Roller Coaster Hidup

Shalom,

Perkenalkan saya Descenda Angelia Putri, biasa dipanggil Cenda. Sejak lahir, saya hidup dalam keluarga Kristen. Tiada hari tanpa bersyukur dalam hidup saya. Segala berkat dan hikmat yang diberikan oleh Tuhan Yesus dalam hidup saya sungguh indah. Dalam keluarga, saya satu-satunya anak perempuan, tidak ada kakak ataupun adik. Saat saya berumur 5 tahun, saya masih ingat akan keinginan saya memiliki adik. Hingga saat saya duduk di kelas 1 SMP, saya mendapat kabar bahwa mama saya memiliki kista di dalam rahimnya. Yang dapat saya lakukan pada saat itu hanyalah berdoa sampai pada hari operasi. Hingga pada saat itu, saya mengatakan kepada diri saya sendiri, "Kesehatan mama nomor satu!" Meskipun bukan penyakit yang cukup serius, saya tetap merasakan kesedihan kalau melihat, entah mama atau papa, sakit seperti itu.

Tidak memiliki saudara kandung tidak membuat saya bersedih. Tuhan selalu punya cara-Nya sendiri membuat saya terus bahagia meski dalam keterpurukan. Saya masih ingat dahulu saya bersekolah dari Pre-school sampai SD di sekolah Kristen. Karena hanya ada satu sekolah swasta di tempat saya pada saat itu, hampir seluruh teman saya bergereja di gereja yang sama.

Pada saat kelulusan SD, saya mendapat pengumuman bahwa saya diterima di salah satu sekolah favorit di tempat asal saya, Banjarnegara. Namun, ada hal yang saya sesali, SMP itu adalah sekolah negeri. Awalnya, saya berpikir bahwa akan nyaman bersekolah di sana. Hingga akhirnya, hari pertama kegiatan belajar mengajar dimulai, dan saya merasakan perbedaan yang cukup signifikan. Apalagi di dalam satu kelas yang berisi 36 siswa, hanya ada 5 anak yang beragama Kristen dan Katolik di dalam kelas. Meskipun kami berlima, saya tetap merasa sendirian karena dari antara mereka, sayalah satu-satunya perempuan. Selama tiga tahun di SMP, saya merasa diuji oleh banyak hal. Untungnya, ada salah satu guru, yang juga teman dekat papa saya, membantu saya melewati masa-masa itu. Hal ini ternyata masih berlanjut sampai saya di SMA, yang juga negeri.Hal yang paling tidak menyenangkan adalah kami tidak pernah mendapatkan ruang kelas untuk belajar pelajaran Agama Kristen. Bahkan, di dalam kelas pun, saya merasa ditinggal oleh beberapa orang di kelas. Karena tujuan utama saya adalah bersekolah, saya tidak terlalu menghiraukan hal itu karena ada satu teman dekat yang menemani saya. Sampai pada titik ini, saya bersyukur karena Tuhan menempatkan saya sebagai bagian dari mereka. Rasa sedih dan kesal yang membuat saya ingin pindah sekolah, pasti ada. Namun, Tuhan menguatkan diri saya pada masa-masa itu. Hal ini tidak pernah saya anggap sebagai musibah, tetapi lebih seperti berkat. Berkat yang luar biasa saya syukuri seperti Roller Coaster dalam hidup.

Setelah bersekolah di sekolah negeri, saya pun berkuliah di universitas swasta. Menyenangkan dan nyaman, dua hal yang berbeda dari sekolah saya sebelumnya. Sampai pada suatu hari, papa saya berkunjung ke Salatiga. Tiba-tiba, ia terlihat pucat. Kakak sepupu saya, seorang perawat, spontan membawa papa saya ke rumah sakit. Saya yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menunggu di rumah. Hampir 2 jam berlalu, papa saya tidak pulang, dan saya diberi tahu oleh kakak sepupu saya bahwa papa terserang penyakit jantung. Sejenak, saya hanya bisa menanggapi dengan jawabannya "Ya". Saya kembali ke kamar dan hanya bisa menangis. Saya hanya berharap penyakit papa tidak ada di dalam tubuhnya. Kalau bisa, saya saja yang mengalaminya pada saat itu. Saya sempat menyalahkan Tuhan. Mengapa harus papa saya? Mengapa bukan saya? Hingga papa harus masuk ruang ICU selama satu minggu. Setiap hari, saya hanya bisa menangis. Pada saat itu, saya mulai tidak pernah berdoa, jarang ke gereja, selalu muram. Hingga budhe saya menegur saya, "Tidak usah menangis terus. Kalau kamu menangis, malah bikin mama papamu sedih, banyak pikiran. Berdoa terus biar papamu cepat keluar dari ICU." Pada momen itulah, saya tertampar dengan apa yang budhe saya katakan. Saya mulai kembali berdoa, berharap terus-menerus untuk kesembuhan papa, sampai saya bisa menengok papa di rumah sakit. Meskipun tidak dibiarkan masuk ke ruang ICU, saya tetap merasa lega. Apalagi pada saat saya datang, dokter mengatakan papa saya sudah boleh dipindah ke kamar inap. Saya sungguh bersyukur! Sudah pasti saya menangis, tetapi saya harus terlihat tidak sedih. Kami bertemu, bercengkerama, dan berdoa bersama untuk kesembuhan papa saya. Mulai saat itu, saya sangat berhati-hati dengan apa yang saya lakukan dan apa yang saya ucapkan.

Salah satu pendeta pernah berkata di gereja saya, "Tuhan tidak pernah berjanji jalan hidup kita, apa yang kita alami itu selalu mulus, bagus, lancar. Namun, Tuhan menjanjikan ada pelangi setelah hujan badai." Kalimat inilah yang menguatkan saya sampai saat ini. Akan ada saatnya saya mengeluh akan banyak hal, tetapi saya tidak akan lupa kalau di balik hal itu, Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya mengatasi masalah yang di luar batas kemampuan kita.

Kata Bijak: 

Tinggalkan Komentar