Konselor yang Siap Memasuki Proses Konseling

Edisi C3I: e-Konsel 046 - Persiapan Sebagai Konselor

Tugas sebagai seorang konselor bukanlah hal yang mudah. Seorang konselor Kristen harus selalu siap memberikan bantuan yang terbaik kepada konsele. Oleh karena itu, seorang konselor membutuhkan suatu persiapan yang matang sebelum melakukan proses konseling karena tanpa persiapan yang baik maka hasil yang dicapai tidak akan maksimal. Berikut ini kami sajikan persiapan-persiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh konselor sebelum memulai proses konseling.

1. Kesiapan Fisik Konselor

  1. Faktor kesehatan jasmani dari konselor sangat penting dalam menjalankan tugas pelayanan konseling. Dalam menjaga kesegaran fisiknya konselor perlu mengupayakan dan menggunakan waktu untuk rileks sebelum melakukan tugas yang melelahkan.
  2. Konselor juga perlu mengatur jam-jam makan pada waktunya, meskipun ada tantangan pelayanan yang harus dihadapinya. Di sini konselor harus bisa menetralisir diri sendiri dan menjaga keseimbangan serta kesegaran fisiknya.

2. Kesiapan Mental Konselor

  1. Konselor perlu siap secara mental untuk mendengarkan orang lain secara aktif. Hal ini dapat dilakukan dengan aktif mengikuti pembicaraan konsele dan sekaligus selektif dalam mendengarkan.
  2. Konselor perlu menetapkan pendirian bahwa ia akan membimbing konsele melalui proses dialog. Untuk berdialog, konselor perlu siap mendengar. Daniel Webbster mengatakan, "Dengan mendengarkan orang-orang pandai, seseorang telah belajar lebih banyak daripada membaca buku." Guna mencapai hal ini, konselor harus melatih diri untuk mendengarkan orang lain agar proses dialog dapat berjalan lancar.
  3. Konselor perlu belajar memusatkan perhatian atau berkonsentrasi terhadap masalah konsele. Kebiasaan berkonsentrasi perlu dilatih sejak dini. Pada sisi lain, konselor pun harus memahami daya konsentrasi dari konsele. Sebagai gambaran, daya konsentrasi usia anak-anak kecil sekitar 7-10 menit dan orang dewasa 40-45 menit, untuk menerima masukan dari orang lain pada satu kali pertemuan yang efektif. Dengan memahami hal ini, konselor akan tertolong untuk mengerti apa sesungguhnya yang dialami oleh konsele yang dilayaninya.
  4. Konselor perlu bersikap sensitif untuk melihat makna yang tepat dari pokok persoalan, sehingga ia akan sanggup mengamati persoalan konsele dengan jelas.
  5. Konselor perlu mengembangkan sikap untuk tidak cepat menganggap dirinya telah mengetahui semua makna pikiran konsele yang sedang dibicarakan. Sikap ini akan membantu konselor untuk terbuka mencari kemungkinan makna lain dibalik pikiran konsele.

3. Kesiapan Emosi konselor

  1. Konselor perlu mengontrol emosinya dalam menghadapi setiap konsele. Dengan mengontrol emosinya, konselor dapat mendeteksi secara dini apakah seseorang (konsele) itu bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura menemuinya.
  2. Konselor yang mengontrol emosinya akan bersabar dalam melihat dan memahami perasaan konsele. Jika ada hal yang tidak disetujui, konselor dengan sabar dapat belajar memahami perasaan konsele sehingga ia akan lebih gampang memberikan pertolongan.
  3. Dengan pengontrolan emosi, konselor dapat menolak hal-hal yang membingungkan dengan menggunakan pikiran yang jernih dan matang. Dengan mengontrol emosi diharapkan konselor tidak memotong pembicaraan sementara ia sedang mengikuti pembicaraan konsele yang menuturkan masalahnya.
  4. Pengontrolan emosi dapat membantu usaha konselor dalam membangun perhatian pada faktor yang sedang dibicarakan. Dengan demikian ia dapat berpikir dan membuat analisis yang lebih cepat dari konsele yang sedang berbicara.
  5. Dalam upaya mengendalikan emosi secara konsisten, konselor dapat menanyakan hal-hal yang memerlukan jawaban pendek, jelas, dan tepat dengan tidak menyela pada saat yang tidak perlu. Sikap ini dapat membantu konselor untuk setia pada pokok yang diungkapkan. Konselor yang mengontrol dirinya tidak akan berdebat dan membuat permasalahan baru.
  6. Pengendalian emosi dapat menolong konselor untuk menggali latar belakang asal usul konseli, antara lain faktor keturunan (genetika) -- dalam upayanya menolong konsele mengalami kesembuhan jiwa.
  7. Pengontrolan emosi dapat dengan sendirinya akan menolong konselor untuk berhati-hati dalam memberikan nasihat. Hal ini pun membantu konselor untuk siap mengatasi perasaan sendiri, rasa rendah diri, dsb. Dengan ini, konselor akan lebih berdisiplin dan tenang saat melaksanakan konseling dalam upayanya membantu konsele.

4. Kesiapan Sosial Konselor

Kesiapan konselor secara sosial memberi kemampuan kepadanya untuk menempatkan diri secara benar saat menghadapi setiap konsele.

  1. Konselor harus bersedia untuk menghadapi setiap konsele pada level status sosial di mana ia berada. Konselor diharapkan agar tidak melihat status sosial konsele sehingga ia tidak segan untuk melayani atau bertindak tegas.
  2. Kesiapan sosial membantu konselor menangani pergaulan secara baik di mana ia dapat mempertahankan hidup kekristenan yang benar sebagai kunci untuk menghadapi konsele dengan penuh tanggung jawab.
  3. Kesiapan sosial meneguhkan konselor untuk menjunjung tinggi kesopanan dan menghargai konsele sebagai subjek yang patut diperlakukan semanusiawi mungkin.
  4. Kesiapan sosial menopang konselor memiliki sikap tulus hati, sehingga dalam percakapan konselingnya ia tidak mencoba-coba menipu atau memanipulasi konsele secara halus.
  5. Kesiapan sosial menunjang konselor untuk terus belajar menerima diri sendiri sebagaimana adanya, dan tidak mudah terpengaruh oleh konsep pemikiran orang lain, khususnya konsele yang dihadapinya.

5. Kesiapan Rohani Konselor

Kesiapan rohani merupakan faktor fundamental bagi konselor untuk terlibat dalam pelaksanaan tugas konseling. Kesiapan rohani meliputi kebenaran sebagai berikut:

  1. Konselor Kristen harus memahami dan mengalami arti hidup dalam Kristus. Dia juga harus mengerti apa artinya mati dan bangkit bersama Kristus sehingga ia dapat membagikannya kepada setiap konsele.
  2. Konselor harus mengerti apa artinya dibenarkan oleh Kristus, sebagai dasar untuk menolong konsele dalam menghayati pembenaran yang membawa kedamaian hidup (Yesaya 32:17).
  3. Konselor patut menghayati dan mengalami arti kekudusan hidup dalam Kristus, sehingga ia dapat membantu dan memberi jalan kepada konselor untuk hidup sebagai penurut-penurut Allah yang dikuasai dan "dipenuhi oleh Roh Kudus" (Efesus 5:15-21).
  4. Konselor patut menghayati "arti hidup dipermuliakan bersama Kristus" (Yohanes 5:24; Efesus 1:13; Ibrani 9:28), sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab bagi kemuliaan Allah.

Perlu dipertegas di sini bahwa untuk menjadi konselor yang efektif konselor harus memahami arti kehidupan Kristen dengan benar berdasarkan kebenaran Alkitab. Pemahaman ini akan meneguhkan konselor untuk menggunakan Alkitab sebagai jawaban final atas setiap permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa strategi pelaksanaan konseling yang efektif membutuhkan persiapan pribadi konselor Kristen yang seimbang, baik secara teologis maupun psikologis yang dikembangkan melalui pendalaman pengalaman rohani, intelektual, emosional, dan sosial.

Sumber
Halaman: 
55 - 60
Judul Artikel: 
Konselor Kompeten
Penerbit: 
YT Leadership Foundation, IFTK Jaffray, Jakarta, 2000