Diperlengkapi dengan Pelbagai Karunia Roh Allah

Edisi C3I: e-Konsel 121 - Karunia Roh Allah untuk Melayani

Dengan cara bagaimanakah kaum beriman diperlengkapi sehingga dapat saling menasihati dan mengingatkan? Tentunya melalui pelbagai karunia Roh Kudus yang diberikan kepada setiap anggota Tubuh-Nya. Tujuan utama dari semua karunia Roh Kudus tersebut adalah pelayanan di lingkungan gereja itu sendiri: "Ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama" (1Kor. 12:5-7), ditambahkan penekanan). Hampir semua karunia Roh yang disebutkan dalam kitab Perjanjian Baru bermanfaat bagi pelayanan konseling.

Kita perlu mengerti bahwa semua karunia Roh yang digambarkan dalam Kitab Suci tidak sepenuhnya terlepas dari langkah yang serupa atau digariskan menurut suatu pola saja. Setiap orang beriman mempunyai karunia Roh berbeda: "Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama" (1Kor. 12:7). Masing-masing karunia benar-benar unik, dirancang khusus dengan kasih karunia Tuhan bagi setiap individu: "Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh" (1Kor. 12:4). "Kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita" (Rm. 12:6). Karunia Roh diberikan dalam pelbagai bentuk yang tidak terhingga ragamnya, masing-masing memiliki rancangan berbeda sebagaimana bunga salju. Karunia-karunia Roh yang disebutkan dalam Perjanjian Baru (mis. Rm. 12; 1Kor. 12) hanya berupa penggolongannya saja. Suatu karunia Roh yang diberikan kepada seseorang, tentu memiliki beberapa hal yang menunjukkan beragam kemampuan yang disebut sebagai karunia dalam bacaan-bacaan tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang karunia utamanya adalah mengajar mungkin juga dikaruniai kebijaksanaan, kemampuan untuk melihat secara tajam hal-hal yang kurang jelas, atau belas kasih hingga taraf tertentu. Karunia yang diterima orang tersebut merupakan suatu perpaduan dari pelbagai kemampuan dan watak yang memungkinkan orang itu memberi pelayanan yang sesuai dengan panggilan Tuhan.

Marilah kita tinjau beberapa jenis dari karunia utama yang disebutkan dalam Alkitab.

Nubuat

Nubuat umumnya dikaitkan dengan ramalan untuk masa mendatang. Kata Yunani "prophe/teuo/" sebenarnya hanya berarti menyampaikan atau menyatakan. Kata tersebut mengacu pada menyatakan isi Alkitab kepada orang banyak. Tentu saja, di zaman Kitab Suci dahulu, pekerjaan seorang nabi sering kali mencakup menerima dan mengumumkan wahyu baru. Akan tetapi, gelar nabi sebenarnya ditujukan bagi siapa saja yang mempunyai karunia untuk mewartakan kebenaran dengan kuasa atau berkhotbah. Jadi seorang nabi, terutama di abad sekarang ini, hanyalah seorang pewarta kebenaran Alkitab--bukan seorang penerima wahyu langsung dari Allah. Tokoh Reformasi besar, John Calvin, memahami karunia bernubuat dari sudut tersebut. Tulisnya, "Bagaimanapun juga, saya lebih suka mengikuti mereka yang mengerti Firman dalam artian lebih luas, ketimbang karunia khusus berupa wahyu yang digunakan orang untuk membuka praktik menafsirkan dengan terampil dan tangkas dalam menguraikan secara rinci kehendak Tuhan." (John Calvin, "The Epistles of Paul the Apostle to the Romans and to the Thessalonians", Grand Rapids: Eerdmans, 1960: 269).

Rasul Petrus juga berkata panjang lebar tentang hal tersebut sewaktu ia menegur mereka yang menerima karunia bernubuat dengan kata-kata berikut ini: "Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah..." (1Ptr. 4:11).

Mungkin pernyataan terjelas dari bagaimana karunia bernubuat berfungsi ada dalam 1Korintus 14:3-4: "Siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur ... siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat." Karunia bernubuat dapat dimanfaatkan untuk membangun kaum beriman, memanggil mereka agar mematuhi firman Allah, memberi dorongan saat mereka membutuhkan pertolongan, membangun, menasihati, dan menghibur. Apakah ketiga hal tersebut, jika bukan aspek-aspek konseling alkitabiah? Jadi, nabi diperlengkapi untuk menasihati karena adanya karunia ini.

Pentingnya karunia bernubuat dapat kita lihat dalam penekanan Paulus akan hal tersebut di surat 1Korintus 14. Di situ Rasul Paulus membandingkannya dengan karunia berupa bahasa, yang memperlihatkan kehebatan nubuat. Ia menasihati jemaat di Korintus supaya "kejarlah kasih dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat" (1Kor. 14:1).

Dan dalam satu hal, si pengkhotbah memenuhi salah satu unsur penting dari tugas konselor dengan setiap khotbahnya. Kisah Para Rasul 15:32 memberikan sebuah contoh dari karunia bernubuat dalam praktik. Setelah menyampaikan surat dari Sidang di Yerusalem kepada gereja di Antiokhia, "Yudas dan Silas, yang adalah juga nabi, lama menasihati saudara-saudara itu dan menguatkan hati mereka." Kedua nabi tersebut melewatkan waktu untuk menguatkan hati kaum beriman di sana dengan menyampaikan semua kebenaran dari firman Tuhan kepada mereka. Pelayanan pewartaan mereka sebagai nabi memberikan dampak yang sama sebagai nasihat yang baik.

Salah satu imbauan akhir Paulus kepada anak didiknya, Timotius, menekankan pentingnya mewartakan Firman tersebut:

"... nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran ..."(2Tim. 4:1-5).

Dengan kata lain, para pewarta Firman harus mempraktikkan semua karunia mereka persis seperti para konselor yang bijaksana--menegur, menasehati, serta mengimbau dengan penuh kesabaran dan pengajaran yang berhati-hati.

Mewartakan Firman serta konseling yang benar-benar alkitabiah, itulah yang akan ditanamkan oleh Roh Kudus dalam hati dan yang akan menghasilkan pertumbuhan rohani. Bagaimanapun juga, firman Tuhan "memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2Tim. 3:16). Seorang pendeta yang setia menjalankan tugas bernubuatnya itu sebenarnya bertindak sebagai konselor bagi seluruh jemaatnya. Dengan membekali serta mengajari mereka, pendeta tersebut memperlengkapi bakat yang dimiliki jemaat serta memperlengkapi mereka dengan sesuatu yang mereka butuhkan untuk dapat saling menasihati secara efektif. Itu sebabnya, khotbah yang benar-benar alkitabiah tidak akan terlepas dari konseling alkitabiah yang efektif di gereja. Pelayanan konseling dimulai dari mimbar dan dari situ meluas hingga ke setiap tingkat pelayanan di gereja tersebut.

Pengajaran

Yang erat berhubungan dengan nubuat adalah kemampuan untuk mengajar. Memang khotbah yang alkitabiah harus mencakup sebuah unsur kuat dari mengajar juga. Berbeda dari berkhotbah, mengajar dilakukan di segala lapisan jemaat, bukan hanya dari mimbar saja. Mereka yang mengajar di sekolah minggu, memimpin pendalaman Alkitab, atau merasul bagi sesama, semuanya mempraktikkan bakat mengajar.

Kata Yunani "didasko" (mengajar) meliputi gagasan mengenai pelatihan atau pengajaran yang sistematis. Karunia mengajar merupakan kemampuan untuk memimpin sesama dalam pemahaman Alkitab.

Penitikberatan pada pengajaran menandai pelayanan Tuhan kita. Simpulan dari Khotbah di Bukit, "takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka" (Mat. 7:28-29). Matius 4:23; 9:35; Markus 2:13; 6:6; Lukas 13:22; 20:1, dan di banyak bacaan lainnya, menggambarkan bahwa mengajar adalah inti dari pelayanan Yesus.

Penitikberatan pada hal mengajar juga menjadi ciri dari pelayanan para rasul. Kisah Para Rasul 2:42 menggambarkan bahwa gereja purba "bertekun dalam pengajaran para rasul" (bdg. Kisah Para Rasul 5:42). Kisah Para Rasul 15:53 mencatat bahwa "Paulus dan Barnabas tinggal beberapa lama di Antiokhia. Mereka bersama dengan banyak orang lain mengajar dan memberitakan firman Tuhan." Dari Kisah Para Rasul 18:11 kita tahu bahwa Paulus "tinggal di situ [Korintus] selama satu tahun enam bulan, mengajarkan firman Allah di tengah-tengah mereka." "Aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan- perkumpulan di rumah kamu," demikian kesaksian Paulus kepada para tua-tua di Efesus (Kis. 20:20). Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, rasul besar tersebut menyimpulkan pelayanannya sebagai berikut: "Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus" (Kol. 1:28).

Karunia mengajar merupakan persyaratan penting bagi seorang penilik jemaat (1Tim. 3:2; Tit. 1:9). Tidak semua penilik jemaat dipanggil untuk memberitakan Firman secara terbuka; namun demikian, semua penilik jemaat harus mampu mengajarkan firman Tuhan secara sistematis kepada mereka yang berada di bawah pengawasan mereka. Persyaratan tersebut membedakan penilik jemaat dari diaken. Mengajarkan firman Tuhan merupakan cara utama yang digunakan para penilik untuk mengawasi kawanan mereka (bdg. 1Tim. 4:6; 11, 13, 16; 5:17; 2Tim. 2:15, 24; Tit. 2:1). Dengan mengajarkan Firman, para penilik menjaga jemaat mereka dari doktrin yang salah dan praktik yang keliru. Mereka juga mengajarkan berbagai prinsip hidup yang berkenan bagi Tuhan.

Apa yang menandai seorang guru yang efektif? Pertama, seorang guru harus selalu hidup menurut ajaran Alkitab. Paulus menasihati Timotius, "Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu" (1Tim. 4:12). Tokoh Puritan yang saleh, Richard Baxter, menuliskan, "orang yang bersungguh-sungguh dengan perkataannya akan berbuat seperti yang dikatakannya"(Richard Baxter, "The Reformed Pastor", Edinburgh: Banner of Truth, 1979: 68).

Kedua, guru tersebut harus "terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat yang telah kauikuti selama ini" (1Tim. 4:6). Semakin dalam pengetahuan guru tersebut akan soal-soal pokok iman kita, akan semakin efektif pula ajarannya. "Ia sendiri haruslah dewasa dalam pengetahuan," tulis Richard Baxter, "karena ia akan mengajarkan semua hal yang misterius dan harus diketahui demi keselamatan kepada sesamanya" (Baxter, "The Reformed Pastor", 1979: 68). Sebagaimana Timotius, guru tersebut juga harus "berusaha supaya [engkau] layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu" (2Tim. 2:15).

Ketiga, pengetahuan semacam ini seharusnya membuatnya rendah hati, bukan sombong. Mereka yang mengajar dengan sikap angkuh bertentangan dengan kebenaran yang mereka ajarkan. Paulus menggambarkan bagaimana seharusnya sikap mereka yang mengajar kepada Timotius:

"Sedangkan seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar, dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan, sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat, dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran" (2Tim. 2:24-25).

Akhirnya, ciri seorang guru yang terampil adalah mempunyai kemurnian hati dan kekudusan hidup. Paulus mengimbau Timotius supaya "latihlah dirimu beribadah" (1Tim. 4:7), dan "kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan" (1Tim. 6:11), ini sebaiknya disimpan dalam hati semua yang hendak mengajarkan firman Tuhan.

Pentingnya mengajar dalam konseling tidak dapat terlalu ditekankan. Sebenarnya, konseling sendiri merupakan suatu proses mengajar. Konselor yang bijaksana harus mampu mendengarkan dengan saksama, kemudian menerapkan firman Tuhan secara akurat pada segala masalah yang timbul di saat acara konseling. Para konseli tidak akan dapat hidup menurut prinsip-prinsip yang tidak mereka ketahui. Oleh sebab itu, mengajarkan prinsip-prinsip Alkitab merupakan inti dari proses konseling alkitabiah. Adams menuliskan, "Konfrontasi nouthetic haruslah konfrontasi alkitabiah. Singkatnya, konfrontasi nouthetic adalah konfrontasi menggunakan prinsip-prinsip dan praktik-praktik Kitab Suci." (Jay Adams," Competent to Counsel", Grand Rapids: Baker, 1981: 51). Bertolak belakang dengan metodologi Rogerian yang tidak terarah dan hanya "berfokus pada klien" serta dirangkul oleh banyak orang saat ini, tujuan konseling alkitabiah adalah mengubah semua pola berpikir dan pola hidup yang berdosa. Hal ini dilakukan dengan kuasa Alkitab.

Alkitab adalah satu-satunya tolok ukur untuk mengukur pikiran, perasaan, serta perilaku. Firman Tuhan penuh dengan pedoman dan petunjuk untuk hidup. Maka dari itu, metodologi konseling alkitabiah lebih banyak terletak pada firman Tuhan ketimbang kebijaksanaan manusia .... Oleh sebab itu, para konselor alkitabiah akan berusaha menolong para konseli agar hidup memasrahkan diri pada kasih Tuhan, firman-Nya, serta kebolehan- Nya. (Martin dan Deidre Bobgan, "How to Counsel from Scripture", Chicago: Moody, 1985: 54-55)

Mereka yang dikaruniai bakat mengajar berarti berbakat khusus untuk aspek konseling yang satu ini.

Nasihat

Jika nubuat memberitakan kebenaran Alkitab dan ajaran membuatnya sistematis, maka nasihat meminta tanggapan yang benar terhadap kebenaran tersebut. Roma 12:8 memasukkan menasihati sebagai salah satu karunia dari Roh Tuhan. Kata "paraklesis" dari bahasa Yunani juga dipakai dalam ayat-ayat seperti Kisah Para Rasul 20:2; 1Korintus 14:3; 1Timotius 4:13; dan Ibrani 13:22. Kata tersebut berarti "menasihatkan", "mendorong", atau "menghadapkan". Jelaslah bahwa terdapat kaitan antara kata tersebut dengan pelayanan konseling.

Menasihatkan berarti menantang saudara-saudara seiman supaya senantiasa bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti telah diketahui, konseling alkitabiah melibatkan tindakan-tindakan seperti menegur yang tidak tertib, menghibur mereka yang tawar hati, serta membela mereka yang lemah (1Tes. 5:14). Melalui karunia menasihatkan, para konselor dapat mendorong orang Kristen yang berdosa untuk meninggalkan dosa mereka, serta mempraktikkan yang benar, menghibur orang-orang yang hancur akibat kesulitan atau kesedihan, serta memperkuat iman mereka yang kecil hati dan lemah. Orang-orang yang secara khusus diberi karunia untuk menasihatkan adalah para konselor yang sangat berharga, dan sering kali merupakan tulang punggung pelayanan konseling di gereja setempat.

Kebijaksanaan

Karunia kebijaksanaan, seperti yang dimaksud dalam 1Korintus 12:8, adalah kemampuan untuk memahami bagaimana semua kebenaran Alkitab juga berlaku bagi isu-isu praktis dalam kehidupan sehari-hari. "Sophia" (kebijaksanaan) sering kali digunakan dalam Perjanjian Baru untuk melukiskan kemampuan melihat dengan tajam serta mengikuti kehendak Tuhan (bdg. Mat. 11:19; 13:54; Yak. 1:5; 3:13, 17). Sebab semua konselor alkitabiah perlu memiliki kebijaksanaan hingga taraf tertentu. Jelaslah bahwa tanpa memperlihatkan dengan jelas cara-cara menerapkan berbagai prinsip Alkitab, pengajaran yang diberikan kepada para konseli serta imbauan supaya mereka mengikuti semua prinsip tersebut menjadi kurang begitu bermanfaat. Nasihat yang bijaksana itulah yang dibutuhkan oleh konseli (bdg. Ams. 1:5; 12:15; 19:20) dan karunia kebijaksanaan memungkinkan konselor mampu memberi tahu mereka.

Pengetahuan

Hal yang mendasar bagi pewartaan, pengajaran, serta konseling adalah pengetahuan. Karunia pengetahuan adalah kemampuan yang dikaruniakan Tuhan untuk memahami semua misteri dari firman Tuhan yang diwahyukan--semua kebenaran yang tidak diketahui terlepas dari penyataan Tuhan (bdg. Rm. 16:25; Ef. 3:3; Kol. 1:26; 2:2; 4:3). Karunia tersebut juga memerlukan adanya keterampilan dalam menyajikan pengetahuan tersebut sehingga orang lain dapat memahaminya. Karunia pengetahuan bukan sekadar kemampuan mengumpulkan serta menyatukan pelbagai fakta, melainkan merupakan kemampuan rohaniah untuk melihat kebenaran alkitabiah serta doktrinal secara koheren dan bermanfaat.

Tanpa adanya pengetahuan rohaniah hingga taraf tertentu, tidak banyak yang dapat ditawarkan oleh konselor kecuali pelbagai spekulasi hikmat duniawi yang tolol dan sia-sia. Pandangan Tuhan terhadap nasihat semacam ini dapat dilihat dari cara-Nya menyalahkan para konselor Ayub. Karunia pengetahuan memungkinkan konselor memberikan nasihat bijaksana yang terdapat dalam firman Tuhan saja, yang dapat memberikan pengharapan kepada para konseli.

Melayani

Sesuatu yang disebutkan dalam Roma 12:8 ("siapa yang memberi pimpinan") dan 1Korintus 12:28 ("melayani") adalah karunia kepemimpinan. "Proistemi", istilah yang dipakai dalam Roma 12:8, berarti memimpin, mengelola, mengepalai, atau mengawasi, sementara "kubernesis" (1Kor. 12:28) berarti menyetir atau mengemudikan sebuah kapal. Karunia kepemimpinan atau melayani, merupakan kemampuan pemberian Roh Allah untuk mengatur, mengawasi, serta mendorong sesama menyelesaikan suatu tugas.

Mengingat banyak konseli yang hidupnya tidak tertib, terutama mereka yang mengalami depresi, maka karunia melayani amat berguna bagi seorang konselor. Membantu konseli menertibkan kehidupan mereka supaya dapat memuliakan Tuhan adalah aspek yang penting dalam konseling alkitabiah.

Belas Kasihan

Mereka yang mempunyai karunia satu ini mempunyai kasih yang istimewa dan kepekaan terhadap mereka yang sedang menderita--baik mereka menderita karena miskin atau penyakit fisik, ataupun mereka yang dikacaubalaukan oleh dosa. Tuhan Yesus Kristus merupakan contoh terhebat dari Dia yang berbelas kasihan. Dalam Lukas 4:18-19, Yesus berkata,

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas."

Tanpa karunia belas kasihan dari Roh, konseling sering kali menjadi dingin dan klinis. Banyak orang berjuang mengatasi kemarahan emosional, terhuyung-huyung dari malapetaka tertentu dalam hidup, atau mencari kelegaan dari depresi. Mereka perlu mendapat kesempatan untuk berbagi beban dengan seseorang yang dikaruniai rasa belas kasihan. Orang-orang seperti ini sebenarnya sering kali dialihkan oleh para psikoanalisis, yang hanya memerintahkan mereka supaya memeriksa diri, memusatkan perhatian pada diri sendiri, atau terobsesi oleh perasaan mereka. Sebenarnya, yang mereka butuhkan adalah kelegaan dari beban tersebut serta peringanan dari beban (bdg. Mat. 11:28-29). Para saudara beriman yang mendapat karunia rasa belas kasihan mendapat bekal terbaik untuk membantu sesama meringankan beban seperti ini.

Sumber
Halaman: 
383--390
Judul Artikel: 
Pengantar Konseling Kristen
Penerbit: 
Gandum Mas, Malang 2002