembahkan kasih mereka yang mendalam.
     * Para orang majus mempersembahkan penyembahan mereka.

  Namun, pada saat yang sama ada juga orang-orang yang kehilangan
  makna Natal yang pertama:
     * Pemilik penginapan yang terlalu sibuk memperhatikan tamu-
       tamunya.
     * Para tamu yang terlalu memusatkan perhatian pada kenikmatan
       jasmani dan urusan pribadi, sehingga tak tersentuh oleh
       peristiwa yang terjadi di kandang domba itu.
     * Raja Herodes yang begitu larut dalam perasaan tidak nyamannya,
       istananya, dan impian-impiannya yang menyedihkan untuk
       menggapai kemuliaan.
  Mereka semua terlalu sibuk, begitu terpaku, dan terlilit oleh
  berbagai hal.

  Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah dalam beberapa tahun
  terakhir ini saya juga telah kehilangan makna Natal yang
  sesungguhnya. Apakah saya terlalu sibuk dan terlalu dikuasai oleh
  hal-hal yang berbau materi dan pujian orang? Apakah saya terancam
  kehilangan makna Natal yang sejati? Saya kira Tuhan tak pernah
  menghendaki kita mengurangi kesenangan di hari Natal. Lagi pula, Dia
  sendiri telah "memberikan kepada kita segala sesuatu untuk
  dinikmati" (1Timotius 6:17).

  Mungkin, sebaiknya tahun ini, kita membuat daftar baru di hari Natal
  yang berisi:
     * Memberi lebih banyak perhatian kepada anak-anak.
     * Memberi lebih banyak waktu dan penghargaan kepada orangtua dan
       pasangan hidup.
     * Lebih mampu menerima tanpa syarat keberadaan anak-anak yang
       mulai beranjak remaja.
     * Lebih mengasihi dan memperhatikan teman-teman.

  Lalu, bagaimana dengan hadiah kita bagi Pribadi yang ulang tahun-Nya
  kita rayakan? Yang diminta-Nya adalah penyerahan diri kita, dengan
  segala kesalahan dan kegagalan, masalah dan ketakutan. Dan inilah
  Natal yang sejati:
     Allah memberi,
     kita menerima,
     Allah menggenapi.

  Sungguh Natal yang penuh berkat!

  Bahan diedit dari sumber:
  Judul Buku : Embun Bagi Jiwa Natal
  Penulis    : Alice Gray
  Penerbit   : Gloria Gaffa, Yogyakarta, 2000
  Halaman    : 113 - 115


=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
o/ RENUNGAN (2)

                      MENJADI MISKIN KARENA KITA
                      ==========================

  Menurut Paulus, Natal adalah ketika Kristus menjadi miskin. Menjadi
  miskin karena kita. Menjadi miskin untuk kita (2Korintus 8:9). Di
  dalam Dia, manusia tak lagi terbagi atas kaya dan miskin. Pada
  dasarnya, seluruh umat manusia, Anda dan saya adalah miskin.

  Mengapa? Karena sesungguhnya, tak seorang manusia pun di dunia ini,
  yang kini masih memiliki kemanusiaannya. Dengan kata lain, seluruh
  umat manusia dikatakan miskin karena manusia telah kehilangan
  dirinya sendiri.

  Kehilangan dirinya sendiri? Ya! Karena ketika manusia menganggap
  kemanusiaan dan dirinya itulah satu-satunya yang penting di dunia
  ini; ketika ia mulai mempersetankan Tuhan dan sesamanya, kecuali
  dirinya sendiri; justru ketika itulah, ia hanya menjadi budak dari
  nafsunya. Ia tidak lagi menjadi manusia yang penuh. Ia miskin,
  karena kemanusiaannya larut di dalam rangsangan-rangsangan nafsu dan
  kekerasan hati.

  Tetapi, juga ketika manusia berpendapat bahwa kemanusiaannya itu
  bukanlah apa-apa. Dan ia menjadi makhluk yang serba pasrah dan
  mengalah. Serba tergantung dan bergantung. Ketika ia meyakinkan
  dirinya bahwa semua itu serba hebat dan kuat, serba raksasa, dan
  mahakuasa, kecuali dirinya. Ketika itulah, ia menjadi budak dari
  sekitarnya, hamba dari sesamanya. Ia tidak lagi menjadi manusia yang
  penuh. Ia miskin, karena kemanusiaannya dihanyutkan oleh arus dan
  gelombang keadaan sekitarnya.

  Karena kemiskinan kita itulah, Kristus menjadi miskin. Dan ketika
  Dia menjadi miskin itulah, kata Paulus, itulah Natal! Agar kita
  menyadari kembali tentang kemiskinan kita.

  Tetapi, bukankah persiapan-persiapan Natal yang kita selenggarakan,
  betapa acap, justru menunjukkan hal yang sebaliknya? Tidak
  menunjukkan keprihatinan dan kemiskinan kita, tetapi kelimpahan dan
  kekayaan kita? Tidakkah pesta-pesta Natal kita paling sedikit ingin
  memperlihatkan semua kehebatan yang dapat kita usahakan?

  Tentu saja! Bukan karena kita tidak tahu akan kemiskinan kita,
  melainkan karena kita berusaha untuk tidak mau tahu. Sama seperti
  seorang berwajah buruk, tetapi menjadi marah besar ketika melihat
  wajahnya melalui sebuah cermin. Ia membanting cermin itu, supaya
  dapat terus hidup dalam khayalannya. Ia tidak mau menerima kenyataan
  dirinya yang telanjang.

  Oleh karena itulah, kita juga sering berusaha untuk menyulap Natal.
  Dari sebuah pesta yang miskin dan sederhana, menjadi pesta yang
  mewah melimpah-ruah. Cermin itu kita pecahkan, supaya kita dapat
  terus hidup dalam khayal kita yang indah.

  Sebab itu, tidak cukup mengembalikan arti Natal hanya dengan sekadar
  melarang orang berpesta-pesta. Karena pesta-pesta itu hanya lahir
  sebagai akibat, bukan sebagai penyebab. Soal yang paling utama
  adalah apakah kita mau menerima kenyataan, betapa miskinnya kita?

  Tetapi di lain pihak memang benar bahwa Natal adalah juga ketika
  Kristus memproklamirkan, bahwa kita semua kini menjadi kaya di dalam
  Dia.

  Meskipun demikian, kenyataan ini juga tidak dapat memaafkan
  pemborosan pesta-pesta Natal kita! Karena kalau Dia mengatakan bahwa
  kita kaya di dalam Dia, maka kekayaan kita tidak terletak pada
  kemampuan kita mengumpulkan dana. Tidak juga terletak pada
  kesanggupan kita mengorganisir pesta-pesta yang meriah. Tidak juga
  terletak pada kemampuan kita mengerahkan massa dan semua persiapan
  pesta Natal yang kita lakukan. Sebab betapa sering Natal itu
  hanyalah pesta di antara kita sendiri, pesta yang kita adakan tanpa
  Dia!

  Natal memang menyajikan sebuah kesukaan yang abadi, bila kita
  menemukan diri kita kembali. Dan kita pun menjadi kaya di dalam Dia.
  Namun betapa sia-sianya pesta-pesta itu sekiranya kita hanya
  melanjutkan khayal kita yang indah, dan terus hidup tanpa Kristus!

  Bahan diedit dari sumber:
  Judul Buku: Mencari Natal yang Hilang
  Penulis   : Eka Darmaputera
  Penerbit  : Gloria Gaffa, Yogyakarta, 2003
  Halaman   : 39 - 42

=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
o/ KESAKSIAN NATAL

              SAAT KAMI MERAYAKAN NATAL SECARA SEDERHANA
              ==========================================

  Sejauh yang saya ingat, keluarga kami sudah sering membicarakan
  tentang Natal yang dirayakan secara sederhana. Setiap tahun, setelah
  berbelanja, ibu saya akan pulang kelelahan atau setelah berjam-jam
  memanggang kue, ibu akan duduk di dekat meja dapur sambil memejamkan
  matanya, menarik napas, dan berkata, "Saya tidak mau lagi
  menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang merepotkan ini. Tahun depan
  kita akan merayakan Natal secara sederhana."

  Dan apabila ayah saya mendengar perkataan ibu, ia pasti akan
  menyetujuinya. "Ya, merayakan Natal seperti ini tidak sebanding
  dengan waktu dan biaya yang sudah dikeluarkan."

  Waktu kami masih kecil, saya dan saudara perempuan saya takut kalau-
  kalau ibu dan ayah akan segera menggenapi tekad mereka untuk
  menghemat biaya ketika merayakan Natal. Tetapi kalau ayah dan ibu
  memutuskan begitu, pikir kami, ada beberapa hal yang ingin kami
  perbaiki. Dua hal di antaranya adalah paman ibu saya, Lloyd dan
  istrinya, Amelia.

  Sering Lizzie dan saya berpikir mengapa keluarga harus mempunyai
  sanak saudara, terutama mengapa kami ditakdirkan mempunyai saudara
  seperti Kakek Lloyd dan Nenek Amalia. Mereka pasangan yang kaku dan
  tidak menyenangkan. Mereka datang setiap Natal, memberi hadiah
  saputangan untuk Lizzie dan saya. Sebagai gantinya, mereka
  mengharapkan suasana yang tenang, penuh pelayanan, dan penuh hormat.
  Dan saya berarti harus merelakan kamar tidur saya untuk mereka.

  Lizzie dan saya sudah lama menyadari bahwa mereka memang orang
  miskin dan kami bersimpati dengan keadaan mereka. Tetapi kami rasa
  kemiskinan bukan berarti membolehkan mereka untuk bersikap dingin,
  kaku, dan tidak ramah. Walaupun begitu, kami tetap menghormati
  mereka sebagai anggota keluarga kami. Dan selama bertahun-tahun,
  kedatangan mereka sudah merupakan bagian dari Natal, sama seperti
  pohon parasit.

  Waktu berlalu sampai saya kuliah di tahun pertama. Mungkin karena
  saya tidak ada di rumah, maka ibu mulai menyinggung tentang Natal
  yang dirayakan secara sederhana tahun itu. "Karena tidak disibukkan
  dengan segala persiapan," tulisnya kepada saya, "kita akhirnya
  mempunyai waktu dan tenaga untuk menghargai Natal."

  Seperti biasanya, ayah sependapat dengan ibu, tetapi menambahkan
  dengan sentuhannya sendiri. Kami tidak boleh mengeluarkan uang lebih
  dari satu dolar untuk membeli hadiah. Kata ayah, "Kami tidak
  mempersoalkan harganya tetapi kami kuatir, pikiran kita lebih
  tertuju pada hadiahnya."

  Sayalah yang mengusulkan supaya perayaan Natal secara sederhana ini
  hanya terbatas untuk kami berempat. Usul itu diterima. Ibu menulis
  surat bernada ramah untuk pamannya, Lloyd. Dalam surat itu ibu
  menjelaskan, karena saya kuliah, karena satu dan lain hal, maka kami
  tidak merayakan Natal seperti biasanya. Karena itu, mungkin akan
  lebih menikmatinya bila mereka tidak repot-repot datang. Ayah
  melampirkan selembar cek, hadiah yang tidak diduga-duga.

  Saya sampai di rumah dari kampus pada Natal tahun itu, ingin tahu
  apa yang akan terjadi. Di pintu depan tergantung hiasan Natal yang
  merupakan sambutan yang sesuai. Di ruang tamu, ada sebuah pohon
  Natal, dan saya akui waktu pertama kali melihatnya hati saya seperti
  tertusuk. Pohon tiruan itu begitu kecil dan tidak ada apa-apanya
  dibandingkan dengan pohon Natal tahun-tahun sebelumnya yang berbau
  khas, kokoh, dan mewah. Tetapi semakin lama saya perhatikan pohon
  itu dengan hadiah sedolar yang terbungkus dengan warna cerah di
  bawahnya, saya menjadi terbiasa. Bahkan saya mulai berpikir, pohon
  yang asli dapat menimbulkan sampah dan bahaya kebakaran, dan betapa
  anehnya, ada pohon hidup di dalam rumah. Rupanya gagasan merayakan
  Natal secara sederhana ini sudah dapat saya terima.

  Pada malam Natal, ibu menyediakan hidangan lezat yang mudah dimasak
  dan sesudah itu, kami duduk berkumpul di ruang tamu. "Menyenangkan
  sekali," gumam Lizzie sambil merapat di kursi merah muda berbentuk
  kubis yang besar.

  "Ya," kata ayah menyetujui. "Suasananya tenang. Saya tidak
  kelelahan. Baru partama kali ini saya merasa, saya dapat tetap
  terjaga sampai kebaktian nanti."

  "Natal tahun lalu," kata saya kepada ibu, "pada waktu seperti ini,
  Ibu masih di dapur menyelesaikan pekerjaan sesudah memasak berjam-
  jam. Lebih banyak kue lagi. Juga lebih banyak kue buah." Saya ingat
  biasanya saya memaksa-maksa mencicipi kue buah buatan Ibu. "Padahal
  sebetulnya saya tidak menyukainya," aku saya sambil tertawa.

  "Ibu tidak tahu itu," kata ibu. Ia berpikir sebentar. Lalu wajahnya
  menjadi cerah. "Tetapi Bibi Amelia -- dia sangat menyukainya!"

  "Mungkin ia hanya bersikap sopan saja," kata Lizzie terang-terangan.

  Lalu kami terdiam. Satu per satu, akhirnya kami menghabiskan waktu
  dengan membaca. Ayah tertidur sebentar sebelum pergi ke gereja.

  Menjelang malam Natal, kami tidur agak malam dan begitu bangun, kami
  langsung sarapan sebelum membuka hadiah. Dan betapa senangnya kami
  sewaktu membukanya! Kami tertawa gembira karena kecerdikan dan
  gagasan segar yang kami miliki. Saya memberi ibu seperangkat bros
  yang saya buat dari sendok pengukur yang terbuat dari alumunium yang
  dihiasi permata tiruan. Ibu memakainya sepanjang hari, paling tidak
  sampai kami pergi ke Dempsey.

  Di Dempsey, rumah makan terbaik di kota, kami menikmati santapan
  dengan nyaman dan tidak terburu-buru. Setelah sop kaldu dihidangkan,
  ada kejadian yang membuat kami merasa canggung. Kami mulai
  mengangkat sendok. Lalu ayah menyarankan supaya kami berdoa mengucap
  syukur. Kami mulai berpegangan tangan di sekeliling meja seperti
  yang biasa kami lakukan di rumah. Mulanya kami ragu-ragu dan menarik
  kembali tangan kami. Tetapi kemudian, kami semua bertekad untuk
  tidak mau ditakut-takuti oleh suasana di tempat umum, kami tetap
  berpegangan tangan, dan berdoa mengucap syukur.

  Tidak banyak yang terjadi sepanjang sisa hari itu. Malam hari saya
  ke dapur, membuka lemari es, melihat-lihat sebentar, lalu menutup
  pintu dan kembali ke ruang tamu.

  "Hanya main-main," kata saya, sama sekali tidak menyangka akibat
  ucapan saya yang berikutnya. "Saya hanya mau mencuil sepotong daging
  kalkun."

  Ibu menjawab dengan suara datar, "Ibu tahu kamu ke dapur untuk itu.
  Dari tadi Ibu sudah menunggu-nunggunya."

  Ibu tidak dapat menahan isak tangisnya lebih lama lagi. "Kate!"
  teriak ayah, cepat-cepat mendekatinya.

  "Maafkan saya, maafkan saya," gumam ibu bercampur sedih.

  "Mengapa sayang? Ceritakanlah kepada kami."

  "Karena Natal yang dirayakan secara sederhana yang mengerikan dan
  tidak menyenangkan ini."

  Kami semua tahu maksudnya. Natal kami kali ini dibuat-buat, seperti
  pohon Natal buatan itu; semangat Natal tidak begitu terasa. Dengan
  perayaan Natal secara sederhana seperti ini, kami telah kehilangan
  makna Natal yang sesungguhnya dan bahkan kami telah melupakan orang
  lain. Ini berarti kami menyangkal Dia yang kelahiran-Nya kami
  peringati. Kami menyadari bahwa kami masing-masing mementingkan diri
  sendiri pada hari Natal ini, tetapi ibu yang menanggung
  kesalahannya.

  Setelah tangisan ibu agak reda dan kami berhasil menenangkannya, ibu
  mulai menjelaskan dengan caranya yang membuat kami bingung. Ibu
  seharusnya memasak di dapur tadi malam dan bukannya membuang-buang
  waktu," katanya mencoba menutupi perasaannya dengan kemarahan. "Jadi
  kamu tidak suka kue buah buatan Ibu, Harry? Sayang sekali. Padahal
  Bibi Amelia sangat menyukainya! Dan Elizabeth, meskipun bibi tidak
  menyukainya, seharusnya kamu tetap menghormati yang lebih tua.
  Kalian tahu siapa lagi yang menyukai kue buah itu? Ibu Donegan di
  ujung jalan itu menyukainya. Dan ia tidak menerima bingkisan Natal
  dari Ibu tahun ini. Mengapa? Karena kita mencoba merayakannya dengan
  sederhana." Lalu ibu menyalahkan ayah sambil menudingkan jarinya,
  "Kita tidak bisa berhemat-hemat untuk merayakan Natal, Lewis! Lihat
  akibatnya, kita sudah menutup pintu hati kita."

  Tampaknya perkataan itu sudah merangkum semuanya.

  Tetapi rupanya Lizzie mempunyai cara lain untuk mengemukakan
  pendapatnya. Ia menuliskannya dalam sepucuk surat setelah saya
  kembali kuliah. Suratnya enak dibaca. "Ibu merasa," tulis Lizzie,
  "tegangan dan tekanan itu merupakan kepedihan yang timbul pada hari
  Natal. Saya juga merasa begitu. Saya yakin, dari usaha, kelelahan,
  dan kesibukan yang kita lakukan dapat terjadi hal-hal yang
  mengejutkan, yang membawa ketentraman, sesuatu yang istimewa, dan
  tak ternilai harganya setiap tahun. Dan bila dari apa yang kita
  lakukan itu hanya dapat dirasakan sekejap saja, maka sudah
  sepatutnya kita mengeluh."

  Apabila keluarga saya menganggap tahun itu seperti tidak pernah ada
  Natal, maka Natal berikutnya merupakan Natal yang sangat mewah.
  Natal itu sangat meriah dan merupakan masa yang paling melelahkan
  dalam keluarga kami. Dan itu bukan karena kami menghabiskan uang
  yang lebih banyak, tetapi karena kami sepenuhnya menikmati
  kegembiraan dalam mempersiapkan hari Natal. Di hutan, di pinggir
  kota, kami menebang pohon cemara terbesar yang pernah kami miliki.
  Lizzie dan saya menghiasi rumah dengan warna hijau. Aroma yang lezat
  datang dari dapur karena ibu terus-menerus memanggang kue. Kami
  tertawa, mendendangkan lagu-lagu Natal dan bersenda gurau. Bahkan
  pasangan yang biasanya berwajah kaku, paman ibu saya, Lloyd dan
  istrinya, Amelia, kelihatan agak gembira. Tetapi melalui merekalah
  saya tiba-tiba dapat merasakan aliran kehangatan dan keagungan
  perayaan ini, meskipun hanya sekejap, yang membuat Natal jadi
  berarti.

  Itu terjadi ketika kami duduk di ruang makan dan saling berpegangan
  tangan untuk mengucap syukur, waktu saya menggenggam tangan bibi ibu
  saya, Nenek Amelia. Saya belajar sesuatu mengenai dia dan belajar
  tentang memberi, yang mungkin tidak dapat saya pahami tanpa Natal.

  Tangan yang saya genggam itu dingin. Saya dapat merasakan ruas-ruas
  jari-jari tangannya yang menonjol, dan dapat membayangkan penyakit
  radang sendi yang dideritanya bertahun-tahun telah membuat jari-jari
  tangannya begitu. Barulah saya dapat menghargai saputangan yang
  Lizzie dan saya terima tahun ini, seperti pada tahun-tahun
  sebelumnya. Untuk pertama kalinya, saya dapat melihat dengan jelas
  sulaman yang halus, hasil jahitan yang rapi -- hadiah dari bibi ibu
  saya Nenek Amelia, yang diberikan setiap tahun dengan penuh kasih
  untuk kami.
                                                        /Henry Appers

  Bahan diedit dari sumber:
  Judul Buku : Kisah Nyata Seputar Natal
  Penerbit   : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1989
  Halaman    : 44 - 48


=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
o/ DARI ANDA UNTUK ANDA

  Dari: <nianshe@>
  >Saya ingin mengucapkan Selamat Hari Natal kepada segenap redaksi
  >e-binaanak. Bahan-bahan seputar Natal yang sudah saya terima dari
  >tahun-tahun lalu banyak yang sudah dan akan saya gunakan dalam
  >kegiatan SM saya sepanjang bulan Desember ini.
  >Maju terus dalam pelayanan!
  >Nia

  Redaksi:
  Selamat Hari Natal 2004 dan Tahun Baru 2005 juga kepada Anda dan
  rekan-rekan sepelayanan semuanya.

  Kalau Anda memakai bahan-bahan Natal yang pernah disajikan dalam
  e-BinaAnak, apakah Anda punya pengalaman istimewa ketika menggunakan
  bahan-bahan tersebut? Silakan Anda sharingkan kepada kami agar
  dapat menjadi berkat bagi rekan-rekan pembaca e-BinaAnak lainnya.
  Kirimkan pengalaman Anda ini ke:
      ==>  <staf-BinaAnak@sabda.org>


=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
o/ MUTIARA GURU

                    O Yesus, bayi Allah yang suci!
                Betapa menakjubkan kasih-Mu yang murni!
                 Isilah hatiku dengan kasih besar-Mu!
                  - Lagu Natal Jerman Tradisional -


=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
                  Staf Redaksi: Davida, Ratri, Murti
       Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
             Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
                  Copyright(c) e-BinaAnak 2004 YLSA
                      http://www.sabda.org/ylsa/
=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^=^
Untuk berlangganan kirim e-mail ke: <subscribe-i-kan-BinaAnak@xc.org>
Untuk berhenti kirim e-mail ke:   <unsubscribe-i-kan-BinaAnak@xc.org>
Untuk Arsip e-BinaAnak:    http://www.sabda.org/publikasi/e-binaanak/
Pusat Elektronik Pelayanan Anak Kristen:  http://www.sabda.org/pepak/
><> ========= PUBLIKASI ELEKTRONIK UNTUK PEMBINAAN ANAK ========== <><

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org