Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Peran Konseling Awam: Mengapa Aku Tidak Cantik

Saya seringkali berfikir hidup ini memang tidak fair. Teman-teman saya mempunyai orang tua yang balk-balk, bahkan sebagian besar kaya, tetapi saya paling sial. Terlebih lag), wajah saya tidak cantik. Tidak heran jikalau sampai sekarang ini belum pernah saya berpacaran. Saya tidak tahu mengapa saya tidak mempunyai apa-apa yang dapat saya banggakan. Mengapa hidup ini tidak fair. Saya tidak mempersalahkan Tuhan. Saya tahu Tuhan mengasihi saya, tetapi saya takut, bagaimana masa depan saya. Akankah saya menikah dan mempunyai keluarga yang bahagia? Saya tidak mau hidup sendiri. Teman-tman dekat saya dibangku kuliah yang sama, sudah mempunyai pacar semua.

Kakak saya juga sudah punya pacar. Memang dia lebih cantik dari saya dan lebih pandai bergaul. Dia mirip ibu saya yang juga cantik dan suka bersolek. Ibu sering memarahi saya dan mengatakan bahwa wajah saya seperti oma dan muka saya seperti pace (mengkudu) karena banyak jerawatnya. Saya sedih sekali. Siapa sih yang mau punya muka jerawatan?

Mendengar keluhan yang sedih ini, perasaan saya sebagai konselor tersentuh. Saya ingin sekali mengenal dan menolong dia. Oleh sebab itu dengan kemampuan "listening dan empathy" yang ada, saya coba mulai menyusun dan mengintegrasikan semua komponen yang dia singkapkan. Ah memang tidak terlalu banyak. Dia bahkan tidak menceriterakan masa kecilnya, berapa banyak saudara, apakah ia anak kedua, bagaimana hubungan antara ayah dan ibunya, bagaimana hubungan antara dia dengan kedua orang tua tersebut, bagaimana sistim dalam keluarga tersebut, bagaimana prestasi studinya, apa bidang studinya, siapa atau orang-orang seperti apa yang ia sebut dekat dengan dirinya, apa kebiasaannya mengisi waktu luangnya dan sebagainya. Sebagai konselor, saya akan langsung mulai mempunyai gambaran siapa dia, jikalau misalnya dia mengatakan bahwa kedua orang-tuanya sering bertengkar, ayahnya pendiam dan ibunya sangat dominan. Atau dia mengatakan bahwa ibunya menjadi tulang punggung seluruh keluarga, dan ayahnya tidak mempunyai pekerjaan yang berarti. Sayang informasi yang diberikan sangat terbatas.

Meskipun demikian dari sedikit informasi yang dia berikan, konselor seharusnya bisa meraba, berdasarkan pengalaman yaitu dengan melalui "mengamati dan mencerna hidup" siapa dia ini? Pertama, dia mengeluh bahwa "teman-teman mempunyai orang tua yang baik dan sebagian besar kaya." Nah konselor perlu mengklarifikasi maksud dari keluhan tersebut. Mengapa seolah-olah dia mau mengatakan bahwa orang tuanya sendiri "tidak baik?" Apa yang dia maksudkan dengan kata "tidak baik." Disini akan tersingkap siapa dia. Mungkin orang tuanya cukup baik. Mereka orang tua yang tidak mempunyai kesalahan dan kelemahan serius. Biasa-biasa saja, hanya ... mungkin klien ini merasa dianak-tirikan, dibanding-bandingkan dengan kakaknya, dan caranya orang tua mengkomunikasikan maksudnya kurang bijaksana.

Atau benar, kedua orang tua tersebut mempunyai kelemahan yang serius. Inipun, konselor mesti waspada, karena setiap "keseriusan kelemahan pribadi" tidak pernah independen bahkan dampaknya tergantung pada subjektifitas setiap individu dalam keluarga tersebut. Artinya, individu dengan predisposing faktor (faktor bawaan) kepribadian yang kuat akan berbeda sekali dengan mereka dengan predisposing faktor yang Iemah. Sebagai contoh misalnya, keluarga dengan ayah yang berjinah. Tiga orang anak ternyata bereaksi berbeda-beda karena predisposing faktor masing-masing yang berbeda. Anak pertama begitu kecewa dan putus asa sehingga menjadi pecandu NARKOBA, anak kedua mematikan perasaan dan cuek, dan mungkin anak ketiga kehilangan pegangan hidup, menjadi peragu dan mengalami kegagalan studi.

Nah, bagaimana dengan klien di atas? Apakah kelemahan kedua orang tuanya dan apa dampak kelemahan tersebut pada dirinya? Konselor mesti sadar bahwa precipitating faktor (faktor pencetus, misalnya ayah berzina) merupakan faktor diluar kemampuan klien untuk menolak kehadirannya. Sembilan puluh persen realita hidup penuh dengan "precipitating" faktor, diluar kontrol, dan seringkali unpredictable/munculnya tak terduga. Oleh sebab itu, masalah akan menjadi masalah, karena sebagian besar tergantung "predisposing" faktor klien itu sendiri. Bagaimana klien melihat, menafsirkan, meresponi, dan menyikapinya. Klien disebut "bermasalah" jikalau caranya menafsir dan meresponi pencetusnya secara salah sehingga akibatnya merugikan dirinya sendiri dan mengganggu fungsi hidupnya sendiri.

Sebagai konselor, kita perlu mengerti bahwa konseling bukanlah pemberian nasihat atas apa yang dikeluhkan klien. Konseling adalah upaya menolong klien menyadari apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Mengapa dia bereaksi sedemikian untuk realita dalam kehidupannya misalnya, orang tua yang kurang baik. Klien perlu menyadari apakah responnya terhadap predisposing faktor tersebut sehat, benar atau ... justru merugikan dirinya sendiri. Kesadaran seperti ini dengan sendirinya akan menolong menyembuhkan klien dari jerat kelemahan-kelemahannya.

Dalam kasus di atas, konselor juga perlu menangkap kegelisahannya. Apa yang digelisahkannya? Apakah wajahnya yang ia sebut "tidak cantik?" atau ketakutannya tidak mempunyai pacar? Atau dia sedang mengalami konflik batin dalam jiwanya, karena hubungannya yang tidak beres dengan orang tuanya sehingga ia tidak pernah belajar menghargai dan menerima dirinya sendiri? Mengapa perasaannya terus dipenuhi dan dikuasai oleh kegelisahan tersebut? Apakah dia tidak mempunyai dukungan sosial yang cukup, atau sistim dalam kehidupannya yang miskin dari variabel yang dapat memberikan ruang untuk katarsis/pelampiasan unek-unek dalam batinnya. Bagaimana pergaulannya? Apa peran yang dimainkannya di tengah teman-teman dekatnya? Apakah dia bangga dengan peran tersebut, atau sebaliknya dia hanya menjadi objek pelengkap group sosial yang sengaja atau tidak sengaja telah memperalat dirinya? Bagaimana hubungan dengan kakaknya? Apakah terjadi persaingan yang tidak sehat/sibling rivalry atau hubungan tersebut cukup balk? Nah data-data seperti ini perlu diperoleh meskipun bukan melalui pendekatan interview karena konseling yang sehat dengan sendirinya akan menyingkapkan bagian demi bagian dari kehidupan klien.

Setelah data-data predisposing faktor (keunikan respon klien atas realita-realita dalam kehidupannya) diperoleh, barulah konselor mengintegrasikan semua data, mencerna, dan belajar mengenali secara utuh keunikan pribadi klien tersebut. Siapa sebetulnya dia?

Kedua, setelah konselor dan klien mengenal akan apa yang terjadi dalam diri klien (artinya mengenal keunikan responnya terhadap realita dalam kehidupannya) lalu apa langkah konseling yang selanjutnya? Misalnya, klien adalah satu pribadi dengan anxiety (kecemasan) yang tinggi dan tidak mempunyai konsep diri yang positif karena kekaburan jati dirinya (self identity). Lalu, bimbingan apa yang dapat diberikan padanya?

Mungkin kita menghadapi pribadi yang memang mempunyai predisposing faktor yang kurang sehat. Untuk hal-hal seperti ini, nasehat-nasehat ternyata tidak mempan, karena yang klien butuhkan adalah psikoterapi dan itu hanya dapat dilakukan oleh professionals yang memang terlatih dalam bidangnya. Pendekatan atau metodenya tergantung latar belakang pendidikan konselor tersebut, karena setiap "school of psychotherapy" mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Psychoanalysa mempunyai keunggulan dalam menangani sumber-sumber masalah yang sudah terkubur dalam alam unconsciousness, Client-Centered Therapy unggul dalam menghidupkan kepercayaan diri klien, begitu juga klaim keunggulan lain dari Rational Emotive Therapy, Cognitive Behavioral Therapy, Gestalt Therapy dan banyak lagi yang lain, tergantung pada latar belakang pendidikan mereka. Namun bagi anda, tugas anda sebagai konselor awam` hanya sampai dibagian pertama saja. Anda tidak melakukan psikoterapi. Anda hanya menolong klien menemukan dan mengenali dirinya, siapa dia dan mengapa dia bereaksi sedemikian untuk realita hidup tersebut? Pada umumnya dengan pengenalan diri yang semakin jelas, klien yang cukup sehat jiwanya dengan sendirinya dapat menolong dirinya sendiri.

Meskipun demikian untuk bagian yang pertama itupun, anda sebagai konselor perlu pengetahuan yang cukup tentang seluk-beluk kehidupan manusia dalam keluarga. Sebagai konselor, anda perlu mengenal hukum alam kewajaran hidup yang dapat menunjang dan menciptakan kondisi kehidupan yang sehat bagi individu-individu dalam keluarga tersebut. Sebagai contoh misalnya:

  1. Setiap anak perlu diperlakukan sebagai individu yang utuh, yang perasaannya dimengerti dan fikirannya dihargai. Dengan demikian, setiap anak membutuhkan telinga "hati" dari kedua orang tuanya untuk merasa dirinya sebagai "somebody/berharga"

  2. Setiap individu adalah subjek dan objek dari dunianya. Bagaimanapun buruk kondisi kehidupan seorang, tetap sebagai individu ia bukan semata-mata objek, karena ia juga subjek yang dapat mengubah nasib kehidupannya.

  3. Setiap anak adalah individu yang akan menemukan identitas atau jati dirinya melalui interaksi dengan orang-orang terdekat yaitu kedua orang tuanya sendiri. Ia belajar sistim nilai dan mengenal berbagai peran melalui pengalaman dengan kedua orang tuanya.

Hukum alam kewajaran hidup inl diperlukan oleh konselor untuk menjadi tolok ukur apakah proses percakapan konseling yang sedang dilakukannya masih berada dalam jalur yang benar. Konselor tidak memakai hukum alam kewajaran hidup sebagai "nasehat" yang diberikan secara doktrinal karena yang klien butuhkan bukan "resep" tetapi proses menemukan dan menyadari dirinya sendiri. Sehingga yang klien butuhkan bukan "apa dan bagaimana menyelesaikan persoalan", tetapi "mengapa saya bereaksi sedemikian dan tidak sesuai dengan hukum alam kewajaran hidup, untuk persoalan tersebut." Untuk itu anda sebagai konselor perlu terus menerus membuat refleksi dan klarifikasi atas apa yang diungkapkan klien. Anda perlu peka mendengar apa yang menjadi pola pikir dan kerja emosi perasaan klien untuk realita yang dihadapinya.

Sumber
Halaman: 
1 - 3
Judul Artikel: 
Parakaleo, Oktober Desember 2002, Vol. IX, No. 4
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2002

Komentar