Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Belajar Berempati

Empati (emphaty) adalah sikap positif konselor terhadap konsele, yang diekspresikan melalui kesediaannya untuk menempatkan diri pada tempat konsele, merasakan apa yang dirasakan konsele, dan dengan pengertian konsele. Suatu sikap yang Carl Rogers sebut sebagai,

To perceive the internal frame of reference of another with accuracy, and with emotional components and meanings which pertain thereto, as if one were the other person, but without ever losing the "as if" condition / melihat realita dengan cara, sudut pandang, pengertian dan pengalaman emosional pribadi dari konsele tanpa dirinya sendiri lebur didalamnya (Meador and Rogers, "Client- Centered Therapy," ad.Raymon Corsini, "Current Psychotherapies," Itasca, III., Peacock Pub. Inc, 1973, p.137).

Tanpa seorang dapat berempati tak mungkin dia dapat benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi dalam diri konselenya. Masalah- masalah yang dikeluhkan konsele sebenarnya hanyalah manifestasi dari apa yang terjadi dalam kehidupan internalnya. Dua penderita kanker lever akan memanifestasikan keluhan dan persoalan yang berbeda. Yang pertama mungkin ketakutan, putus asa, kemudian ia marah, mempersalahkan Tuhan, dan depresi. Orang yang kedua, memberi reaksi yang di tengah ketakutannya ia terus berjuang, tidak putus asa, dan belajar menemukan maksud baik dari rencana Tuhan yang mengijinkan dirinya sakit. Sehingga dalam kesakitannya ia malah semakin menjadi berkat bagi sesamanya. Jadi masalah sebenarnya bukan penyakitnya. Kanker hanyalah kondisi dan konteks hidup yang memang tak terhindarkan. Masalah yang sesungguhnya, adalah bagaimana individu tersebut bereaksi terhadap realita yang dihadapi. Nah, disitulah perlunya konselor mempunyai kemampuan berempati. Tanpa empati tak mungkin konselor dapat memahami apa yang menjadi masalah sebenarnya, yang sedang dialami oleh konselenya. Jadi dengan empati, konselor memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan internal konselenya.

Untuk memperjelas pembicaraan ini, coba perhatikan kasus dibawah ini.

A seorang usahawan yang pernah sukses, tetapi kemudian bangkrut karena ulah B, istrinya. Sejak anak mereka yang terkecil masuk sekolah, B ingin sekali bekerja dan mempunyai penghasilannya sendiri. A tidak keberatan meskipun ia ragu-ragu kalau istrinya dapat mengelola beberapa pusat penyalur tenaga kerja (TKI) keluar negeri. Bulan-bulan pertama cukup baik, tetapi dengan kemajuan usaha tersebut, B berani meminjam uang dari beberapa orang untuk memperbesar usahanya. Beberapa kontrak sudah ditandatangani dengan rencana mengirim ribuan tenaga kerja ke berbagai negara. Ternyata keadaan berubah. Apa yang sudah ditanda-tangani tak dapat dilaksanakan. Keadaan politik, dan ekonomi goncang sehingga B terbebani dengan bunga berbunga yang terus melambung tinggi. Ia dikejar-kejar penagih utang. Celakanya ditengah kondisi tersebut, B memilih untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Beberapa cek kosong ia buat dan terus menerus ia berbohong. Pada suatu sore, A membawa B datang kepada anda untuk konseling. Pembicaraan tersebut lebih banyak dimonopoli A. Dengan alasan-alasan yang sangat rasionil, A mengatakan bahwa dirinya tidak kuat lagi untuk menjadi suami B. Ia sudah kehilangan rumah, mobil, dan sebagian besar uangnya untuk membayar hutang-hutang B. Ia berharap B dapat menunjukkan itikat baiknya dengan menghentikan kebiasaan yang tidak baik tersebut. Ternyata B kembali mengulang kebiasaannya dengan menjual perhiasan teman baiknya, memakai uang hasil penjualan tsb, dan mengaku bahwa perhiasan tersebut hilang. Untuk apa yang diceriterakan oleh suaminya, B tidak menyangkal. Dia hanya menangis, berjanji tak akan mengulang lagi perbuatannya.
Apa yang anda pikirkan sebagai konselor? Apa artinya berempati dalam konteks konseling ini?

  1. Berempati artinya menempatkan diri, merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh A maupun oleh B. Mungkin A merasa kecewa, marah, dan tak berdaya oleh karena terjebak dalam situasi yang rumit tsb. Mau cerai juga tidak mungkin, karena ia seorang Kristen. Mau menghukum B lebih (dari sikap dan kata-kata kemarahan) juga rupanya tidak pantas dilakukan olehnya. Mau memaafkan dan mengampunipun ia takut tidak mendidik dan akan dikecewakan lagi. Bahkan ingin mengasihi B pun rasanya sudah sulit sekali. Rupanya A terjebak dalam pelbagai sikap tidak menentu, sehingga kemungkinan besar A merasa capai mental, pesimis, dan depressive. Ia melihat realita persoalannya sebagai hal yang "tak banyak yang diharapkan lagi." Mungkin dalam hati ia menyesali pernikahannya. Ia membawa B ke konseling hanya dengan harapan mendapatkan jaminan pemenuhan janji pertobatan B saja. Mungkin tidak lebih dari itu, karena A merasa ikut andil dalam kesalahan. Oleh sebab itu, mungkin A tidak memikirkan kemungkinan kalau pernikahannya dapat kembali harmonis dan dapat dinikmati seperti dulu lagi. Pernikahan yang ideal dengan B tidak lagi menjadi fantasinya.

    Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang kira-kira dirasakan oleh konsele, anda sebagai konselor tidak terjebak dalam salah mengerti sikap dan kata-kata konsele. Misalnya, A mengatakan dengan suara lemah, "saya tak akan menceraikan dia, tetapi terus terang saja saya tidak kuat..." Sebagai konselor, anda memahami ambivalensinya (kata "cerai" dan "tidak kuat" kemungkinan hanyalah manifestasi perasaan putus asa saja, dan tidak mempunyai makna yang kuat sesuai dengan arti kata tsb), dan sikap ini menjadi sikap dengan spirit yang tidak tepat sebagai orang Kristen. Sikap ini akan memperkuat apriorinya bahwa "yang bersalah bukan saya, dan saya tidak punya andil apa-apa dalam masalah istri saya." Sehingga peran dan tanggung jawab untuk perbaikan kehidupan pernikahannya melemah bahkan bisa hilang sama sama sekali. Yang ada semata-mata hanyalah keinginan untuk bebas dari masalah. A makin menjadi manusia egosentristik, dan ia harus diingatkan bahkan kalau perlu dikonfrontir dengan kebenaran Firman. Empati tidak menutup terjadinya konfrontasi tersebut asalkan itu dilakukan di luar spirit aproiori dan judgemental / sekedar menghakimi.

    Bagaimana dengan empati anda terhadap B? prinsipnya sama! Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh B, anda sebagai konselor akan menangkap apa yang terjadi dalam kehidupan "internal" B. Mungkin anda mulai merasakan kekecewaan B terhadap dirinya sendiri yang berulang kali gagal untuk hidup dalam prinsip kebenaran yang ia ketahui. Mungkin pula B sama-sekali tidak menyesal. kalau ia menangis dan berjanji, itu semata-mata hanya untuk menghindarkan diri dari "hukuman suaminya." Atau B menyesal tetapi ia adalah suatu tipe pribadi yang "tak tahan" berada di tengah kondisi yang menjepit, sehingga ia cenderung jatuh pada kesalahan yang sama yaitu "menghalalkan segala cara." Untuk kesalahan tsb ia berharap orang memahami kondisinya dan dapat memaafkan dirinya.

    Coba anda sebagai konselor dengan tenang dan tidak terburu-buru berempati. Tangkap pola pikirnya dan kerja emosinya. Mana yang lebih penting bagi B: Apakah hidup dalam kebenaran dan terbebas dari masalah? Apa yang bagi B "masalah", atau masalahnya menurut B sendiri itu apa? Kemungkinan besar anda akan menemukan banyak hal yang tidak konsisten. Misalnya ia mengakui kesalahan dan berjanji untuk hidup dalam prinsip kebenaran etika Kristen. Namun dorongan dan keinginan untuk betul-betul menerapkan kebenaran tersebut tidak ada. Oleh karena itu, nasehat yang diresponi B dengan pengakuan dan janji-janji, belum menyelesaikan apa-apa. Anda harus dapat menolong menciptakan dorongan untuk mempraktekkan kebenaran yang diakuinya. Dalam hal ini, empati penting sekali. Melalui empati, anda mulai dapat berdialog dengan B dalam konteks dunia internalnya/artinya, berdialog-lah dengan B dalam level kesadaran batinnya. Tanyakan kepadanya, apa yang dirasakan olehnya dengan "mengakui prinsip kebenaran-kebenaran tsb?" Berikan tantangan pada hati nuraninya, dan tanyakan apa yang akan ia lakukan untuk menghidupkan suara hati nurani tsb, dan langkah-langkah apa yang akan ia ambil untuk merealisasikan kebenaran itu?

    Kemungkinan orientasi pikiran B semata-mata hanya pada keinginan untuk tetap dapat mempunyai "kenikmatan-kenikmatan" memiliki uang yang banyak. Untuk itu ia akan berupaya sekuat tenaga dan dengan segala cara mendapatkan simpati dari A dan dari anda sebagi konselor, sehingga perubahan dan pertobatan "yang cepat" biasanya tidak dapat dipercaya. Wajarnya, konseling untuk B akan memakan waktu yang lama.

  2. Berempati artinya mengosongkan diri sendiri demi untuk kepentingan konsele. Alkitab memberi beberapa contoh betapa Tuhan Yesus berempati dengan orang-orang berdosa. Kepada perempuan berjinah yang diceriterakan dalam Yohanes 8, Tuhan berempati. Ia Hakim yang Agung, Allah Maha Suci yang mengosongkan diriNYa dan bersikap "seolah-olah" Ia tidak mempunyai wewenang untuk menghakimi, mengadili dan menghukum perempuan tersebut. Ia bahkan berkata, "Akupun tidak menghukum engkau" (ayat 11). Mengapa demikian? Jawabnya sederhana, yaitu melalui empati mengosongkan diri itulah individu yang helpless terjerat dosa dan akibatnya yang fatal (penghakiman massa) mendapatkan satu kesempatan lagi untuk mempunyai pengharapan. Ia memang hopeless/tak punya pengharapan dan hopelessnessnya disadarinya saat itu. Ia berada di tengah keputus- asaan dan ketakutan yang sangat, dan empatilah yang akan memberikan pengharapan dan kesempatan hidup. Bahkan bukan sekedar hidup...tetapi "hidup yang baru." Oleh sebab itu, empati Tuhan tidak berakhir dengan tidak menghukum kamu," melainkan diteruskan dengan kalimat berita Injil yaitu: "pergi dan jangan berbuat dosa lagi..."(ayat 11).

    Empati pada A dalam kasus diatas juga harus berupa pengosongan diri. Oleh sebab itu, sekali lagi, meskipun tahu akan kelemahan A, sikap judgemental/menghakimi harus ditiadakan. Coba rasakan lagi keputus- asaan A dan kekuatirannya bahwa pernikahannya dengan B sudah tak dapat diharapkan lagi. Katakan dengan spirit yang sama seperti Tuhan Yesus (Fil 2:5), tetapi dengan kalimat yang berbeda bahwa "aku tidak menghakimi kamu, aku dapat memahami mengapa kamu berpikir dan merasakan demikian...tetapi jangan teruskan...jangan berpikir dengan pikiran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan..."

    Begitu juga dengan B, empati berarti anda sebagai konselor bersedia mengosongkan diri. Mungkin anda tahu kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan B dalam kesadarannya. Bahkan mungkin anda mulai kenal keunikan kepribadian B dengan cacat atau kelainannya yang membutuhkan therapi. Mungkin pula anda telah belajar dari pengalaman bahwa tipe-tipe kepribadian seperti B hanya dapat disadarkan jikalau dikonfrontir dengan keras. Tetap anda jangan sampai kehilangan empati pengosongan diri, karena siapa tahu, pengosongan diri anda membuka jalan bagi proses pertobatan B yang sejati. Tanyakan kepada B, sikap apakah yang seharusnya orang berikan untuk kelemahan- kelemahan pribadi seperti yang dilakukannya? Kemudian demonstrasikan "dalam sikap" bahwa anda berhak untuk bersikap seperti itu, tetapi anda memilih untuk memberikan kesempatan pada B membuktikan pertobatannya. Anda tidak menyetop proses konseling oleh karena anda mengerti "ketidak-berdayaan dan ketidak-siapannya" melawan natur dosanya. Inilah berempati dengan mengosongkan diri anda sebagai konselor.

    Nah, harapan saya, dengan kedua poin di atas anda mulai belajar berempati seperti konselor dalam pelayanan konseling anda. Tuhan memberkati.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Mengerti (Berempati)

Dalam rangka menurunkan kolesterol, akhir- akhir ini saya sering bersepeda: dari rumah ke pusat konseling Pastorium, terus ke SAAT, dan akhirnya pulang ke rumah. Gara-gara naik sepeda inilah saya lebih mengerti beberapa hal yang sebelumnya tidak saya pahami. Pertama, saya baru mengerti mengapa adakalanya sepeda motor, sepeda, dan becak berjalan di jalur yang berlawanan arah. Penyebabnya adalah kadang menyeberang atau memotong jalan merupakan suatu tugas yang susah; jadi, lebih mudah dan lebih aman bagi si pengendara sepeda atau becak untuk membelok jika ia tetap di jalur yang salah itu.

Saya juga baru mengerti bahwa meski jaraknya sama, namun ongkos naik becak tidak sama untuk semua orang. Perbedaannya terletak pada berat badan si penumpang dan ini saya ketahui sewaktu saya harus mengayuh sepeda yang dibebani bobot badan saya yang hampir satu kwintal itu. Lebih lanjut, saya pun sekarang sering dibuat kesal oleh kendaraan beroda empat yang berjalan "seenaknya" kekesalan yang sama saya rasakan terhadap kendaraan beroda dua tatkala saya sedang mengendarai kendaraan beroda empat. Ternyata, menukar tempat atau menempatkan diri pada posisi orang lain menyingkapkan banyak pemahaman uyang sebelumnya tertutup dari pandangan saya.

Salah satu keterampilan mendasar dalam konseling adalah kemampuan untuk berempati. Berempati berarti mengerti perasaan, pemikiran, atau isi hati seseorang dengan mendalam. Berempati bukan sekadar memahami perkataan seseorang; ini bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Berempati ialah turut menghayati perasaan yang sedang dirasakan oleh orang itu dan melihat motivasi atau pemikiran yang membelakangi tindakannya. Dengan kata lain, sama dengan pemahaman yang saya peroleh dari bersepeda, berempati sebenarnya merupakan tindakan menempatkan diri pada posisi atau keadaan orang lain setidak-tidaknya secara mental. Jadi, orang yang tidak sudi menempatkan dirinya pada keadaan orang lain, adalah orang yang tidak dapat berempati.

Salah satu "bumbu" pernikahan begitulah sering diucapkan oleh orang- orang tua dulu ialah pertengkaran. Secara pribadi, saya tidak pernah menganggap apalagi menikmati pertengkaran sebagai "bumbu". Pertengkaran, baik ituantara suami-istri atau relasi lainnya, lebih merupakan duri yang menyakitkan. Pertengkaran yang tak terselesaikan adalah resep jitu untuk menghancurkan hubungan antara dua insan. Jika saya boleh melukiskannya secara hiperbolik, satu pertengkaran berkapasitas menghapuskan 10 kebaikan atau kemanisan yang telah dikecap bersama. Itulah sebabnya, saya mengalami kesukaran membayangkan pertengkaran sebagai "bumbu" pernikahan.

Seluas apa pun dampaknya dan setajam apa pun tusukannya, pertengkaran adalah sesuatu yang harus kita lalui jika kita tetap ingin terlibat dalam hubungan dengan sesama. Ada banyak cara untuk menyelesaikan pertengkaran dan semua itu bergantung pada faktor penyebabnya yang juga beragam, namun semua penyelesaian yang sehat biasanya dialasi terlebih dahulu oleh pengertian atau dalam istilah psikologisnya, empati. Menurut hemat saya, pertikaian mulai mendekati titik penyelesaiannya tatkala kedua belah pihak berhasil berempati dan mengomunikasikan empati kepada satu sama lain.

Menerima empati atau dimengerti merupakan salah satu kebutuhan pokok menusia yang berkaitan dengan kodrat kita sebagai makhluk sosial. Merasa dimengerti sudah cukup untuk membuat kita berhenti berteriak meminta pengertian dan cukup kuat untuk menyadarkan kita bahwa orang lain bukanlah diri kita. Jadi, berempati atau mengerti merupakan keterampilan atau mungkin lebih tepat lagi, keharusan, yang mesti kita miliki. Empati adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan orang lain sewaktu arus kemarahan melanda dan memisahkan kita. Tanpa empati, kita hanya bisa saling memandang dan tidak saling berpegangan tangan lagi.

Menumbuhkan empati bukan hal yang terlalu mudah. Ada yang mengaitkan empati dengan belas kasihan, artinya kita dapat berempati tatkala kita berbelas kasihan. Masalahnya dengan pemahaman empati yang seperti itu adalah, empati berhenti bekerja sewaktu belas kasihan lenyap dari permukaan hati. Empati bukan belas kasihan walau belas kasihan dapat memudahkan bertunasnya empati.

Empati juga sukar muncul sebab pada umumnya kita menuntut orang untuk mengerti kita terlebih dahulu dan nanti, jika kita masih mempunyai energi sisa, barulah kita mencoba mengerti orang lain. Empati sering kali keluar dengan tersendat karena kita ingin membenarkan diri dan enggan mengambil resiko untuk mungkin saja keliru. Bukankah dengan empati kita membuka peluang timbulnya kesadaran dan akhirnya pengakuan bahwa yang kita duga atau tuduhkan sebelumnya itu keliru? Empati sukar bersemi; sama sukarnya dengan menyangkal atau mengosongkan diri.

Empati hanya bisa kita miliki jika kita berhasil memenuhi syarat tuntutannya: bersedia mengosongkan diri. Empati lebih mudah bertumbuh apabila kita pernah mengalami yang dialami orang lain atau setidak-tidaknya, kita memiliki kesadaran bahwa kita mempunyai potensi yang sama untuk "jatuh" seperti orang lain. Itu sebabnya, Allah yang menyelamatkan haruslah Allah yang menjadi manusia, "bukanlah iman besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan- kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. (Ibrani 4:15).

PERTANYAAN ANDA

Saya seorang janda (35 th) dengan 2 anak (8 th dan 6 th). Suami saya meninggal mendadak 3 tahun lalu. Setelah jatuh bangun dalam dua tahun pertama sejak ditinggal suami, saya mulai bangkit dan bekerja lagi sekarang. Akhir-akhir ini saya selalu panik dan menghindar jika ada pria yang mendekati saya dan ingin berkenalan lebih lanjut. Padahal secara jujur saya membutuhkan suami. Apakah hal ini wajar, Bu?

Apa yang anda dan reaksi emosi yang muncul pada saat ada pria yang (tentunya yang anda sukai) mendekati adalah hal yang wajar. Di samping itu juga merupakan tanda bahwa jiwa anda sehat, sadar akan apa yang terjadi dalam diri termasuk jujur apa yang anda inginkan.

Namun pada saat yang sama yang terjadi adalah:

  1. Walaupun anda tahu kebutuhan anda akan seorang suami, namun perasaan anda belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan keinginan tersebut. Mungkin anda takut orang-orang di sekitar anda akan membicarakan mengenai hal ini, atau ada unsur "tabu" dan anda ingin "membuktikan kesetiaan" pada mendiang suami. Mungkin juga pengalaman-pengalaman anda yang tidak terlalu positif pada pernikahan yang lalu membuat anda ragu-ragu untuk menikah lagi.
  2. Realita kesulitan anda untuk membangun komunikasi yang berarti dengan pria-pria yang anda sukai, sehingga yang mendekati bukanlah pria yang "ideal" bagi anda. Pada saat itulah kepanikan anda muncul.
    Jadi ada beberapa saran.
    1. Anda perlu melangkah lebih lanjut untuk mematangkan kejujuran anda supaya pengenalan anda akan diri sendiri lebih lengkap, sehingga anda tahu apa yang anda benar-benar butuhkan saat ini. Apakah kebutuhan anda memang "untuk segera mendapatkan suami" atau "mulai belajar untuk berkomunikasi secara dewasa dan belajar mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri". Untuk ini mungkin anda membutuhkan bantuan konselor yang professional sehingga anda dapat memilah kebutuhan anda.
    2. Anda perlu menjaga keseimbangan dalam hidup anda sehingga setiap hal yang menjadi tanggung jawab anda sebagai ibu terhadap anak-anak anda tetap dapat dilaksanakan dengan baik. Tuhan selalu memberikan anugerah dan pertolonganNya dalam konteks pertanggung-jawaban iman ibu secara pribadi, seperti yang Tuhan Yesus katakan: "Siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan" (Matius 25:29). Berarti siapa yang merasa punya, dan menghargai apa yang ia punyai, akan diberkati oleh Tuhan.
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Okt. - Des. 2000)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI

Komentar