You are hereSenjata? Atau Sabda Allah? (Amerika Utara, 1631 - 1690)

Senjata? Atau Sabda Allah? (Amerika Utara, 1631 - 1690)


John Eliot bersandar pada kayu rimbat ketika kapal layar yang sedang ditumpanginya itu memasuki pelabuhan kota Boston. Waktunya, bulan November tahun 1631. Sesudah tujuh minggu melintasi Lautan Atlantik, John Eliot sempat melihat negeri yang akan menjadi tempat tinggalnya yang baru.

John Eliot baru berusia 27 tahun; namun di tanah airnya, negeri Inggris, ia sudah cukup ternama. Di Universitas Cambridge yang terkenal itu ia telah diwisuda pada umur yang sangat muda: baru 18 tahun! Kemudian ia menjadi seorang guru dan pendeta pembantu.

Namun John Eliot merasa tidak betah tinggal di tanah airnya. Raja Ingris dan para pemimpin gereja segan memberi kebebasan beragama kepada orang-orang Kristen yang tidak sependapat dengan mereka. Sejak tahun 1620, sebelas tahun yang lalu, ada orang-orang Kristen Inggris yang mulai mengungsi ke daerah Massachusetts, Amerika Utara, agar mereka dapat berbakti menurut keyakinan mereka sendiri. Kini John Eliot hendak menggabungkan diri dengan kelompok kecil pendatang baru itu.

Pada saat pendeta muda itu sedang mengamat-amati pemandangan di pelabuhan kota Boston, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatiannya: Sebuah perahu meluncur dari pantai menuju ke kapal yang sedang di tumpanginya. Beberapa orang yang berkulit agak kecoklat-coklatan mendayungkan perahu itu. Mereka berpakaian kulit binatang dan bulu burung. Sambil berdayung di sekeliling kapal layar yang baru tiba dari Inggris itu, mereka bercakap-cakap dengan bunyi yang aneh, seolah-olah dari tenggorokan dan bukan dari mulut.

John Eliot menarik napas panjang. Dalam hati ia berkata: Wah, pasti ini orang-orang suku Indian!

Sudah lama ia mendengar tentang orang-orang suku Indian, tetapi baru sekarang ia sempat melihat mereka dengan mata kepala sendiri. Teringatlah dia bahwa di antara mereka ada yang bersikap ramah tehadap para pendatang baru, seperti misalnya seorang kepala suku yang bernama Massasoit. Tetapi ada juga orang-orang Indian yang menentang kehadiran kaum kulit putih, bahkan sampai terjadi penumpahan darah.

John Eliot tahu ada orang-orang Kristen yang menganggap para penduduk pribumi Amerika Utara itu sebagai binatang buas yang harus disingkirkan saja. "Serigala berotak manusia," demikianlah salah seorang pemimpin gereja menghina mereka. Namun Pdt. Eliot masih juga teringat akan teguran seorang pemimpin Kristen di Inggris terhadap saudara-saudara seimannya yang telah pergi ke daerah Massachusetts itu: "Mengenai orang-orang pribumi yang tewas itu, alangkah indahnya jika kalian lebih dulu membimbing mereka sehingga di antara mereka ada yang bertobat dan percaya!"

Istri dan anak-anak gubernur daerah Massachusetts telah menjadi kawan sekapal John Eliot selama menjelajahi lautan. Sang gubernur sendiri datang ke pelabuhan kota Boston untuk menyongsong kedatangan keluargannya. Ia juga menyambut pendeta yang masih muda itu. "Selamat datang, Pak Pendeta! Sudah ada gereja dan jemaat yang sedang menunggu pelayanan Bapak!"

Pendeta Eliot tentu merasa senang diterima dengan begitu ramah. Namun ia masih tetap memikirkan orang-orang suku Indian itu; matanya masih melirik ke arah perahu mereka yang sedang menuju pantai.

Siapakah yang akan melayani mereka? Siapakah yang akan mengajarkan mereka Sabda Allah? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tetap berkumandang dalam benaknya . . . .

Berpuluh-puluh tahun lamanya John Eliot melayani dengan setia di daerah Massachusetts mula-mula di Boston, dan kemudian di sebuah desa yang letaknya tiga kilometer dari kota itu. Pada tahun 1632, tunangannya dari Inggris menyusul, dan mereka pun menikah.

Para anggota jemaat amat mengasihi Pendeta Eliot. Khotbahnya sederhana, namun mengandung arti yang dalam. "Di pinggir ada perairan yang cukup dangkal, sehingga anak-anak domba dapat bermain dengan aman," demikianlah salah seorang anggota gerejanya menggambarkan cara John Eliot berkhotbah. "Namun, ada juga perairan yang cukup dalam, sehingga gajah-gajah pun dapat berenang!"

John Eliot dan Anne, istrinya, dikaruniai enam anak. Uang jasa yang mereka terima itu tidak begitu banyak. Namun mereka selalu bersedia menolong siapa pun yang dalam kesulitan. Jika ada yang sakit, Ibu Anne Eliot membuat ramuan obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan. Jika ada yang kekurangan uang, Pdt. John Eliot rela memberi sumbangan, bahkan sampai menyerahkan setiap sen yang dimilikinya.

Sewaktu-waktu John Eliot sempat bertemu lagi dengan orang-orang suku Indian itu. Kadang-kadang mereka keluar dari hutan untuk berdagang secara tukar menukar. Kata orang, bahasa mereka belum pernah ditulis. Suara-suara mereka selalu terdengar rendah dan serak, seakan-akan mereka berbicara dengan lekum saja. Rupa-rupanya mereka bersifat agak pemalas; kesukaan mereka berburu, memancing, dan tidur siang. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi pencuri, pemabuk, dan jago berkelahi.

Pada tahun 1637, di daerah lain beberapa orang Indian membunuh seorang pendatang berkulit putih. Sungguh hebat reaksi terhadap peristiwa itu! Ratusan orang Indian dibunuh; ratusan lainnya dikejar-kejar, sehingga mereka harus mengungsi ke tempat yang jauh-jauh.

"Yah, begitulah sifat suku Indian," kata kebanyakan orang kulit putih. "Kita harus tetap menyediakan senjata; kalau tidak, pasti mereka akan membinasakan kita!"

John Eliot mendengar semuanya itu. Namun ia masih tetap bertanya-tanya dalam hati: Apakah dalam menghadapi mereka kita memang harus menggunakan sejata? Ataukah Sabda Allah? Hanya saja, . . . bagaimanakah ia dapat menyampaikan Sabda Allah kepada orang-orang suku Indian itu, jika ia belum dapat bicara bahasa mereka?

Justru di tengah-tengah kesusahan dan peperangan itu, Tuhan membuka jalan. Pendeta Eliot mendengar berita tentang seorang tentara muda dari salah satu suku Indian yang hampir punah akibat perang. Pemuda Indian itu telah ditangkap dan dipaksa menjadi pembantu di rumah seorang penduduk di sebuah desa yang jauhnya hanya beberapa kilometer dari tempat tinggal Pendeta Eliot. Kata orang, majikannya telah berhasil mengajarkan bahasa Inggris kepada pembantu muda itu. Bahkan pemuda itu akan dibaptiskan menjadi anggota gereja!

John Eliot sangat tertarik. Ia memasang pelana dan menunggang kudanya ke desa itu. Di sana ia mulai berkenalan dengan seorang pemuda Indian yang rupa-rupanya memang cukup pandai.

"Siapa namamu?" tanya Pendeta Eliot.

"Ayub Nesutan, Pak," jawab mantan tentara suku Indian itu.

"Apakah kamu juga dapat berbicara bahasa suku Indian yang tinggal di sini, di daerah Massachusetts ini?"

"Dapat, Pak!"

Baru dua minggu kemudian, Bapak dan Ibu Eliot berhasil memindahkan Ayub Nesutan ke rumah mereka. Pemuda itu menjadi seperti salah seorang anggota keluarga mereka. Benar, dia cukup pandai. Dengan mudah John Eliot berhasil mengajar dia membaca dan menulis bahasa Inggris. Dan ia pun mulai mengajar Pendeta Eliot bahasa suku Indian setempat. Setiap malam, sehabis menunaikan tugas-tugasnya sebagai gembala sidang, Pendeta Eliot suka duduk dengan Ayub Nesutan dan berusaha mengerti bunyi-bunyian aneh yang keluar dari kerongkongan pemuda Indian itu.

Bukan hanya itu saja: Dengan penerangan lilin remang-remang, John Eliot mulai berusaha membuat sebuah abjad yang baru. Ia memilih huruf-huruf yang lafalnya kira-kira cocok dengan setiap bunyi yang kedengarannya aneh itu. Lambat laun ia dapat menerjemahkan Sepuluh Hukum Tuhan dan Doa Bapa Kami ke dalam bahasa suku Indian itu.

Pelajaran itu perlu dipraktikkan. Pendeta Eliot mulai berkenalan dengan orang-orang Indian yang suka datang ke desanya. Sebagai akibat percakapan dengan mereka, berkali-kali ia harus meralat ucapannya atau susunan kata-katannya.

Sedikit demi sedikit ia merasa dapat mulai menyelami alam pikiran suku Indian. Berbeda dengan prasangka kebanyakan pendatang kulit putih, mereka itu sangat dalam rohaninya. Namun cara mereka mengungkapkan pengertian rohani itu amat berbeda daripada cara berpikir orang Eropa.

Misalnya saja, kalimat pertama dalam Doa Bapa Kami: Gambaran suku Indian tentang seorang "Bapa" itu lain sekali daripada yang dimaksud Tuhan Yesus ketika ia mengajarkan suatu contoh doa kepada murid-murid-Nya. Ternyata istilah "Kepala Suku" lebih tepat sebagai lambang rohani untuk Oknum Ilahi itu yang dengan kasih sayang memelihara setiap bawahan-Nya.

Pada bulan Oktober tahun 1646, john Eliot merasa siap memulai usahanya untuk menyampaikan Sabda Allah kepada suku Indian. Di tepi sungai, di suatu tempat dekat air terjun, ada sebuah desa Indian yang dikepalai oleh seorang yang benama Waban. Pendeta Eliot sudah berkenalan dengan Waban. Kepala desa itu rela mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk menyongsong sang pendeta yang berani naik kuda ke dalam hutan.

John Eliot cerdik sekali memilih nas untuk khotbahnya yang pertama-tama kepada suku Indian itu! Ia telah mengalihbahasakan Yehezkiel 37:9: "Bernubuatlah kepada napas hidup itu, bernubuatlah, hai anak manusia, dan katakanlah kepada napas hidup itu: Beginilah firman Tuhan Allah." Kebetulan istilah "napas hidup" dalam bahasa suku Indian itu tak lain ialah . . . Waban, sama seperti nama sang kepala desa. Jadi, kedengarannya Pendeta Eliot sedang berseru: "Katakanlah kepada Waban: Beginilah firman Tuhan Allah!"

Pasti orang-orang suku Indian itu tertarik, ketika mereka mendengar bahwa nama kepala desa mereka sendiri disebut-sebut dalam Sabda Allah! Maka selama satu jam lebih mereka rela memperhatikan khotbah Pendeta Eliot. Namun tidak ada seorang pun yang menanggapi secara terbuka ketika pemberitaan Sabda Allah pertama kali didengarnya.

John Eliot belum putus semangat. Paling sedikit, orang-orang Indian itu telah menerima dia dengan cukup ramah mungkin karena ia datang ke desa mereka tidak pernah dengan tangan hampa. Ia selalu membawa serta hadiah-hadiah kecil; misalnya, setiap anak Indian yang pernah mendengarkan khotbahnya, kemudian diberi sebuah apel.

Satu bulan kemudian, Pendeta Eliot kembali lagi ke desa Waban. Kali ini lebih banyak lagi orang-orang Indian yang berkumpul. Dan sesudah ia berkhotbah, mereka pun mulai bertanya-tanya:

+ "Tentu Tuhan Allahmu mengerti doa-doamu dalam bahasa Inggris. Tetapi bagaimana Tuhan Allahmu dapat mengerti doa-doa orang Indian?"

John Eliot menjawab: "Jika aku, seorang hamba Tuhan yang bodoh, dalam waktu beberapa Tahun saja mulai dapat mengerti bahasamu, bukankah Yesus Mahatahu sanggup mengerti setiap kata yang kauucapkan, bahkan setiap pikiran hatimu? Apa lagi, Tuhan Allah yang sama itu menciptakan seluruh umat manusia, baik orang Indian maupun orang kulit putih. Jika demikian, pasti Tuhan Allah pun dapat mengerti doa-doa yang diucapkan oleh seluruh umat manusia."

+ "Tentu Tuhan Allahmu hadir di sana, di gereja desa orang kulit putih, tempat kamu biasanya berkhotbah. Tetapi bagaimana Tuhan Allahmu dapat hadir di sini juga, di tempat tinggal kami?"

John Eliot menjawab: "Coba pikirkan matahari yang besar itu. Bukankah terangnya menyinari baik pondokmu maupun pondok tetanggamu? Sama juga, terangnya menyinari rumahku di desa sana, bahkan menyinari tempat asalku dulu di seberang lautan. Nah, sama juga, Tuhan Allah hadir di mana-mana, dan memberi terang Injil-Nya kepada semua orang."

+ "Tentu ada Sabda Allahmu dalam bahasa Inggris; tetapi bukankah adanya Kitab Suci dalam bahasa itu pun justru merupakan bukti bahwa Yesus Kristusmu tidak mengerti bahasa orang Indian?"

John Eliot menjawab: "Sabda Allah itu untuk seluruh umat manusia. Sama seperti kalian sekarang, dahulu kala orang-orang Inggris pun belum mempunyai Sabda Allah dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi halangan itu dapat diatasi."

+ "Apa yang diterima oleh orang yang percaya kepada Tuhan Allahmu? Nampaknya kamu miskin sama seperti kami; apa untungnya menjadi orang Kristen?"

John Eliot menjawab: "Ada dua macam berkat. Ada berkat-berkat kecil," dan ia mengangkat jari-jarinya. "Tetapi ada juga berkat besar," dan ia mengulurkan jempolnya. "Berkat-berkat kecil itu berupa kekayaan, pakaian yang mewah, rumah yang nyaman, dan makanan yang enak. Berkat besar itu ialah, pengetahuan tentang Tuhan Allah dan Putra-Nya, Yesus Kristus, sehingga kita dapat menikmati hidup yang benar dan abadi. Tuhan tidak selalu memberi kita berkat-berkat kecil tadi. Tetapi yang lebih penting: Tuhan selalu memberi kita berkat-Nya yang lebih besar."

+ Lalu muncul pertanyaan dari orang-orang Indian yang paling akhir, dan yang paling sulit dijawab oleh Pendeta Eliot: "Mengapa baru sekarang ada orang kulit putih yang memberitahu kami tentang semuanya itu?" . . .

Yang ketiga kalinya John Eliot berkhotbah di kalangan suku Indian itu, di antara mereka sudah ada orang-orng yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus termasuk kepala desa mereka; ia ingin yakin dulu bahwa mereka benar-benar mengerti dan benar-benar percaya.

Maka mulailah suatu gerakan rohani yang luar biasa di antara orang-orang Indian di daerah Massachusetts itu. John Eliot menolong para petobat baru itu mendirikan beberapa desa baru, di mana mereka tidak akan diganggu baik oleh orang-orang kulit putih yang membenci mereka, maupun oleh orang-orang sesuku mereka yang belum mau bertobat. Ia mengajar mereka bagaimana menanam dan menuai, bagaimana menggergaji kayu dan membangun rumah.

Lambat laun sebanyak 14 desa orang Kristen didirikan di antara suku Indian itu. Penduduk desa-desa baru di daerah Massachusetts itu mulai dikenal sebagai "orang-orang Indian yang suka berdoa."

Desa-desa baru itu pun sangat berbeda daripada desa-desa suku Indian yang lain. Bila ada yang mencuri atau berkelahi, dengan cepat ia dihukum. Tidak ada yang bermalas-malasan; mereka semua rajin bekerja mencari nafkah. Pemerintahan desa disusun berdasarkan nasihat Yitro kepada Nabi Musa dalam Kitab Keluaran 18:21, yaitu dengan mengangkat kepala atas seratus orang, lima puluh orang, dan sepuluh orang. Ada juga sebanyak 24 orang Indian yang dididik menjadi guru dan gembala sidang di antara suku mereka sendiri.

Pendeta Eliot sendiri masih tetap bertugas melayani jemaatnya di desa orang kulit putih. Namun sewaktu-waktu ia suka menengok desa-desa suku Indian itu. Dengan memukul genderang, mereka mengundang semua orang untuk dapat mendengarkan khotbah dari bapak rohani mereka.

Kadang-kadang dalam perjalanannya ke desa-desa orang Kristen itu John Eliot kehujanan. Kadang-kadang ia harus mengarungi sungai yang sedang banjir. Kadang-kadang ia dihalangi oleh orang-orang Indian yang belum percaya kepada Tuhan Yesus. Kepada salah seorang kepala suku yang melawan dia itu, Pendeta Eliot berkata blak-blakan: "Aku tidak takut terhadap kamu, bahkan terhadap semua kepala suku di seluruh negeri ini. Aku akan maju terus, dan kita akan melihat apakah kamu memang berani menghalangi aku!"

Jumlah suku Indian yang menjadi pengikut Tuhan Yesus itu sudah melebihi seribu jiwa. Namun John Eliot menyadari bahwa kerohanian orang-orang Kristen baru itu tak mungkin akan berkembang sebagaimana semestinya, kecuali mereka mempunyai Sabda Allah dalam bahasa mereka sendiri. jadi, dengan bantuan Ayub Nesutan dan beberapa orang lain, mulailah dia menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa suku Indian itu.

Sulit sekali pekerjaan penerjemahan itu! Banyak pemikiran yang ada dalam Sabda Allah, namun rupa-rupanya istilah padanannya dalam bahasa suku Indian itu tidak ada. Misalnya, ada berbagai-bagai kata untuk "langit", tergantung pada jam dan cuaca, tetapi sama sekali tidak ada kata untuk "surga." Dan bagaimana mengartikan "unta" untuk orang-orang yang belum pernah melihat binatang unta? Tambahan pula, banyak istilah yang ada dalam bahasa Indian itu, sangat panjang dan sulit diucapkan. Misalnya, beginilah judul Alkitab yang diterjemahkan oleh John Eliot itu: Mamusse Wunneetupanatamwe Up-Biblum God!

Setelah bekerja keras selama sepuluh tahun lebih, selesailah seluruh Kitab Perjanjian Baru pada tahun 1658. Namun baru tiga tahun kemudian terjemahan Kitab Suci itu dapat diterbitkan. Atas biaya teman-teman John Eliot, sebuah mesin cetak dan seorang ahli cetak dikirim dari Inggris, agar Sabda Allah dapat diedarkan di antara suku Indian. Tetapi Ahli cetak itu ternyata orang pemabuk, sehingga pekerjaannya sering telantar.

Atas usaha Pendeta Eliot, seorang Indian diberi pendidikan, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa sukunya sendiri. karena ia sudah mengaku percaya dan sudah dilatih sebagai seorang pembantu percetakan, ia diberi nama baru "James Printer." Untuk sementara waktu, ia memang banyak menolong melanjutkan pekerjaan ahli cetak dari Inggris itu. Tetapi kemudian "James Printer" menjadi sangat marah terhadap orang-orang kulit putih. Ia melarikan diri ke hutan dan bersekongkol dengan orang-orang suku Indian yang masih suka berperang untuk melawan para pendatang baru.

Di samping halangan yang muncul di Amerika, di negeri Inggris juga ada halangan: Jumlah uang yang dikirim dari sana tidak mencukupi untuk keperluan proyek penerbitan Alkitab itu. Berkali-kali Pendeta Eliot harus menulis surat, meminta sokongan lagi.

Namun pada tahun 1661, Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa suku Indian itu dapat diterbitkan. Dua tahun kemudian, seluruh Alkitab menyusul. Sebanyak 1.500 eksemplar dicetak di kota Boston; dua ratus buah di antaranya langsung diserahkan kepada kaum Kristen di desa-desa suku Indian.

Mungkin pembaca sudah tahu, dari kisah nyata "Alkitab yang Bungkam Dalam Bahasa Nusantara" (Jilid 1 dalam buku seri ini), bahwa Kitab Injil Matius yang pada tahun 1629 dicetak dalam bahasa Melayu/Indonesia Kuno itu merupakan terjemahan Alkitab yang pertama-tama diterbitkan dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa Eropa, khusus sebagai alat penginjilan. Tetapi terjemahan John Eliot yang pada tahun 1663 dicetak dalam bahasa suku Indian di daerah Massachusetts itu merupakan terjemahan Alkitab lengkap yang pertama-tama diterbitkan dalam sebuah bahasa non-Eropa sebagai alat penginjilan. Di samping itu, terjemahan tersebut merupakan terbitan Alkitab yang pertama-tama dalam bahasa apa pun di seluruh benua Amerika.

Anehnya, dengan adanya Alkitab bahasa suku Indian itu, banyak kritikan yang dilontarkan oleh sebagian penduduk berkulit putih. "Mengapa membuang-buang waktu dengan bahasa yang aneh itu?" mereka menantang Pdt. John Eliot. "Mengapa tidak menyuruh semua orang Indian belajar bahasa Inggris saja?"

Di samping itu, ada juga sebagian pendatang baru yang masih tetap ingin menghadapi suku-suku Indian dengan menggunakan senjata, bukan Sabda Allah. Berkali-kali mereka merugikan orang-orang Indian dalam perdagangan secara tukar-menukar. Berkali-kali mereka menipu suku Indian sehingga daerah-daerah yang sudah lama boleh dipakai untuk berkemah dan berburu, kemudian dipagari dan dijadikan tanah pertanian.

Akhirnya pada tahun 1675 timbul pemberontakan. Yang mengorbankan perang itu tak lain ialah Metakomet atau Raja Filipus, putra Massasoit, kepala suku yang setengah abad sebelumnya pernah menyambut dengan ramah para pendatang baru dari Inggris yang mula-mula mendarat. Dalam waktu beberapa bulan saja, ratusan penduduk kulit putih menjadi korban serangan suku Indian yang ganas.

"Orang-orang Indian yang suka berdoa" itu juga dicurigai, meskipun sesungguhnya mereka rela menolong para pendatang baru untuk membela diri terhadap serangan suku lain. Justru karena hal itu, mereka pun dicurigai oleh suku yang sedang berperang, karena mereka dianggap memihak orang kulit putih. Desa mereka kebanyakan dibakar sebagian oleh pihak yang satu, sebagian lagi oleh pihak yang lain dalam peperangan itu. Ratusan orang di antara mereka itu dipaksa mengungsi ke Pulau Rusa, di pelabuhan kota Boston.

Hati John Eliot sedih. Ia menemani saudara-saudara seimannya sampai ke tempat di mana mereka harus naik perahu menuju Pulau Rusa. Di pulau itu pun ia mengunjungi mereka kemudian, dengan membawa serta makanan, pakaian, dan obat-obatan. Banyak orang Indian meninggal di tempat pengasingan yang kurang memadai itu; sisanya dapat memperpanjang hidup mereka hanya dengan menggali tiram dan kerang-kerang di pantai yang berpasir.

Pemberontakan itu mereda pada tahun 1676. Yang tewas, seribu orang pendatang berkulit putih, . . . dan tiga ribu orang suku Indian. Kebanyakan salinan Alkitab dalam bahasa suku Indian itu ikut terbakar bersama desa "orang-orang Indian yang suka berdoa."

"Baiklah!" kata John Eliot, yang berumur 72 tahun, namun masih gigih melayani sebagai pendeta pengantar Injil. "Mari kita manfaatkan kesempatan ini dengan menyediakan sebuah edisi baru yang lebih bagus!" Dan memang ia berbuat demikian. Dalam tugas penerjemahan itu ia bekerja begitu keras sehingga tradisi menyatakan bahwa sebelum ia meninggal pada tahun 1690, ia sudah dapat menghafal seluruh Alkitab di luar kepala.

Pada waktu Pendeta Eliot sudah terlalu lanjut umurnya dan terlalu lemah tubuhnya untuk dapat bepergian lagi ke desa-desa orang Indian, ia masih tetap memikirkan orang-orang lemah yang tertindas. Pada masa itu, orang-orang Amerika sudah mulai memperbudak para pendatang baru dari benua Afrika. Dalam usianya yang sangat tua, John Eliot suka membujuk para tetangganya untuk menyuruh budak-budak mereka datang ke rumahnya, agar ia dapat mengajarkan Sabda Allah kepada orang-orang berkulit hitam itu . . .

Lama sekali kisah perjuangan antara ras-ras di benua Amerika Utara itu. Berkali-kali suku-suku Indian itu diperas oleh para pendatang berkulit putih, yang kebanyakan lebih suka menghadapi mereka dengan senjata daripada dengan Sabda Allah. Para pendatang baru berkulit hitam itu pun dijadikan budak belian selama dua abad lebih, dan sesudah dimerdekakan masih belum juga diberi hak-hak asasi manusia selama satu abad lagi.

Namun Tuhan sanggup mengerjakan kebaikan dari keadaan yang paling buruk. Pada abad ke-19, di Amerika Serikat ada seorangg kepala suku Indian yang menjadi orang Kristen tulen, bahkan menjadi pendeta dan penginjil di antara sukunya sendiri. Ia pun sering membela sukunya terhadap kerakusan dan kekejaman kaum kulit putih, yang ingin mengusir mereka dan merampas tanah mereka.

Walau demikian jeleknya hubungan antara ras pada masa hidupnya, kepala suku Indian merangkap pendeta itu sempat memberi suatu kesaksian yang sangat indah:

"Kami telah diusir sampai enam kali; barang-barang milik kami telah dirampas. Kami berusaha melupakan hal-hal itu. Namun kami tidak mau melupakan bahwa orang-orang kulit putih itulah yang juga membawa kepada kami berkat Injil Kristus, pengharapan orang Kristen. Hal inilah jauh melebihi segala penderitaan kami."

TAMAT