Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Disgrafia pada Anak yang Kesulitan Menulis dan Solusinya

Edisi C3I: e-Konsel 168 - Menangani Anak Sulit Menulis

KabarIndonesia -- Kesulitan belajar pada anak, bila tidak dideteksi secara dini dan tidak dilakukan terapi yang benar, bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Kepedulian orang tua yang tinggi dapat membantu dalam deteksi dini kesulitan belajar anak.

Riwayat penyakit terdahulu, seperti anak pernah mengalami sakit keras hingga demam tinggi, atau anak terlahir prematur, merupakan faktor risiko terjadinya kesulitan belajar. Gangguan berat akan mudah teridentifikasi, sehingga dapat terdeteksi pada usia dini. Sedangkan pada anak dengan gangguan ringan, mungkin baru teridentifikasi saat usia sekolah.

Peran dokter anak pada gangguan kesulitan belajar, terutama ditujukan untuk mendeteksi tumbuh kembang anak sesuai dengan tahapan usianya. Umumnya, anak yang berusia 2 atau 3 tahun belum belajar menulis, namun telah menyukai kegiatan menulis walaupun hanya sekadar coretan yang belum bermakna. Ketika memasuki usia sekolah, kegiatan menulis merupakan hal yang menyenangkan karena mereka menyadari bahwa anak yang bisa menulis akan mendapatkan nilai baik dari gurunya.

Menulis membutuhkan perkembangan kemampuan lebih lanjut dari membaca. Perkembangan yang dikemukakan oleh Temple, Nathan, Burns; Cly: Ferreiro dan Teberosky dalam Brewer (1992) oleh Rini Hapsari:

  1. Scribble stage. Tahap ini ditandai dengan mulainya anak menggunakan alat tulis untuk membuat coretan. Sebelum ia belajar untuk membuat bentuk, huruf yang dapat dikenali.

  2. Linear repetitive stage. Pada tahap ini, anak menemukan bahwa tulisan biasanya berarah horisontal, dan huruf-huruf tersusun berupa barisan pada halaman kertas. Anak juga telah mengetahui bahwa kata yang panjang akan ditulis dalam barisan huruf yang lebih panjang dibandingkan dengan kata yang pendek.

  3. Random letter stage. Pada tahap ini, anak belajar mengenai bentuk coretan yang dapat diterima sebagai huruf dan dapat menuliskan huruf-huruf tersebut dalam urutan acak dengan maksud menulis kata tertentu.

  4. Letter name writing, phonetic writing. Pada tahap ini, anak mulai memahami hubungan antara huruf dengan bunyi tertentu. Anak dapat menuliskan satu atau beberapa huruf untuk melambangkan suatu kata, seperti menuliskan huruf depan namanya saja, atau menulis "bu" dengan sebagai lambang dari "buku".

  5. Transitional spelling. Pada tahap ini, anak mulai memahami cara menulis secara konvensional, yaitu menggunakan ejaan yang berlaku umum. Anak dapat menuliskan kata yang memiliki ejaan dan bunyi sama dengan benar, seperti kata "buku", namun masih sering salah menuliskan kata yang ejaannya mengikuti cara konvensional dan tidak hanya ditentukan oleh bunyi yang terdengar, seperti hari "sabtu" tidak ditulis "saptu", padahal kedua tulisan tersebut berbunyi sama jika dibaca.

  6. Conventional spelling.

    Pada tahap ini, anak telah menguasai cara menulis secara konvensional, yaitu menggunakan bentuk huruf dan ejaan yang berlaku umum untuk mengekspresikan berbagai ide abstrak.

Pada anak usia sekolah, perkembangan menulis telah berada pada tahap terakhir, yaitu "conventional spelling". Selain telah dapat menulis dengan huruf dan ejaan yang benar, anak pada usia kelas dua SD telah memerhatikan aspek penampilan visual mereka.

Beberapa anak mengalami gangguan dalam menulis. Kesulitan menulis ini disebut "disgrafia". Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan disgrafia, di antaranya adalah:

  1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya;
  2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur;
  3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional;
  4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan;
  5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap -- caranya memegang alat tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas;
  6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis;
  7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional; dan
  8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

Teori konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:

  1. kemampuan kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu menganalisa dan menginterpretasikan sesuatu;
  2. kemampuan kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental; dan
  3. kemampuan kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai berikut.

  1. Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara level terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan, hingga level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan bimbingan.
  2. Scaffolding, yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
  3. Language and thought.

Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:

  1. Mengidentifikasi masalah disgrafia, terdiri dari:
    1. masalah penggunaan huruf kapital,
    2. ketidakkonsistenan bentuk huruf,
    3. alur yang tidak stabil (tulisan naik turun), dan
    4. ukuran dan bentuk huruf tidak konsisten.
  2. Menentukan ZPD pada masing-masing masalah tersebut.
    1. ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf kapital.
    2. ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
    3. ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran huruf.
    4. ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.
  3. Merancang program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
    1. Memberikan tugas menulis kalimat yang didiktekan orang tua/guru.
    2. Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
    3. Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD masing-masing permasalahan.
    4. Menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut.
    5. Memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan.
    6. Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
    7. Memberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
    8. Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak.
    9. Memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
    10. Mengevaluasi pekerjaan anak.

Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.

Referensi:

Santrock, John W. "Educational Psychology". McGraw-Hill Companies.

Hernowo. "Mengimpikan Buku Pelajaran yang Mampu, Menyenangkan dan Menyalakan Otak". Disampaikan pada Seminar "Menggagas Buku Pelajaran yang Mencerdaskan", 15 Agustus 2006, Penyelenggara Direktorat Pendidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama, Jakarta.

Soedijarto. "Mana Lebih Penting, Pendidikan Dasar atau Lanjutan?" Tabloid Nakita No. 266/VI/8 Mei 2004.

"Penilaian Perkembangan Anak Didik di TK". Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Disdik Prop. Banten Edisi keempat TH.III Vol.IV/2003.

Sekartini, Rini. "Hal-Hal yang Sepatutnya Dikuasai Balita". Tabloid Nakita No. 203/IV/22 Februari 2003.

Bahan diambil dan disunting seperlunya dari:

Sumber

Komentar