Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Psikologi Iman I

"Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah." (Ibr. 11:6)

Tak mungkin manusia sehat yang normal terlepas dari kepercayaan agama. Iman menuntut segenap diri manusia dan segenap keadaannya yang dikerjakan oleh kasih karunia Allah. (Forsyth)

Konsepsi iman yang diberikan di dalam Perjanjian Baru ialah bahwa iman harus meliputi segenap diri manusia. Iman bukan suatu kemampuan, iman adalah segenap diri manusia dalam hubungan yang benar dengan Allah oleh karena kuasa Roh Yesus. Kita cenderung menggunakan iman untuk beberapa bidang tertentu saja dalam kehidupan kita -- kita beriman kepada Allah sewaktu meminta Dia menyelamatkan kita, atau meminta Roh Kudus, tetapi kita memercayai sesuatu yang lain daripada Allah dalam seluk-beluk kehidupan kita sehari-hari. "Iman menuntut segenap diri manusia dan segenap keadaannya yang dikerjakan oleh kasih karunia Allah," sama seperti iman itu menuntut seluruh kehidupan Tuhan kita. Tuhan kita mewakili manusia yang normal, bukan manusia yang rata-rata, tetapi manusia menurut norma Allah. Kehidupannya tidak terpenggal-penggal menjadi beberapa bagian, satu bagian kudus dan satu bagian sekuler -- kehidupan-Nya itu sama sekali tidak terkudung. Yesus Kristus memusatkan perhatian-Nya pada kehendak Bapa-Nya di dalam setiap hal dari kehidupan-Nya. Itulah standar yang normal bagi masing-masing kita dan mukjizat Injil ialah bahwa Ia dapat menempatkan kita di dalam keadaan tempat kita dapat menjadi serupa dengan gambaran-Nya. Tuhan kita menjalani kehidupan-Nya bukan untuk menunjukkan bertapa baiknya Dia, tetapi untuk memberikan patokan yang normal bagi kehidupan kita. Kehidupan-Nya itu menjadi milik kita melalui kematian-Nya; melalui karunia Roh Kudus dan ketaatan kepada-Nya, kita ditempatkan dalam hubungan dengan Allah yang telah dimiliki oleh Yesus -- "supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita."

Iman adalah suatu prinsip kepercayaan kepada Yesus, yang luar biasa aktif, yang siap untuk bertindak berdasarkan setiap kata yang difirmankan-Nya. "Tuhan, Engkau telah berfirman" (misalnya, Mat. 6:33, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu"), "nampaknya tak masuk akal, tetapi saya akan bertindak berdasarkan firman itu; saya akan gagal atau berhasil hanya dengan firman-Mu." Kita tak dapat percaya setiap kata Yesus kapan saja kita berpikir akan memercayainya. Roh Kudus mengingatkan kita akan firman Yesus dan menerapkannya pada keadaan kita, lalu yang penting ialah apakah kita akan menaati firman yang khusus itu? Kita mungkin telah melihat Yesus dan mengetahui kuasa-Nya, tetapi tidak pernah memberanikan diri untuk bertindak dengan iman kepada-Nya. Iman harus diuji karena hanya melalui konflik, maka iman kita dapat diubah menjadi milik pribadi kita. Menurut Yesus, iman harus mempunyai sasaran yang nyata, tak seorang pun dapat menyembah suatu cita-cita. Kita tidak dapat beriman kepada Allah kecuali kita mengenal Dia di dalam Yesus Kristus. Allah hanya merupakan suatu abstraksi bagi pandangan kita sebelum kita melihat Dia di dalam Yesus dan mendengar Dia berkata, "Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa." Pada saat itulah kita mempunyai dasar untuk membangun dan iman menjadi tak terbatas.

Iman dan Persoalan-Persoalan yang Membingungkan

"Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati." (Yak. 2:17)

Teori iman yang tidak memadai akan merusak perbuatan. (Forsyth)

Rasul Yakobus berkata terus-menerus bahwa jika Saudara mempunyai iman, buktikanlah hal itu melalui kehidupan Anda. Pengalaman tidak pernah menjadi dasar iman saya; pengalaman adalah bukti iman saya. Banyak di antara kita secara mengagumkan telah mengalami kelepasan dari dosa dan dibaptis dengan Roh Kudus. Pengalaman ini tidak bersifat khayal, melainkan nyata; dan dengan sangat mengherankan kita membuktikan setiap hari bahwa Allah telah melepaskan kita. Lalu, datanglah bahaya bahwa kita menggantungkan iman kita pada pengalaman kita dan bukan pada Yesus Kristus. Jika berbuat demikian, iman menjadi kacau. Ketika baptisan Roh Kudus turun ke atas murid-murid yang mula-mula, mereka dijadikan surat kiriman yang tertulis dari apa yang mereka ajarkan. Hal yang sama harus terjadi pada kita. Pengalaman kita membuktikan bahwa iman kita benar. Yesus Kristus senantiasa jauh lebih berkuasa daripada iman kita, jauh lebih berkuasa daripada pengalaman kita, tetapi pengalaman kita akan sejalan dengan iman kita kepada-Nya. Apakah kita mempunyai iman untuk memberi kesaksian ini kepada mereka yang mengenal kita -- bahwa kita ada sebagaimana kita ada sekarang ini krena iman kita kepada Yesus? Kita beriman kepada Yesus untuk menyelamatkan kita, tetapi apakah kita membuktikan bahwa Ia telah menyelamatkan kita dengan menghidupi suatu kehidupan yang baru? Saya berkata bahwa saya percaya Yesus dapat berbuat ini atau itu; nah, sudahkah Ia melakukannya? "Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang ...." (1 Kor. 15:10) Adakah kita menjadi monumen kasih karunia Allah, ataukah kita hanya mengalami kuasa adikodrati Allah di dalam pekerjaan kita untuk Dia? Pengalaman-pengalaman rohani yang luar biasa terbit dari sesuatu yang salah di dalam kehidupan. Saudara tidak pernah memperoleh iman sejati yang sangat indah kepada Allah yang berdasarkan pembaruan oleh iman kepada Yesus. Sangsikanlah setiap penyataan yang tidak bersumber pada kesederhanaan Injil yang dapat menjadi jalan masuk bagi seorang "kanak-kanak" dan yang dapat diungkapkan oleh seorang "bodoh".

Iman dan Persoalan-Persoalan yang Kudus

"... kerjakan keselamatanmu ...." (Flp. 2:12)

Jalan yang normal untuk semua pengalaman agama adalah pengembangan yang diikuti oleh pemusatan. (Forsyth)

Bila Allah memberi suatu visi mengenai makna pengudusan atau mengenai makna hidup beriman, dengan segera kita harus membayar untuk visiun itu dengan hukum yang tak terelakkan bahwa "pengembangan harus diikuti oleh pemusatan." Itu berarti bahwa kita harus memusatkan perhatian pada visi itu sampai itu menjadi kenyataan. Berulang-ulang kita keliru mengira visiun itu adalah kenyataan. Antisipasi besar dari Allah hanya dapat terwujud oleh partisipasi manusiawi kita, keduanya tidak boleh dipisahkan. Setiap pengembangan benak dan hati yang Allah berikan dalam kebaktian-kebaktian atau dalam pembacaan Alkitab secara pribadi sudah pasti harus dibayar dengan pemusatan perhatian pada pihak kita, bukan dengan pengudusan. Allah akan senantiasa membawa kita ke dalam keadaan-keadaan yang membuat kita membuktikan apakah kita dengan konsentrasi yang tekun akan mengusahakan hal-hal yang telah Ia kerjakan di dalam kita. Jika Saudara telah mempunyai pengalaman yang tak terlupakan dari baptisan Roh Kudus, apa yang akan Saudara lakukan dengannya? Kita dikuduskan oleh kasih karunia Allah dan disatukan dengan Yesus agar kita boleh menguduskan kesucian kita bagi Allah seperti yang dilakukan oleh Yesus. "Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka ...." (Yoh. 17:19) Tidak sulit untuk dikuduskan jika dengan kasih dan dengan sungguh-sungguh menginginkan agar Allah dimuliakan. Jikalau saya bersedia agar Allah membunuh di dalam diri saya hal yang selalu membuat saya merindukan segi pandangan saya sendiri, kepentingan saya sendiri -- jikalau saya rela semua itu dimatikan, "Allah damai sejahtera menguduskan saya seluruhnya." Pengudusan berarti secara radikal dan mutlak menyatukan diri dengan Yesus sehingga pancaran kehidupan-Nya menjadi pancaran kehidupan saya. "Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya." (1 Tes. 15:24)

Yang sangat dibutuhkan dewasa ini ialah agar orang Kristen patuh kepada peraturan. "Dan akan diketahui oleh segala bangsa kafir bahwa Aku ini Tuhan, demikianlah firman Tuhan Hua, 'apabila Aku dikuduskan di antara kamu di hadapan mata mereka itu'" (Yeh. 36:23, TL, huruf miring ditambahkan). Jika orang-orang Kristen tidak berani menghadapi perintah-perintah Allah, tak ada gunanya melangkah maju dan menghadapi hidup pada zaman kita ini di dalam kuasa Roh Kudus. Adakah kita menyatakan melalui kehidupan kita, pemikiran, dan iman kita kepada Allah bahwa Yesus Kristus cukup untuk setiap masalah yang dapat ditimbulkan oleh hidup? Bahwa tidak ada kekuatan yang terlalu besar yang tidak dapat dihadapi dan dikalahkan oleh Dia. Jika iman kita tidak hidup dan giat, itu karena kita perlu dibangunkan kembali; kita memiliki iman yang dibatasi oleh doktrin-doktrin tertentu dan bukan memiliki "iman Allah".

Rasul Paulus selalu bersifat sangat praktis. Ia langsung menyentuh kehidupan kita dan mengatakan bahwa kita harus mewujudkan keselamatan yang telah Allah kerjakan di dalam diri kita. "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa," sabda Yesus, dan dengan kehadiran Roh Kudus kita dapat melakukan hal-hal yang berkenan kepada Allah -- adakah kita melakukannya? Oleh kuasa Roh Kudus maka komunikasi kita dengan orang lain dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang sedang dikerjakan Allah di dalam diri kita -- adakah kita melakukannya? Bukti bahwa kita memiliki iman yang sehat dan bersemangat ialah ketika kita mengungkapkannya di dalam kehidupan kita dan memberi kesaksian dengan mulut kita mengenai bagaimana terjadinya iman itu.

Hidup beriman itu tidak berkesudahan; pengudusan itu sendiri hanya merupakan dasar awal kehidupan Kristen. Kehidupan Yesus sejak Betlehem mencerminkan kehidupan yang dikuduskan. Apa pun yang membuat jiwa kita tidak mendapat kemajuan akan menimbulkan penyimpangan. Hidup ini adalah belajar terus-menerus, tetapi bukannya belajar pelajaran yang sama. Jika kepada kita harus diajarkan pelajaran yang sama lagi, itu karena kita bodoh sekali. Allah akan membawa kita ke dalam keadaan-keadaan dan memaksa kita belajar pelajaran-pelajaran tertentu yang Ia ingin kita pelajari sehingga dengan pelan tetapi pasti kita akan mewujudkan segala sesuatu yang Ia kerjakan di dalam kita. Tidak ada kesabaran yang menyamai kesabaran Allah.

Diambil dan disunting dari:

Judul asli buku : Conformed to His Image
Judul buku terjemahan : Serupa dengan Citra Kristus
Penulis : Oswald Chambers
Penerjemah : Penerbit Gandum Mas
Penerbit : Gandum Mas, Malang 1990
Halaman : 55 -- 61

Komentar