Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Aus

Mungkin tidak banyak yang pernah mendengar tentang Paradoks Esterlin. Teori yang ditelurkan oleh Richard Easterlin ini mengatakan bahwa setelah semua kebutuhan dasar-sandang, pangan, dan papan-terpenuhi ternyata penambahan kekayaan tidak serta merta diikuti dengan peningkatan kebahagiaan. Data dari pelbagai belahan dunia tampaknya mendukung teori ini. Misalnya, di Amerika Serikat kendati masyarakatnya jauh lebih kaya pada 1974 dibanding 1945 tetapi ternyata tingkat kebahagiaannya bergeming. Pada 2007, orang di Amerika lebih kaya lagi daripada 1977 namun ternyata tingkat kebahagiaan tidak beranjak dari 1977. Data yang sama juga diperoleh di Jepang, Inggris, Jerman, dan Itali. Bahkan China, yang telah mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, justru mengalami penurunan tingkat kebahagiaan.

Di kota Malang di dekat pusat konseling di mana saya melayani, ada sebuah warung nasi yang dikelola oleh sepasang suami-istri paro-baya bersama putri mereka dan beberapa pembantunya. Mereka tidak mempunyai tempat sendiri, jadi dengan seizin pemiliknya, mereka menggunakan sebuah lahan kosong untuk mendirikan warung yang terbuat dari kayu dan bilik. Sebelumnya mereka pernah menempati lahan yang lain namun terpaksa pindah karena di sana usaha mereka tidak membuahkan hasil. Di sini, di dekat sebuah kampus swasta, ternyata bisnis mereka berjalan baik.

Di dalam percakapan dengan si bapak empunya warung, satu hal yang selalu terucap dari bibirnya adalah betapa bersyukurnya beliau kepada Tuhan atas usaha yang lancar dan ketiga putra-putrinya yang telah akil balig. Kendati rumah masih kontrakan dan warung menempati lahan orang kapan saja bisa diminta pindah-namun beliau selalu bersyukur dan tidak pernah sekalipun tercetus keluhan dari mulutnya. Dari pancaran wajahnya yang tenteram, tampak jelas terlihat kebahagiaan dan kepuasan di hatinya.

Jikalau kekayaan materi tidak membawa kebahagiaan, jadi, apakah yang melahirkan kebahagiaan? Berdasarkan penelitian dari cabang ilmu Ekonomi Kebahagiaan yang dipelopori oleh Richard Easterlin itu, sekurangnya ada dua hal yang dikaitkan dengan kebahagiaan. Pertama adalah mempertahankan standar kehidupan yang bersahaja. Pada umumnya begitu kondisi ekonomi meningkat, maka meningkat pulalah pengeluaran akibat bertambah tingginya tuntutan dan standar kehidupan yang kita idamkan. Atas nama mengejar kualitas-baik itu kepunyaan maupun kesehatan rumah harus menjadi lebih besar, moril lebih nyaman, vitamin, dan segala jenis suplemen menjadi keharusan, sekolah anak harus lebih bermutu, dan sebagainya. Dengan kata lain makin tinggi pertambahan materi, maka makin terbuka pulalah kemungkinan lahirnya ketidakpuasan karena makin bertambah tinggi pulalah standar kehidupan yang perlu dikejar.

Pdt. Rick Warren mengerti bahaya yang lahir dari pertambahan materi. Itu sebabnya sewaktu secara mendadak ia menjadi kaya akibat kedua bukunya yang terjual laris - The Purpose-Driven Church dan The Purpose-Driven Life - ia mengambil komitmen untuk melakukan beberapa hal. Pertama, ia memutuskan untuk tidak lagi menerima gaji dari Gereja Saddleback yang telah digembalakannya selama lebih dari 15 tahun dan mengembalikan semua penghasilan yang diterimanya, mulai dari hari pertama ia melayani di gereja tersebut. Kedua, untuk semua pelayanan luar yang diterimanya, bukan saja ia menampik upah, ia pun akan mengeluarkan uang dari koceknya sendiri untuk menanggung semua biaya perjalanannya. Ketiga, ia akan menyisihkan uang untuk membantu pelayanan yang lain dan terakhir, ia akan tetap mempertahankan standar kehidupan yang sama. Dengan kata lain, walaupun kondisi ekonominya meningkat tajam, ia memutuskan untuk tidak hidup mewah atau melampaui kondisi kehidupannya yang lampau. Beliau dan istrinya Kay, memang orang yang bijak.

Ada satu hal lagi yang juga dihubungkan dengan kebahagiaan yakni menginvestasikan waktu dan tenaga pada yang sungguh bernilai, seperti persahabatan, waktu untuk santai, dan karier yang dinikmati. Betapa pentingnya persahabatan namun betapa mahalnya harga untuk "membeli" dan mempertahankannya. Begitu pula dengan "waktu", betapa mahalnya harga untuk memperoleh waktu dewasa ini di tengah himpitan kerja, keluarga, dan kegiatan rohani. Karier pun sukar menjadi sesuatu yang dinikmati sebab target telah menggantikan esensi kerja itu sendiri. Pada akhirnya terpenting bukanlah apa yang kita kerjakan namun berapa banyaknya yang kita kerjakan. Tanpa persahabatan, waktu luang untuk santai, dan pekerjaan yang memuaskan kalbu, kita pun berubah menjadi mesin dan memang benar, mesin tidak mengenal kata "bahagia." Setelah dipakai tanpa henti mesin hanya mengenal satu kata, "aus."

Saya menyimpulkan bahwa pembunuh kebahagiaan di abad 21 ini adalah tenggat. Kita kehilangan kebahagiaan karena kita mengejar standar kehidupan yang lebih tinggi. Kita kurang bahagia sebab kita mengejar berapa sehingga mengabaikan siapa - relasi dengan sesama. Kita pun kurang meluangkan waktu untuk santai dan kehilangan kenikmatan kerja akibat cemeti kuota. Kita terus mengejar target oleh karena kanan- kiri orang mengejarnya pula, sampai suatu saat kita terjaga menyadari bahwa kita tidak tahu untuk apa sesungguhnya kita mengejar semua itu.

Masalahnya adalah di titik itu, kebanyakan kita sudah menjadi "aus"- terkungkung dalam belenggu kehidupan kelas atas sehingga tidak bisa lagi turun ke bawah. Kita pun telah kehilangan kepekaan untuk berelasi dan tidak tahu bagaimana caranya untuk santai serta tidak sempat lagi memikirkan makna dan tujuan di balik pekerjaan yang kita lakukan.

Marta adalah contoh khas seorang yang aus (Lukas 38-42); ia "sibuk sekali melayani" sehingga tidak lagi berkesempatan duduk berbicara dengan Tuhan Yesus. Ia telah kehilangan fokus akan makna dan tujuan kesibukannya itu. Marta mengejar tenggat dan target-sesuatu yang ironis sebab Tuhan sama sekali tidak mengharapkan hal itu darinya, "Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara tetapi hanya satu saja yang perlu. Maria telah mengambil bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.

Masalahnya adalah Marta bukan saja menyusahkan dirinya sendiri, ia pun menyusahkan Maria, saudaranya yang dianggap tidak bertanggung jawab dan juga menyusahkan Tuhan, yang dianggapnya tidak adil karena tidak menyuruh Maria membantunya. Ibarat api, orang aus menyambar ke mana-mana, membakar habis relasi - baik dengan dirinya sendiri, sesama, bahkan Tuhan. Orang yang aus tidak mungkin bahagia dan mencicipi berkat Tuhan; ia senantiasa dikejar dan mengejar tenggat karena baginya begitu banyak hal yang mesti digapai dan dicapai. Ternyata di tengah begitu banyak hal yang "perlu," Tuhan mengatakan hanya satu saja yang perlu-diri-Nya sendiri! Inilah berkat bahagia yang dijanjikan-Nya.

Sumber
Halaman: 
3 -- 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, Oktober - Desember 2007, Vol. XIV, No. 4
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII, Jakarta 2007

Komentar