Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Keterikatan dan Ketergantungan

Edisi C3I: e-Konsel 033 - Persahabatan Suami dan Istri

Hidup manusia sebagai makhluk sosial memang penuh keajaiban. Manusia diciptakan dengan hati nurani yang peka dan kebutuhan akan kedekatan bahkan ikatan dengan sesamanya. Manusia membutuhkan teman juga sahabat yang dicari dan coba ditemukan melalui konteks kehidupan. Kadang-kadang keakraban yang dinikmati dengan pribadi tertentu merupakan keakraban dimensional, artinya hanya pada dimensi-dimensi tertentu, bahkan tidak jarang situasional atau tergantung mood dan situasinya. Kadang-kadang pula kedekatan dengan pribadi "yang dicintai" betul-betul dapat dinikmati, tetapi tidak jarang kedekatan tersebut menyakitkan. Keakraban dapat dikomunikasikan dalam bahasa verbal, non-verbal, sikap, mimik, pandangan mata, dan perbuatan. Bahkan yang mengherankan, dalam konteks tertentu, silent/diam bisa merupakan bahasa yang sangat kaya untuk mengkomunikasikan hubungan yang akrab antar dua pribadi.

Hubungan sosial antar manusia juga penuh dengan dinamika. Apa yang efektif dalam konteks hidup di masa lampau belum tentu efektif dalam situasi dan kondisi yang baru. Ini nampak jelas dalam hubungan antara orangtua dan anak. Perubahan terus terjadi dan kedua belah pihak harus terus belajar menyesuaikan diri. Pada masa anak-anak masih kecil, keakraban dengan mereka dapat dimanifestasikan dalam dekapan, ciuman, cumbuan, dan kemanjaan. Pada saat mereka sudah semakin dewasa keakraban tersebut cenderung lebih memakai bahasa verbal yaitu melalui percakapan dari pribadi-pribadi yang dituntut untuk saling memahami dan menghargai. Kedua-belah pihak dituntut untuk saling menyesuaikan diri secara aktif, atau keakraban "yang sehat" sulit terbentuk dan tak pernah berfungsi secara efektif. Kadang-kadang keakraban bahkan menghasilkan ketergantungan dan kekerdilan. Sehubungan dengan itulah berbagai masalah hidup manusia timbul. Coba perhatikan kasus di bawah ini.

A adalah ayah dari dua orang anak yang masih kecil-kecil. Sebagai anak tunggal dari keluarga yang kaya, A tak pernah dilatih untuk mandiri dan memikul tanggung jawab. Pernikahan, kehidupan keluarga dan pekerjaan A semua diatur oleh kedua orang tuanya. Sebagai pewaris perusahaan orang tua yang maju, A tak mempunyai peran yang jelas. Segala keputusan masih di tangan orangtua. Kehidupan rumah tangganya juga unik, dengan dua orang baby-sitter dan seorang pembantu, istrinya tak pernah diberi kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya sendiri. Semua sudah diatur beres oleh orangtua A, sampai makananpun setiap hari dikirim dari rumah orangtua.

Hari ini istri A menemui Anda untuk konseling. Ia datang bersama A yang tidak mengerti mengapa istrinya tertekan dan tidak puas. Menurut A kehidupan rumah tangganya baik, dan segala kebutuhan terpenuhi, bahkan kedua orang tuanya sangat mengasihi mereka. A heran dan merasa bahwa istrinya tidak tahu berterima kasih pada orangtuanya. Ia berkata, "Rumah, mobil, baby-sitter, makanan, uang, pekerjaan dan lain-lain semua sudah disediakan orangtua ... apa yang kurang?" Bagi istrinya, masalahnya bukan di situ. Ia cuma merasa bahwa hidup yang dihidupinya tidak wajar sehingga kebutuhan batinnya untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mempunyai kebebasan untuk berkreasi dan mengatur hidupnya sendiri tidak ada. Ia kurang menghargai A oleh karena tak ada peran sebagai suami, ayah, dan kepala rumah tangga. Di kantor ia tak punya peran apa-apa, di rumah ia sehari-harian nonton TV, makan atau tidur, dan dalam segala hal ia minta tolong orangtua, khususnya ibunya. Istrinya mengeluh, merasa putus asa dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Bercerai tak mungkin, karena ia seorang Kristen, tetapi mau terus ia sangat ragu-ragu.

Sebagai teman, Anda dapat menjadi konselor untuk keduanya. Mereka kebetulan datang ke rumah Anda dan menceriterakan pergumulan dan persoalannya. Kesempatan untuk berperan sebagai konselor sudah Tuhan sediakan. Untuk itu, beberapa prinsip di bawah ini dapat Anda pakai.

  1. Hindarkan diri dari orientasi yang cuma melihat pada masalah yang ada, tapi berpeganglah pada kebenaran Alkitab yang telah digariskan dengan jelas. PERTAMA, kalau Alkitab melarang perceraian (Matius 19:6; 1Korintus 7) maka apapun dan bagaimanapun keadaan hubungan suami istri tersebut, tetap subjektivitas kesan pribadi tidak boleh menjadi standar sikap yang Anda ambil. Jangan sampai "keinginan untuk memahami dan empati" sebagai sahabat dan konselor, mendahului kebenaran firman Allah. Walaupun perasaan Anda membenarkan keinginannya untuk bercerai, Anda harus menolong klien Anda melihat dari perspektif kebenaran firman Tuhan dan menemukan alasan "mengapa" Tuhan tidak menghendaki perceraian (Maleakhi 2:16). Mungkin selama ini klien Anda juga tidak pernah mengerjakan pernikahan yang sudah diijinkan dan dipercayakan Allah kepadanya.

    KEDUA, kalau Alkitab mengajarkan prinsip menundukkan diri, dan menjadi penolong yang sepadan bagi suami (Efesus 5:22; 1Petrus 3:1), maka Anda harus menghidupkan kesadaran akan pentingnya peran yang Allah berikan pada istri A. Sekali lagi, jangan Anda bereaksi sesuai dengan insting subjektivitas Anda dan membenarkan sikap istri A yang mungkin beralasan "bagaimana mungkin dapat menghargai suami yang tak punya peran dan tanggung- jawab". Sebagai konselor Kristen, Anda harus percaya bahwa "takut dan kepatuhan akan kebenaran firman Tuhan adalah permulaan segala kebajikan (1Samuel 15:22; Amsal 1:7). Bimbinglah istri A sampai ia benar-benar mengimani bahwa "apa dan bagaimana hasilnya nanti" tak perlu dibicarakan sekarang, yang perlu adalah ketaatan akan firman Allah. Oleh sebab itu jadilah seorang istri yang mengasihi, taat dan biarkan Tuhan berkarya (1Petrus 3:1-6).

    Melalui dua hal di atas Anda akan mulai memahami betapa kesulitan utama dari konseling adalah diri konselor itu sendiri yang cenderung hanyut dalam simpati (dan bukan hanya "empati"), menjadi humanistik dan ingin berperan sebagai juruselamat, yaitu mengambil-alih tanggung-jawab klien dengan segera membebaskannya dari gangguan hidupnya. Dalam proses konseling yang tidak sehat, tempat untuk Allah tidak ada, dan kebenaran firman-Nya hanya menjadi simbol yang kosong (bandingkan dengan Yakobus 4:13-17). Peran konselor Kristen sebenarnya hanya menjadi pencipta "suasana yang kondusif" yang memungkinkan kebenaran firman muncul dan berperan secara maksimal. Tugas konselor Kristen hanyalah membuka pintu dan mempertemukan klien Anda dengan Allah sumber kebenaran, tetapi apa dan bagaimana itu bisa terjadi, adalah suatu art/seni tersendiri. Konseling adalah "mempersiapkan jalan untuk Tuhan ... dimana setiap lembah dalam jiwa manusia harus ditutup, gunung dan bukit yang terjal diratakan ... tanah yang berlekuk-lekuk diluruskan ... sehingga klien dapat melihat kemuliaan Tuhan (Yesaya 40:3-5)."

  2. Fahamilah natur dari kedewasaan pribadi. Semakin dewasa pribadi seseorang, ia semakin mampu menempatkan diri di tengah situasi dan kondisi apapun juga. Sumber kebahagiaan orang yang dewasa biasanya berasal dari dalam jiwanya sendiri. Semakin dewasa jiwa seseorang semakin ia mampu mencipta kebahagiaan yang dapat dinikmati orang-orang di sekitarnya dan ia tidak menimba kebahagiaan dari luar dirinya.

    Sebagai konselor, Anda memang harus dapat berempati atas ketidak- bahagiaan istri A, karena memang kebutuhan primernya tidak terpenuhi. Meskipun demikian, Anda harus menyadari bahwa empati dan pemahaman yang sempurnapun tidak berfaedah jikalau klien Anda tidak ditolong untuk memahami dirinya sendiri. Ia harus dapat mengerti bahwa dirinya tidak berbahagia oleh karena jiwanya yang tidak dewasa sehingga sumber kebahagiaannya tergantung dari hal- hal di luar dirinya sendiri yaitu pada suami dan orang-orang lain. Sebagai istri, menantu, dan ibu, ia tidak mampu mencipta dan mengubah situasi dan kondisi kehidupannya sendiri.

    Jadi, konseling adalah menolong klien tersebut menghargai potensi yang ada pada dirinya, sehingga ia dapat berfungsi dengan lebih baik dalam kehidupannya.

  3. Untuk suaminya, Anda perlu menemukan sumber masalahnya dan membedakan antara faktor penyebab dan faktor pencetusnya. Kemungkinan besar, si A tidak berperan dan tidak berfungsi oleh karena sistem yang telah diciptakan, diteruskan dan dinikmati oleh kedua orangtuanya. Mungkin tanpa disadari, mereka mempunyai kebutuhan "keterikatan dan ketergantungan dari A, anak tunggal mereka." Kebutuhan neurotik tersebut menjadi faktor penyebab dari kelumpuhan peran dan tanggung-jawabnya. Oleh sebab itu, fokus konseling harus pada faktor penyebab tersebut dan bukan pada faktor pencetus yaitu hubungan dengan istri, anak, kehidupan praktis dan pekerjaan, meskipun hal-hal ini selalu menjadi konteks praktis dimana pengaruh faktor penyebab dapat lebih disadari.

    Dalam hubungan dengan faktor penyebab tersebut, Anda sebagai konselor perlu menyadari:

    1. Apa yang sudah terbentuk selama proses bertahun-tahun tak mungkin dapat diubah dalam waktu singkat melalui nasehat. Walaupun mungkin si A mengerti dan bertekad untuk memperbarui hidupnya, kemungkinan besar ia tidak mempunyai dorongan dan kekuatan untuk melakukannya. Oleh sebab itu, yang perlu adalah menolong dia masuk dalam proses kehidupan dalam sistem hidup yang baru secara bertahap. Mulai dengan menemukan dan menyadari diri sendiri melalui sistem "nonjudgemental open - sharing" (sharing secara terbuka tanpa menilai dan menghakimi dalam hal-hal praktis pengalaman dan kehidupan sehari-hari). Biasanya, melalui pengalaman sharing yang tidak menakutkan inilah, pribadi-pribadi dengan sendirinya akan mampu meningkatkan kesadaran diri mereka. Barulah secara terpisah, Anda bertemu dengan A membicarakan topik yang sempat menghangat dalam open sharing tersebut, dan biarkan A menemukan kesimpulan-kesimpulannya bahkan menentukan sendiri strategi untuk mengaplikasikan dalam kehidupan praktisnya.
    2. Tempat dari istri A di tengah hubungan antara A dengan kedua orangtuanya selama ini tidak jelas. Oleh sebab itu, untuk memudahkan buatlah bagan yang menjadi pola interaksi yang ada. Mintalah A menjelaskan "di mana tempat dan peran istrinya dalam pengambilan keputusan dan mengapa demikian?" Kemudian diskusikan secara lebih mendalam sekitar "prinsip-prinsip" yang selama ini dipegang, apa yang seharusnya, dan mengapa demikian?

Mudah-mudahan dengan usulan di atas, Anda dapat berperan sebagai konselor bagi teman Anda tersebut. Tuhan memberkati.

Sumber
Halaman: 
1 - 3
Judul Artikel: 
Parakaleo, Volume VIII/2, April - Juni 2001
Penerbit: 
Departemen Konseling, STTRII, Jakarta

Komentar