Mengatur Suhu Emosi

Edisi C3I: e-Konsel 156 - Mengolah Emosi

Salah seorang dosen saya di seminari mengatakan bahwa dosa, "hamartia", bukan saja telah merusak relasi manusia dan Tuhan, dosa juga merusak tatanan hidup manusia secara psikologis. Hamartia yang bermakna "tidak mencapai sasaran yang tepat", dapat juga diartikan

Salah seorang dosen saya di seminari mengatakan bahwa dosa, "hamartia", bukan saja telah merusak relasi manusia dan Tuhan, dosa juga merusak tatanan hidup manusia secara psikologis. Hamartia yang bermakna "tidak mencapai sasaran yang tepat", dapat juga diartikan "kelebihan atau kekurangan" -- tidak tepat sasaran. Inilah salah satu persinggungan antara psikologi dan teologi. Nah, dalam kerangka pikir inilah saya berniat membahas masalah pengaturan emosi dalam relasi pernikahan.

Saya kira masalah utama dalam pengaturan emosi ialah masalah kelebihan dan kekurangan. Maksud saya, kalau bukan mengumbar emosi, kita menyumbat emosi alias tidak cukup mengekspresikannya. Sering kali hal-hal seperti inilah yang muncul dalam pernikahan, dan sudah tentu kondisi ini tidak sehat untuk pernikahan.

Jenis Relasi dari Sudut Emosi

Berangkat dari bingkai "kelebihan dan kekurangan", kita bisa membagi masalah pengaturan emosi dalam tiga jenis, dan ketiga jenis ini merefleksikan tipe relasi dan kepribadian suami-istri.

Tipe pertama adalah tipe ketel mendidih; saya menjulukinya ketel mendidih sebab baik suami maupun istri tergolong vokal dan ekspresif dalam mengungkapkan emosinya. Tipe ini mudah bergejolak dan tidak tahan dengan hati yang panas. Bak kecipratan air panas, orang dengan tipe ini langsung mengibaskan air panas itu tanpa memedulikan siapa yang berada di dekatnya dan apa dampak perbuatannya terhadap orang lain. Yang penting adalah ia berhasil meredakan suhu panas yang menempel di kulit hatinya.

Tipe ketel mendidih adalah tipe yang mudah meledak namun gampang melupakan pula. Dengan kata lain, suami-istri yang masuk dalam kategori ini sering bertengkar tetapi pertengkaran mereka biasanya tidak berlangsung berminggu-minggu. Masalahnya adalah, meski tidak berminggu-minggu, setiap minggu mereka akan bersitegang dan kalau tidak berhati-hati, akan mudah sekali terjadi pemukulan dan penganiayaan.

Sekali lagi saya tekankan, orang tipe ketel panas ini tidak bisa hidup dengan hati yang panas. Hati panas harus didinginkan dengan seketika dan caranya adalah dengan mengeluarkan uap panas itu dengan segera. Jadi, letak problemnya bukan pada ketidakadaan sistem kontrol; problemnya terletak pada sistem kontrol itu sendiri. Sistem itu mengendalikan suhu panas dengan cara memuntahkan uap panas ke luar dan ia tidak tahu cara lainnya.

Tipe kedua adalah tipe kapuk; saya memanggilnya kapuk karena kapuk bukanlah pengantar panas yang baik. Itulah sebabnya kapuk digunakan untuk membungkus pegangan kuali panas atau benda panas lainnya; dengan adanya lapisan kapuk, tangan kita terlindung dari suhu panas. Problem utama dengan suami-istri berkategori kapuk ini adalah mereka kurang mengeluarkan emosi, begitu kurangnya sehingga dapat dikatakan mereka jarang membagi perasaan dengan pasangan. Segala sesuatu yang dianggap dapat mengganggu stabilitas relasi akan diredam dan kalau bisa, disangkali keberadaannya.

Pasangan dengan tipe ini jarang bertengkar namun mereka juga tidak terlalu intim. Keintiman menuntut keterbukaan dan bagi orang dengan tipe ini, keterbukaan bukanlah sesuatu yang terjadi dengan alamiah. Suami-istri tipe kapuk memilah hidup mereka dengan saksama dan hanya menyatukan bagian hidup mereka yang relatif ringan -- tidak mengundang risiko terjadinya konflik. Mereka bergantung pada daya lupa dan rasionalisasi untuk menurunkan suhu panas di antara mereka. Bak sabuk kapuk yang menutupi gagang ketel panas, mereka menggunakan daya lupa dan rasionalisasi untuk menyerap suhu panas itu dan memang, setelah beberapa saat, suhu panas itu akan turun.

Masalah timbul bila daya lupa kita berkurang dan problem malah bertambah. Dalam kondisi seperti itu, akhirnya kita terpaksa mengingat peristiwa yang terjadi sebab besaran masalah yang (ingin) dilupakan tidak sebanding dengan besaran problem yang muncul. Masalah juga dapat muncul tatkala daya rasionalisasi berkurang, artinya kita gagal menghibur diri dengan cara menambah pengertian kita akan kondisi pasangan. Pada akhirnya kita berkata, kita tidak lagi dapat atau mau memahami kondisi pasangan. Di saat itulah sabuk kapuk tidak lagi berfungsi optimal menyerap panas dan akhirnya suhu panas terasakan. Dapat kita duga, jika ini yang terjadi, berarti panas itu sudah sangat panas dan kesanggupan untuk berasionalisasi dan melupakan telah meleleh. Dengan kata lain, pada titik itu, kapasitas untuk menyelesaikan problem dengan rasional sudah menguap. Masalah menjadi sulit dipecahkan.

Tipe ketiga adalah tipe kombinasi antara ketel panas dan kapuk. Jadi di sini, yang satu berjenis ketel panas dan yang satunya berjenis kapuk; keduanya bersatu dalam pernikahan. Sebagaimana tipe lainnya, tipe ini pun memiliki kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya adalah mereka bisa saling mengimbangi. Jika yang satu sedang meluapkan suhu panasnya, yang lain dapat menyerap suhu panas itu tanpa perlawanan berarti. Atau, bila yang satu mengunci diri dan menolak untuk menyuarakan ketidaksukaannya, yang lain akan merasa terganggu dengan sikap diam itu dan memaksanya untuk berkata-kata. Dengan cara seperti inilah problem di antara mereka lebih cepat terselesaikan.

Kelemahannya ialah, jika tidak berhati-hati, yang berjenis kapuk akan mudah merasa tertekan oleh uap panas yang dilontarkan dengan begitu mudahnya. Sebaliknya, yang berjenis ketel panas malah "menikmati" kebebasannya memuntahkan uap panas sebab pasangannya tidak bereaksi dan hanya menerima. Mungkin kita dapat menebak akhir dari relasi seperti ini: mereka akan makin renggang sebab yang menyerap tidak lagi bersedia dekat atau intim dengan pasangannya. Ia terlalu banyak menyimpan luka! Sebaliknya, yang bertipe ketel panas akan makin frustrasi karena merasa diabaikan dan kondisi frustrasi ini membuatnya makin agresif meluapkan kemarahannya. Demikianlah siklus ini berawal dan terus berputar tanpa henti.

Penyelesaian

Apa pun tipe kita, yang penting adalah kita mampu mengatur suhu emosi -- meningkatkannya bila terlalu dingin dan menurunkannya jika terlalu panas. Sebagaimana telah kita lihat, emosi merupakan elemen yang menciptakan keintiman. Pengungkapan emosi membukakan lapisan- lapisan pada diri kita dan mengundang pasangan untuk mengenal diri kita secara lebih mendalam. Namun, pengungkapan emosi yang berlebihan bisa menenggelamkan relasi nikah dan menghancurkan hati pasangan. Bukannya mendekat, ia malah menjauh karena takut tersiram air panas dari mulut kita, atau sebaliknya, ia menjauh sebab tidak ada lagi respons dari kita sama sekali.

Saya kira kita semua rindu untuk menjadi orang yang dapat mengatur suhu emosi dengan tepat. Kita mendambakan relasi yang intim tanpa harus melelehkan hati orang yang kita kasihi dan kita menginginkan relasi yang damai tanpa harus membekukan hatinya. Kita ingin menjadi orang yang "tepat emosi" dan "tepat kata" sebagaimana dilukiskan dengan begitu indahnya oleh firman Tuhan, "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak." (Amsal 25:11) Perjuangan kita adalah perjuangan mengeluarkan buah apel emas dari mulut kita, bukan buah apel kecut, atau malah busuk. Pertanyaannya adalah, bagaimanakah kita melakukannya dan hal inilah yang akan kita telaah sekarang.

Memahami perbedaan

Pertama, kita mesti menyadari bahwa masalah pengaturan suhu emosi merupakan masalah yang multidimensional. Penyederhanaan masalah tidak akan memberi solusi, malah menimbulkan kesan penghakiman yang semena-mena. Sekurang-kurangnya ada tiga dimensi yang perlu kita perhatikan. Pertama adalah faktor kepribadian. Ada sebagian kita yang bertemperamen flegmatis. Dan faktor kepribadian ini secara langsung berpengaruh terhadap betapa mudah dan berkobarnya pengekspresian emosi. Biasanya para insan flegmatis tidak begitu cepat mengeluarkan emosi dan secara keseluruhan memang level emosinya cenderung datar, berbeda dengan insan kolerik, sanguin, dan melankolik yang cenderung lebih terbuka dan seketika.

Kedua, faktor pengalaman masa kecil. Sebagian dari kita terbiasa mengutarakan emosi karena memang diizinkan oleh orang tua atau sebaliknya, tidak diizinkan namun situasi rumah yang penuh konflik membuat kita tergenangi oleh kemarahan. Akibatnya, kendati tidak diizinkan secara verbal, pertengkaran demi pertengkaran orang tua yang kita saksikan menanamkan benih emosi marah dan menciptakan pola pengendalian emosi yang eksplosif. Kita tidak tahu cara lain untuk mengomunikasikan emosi selain dengan berteriak atau membanting barang. Dengan tersedianya cadangan emosi negatif di hati kita, ledakan kemarahan lebih mudah tersulut. Di sini kita dapat melihat bahwa pengalaman masa lampau berpengaruh besar terhadap pengaturan suhu emosi.

Ketiga, faktor lingkungan hidup. Pernah saya berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang bertumbuh besar di lingkungan keras dan kumuh di sebuah kota besar. Ia bercerita bahwa kekerasan sudah menjadi bagian hidupnya sejak kecil dan pada akhirnya ia pun terbiasa dengan pola hidup seperti itu. Sebaliknya, ada sebagian kita yang dibesarkan di lingkungan yang santun dan cenderung represif terhadap penyataan emosi. Tidak bisa tidak, lingkungan tenang akan lebih mendorong kita untuk menahan emosi, bukan mencetuskannya.

Saya berharap ketiga dimensi ini memberi kita sedikit pemahaman terhadap kekompleksan masalah pengaturan suhu emosi. Jadi, kita tidak dapat dan tidak seharusnya dengan cepat melabelkan seseorang "kurang rohani" tatkala ia memunyai masalah dengan pengaturan emosi. Bagi sebagian kita, pengaturan emosi tidak pernah menjadi masalah; sebaliknya, bagi sebagian lainnya, pengaturan emosi selalu menjadi masalah -- baik itu karena kelebihan maupun karena kekurangan.

Fokus pada masalah

Masalah pengendalian emosi adalah masalah emosi, bukan masalah kurang mencintai atau kurang peduli dengan keluarga. Acap kali kita mengaitkan masalah emosi dengan hal lain dan ini dapat memerburuk relasi nikah. Mungkin sulit untuk kita percaya bahwa orang yang bisa membanting-banting barang tatkala marah sesungguhnya tetap mengasihi kita dan bahwa cintanya kepada kita tidak berkurang setelah ia marah. Contoh ekstrim ini (yang sudah tentu tidak saya anjurkan) menegaskan bahwa memang masalah pengendalian emosi adalah masalah emosi, bukan masalah cinta atau kurang memedulikan keluarga.

Jadi, bila kita bermasalah dengan pengendalian emosi, sering-seringlah meyakinkan pasangan kita bahwa kita tetap mengasihinya. Akuilah bahwa masalah kita yang utama adalah masalah pengendalian emosi dan jangan salahkan orang lain atau situasi luar. Salah satu godaan terbesar bagi kita yang memunyai masalah dengan emosi adalah menyalahkan, baik itu pasangan atau anak atau faktor luar lainnya, seakan-akan kita hanyalah si pemberi reaksi sedangkan merekalah yang bertanggung jawab sebagai pemicu emosi kita. Atau sebaliknya, jika kita cenderung diam dan menutup diri, kita menyalahkan pasangan kita sebagai pihak yang bertanggung jawab membuat kita kurang mengekspresikan emosi.

Dengan kata lain, fokuskan pada masalah juga berarti memfokuskan pada tanggung jawab pribadi. Inilah langkah awal untuk mengatur emosi. Dengan kita mengalihkan tanggung jawab ke pundak pribadi, secara tidak langsung kita mengalihkan fokus masalah, dari "Kamu membuat saya marah!" menjadi "Saya harus menguasai kemarahan saya!" Jika kita tetap bertahan pada pandangan bahwa orang lainlah yang membuat kita marah, kita menjadikan diri tidak berdaya dan berperan sebagai korban semata. Dan, dengan menjadikan diri tidak berdaya dan hanya berperan sebagai korban, kita benar-benar menjadi tidak berdaya mengendalikan diri sendiri, seakan-akan kita berada pada kemurahan orang belaka. Jika orang membuat kita marah, kita marah; sebaliknya, bila orang tidak membuat kita marah, kitapun tidak akan marah. Perspektif seperti ini melepaskan kita dari tanggung jawab dan membuat kita tidak terlalu merasa bersalah tatkala kita menghancurkan hidup orang lain.

Bergiliran

Masalah pengendalian emosi sebenarnya adalah masalah kekurangteraturan -- munculnya emosi secara tidak teratur. Jadi, salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan memasukkan keteraturan ke dalam pola komunikasi kita. Sejak TK, kita belajar untuk hidup teratur; masuk kelas dengan berbaris, berbicara bergantian, bertanya bergiliran, dan seterusnya. Tanpa terasa, iklim keteraturan mulai tercipta dan inilah rahasia mengapa suasana kelas bisa berjalan dengan begitu adem -- tanpa banyak adegan dan gejolak.

Biasanya pertengkaran memburuk tatkala kita mulai berebut berbicara -- laju percakapan bertambah cepat karena kita menganggap pasangan tidak mendengarkan kita lagi atau kita merasa kian terdesak. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk menerapkan aturan "bicara bergantian" di mana seseorang memunyai hak untuk berbicara dan kewajiban untuk mendengarkan. Di dalam kerangka keteraturan ini, luapan emosi lebih terkendali sebab kita tidak merasa diburu-buru untuk menyampaikan isi hati kita. Keteraturan juga berfaedah bagi sebagian kita yang mengalami kesulitan mengekspresikan emosi. Kita "dipaksa" untuk menguraikan pendapat dan perasaan hati karena giliran kita telah tiba. Singkatnya, keteraturan membantu kita untuk mengatur emosi dan menyalurkannya dengan lebih bijak. Ternyata, pelajaran TK ini sangat berfaedah sampai usia dewasa.

Kesimpulan

Dalam praktik konseling, saya telah menjumpai pelbagai masalah rumah tangga. Ada yang terganggu oleh kehadiran pria atau wanita lain, ada yang terganggu oleh anak yang bermasalah, dan ada yang terganggu oleh tragedi yang menimpa mereka. Namun, penyebab kehancuran rumah tangga yang paling umum ternyata bukanlah salah satu dari ketiga contoh yang saya sebut di atas. Emosi kitalah yang menghancurkan relasi nikah jauh sebelum problem lain itu mengemuka, baik itu ekspresi emosi yang berlebihan atau yang berkekurangan. Kesimpulan akhirnya adalah, jika kita ingin menyelamatkan pernikahan kita jauh sebelum masalah berat lainnya datang, mulailah dengan mengatur suhu emosi kita -- sekarang?

Sumber
Judul Artikel: 
TELAGA

Published in e-Konsel, 17 March 2008, Volume 2008, No. 156