You are hereKisah Tukang Cetak Yang Terdampar (Kepulauan Kiribatti, 1856 - 1944)

Kisah Tukang Cetak Yang Terdampar (Kepulauan Kiribatti, 1856 - 1944)


Pada tahun-tahun 1940-an, Amerika Serikat dan Kekaisaran Jepang sedang berperang di seluruh kawasan Lautan Pasifika yang luas.

Dalam masa peperangan di sekitar perairan besar itu, berkali-kali ada tentara Amerika yang pesawat terbangnya jatuh atau kapal perangnya terkandas di dekat salah satu pulau kecil. Sering tentara-tentara yang malang itu merasa sangat khawatir dan was-was, karena mereka tahu bahwa di kawasan Lautan Pasifika masih ada suku yang belum beradab bahkan masih ada pemakan daging manusia.

Namun berkali-kali pula tentara-tentara Amerika yang terdampar itu mendapati bahwa orang-orang pribumi di pulau-pulau Lautan Pasifika menerima mereka dengan baik. Luka-luka mereka diobati; mereka diberi makanan dan pemondokan.

Yang sering menjadi alasan, mengapa kaum pribumi di pulau-pulau itu berbelas kasihan terhadap orang-orang Amerika yang mendapat kecelakaan ialah karena kaum pribumi itu adalah orang-orang Kristen. Bahkan kadang-kadang tersingkap bahwa seluruh penduduk di salah satu pulau kecil yang terpencil itu sudah percaya kepada Tuhan Yesus.

Bagaimana Firman Allah sampai tersebar di sekian banyak pulau di Lautan Pasifika, serta sangat mempengaruhi sejarah yang berikutnya dari suku-suku pribumi yang tinggal di sana?

Jawaban atas pertanyaan itu merupakan suatu cerita yang panjang. Sebagian dari ceritanya telah dibawakan dalam pasal 5 dari buku ini, dengan judul "Bahasa yang Belum Pernah Ditulis." Sebagian lagi diceritakan di bawah judul "Kisah Tukang Cetak yang Terdampar", yang dimuat dalam pasal 6 ini.

Hiram Bingham, Jr., lahir di kepulauan Hawaii pada tahun 1831, sebelas tahun setelah orang tuanya tiba di sana sebagai utusan Injil. Sebagai seorang anak kecil ia sudah tahu bahwa ayahnya sibuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Hawaii: Bukankah ia sendiri yang kadang-kadang menolong dengan mengantarkan kertas ke bengkel percetakan

Ketika ia sudah besar, Hiram Binghan, Jr. pergi ke tanah air orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya. Di sana ia tamat dari Universitas Yale yang terkenal. Di sana ia menikah dengan seorang pemudi Kristen. Dan di sana pula mereka berdua merasa dipanggil Tuhan untuk pergi sebagai utusan Injil ke kepulauan Kiribati di Lautan Pasifika.

Anak-anak gereja di Amerika mempunyai andil khusus dalam usaha mengabarkan Firman Tuhan di antara pulau-pulau yang jauh itu: Bukankah mereka telah mengumpulkan persembahan khusus demi membeli sebuah kapal? Kapal itu yang bernama Morning Star (Bintang Kejora), berlayar dari pelabuhan Boston pada tahun 1856. Dan dua orang di antara penumpangnya adalam Hiram Bingham, Jr. dengan istrinya.

Setelah berlayar selama berbulan-bulan, kapal Morning Star itu berlabuh di kepulauan Hawaii. Di sana Hiram Bingham sempat memperkenalkan pengantinnya yang baru itu kepada orang tuanya. Tetapi perjalanan mereka belum selesai: Mereka harus berlayar terus sejauh seribu lima ratus kilometer lagi ke arah barat daya, baru mereka akan tiba di kepulauan Kiribati.

Orang-orang pribumi di kepulauan Kiribati itu cukup ramah, asal orang-orang asing yang datang ke sana tidak mengganggu atau menyakiti mereka. Tetapi ada juga penduduk yang sangat galak di pulau-pulau lain dekat kepulauan itu. Maka dengan agak khawatir juga Pdt. dan Ny. Bingham melihat kapal Morning Star berangkat lagi, meneruskan tugasnya berkeliling di atara pulau-pulau yang sudah dihuni utusan Injil. Mungkin baru satu tahun kemudian kapal itu akan sempat mampir lagi ke kepulauan Kiribati.

Pdt. Bingham mulai mengerjakan tugas berat yang sudah dilakukan lebih dahulu oleh ayahnya di kepulauan Hawaii, yaitu: mempelajari suatu bahasa yang belum pernah ditulis. Ia harus menunjuk sesuatu, mendengar namanya yang diucapkan oleh seorang penduduk setempat, lalu harus berusaha menulis sesuatu yang mirip dengan bunyi lafalnya.

Sering juga tugas itu membuatnya merasa bingung. Misalnya, ada seorang ibu yang memanggil anaknya, dan anaknya itu berlari kepadanya. Tetapi soalnya, . . . apa arti ssungguhnya dari kata-kata yang diserukan sang ibu itu? Mungkin "Ayo, waktu makan!" Mungkin "Tolong Ibu kerjakan ini!" Mungkin juga, "Anak yang nakal, cepat kau ke mari!" Bagaimanakah seorang asing dapat membedakan, manakah maknanya yang tepat?

Namun Pdt. Bingham dan istrinya belajar dan bekerja terus. Sedikit demi sedikit mereka dapat mengerti bahasa orang Kiribiti. Dan sedikit demi mereka dapat mulai menyusun sendiri kalimat-kalimat dalam bahasa itu.

Dengan segera mereka mulai mencari kata-kata yang tepat untuk menerjemahkan Firman Tuhan. Kitab yang pertama-tama mereka kerjakan ialah, mengirim naskah terjemahan itu ke kepulauan Hawaii. Berbulan-bulan kemudian, barulah hasil cetakannya itu dikirim kembali dari sana.

Sementara itu, Pdt. dan Ny. Bingham sudah mulai bersaksi kepada orang-orang setempat. Sebagai hasilnya, ada saudara-saudara seiman yang dapat menolong mereka dengan tugas-tugas mereka. Pdt. Bingham bahkan sempat pergi ke pulau-pulau terdekat yang penduduknya kurang ramah itu; ia berani menceritakan kasih Tuhan Yesus kepada mereka juga.

Karena banyaknya macam pekerjaan yang harus dilakukan, tugas terjemahan itu tidak selalu berjalan dengan lancar. Namun lambat laun seluruh Kitab Injil Matius berhasil disiapkan untuk proses pencetakan. Dengan rasa syukur Pdt. Bingham mengirim naskahnya ke kepulauan Hawaii. Dengan harapan besar ia dan semua orang Kristen di kepulauan Kiribati menunggu kedatangan kembali sebuah kapal yang akan melintasi jarak seribu lima ratus kilometer itu.

Setelah tiga belas bulan menunggu-nunggu, datanglah juga sebuah kapal dari kepulauan Hawaii. Pdt. dan Ny. Bingham, dengan diiringi banyak penduduk Kiribati, menyongsongnya di pesisir. Namun mereka sangat kecewa: yang dimuat kapal itu, bukan Kitab-Kitab Injil Matius dalam bahasa mereka sendiri, melainkan sebuah mesin cetak kecil, lengkap dengan tinta dan kertas. Terlampir juga berita ini: "Lebih baik kalian mencetaknya sendiri di sana. Dengan demikian tidak usah menunggu-nunggu hasilnya."

Alangkah sedihnya Hiram Bingham, Jr.! Ia tidak tahu apa-apa tentang seni cetak. Bagaimanakah ia dapat merakiti dan menjalankan mesin cetak itu?

Memang ia dan istrinya mencoba. Tetapi tugas itu terlalu rumit bagi mereka. Rupa-rupanya mereka harus menunggu-nunggu lagi, sambil mengirim naskah terjemahan Kitab Injil Matius ke kepulauan Hawaii.

Pdt. Bingham merasa begitu kecewa sampai-sampai ia sulit tidur. Sepanjang malam ia berdoa saja.

Pagi-pagi ada seorang anak laki-laki kecil yang berseru di luar rumahnya: "Pak! Pak! Ada perahu kecil yang datang"? Datangnya dari mana? Siapa pendayungnya?

Pdt. dan Ny. Bingham bergegas pergi ke pesisir. Betul juga berita tadi: Ada perahu kecil yang di dayung oleh empat orang, makin lama makin mendekati pantai. Ternyata mereka itu orang-orang Barat, sama seperti keluarga Bingham sendiri.

"Kalian siapa?" Pdt. Bingham berseru.

"Awak kapal laut," jawab keempat pria itu.

"Kalau begitu, di mana kapal kalian?" Pdt. Bingham bertanya lagi.

"Terkandas di tengah laut," mereka menjelaskan. "Hanya kami berempat yang masih hidup. Kami sudah berdayung kemari sejauh seratus lima puluh kilometer."

Para pelaut yang terdampar itu senang sekali bertemu dengan seseorang yang dapat berbicara bahasa Inggris. Keluarga Bingham langsung menampung mereka di rumah serta memberi mereka makan.

Setelah kekuatan mereka sedikit pulih kembali, mereka mulai jalan-jalan di pulau itu. Ada kemungkinan besar mereka harus menunggu lama sekali, baru ada kapal yang akan mampir lagi yang dapat membawa mereka pulang. Sementara itu, jika ada tugas yang dapat mereka kerjakan, mereka ingin melakukannya sebagai jalan untuk membalas budi kepada keluarga Bingham yang baik hati.

Salah seorang pelaut yang terdampar itu bernama Pak Hotchkiss. Ia menemukan mesin cetak kecik yang telah dikirim dari Hawaii itu, yang masih tersimpan dalam dosnya.

"Wah, apa ini? tanyanya. "Kalian suka mencetak di pulau yang terpencil ini?"

Dengan sedih Pdt. Bingham menggelengkan kepalanya dan menjelaskan apa yang terjadi.

Senyuman Pak Hotchkiss itu lebar sekali. "Aku tukang cetak, Pak," katanya. "Dalam sekejap saja aku dapat menjalankan mesin yang kecil mungil ini. Berikan aku apa saja yang Bapak mau cetak, dan aku akan mengerjakannya. Gampang. Aku juga dapat mengajar Bapak dan orang-orang lain, bagaimana caranya menjalankan mesin ini."

Hiram Bingham, Jr. gembira sekali. "Pasti Hotchkiss memang berhasil merakiti mesin cetak itu. Ketika sebuah kapal mampir dan ketiga temannya itu hendak menaikinya dan pulang, ia sendiri memutuskan untuk tinggal lebih lama di kepulauan Kiribati. Dan ia memang menetap di sana sampai Kitab Injil Matius selesai dicetak, dan sampai Pdt. Bingham serta kawan-kawanya di antara penduduk setempat itu sudah dilatih dengan baik, bagaimana menjalankan mesin cetak.

Kemudian menyusul Kitab Injil Yohanes dalam bahasa Kiribati, lalu Surat Efesus. Tidak mungkin terus mencetak kitab-kitab lainnya, karena persediaan kertas sudah habis. Namun Pdt. Bingham dan istrinya berbesar hati, oleh karena Firman Tuhan sudah mulai meresap ke dalam hati penduduk kepulauan karibiti.

Ternyata Hiram Bingham, Jr. tidak dikaruniai Tuhan dengan kesehatan yang sempurna. Musatahil ia dapat bekerja sekeras ayahnya dulu. Berkali-kali ia jatuh sakit, dan terjemahannya itu terpaksa dilanjutkannya sambil berbaring di tempat tidur. Pembantunya dalam pekerjaan yang mulia itu hanya ada dua orang saja, yakni: istrinya yang setia, dan seorang mantan muridnya yang bernama Musa Kaure.

Walau demikian, Pdt. Bingham berani berjuang terus. Hampir empat puluh tahun dari masa hidupnya dihabiskannya untuk melaksanakan karya terjemahan itu. Akhirnya pada tahun 1893 seluruh Alkitab diterbitkan dalam bahasa Kiribati. Dan isiya makin lama makin mempengaruhi cara hidup para penduduk pulau-pulau di Lautan Pasifika itu.

Itulah sebabnya ketika ada seorang tentara Amerika serikat yang datang ke kepulauan Kiribati pada tahun 1944 semasa Perang Dunia II, ia dan salah seorang penduduk setempat saling menukar Alkitab. Alkitab bahasa Inggris ditinggalkan sebagai kenang-kenangan di kepulauan Kiribati, dan Alkitab bahasa Kiribati dikirim kepada ibu tentara di tanah airnya.

Ibu tentara itu kemudian menulis sepucuk surat yang berisi pertanyaan, yang dialamatkannya kepada Lembaga Alkitab Amerika. Sebagai jawaban, ibu itu mendapat keterangan seperti yang dimuat dalam pasal ini, tentang bagaimana Firman Tuhan mula-mula sampai di kepulauan Kribati, . . . berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

TAMAT