You are hereDesa Yang Berseri (Pulau Okinawa, abad ke-20)

Desa Yang Berseri (Pulau Okinawa, abad ke-20)


Shosei Kina duduk di depan gubuknya yang beratap ijuk. Tempat tinggalnya sama dengan gubuk-gubuk nelayan lainnya di desa Shimmabuko itu, di pulau Okinawa. Sangat kotor gubuk-gubuk itu . . . setengah reyot, tidak terurus, sangat memerlukan perbaikan.

Hanya pemandangan alam di sekitar desa nelayan itu yang sungguh bagus nampaknya. Lautan pasifik terbentang luas di sekeliling pulau itu. Indah juga pohon-pohon palem yang menjulang tinggi, melebihi atap gubuk-gubuk nelayan yang jelek itu.

Shosei Kina duduk mengobrol dengan adik laki-lakinya, Mojon. Mereka sedang membicarakan suatu keajaiban yang baru terjadi atas mereka ya, keajaiban yang tak terduga. Bukti keajaiban itu sedang dipegang Mojon, yaitu sebuah Kitab yang sangat berharga.

Seorang utusan Injil telah mampir ke pulau Okinawa dalam perjalanannya menuju Jepang. Ia tidak lama tinggal di situ, dan kini ia sudah pergi lagi. Kedua nelayan bersaudara itu sudah melupakan namanya, namun mereka tidak lupa akan ajarannya. Utusan Injil itu telah mengajar mereka tentang Sang Bapa Surgawi yang mengasihi dan memelihara mereka. Dalam waktu singkat ia telah berhasil meyakinkan mereka bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah satu-satunya Juru Selamat, dan bahwa mereka seharusnya berusaha mengikut Dia.

Beberapa saat sebelum utusan Injil itu berangkat, ia memberikan sebuah Alkitab kepada Shosei dan adiknya. "Bacalah isinya, Shosei Kina," kata orang asing itu. "Kamu dan Mojon harus membacanya. Kitab ini dapat memberi hikmat kepada kalian, dapat mengajar kalian lebih banyak lagi tentang Sang Juru Selamat. Peliharalah Kitab ini baik-baik; aturlah cara hidup kalian menurut isinya. Berdoalah, mohon supaya Allah Bapa membimbing usaha kalian untuk hidup sebagai pengikut Tuhan Yesus Kristus."

Untung, Shosei Kina dan Mojon dapat membaca. Mereka mulai menyelidiki Kitab Suci itu. Mereka pun mulai membicarakannya dengan penduduk desa Shimmabuko yang hanya beberapa ratus jiwa itu.

Pada saat kedua nelayan bersaudara itu sedang duduk sambil mengobrol, Majan membuka halaman Kitab Suci yang memuat cerita Tuhan Yesus. Ia membacakan beberapa ajaran Yesus kepada kakaknya.

"Sangat mengherankan!" kata Mojon. "Kata-kata ini dapat menolong kita dalam kehidupan sehari-hari. Guru kita yang tercinta itu telah membimbing kita untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus. Sekarang Kitab Suci ini selanjutnya dapat membimbing kita, agar kita hidup sebagai pengikut Tuhan Yesus. Coba lihat ayat ini! Katanya, kita harus saling mengasihi. Kita harus saling melayani."

Kebetulan saat ini seorang nelayan pincang berjalan di depan gubuk Shosei Kina. Kedua bersaudara itu mengenal si Pincang; mereka tahu bahwa kehidupannya serba sulit. Ia dapat pergi menangkap ikan hanya jika ada orang lain yang mengajak dia. Orang lain itulah yang harus mendayung perahu; baru dengan cara demikian si Pincang dapat memancing atau menjala ikan.

"Mari kita ajak si Pincang pergi bersama-sama menangkap ikan," saran Shosei Kina kepada adiknya. "Itu salah satu cara kita dapat mengasihi dan melayani orang lain, sesuai dengan ajaran Kitab Suci tadi."

Mojon setuju. Si Pincang merasa sangat heran atas ajakan mereka. Biasanya dia yang harus membujuk orang lain supaya ia boleh ikut serta menangkap ikan. Tetapi kini ia diperlakukan seperti seorang saudara. Bahkan ia diajak makan bersama bekal yang telah disediakan oleh Istri Mojon.

Pada waktu ketiga orang itu kembali ke darat, ternyata keranjang si Pincang penuh dengan ikan. "Wah, coba lihat!" kata si Pincang. "Ikan ini cukup banyak! Sebagian dapat diasinkan, dan sebagian lagi dapat dijual. Selama berhari-hari perutku kenyang! Mengapa kalian begitu mau menolong diriku?"

Shosei Kina menjelaskan: "Karena ada ajaran baru yang telah kami terima," katanya. "Kami baru mengetahui tentang Sang Bapa Surgawi yang sangat mengasihi kami. Ia ingin supaya kami berbuat baik, dan tidak berbuat jahat. Ia mengutus anak-Nya, Tuhan Yesus, ke dunia ini untuk menyelamatkan kami dari dosa. Ia ingin supaya kami hidup menurut ajaran Anak-Nya. Maukah kamu belajar lebih benyak mengenai hal ini?"

Memang si Pincang mau. Hari demi hari ia dan beberapa orang lain berkumpul di sekitar pintu gubuk tempat tinggal Shosei Kina. Mereka semua mendengarkan pembacaan Alkitab.

Sering ada orang mencetuskan: "Wah, ajaran tadi dapat menjadi peraturan yang baik untuk seluruh penduduk desa kita!" Lalu mereka bermusyawarah, bagaimana cara menerapkan ajaran tadi.

Hari lepas hari penduduk Shimmabuko mulai mengubah cara-cara mereka memperlakukan sesama mereka. Alangkah senangnya, jika setiap orang berbicara dan bertindak atas dasar kasih terhadap sesamanya, menurut ajaran yang mereka perbincangkan itu!

Makin lama makin banyak orang di desa Shimmabuko yang mulai mengikuti ajaran baru itu. Tidak lama kemudian, setiap penduduk desa nelayan itu mengaku diri sebagai pengikut Tuhan Yesus.

Lambat laun terjadilah suatu perubahan yang ajaib di Shimmabuko. Salah satu contoh:

Ada seorang janda muda yang mempunyai beberapa anak. Setiap kali hujan badai, pasti atap gubuknya bocor. Dengan sangat halus Shosei Kina menyarankan, bahwa memperbaiki atap secara sukarela itu adalah suatu perbuatan kasih sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus Kristus.

Para penduduk segera mengadakan kerja bakti. Dalam waktu singkat, seluruh atap gubuk janda muda itu diganti. Sementara tugas itu dikerjakan bersama, mereka pun bersukaria sambil bersekutu satu dengan yang lain.

Namun atap yang baru itu terlihat sangat menonjol, jika dibandingkan dengan atap-atap gubuk lainnya. "Kita perlu memperbaiki tempat tinggal kita sendiri-sendiri," penduduk Shimmabuko berkata satu kepada yang lain. Tidak lama kemudian, atap setiap gubuk di desa nelayan itu diperbaiki atu diperbaharui sama sekali.

Penduduk yang paling rajin mempelajari Alkitab adalah Mojon. Orang-orang lain berdatangan minta nasihat kepada dia.

"Pak Mojon, saudaraku telah meminjam perahuku," demikian omelan salah seorang nelayan. "Ia tidak minta izin, dan ia pun sudah lama tidak mengembalikannya. Suadaraku harus dihukum, ya?"

Mojon tersenyum. "Mengenai masalah ini ada ajaran dari Alkitab," kata Mojon. "Kamu tidak boleh menghukum saudaramu. Bahkan kamu harus mengampuni dia."

"Mengampuni dia! Wah! Sudah berkali-kali ia berbuat salah, kasusnya sama seperti ini!"

"Ya, memang," kata Mojon. "Tetapi Tuhan kita menyuruh Rasul Petrus mengampuni saudaranya sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Jika kamu sudah mengampuni saudaramu sebanyak itu, kembalilah ke mari dan kita akan membahas masalahnya lebih lanjut."

Sementara itu, dengan diam-diam Mojon mendekati saudara orang tadi. "Ada ajaran Alkitab yang perlu kaurenungkan," katanya. "Begini bunyinya, dari Efesus 4:32: `Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra.' Apakah kamu bertindak ramah, penuh kasih mesra, jika kamu meminjam perahu saudaramu tanpa izin? Camkanlah ayat tadi, dan minta petunjuk kepada Tuhan. Mohonlah supaya Ia menolongmu untuk hidup ramah dan saling mengasihi, sesuai dengan yang diajarkan-Nya."

Tibalah saatnya penduduk Shimmabuko harus memilih kepala desa yang baru. Dengan suara bulat mereka menunjuk Shosei Kina untuk jabatan yang terhormat itu. Dengan rendah hati Shosei menerima tanggung jawab baru. Ia pun berusaha menyesuaikan setiap tindakannya menurut ajaran Alkitab.

Lambat laun cara hidup lama itu ditinggalkan. Semua orang berlaku jujur. Semua orang membuat rencana dengan memikirkan kepentingan orang lain, dan bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja. Sebagai akibat, desa itu bertambah makmur. Sering terdengar gelak tawa di jalanan desa Shimmabuko, karena penduduknya hidup berbahagia.

Gubuk-gubuk nelayan itu lambat laun dibersihkan dan diperbaiki. Sampah tidak lagi dibiarkan bertumpuk di mana-mana. Penyakit berkurang. Peraturan-peraturan dibuat untuk menjaga agar cara hidup di desa itu sesuai dengan ajaran Alkitab . . . .

Tiga puluh tahun kemudian desa Shimmabuko itu masih tetap makmur dan berbahagia. Shosei Kina dan Mojon sudah tua; mereka berdua sangat dihormati oleh setiap penduduk desa itu.

Lalu . . . tibalah bencana. Perang berkobar di daerah Lautan Pasifik. Pasukan penggempur Amerika Serikat mengepung pulau Okinawa. Mereka memukul mundur pasukan Jepang yang sedang menduduki pulau itu. Desa Shimmabuko terletak persisi di jalan yang hendak dilewati bala tentara Amerika yang sedang maju dengan jayanya. Beberapa bom meledak di desa yang tadinya damai dan sentosa itu.

Pasukan Amerika semakin mendekat. Mereka membidikkan senjata ke arah desa Shimmabuko. Maka Shosei Kina dan Mojon sadar, telah tiba saatnya mereka harus bertindak.

Kedua nelayan bersaudara yang sudah tua itu keluar dari desa mereka dan menuju ke baris depan pasukan penggempur Amerika. Mereka tersenyum ramah. Merek membungkuk sebagai tanda hormat, sambil mengucapkan "Selamat datang!"

Serdadu-serdadu Amerika itu kebingungan. Mereka berhenti melangkah. Untung, ada seorang pengalih bahasa yang mengikuti mereka. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan kedua orang Okinawa itu, wajahnya penuh kehenaran. Ia menjelaskan: "Mereka hendak menyambut kita sebagai sesama orang Kristen! Kata mereka, dulu di sini ada utusan Injil dari Amerika, dan mereka senang sekali bertemu dengan kita!" Ia menggaruk-garuk kepalanya tanda kebingungan.

Dalam pasukan penggempur itu ada juga seorang pendeta tentara. Dengan beberapa opsir tentara, ia menghadap kepada kedua nelayan pulau Okinawa itu. "Biarkanlah kami memeriksa desa kalian," pinta mereka melalui pengalih bahasa tadi.

Kedua nelayan yang sudah tua itu membungkuk lagi. Lalu mereka mengantarkan orang-orang Amerika itu ke desa Shimmabuko. Memang ada beberapa bangunan yang terkena bom, tetapi tidak ada penduduk yang terluka. Mereka semua keluar dari rumah dan berderet-deret di sepanjang jalanan desa. Mereka tersenyum lebar-lebar ke arah teman-teman mereka yang baru itu.

Pendeta tentara dan para opsir itu semakin kagum. Bagaimana sampai terjadi ada desa yang seolah-olah berseri ini? Rumah-rumahnya begitu rapi; jalanannya begitu bersih; para penghuninya begitu ramah, sehat, berbahagia!

"Tolong beritahu kami," pinta mereka kepada kedua nelayan tua itu, "bagaimana sampai terjadi kalian mempunyai desa yang begitu bagus keadaannya?"

Dengan bantuan pengalih bahasa, Mojon memberitahu mereka. Ia bercerita tentang utusan Injil yang pernah mampir di Shimmabuko tiga puluh tahun yang silam. Ia bercerita tentang Alkitab yang ditinggalkan oleh orang Kristen itu. Ia pun menjelaskan bagaimana penduduk desa itu sudah menyelidiki Alkitab serta menemukan di dalamnya corak baru untuk cara hidup mereka.

Pendeta tentara dan para opsir itu diam saja karena keheranan. Tetapi Shosei Kina mengira merreka membisu karena kecewa terhadap dia dan desanya. "Kami sangat menyesal, Tuan-Tuan yang mulia," katanya sambil membungkuk lebih dalam lagi. "Pasti cara hidup kami dipandang masih terbelakang. Namun dengan sebulat hati kami berusaha mengikuti ajaran Tuhan Yesus yang tercantum di dalam Alkitab. Sudilah Tuan-Tuan yang mulia mengajari kami, bagaimana kami dapat mengikuti ajaran-Nya itu dengan cara yang lebih baik."

"Cara yang lebih baik?" Pendeta tentara itu mengulangi kata-kata tadi "Cara hidup mereka ini sudah jauh lebih baik daripada cara hidup kebanyakan orang Kristen!"

Beberapa jam kemudian, ada seorang wartawan Amerika yang ingin menyaksikan "desa yang berseri" itu. Ia dikawal oleh seorang sersan tentara yang adatnya keras.

"Aku tidak mengerti," kata sersan itu kepada sang wartawan. "Kebanyakan desa di pulau ini, penduduknya kotor, bodoh, putus asa. Tapi coba lihat desa ini! Perbedaannya begitu besar. Dan kata mereka semuanya terjadi hanya oleh karena di sini ada sebuah Alkitab dan dua orang kakek yang mau hidup seperti Yesus."

Kedua orang Amerika itu bertemu dengan Shosei Kina dan Mojon. Mereka merasakan hangatnya sambutan kedua nelayan bersaudara itu, walaupun mereka tidak mengerti kata-kata yang diucapkan.

Sang wartawan ingin menyaksikan sendiri Alkitab yang telah menyebabkan perubahan yang sedemikian besarnya di desa Shimmabuko. Shosei Kina dan Mojon mengantar dia ke tempat ibadah. Di sana terdapat sebuah mimbar kasar dengan sebuah Alkitab tua yang diletakkan di atasnya, di tempat yang terhormat.

"Bolehkah kupegang?" tanya wartawan itu dengan bahasa isyarat.

Shosei Kina tersenyum. Ia mengangkat Alkitab tua itu dari atas mimbar. Sampulnya hampir terlepas; halamannya kumal; ternyata Kitab Suci itu pernah kehujanan, lalu dikeringkan. Namun Kitab Suci itu sangat berharga bagi penduduk desa Shimmabuko. Dengan pelan-pelan Shosei Kina meletakkan Alkitab itu di telapak tangan sang wartawan.

Sersan itu amat terkesan. "Mungkin kita sudah bertempur dengan senjata yang keliru," ia berbisik. "Mungkin Kitab Suci inilah yang lebih ampuh mengubah keadaan dunia."

Alkitab itu dikembalikan ke tempatnya. Kedua orang Amerika itu kembali ke tempat perkemahan mereka. Dan kedua orang Okinawa yang sudah tua itu berpamitan dengan sahabat-sahabat baru mereka.

Rasa persahabatan itu hanya dapat timbul oleh karena ajaran Tuhan Yesus saja. Perang yang dahsyat sedang mencekam seluruh dunia. Namun di Shimmabuko, Firman Allah telah menjadi peraturan desa. Dan "desa. Dan "desa yang berseri" itu tetap damai dan sentosa.

TAMAT