Lima Cara Agar Gereja Dapat Beradaptasi dengan "Digital Native"

Jenis Bahan PEPAK: Tips

Edisi PEPAK: e-BinaAnak 735 - HAN 2016: Gereja Ramah Generasi Digital Native (II)

Dalam sebuah artikel pada tahun 2001 (saya baru berusia 11 tahun pada waktu itu), Marc Prensky, seorang pemikir dan pemimpin dalam dunia teknologi pendidikan, mencetuskan istilah "Digital Native" (generasi digital - Red.) untuk mendeskripsikan orang-orang muda yang tidak mengenal dunia tanpa video game, komputer, internet, dan masih banyak lagi. Kita adalah seorang Digital Native apabila kita lahir setelah teknologi digital dan internet masuk ke negara kita. Jadi, itu juga termasuk seluruh generasi millenial dan setiap generasi yang datang setelahnya. Sebagai contoh, saya lahir pada tahun 1990, dan saya sedang duduk di pangkuan ayah saya sembari beliau bekerja dengan komputernya dari rumah untuk perusahaan IBM pada tahun 1993. Saya tidak mengenal dunia tanpa video game. Saya telah memiliki sebuah ponsel pada tahun pertama saya di SMA, bahkan dibandingkan teman-teman saya saat itu, saya mendapatkannya lebih lambat dari mereka.

Prensky, yang terutama menaruh perhatian pada hal-hal yang melaluinya sistem pendidikan abad ke-21 tidak diperlengkapi untuk mendidik siswa-siswa abad ke-21, menulis, "Siswa kita telah berubah secara radikal. Siswa pada masa kini bukan lagi orang-orang yang kepadanya sistem pendidikan kita didesain untuk mendidik mereka."

Tim Challies, dalam karya seminarnya tentang keterlibatan teknologi Kristen, The Next Story, menulis tentang Digital Native:

Bagi kita, barangkali tidak ada pembedaan yang besar atau penting antara hidup secara daring (online) dan luring (offline). Identitas kita di alam digital dan identitas kita di alam darah dan daging adalah sama. Kita barangkali memiliki representasi yang berbeda terhadap identitas tersebut, tetapi kita hanya membuat sedikit pembedaan di antara mereka. Kita berpindah dengan mulus antara interaksi tatap muka dan interaksi digital melalui perpesanan (pengiriman pesan) atau e-mail. Bahkan, kita mungkin lebih memilih interaksi digital karena mendapati interaksi tatap muka sepertinya tidak alami atau malah mengintimidasi. Ponsel kita merupakan bagian dari diri kita, dan tanpanya kita merasa seolah dunia sedang bergerak tanpa kita. Kita menikmati televisi dan berselancar di web, dan khususnya menikmati melakukan dua atau tiga hal ini secara bersamaan. Kita bisa bolak-balik beralih antara hal-hal itu semudah kita mengganti kaus kaki kita.

Pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh para pemimpin gereja terkait dengan Digital Native adalah "Apakah gereja kita telah diperlengkapi untuk secara sengaja mengikutsertakan digital native?" Gereja selalu mendorong jemaat untuk mengabarkan Injil, tetapi metode yang kita gunakan untuk mengomunikasikan Kabar Baik ini terus berganti seiring berjalannya waktu.

Apakah anggota-anggota gereja pada masa kini adalah orang-orang yang kepadanya gereja didesain untuk menggembalakan mereka? Banyak anggota gereja saat ini yang tidak mendapatkannya. Berikut ini adalah lima cara yang bisa kita pikirkan tentang Digital Native sembari kita memimpin gereja kita:

1. Jangan mencegah penggunaan teknologi/ponsel dalam ibadah.

Jelas sekali, ada sebuah garis, bukan? Kita tidak menginginkan orang-orang menonton awal pertandingan bola (melalui ponsel/tablet mereka) sewaktu berada di dalam ruang ibadah. Akan tetapi, pada saat yang sama, pendeta-pendeta dan pemimpin-pemimpin gereja perlu bersikap sopan terhadap mereka yang membaca Alkitab mereka, menulis catatan, atau menggunakan ponsel mereka secara bijak selama pelayanan ibadah. Orang-orang Digital Native sedang memenuhi gereja-gereja kita. Atau sebaliknya, barangkali permasalahan yang lebih besar adalah bahwa mereka sedang tidak ada di gereja?

Pertimbangkan untuk meminta jemaat kita mengirimkan pesan teks yang berisi pertanyaan-pertanyaan sembari kita menyampaikan khotbah tentang isu-isu yang sulit atau kontroversial mengenai teks Alkitab atau khotbah yang disampaikan. Apa pun yang sesuai untuk gereja kita, lakukanlah itu. Yang saya minta hanyalah supaya kita tidak mempermalukan orang-orang yang menggunakan ponsel mereka, tablet, atau perangkat teknologi yang lain di gereja.

2. Bawa gereja kita ke media sosial.

Saya adalah seorang profesional media sosial, istilah yang kadang-kadang masih agak menakutkan untuk diucapkan, tetapi itu benar. Saya bekerja dengan media sosial setiap hari dalam pekerjaan saya yang sebenarnya, dan saya telah menulis banyak tentang itu secara spesifik. Gereja kita perlu berada di media sosial dalam bentuk tertentu. Facebook, Twitter, Instagram, dan lebih banyak lagi, pakailah semuanya itu. Hal ini bisa sangat membuat kewalahan, khususnya apabila kita benar-benar baru terhadap konsep itu. Jika kita tidak merasa yakin di mana harus memulai dan media sosial terasa begitu berlebihan, blog milik Darrel Girardier adalah tempat yang baik untuk memulai.

3. Mulailah sebuah blog untuk gereja.

Pertimbangkan untuk menulis blog gereja. Atau, barangkali jika kita tidak merasa gereja kita memerlukannya, mungkin pendeta kita bisa menulis blog untuk dirinya sendiri. Ketika saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pendeta, saya akan menulis sebuah blog sebagai perpanjangan dari pelayanan saya kepada gereja saya dan komunitasnya. Fokus dari blog tersebut akan dibatasi kepada gereja saya di kota saya. Dengan cara yang sama, barangkali kita bisa menulis sebuah blog yang melaluinya kita bisa mem-posting berita-berita terbaru seputar pelayanan gereja kita, menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan orang-orang, atau berbagai penggunaan yang lainnya. Jangan ragu untuk mengirimkan email kepada saya atau menyapa saya di media sosial jika kita ingin mendapatkan lebih banyak ide di sini. Saya merasa senang bisa membantu.

4. Dorong penggunaan teknologi untuk menumbuhkan kerohanian.

Pada butir satu di atas, saya menyinggung bagaimana kita tidak boleh mempermalukan orang-orang yang menggunakan ponsel mereka selama pelayanan ibadah. Kita bisa melangkah lebih jauh dan mendorong orang-orang di dalam gereja kita untuk menggunakan app-app untuk belajar Alkitab seperti Alkitab SABDA, Kamus Alkitab, Alkitab PEDIA, atau Tafsiran untuk mendukung kehidupan kerohanian mereka sepanjang minggu. Bersyukur atas orang-orang atau yayasan yang Tuhan pakai untuk mewujudkan app-app tersebut. Sekarang, ada banyak app di luar sana yang bisa membantu kita bertumbuh secara rohani, khususnya ketika itu berkaitan dengan disiplin rohani seperti pembacaan Alkitab harian dan hafalan ayat.

5. Ajarkan gereja kita untuk menggunakan teknologi dengan bijak.

Yang terakhir, dan ini bukanlah poin yang kecil, gereja kita perlu memiliki teologi teknologi. Teknologi, seperti media sosial, ibarat palu, dan palu bisa digunakan untuk membangun rumah atau memukul kepala orang. Teknologi bisa menuntun kita ke jalan yang gelap apabila kita tidak berhati-hati. Namun, di atas semua itu, teknologi adalah dari Tuhan, teknologi harus ditebus dan dikembalikan untuk kemuliaan Tuhan, dan harus bermanfaat bagi Kerajaan Allah. Kita sedang merugikan gereja kita jika kita tidak mengajarkan kepada mereka bagaimana berpikir secara teologis tentang teknologi.

Orang-orang Digital Native sedang memenuhi gereja-gereja kita. Atau sebaliknya, barangkali permasalahan yang lebih besar adalah bahwa mereka tidak sedang melakukannya. Beritakanlah Injil, pastinya jangan mengubah hal itu, tetapi pertimbangkan bagaimana kita bisa beradaptasi dengan generasi internet. (t/Odysius)

Sumber:

Nama situs : Millennial Evangelical
Alamat URL : http://www.millennialevangelical.com/5-ways-your-church-can-adapt-to-digital-natives/
Judul asli artikel : 5 Ways Your Church Can Adapt to "Digital Natives"
Penulis artikel : Chris Martin

Diambil dan disunting dari:

Nama situs : Apps4God
Alamat URL : http://apps4god.org/artikel/Lima-Cara-untuk-Gereja-Anda-Dapat-Beradaptasi-terhadap-Orang-Orang-Digital-Native.php
Tanggal akses : 18 Juli 2016

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Anak Umum