Pengenalan Terhadap Kidung Agung (II)

Penulis_artikel: 
Ev. Cornelius Kuswanto
Isi_artikel: 

Dalam artikel pertama tentang Pengenalan Terhadap Kidung Agung (1) kita telah mempelajari bersama tentang keunikan Kidung Agung, Pengarang dan Tanggal Penulisan, Latar Belakang Sejarah Penulisan, Tujuan Penulisan dan Beberapa Macam Cara Penafsiran Kidung Agung. Cara penafsiran yang paling terkenal dan paling tua ialah tafsiran secara alegori.

Dalam bagian ini kita akan bersama mempelajari tentang penafsiran Kidung Agung menurut Dramatical Interpretation (tafsiran secara drama).

LATAR BELAKANG DARI TAFSIRAN SECARA DRAMA

Penafsiran menurut drama dari Kidung Agung mulai dikenal pada akhir abad ke-18. Ide adanya drama dalam Kidung Agung sudah lebih dahulu dikenal sebelum cara penafsirannya dipakai. Pada abad ke-3 M, Origen menamakan Kidung Agung sebagai sebuah pantun pernikahan yang ditulis dalam bentuk drama.

Tafsiran Kidung Agung secara drama mulai menjadi terkenal pada awal abad ke-19 yaitu setelah tafsiran secara alegori mulai berkurang pendukungnya.(2)

DUA MACAM BENTUK TAFSIRAN SECARA DRAMA

Robert Gordis menyatakan bahwa tafsiran Kidung Agung secara drama ada dalam dua macam bentuk.(3) Kedua bentuk tafsiran menurut drama ini ialah berdasar peran utama dalam Kidung Agung. Ada yang setuju bahwa dalam Kidung Agung ada dua peran utama, ada juga yang berkata bahwa dalam Kidung Agung ada tiga peran utama.

a. Dua peran utama

Pendapat ini dipegang oleh Franz Delitzch yang melihat ada dua peran utama dalam Kidung Agung yaitu Salomo (kadang-kadang menyamar sebagai seorang gembala) dan seorang wanita desa yang disebut sebagai gadis Sulam (6:13). Pendapat ini mungkin berdasar dari dua manuskrip Grika yang berasal dari abad ke-4 dan 5 M.(4) Manuskrip- manuskrip ini memuat catatan di pinggir mengenai siapa yang bicara dan siapa yang menjawab.(5)

Menurut Delitzch, Kidung Agung hanya mempunyai dua peran yaitu Salomo dan gadis Sulam. Ketika Kidung Agung membicarakan mengenai gembala, ini ditujukan kepada Salomo yang menyamar sebagai gembala. Mengenai gadis Sulam, Delitzch berkata,

Gadis Sulam adalah seorang gadis yang ada dalam sejarah. Ia bukan putri Firaun sebagaimana diajar sejak zaman Theodore of Mopsusetia..., tetapi ia adalah seorang gadis desa yang sederhana. Salomo tertarik kepada kecantikan dan ketulusan gadis Sulam. Hal ini selain membuat Salomo melepaskan praktek poligaminya juga membuat dia mengenal ide pernikahan yang mula- mula dicatat dalam Kejadian 2:33 dst. sebagai sebuah pengalaman nyata.(6)

Salomo berjumpa dengan gadis Sulam waktu ia mengadakan kunjungan negara ke Israel bagian Utara. Dalam pertemuan dengan gadis Sulam ini, Salomo tertarik pada gadis Sulam sehingga Salomo kemudian membawa gadis Sulam ke Yerusalem untuk dijadikan istri. Menurut tafsiran secara drama, klimaks dari Kidung Agung ialah pernikahan antara Salomo dengan gadis Sulam.

b. Tiga Peran Utama Atau "Hipotesa Gembala"

J.S. Jacobi adalah orang Kristen pertama yang mengajarkan pendapat ini pada tahun 1771. Heinrich Ewald mengembangkan teori ini pada tahun 1826. Pada tahun 1891, Driver memprogandakan hipotesa ini.(7)

Menurut hipotesa ini ketiga peran utama dalam Kidung Agung ialah: Salomo, gadis Sulam, dan gembala yang menjadi kekasih gadis Sulam. Latar belakang sejarah dari hipotesa gembala ini ialah sbb.: ketika raja Salomo sedang melakukan perjalanan negara ke bagian utara Israel, ia berjumpa dengan gadis Sulam dan membawa gadis Sulam ke Yerusalem. Salomo berusaha mendapatkan hati gadis Sulam dengan berbagai macam rayuan dari kekayaan dan kemuliaan yang Salomo miliki. Tetapi hati gadis Sulam sudah melekat dengan kekasihnya, yaitu si gembala sederhana yang tinggal di kampung di utara Israel. Jadi rayuan Salomo tidak berhasil membuat gadis Sulam melupakan kekasihnya. Setelah merasa tidak berdaya mendapatkan hati gadis Sulam, akhirnya Salomo memperbolehkan gadis Sulam kembali ke desanya. Menurut pendukung hipotesa ini, pada pasal 8 dari kitab Kidung Agung, kita melihat gembala dan gadis Sulam berjalan bergandengan tangan.

Jadi menurut "hipotesa gembala", pelajaran utama dari kitab Kidung Agung ialah tentang kasih sejati yang tidak dapat direbut oleh kekayaan atau kemuliaan. Dalam "hipotesa gembala", Salomo adalah seorang bad guy yang berhati baik. Salomo menghargai kasih gadis Sulam kepada si gembala, sebab itu Salomo membiarkan gadis Sulam kembali kepada kekasihnya. Menurut hipotesa ini, gembala melambangkan Kristus, gadis Sulam melambangkan orang Kristen secara individual, dan Salomo melambangkan dunia.

Dalam menafsir Kidung Agung secara drama, S.R. Driver bukan saja percaya bahwa bentuk literatur Kidung Agung adalah sebuah drama, bahkan Driver dengan yakin berkata bahwa drama ini harus dipentaskan.(8) Calvin Seerveld juga setuju kalau kitab ini juga dimainkan secara drama.(9) F. Delitzch berpendapat lain. Ia setuju kalau Kidung Agung ditulis dalam bentuk drama, tetapi tidak boleh dimainkan di depan umum.

EVALUASI TERHADAP PENAFSIRAN SECARA DRAMA

Tafsiran secara drama dengan dua lakon memperlihatkan pernikahan yang berbahagia antara Salomo dan gadis Sulam. Pelajaran yang diberikan oleh tafsiran ini ialah agar pernikahan orang Kristen rukun dan bahagia seperti pernikahan Salomo dan gadis Sulam.

Tafsiran secara drama dengan tiga lakon mengajar bahwa hidup pernikahan orang Kristen harus menjunjung tinggi kesetiaan kepada pasangan kita. Meskipun ada rayuan dari pihak ketiga, tetapi suami atau istri tidak boleh jatuh oleh rayuan tersebut. Tafsiran ini juga memberikan pelajaran rohani yang baik. Sebagai pengantin perempuan Kristus (= gadis Sulam), orang Kristen harus setia kepada Tuhan (= gembala) dan tidak boleh mencintai dunia ini (= Salomo).

Meskipun cara penafsiran secara drama memberikan pelajaran yang indah tentang hidup pernikahan, tetapi apakah cara penafsiran secara drama ini dapat dibenarkan?

Kalau dipelajari lebih mendalam, maka terlihat bahwa tafsiran secara drama mempunyai beberapa kesulitan. E.J. Young berkata, "Drama tidak pernah ada dalam kehidupan bangsa Yahudi." Ia juga berkata tidak mungkin rohaniawan Yahudi menganggap Kidung Agung sebagai sebuah buku yang diilhamkan oleh Tuhan kalau kitab ini hanya merupakan sebuah drama.(10) Meredith Kline memberikan komentar yang bernada sama dengan Young, yaitu drama tidak dikenal oleh orang Yahudi.(11) Harrison berpendapat bahwa tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya drama dalam literatur orang Yahudi.(12)

Faktor pembicara juga tidak menyokong bahwa Kidung Agung adalah sebuah drama. Pembicara dalam Kidung Agung tidak jelas ditulis. Driver berpendapat bahwa pembicara dalam Kidung Agung sangat jelas ditulis dan dipakai dengan konsisten.(13) Kalau demikian mengapa Delitzsch berpendapat hanya ada dua pelaku, sedangkan Driver sendiri berpendapat ada tiga pelaku? Kita juga harus memperhatikan pergumulan yang dialami oleh Aalders. Ia menyelidiki bahwa ketika sebuah pembicaraan diucapkan, maka beberapa kali tidak diketahui siapa yang berbicara.(14) Jadi Aalders berkesimpulan bahwa Kidung Agung sama sekali tidak mempunyai karakteristik sebuah drama, bahkan dialog yang ada tidak selamanya dipergunakan.

Lokasi dalam Kidung Agung juga tidak terinci. Kalau pengarang Kidung Agung bermaksud agar Kidung Agung ditafsir sebagai sebuah drama, maka pengarang harus lebih terinci menulis mengenai pembicara, bilamana pembicaraan dimulai dan bilamana pembicaraan berhenti, pergantian tempat dll. Karena hal-hal tersebut di atas tidak jelas dicatat dalam Kidung Agung, maka Delitzsch membagi Kidung Agung dalam enam babak dan dua belas lokasi. Sedangkan Driver membagi Kidung Agung dalam lima babak dan tiga belas lokasi.(15)

Jelas orang-orang yang menyokong penafsiran Kidung Agung sebagai sebuah drama harus memperhatikan kesukaran-kesukaran ini. Baik penganut yang berpendapat bahwa Kidung Agung mempunyai dua pelaku utama atau penganut yang berpendapat bahwa Kidung Agung mempunyai tiga pelaku utama harus bergumul dengan kesukaran ini.

Akhirnya kita dapat berkata bahwa usaha untuk menafsir Kidung Agung sebagai sebuah drama membutuhkan lebih banyak penjelasan daripada jumlah ayat yang ada dalam Kidung Agung. Untuk menjelaskan dramanya saja kita sudah harus memberikan tafsiran yang banyak macam. Cara penafsiran secara drama sama bersalah seperti cara penafsiran menurut alegori. Kedua cara penafsiran ini salah dengan melakukan eisegesis(16), bukan exegesis (17).

  1. Momentum nomor 6, September 1989, hal. 23-26.
  2. Meskipun masih ada pendukung tafsiran Kidung Agung secara alegori sampai masa ini.
  3. Robert Gordis, The Song of Songs and Lamentations New York: Ktav, 1974), hal. 10.
  4. Abad ke 4 M: Kodex Sinaitikus ( ); abad ke 5 M: Kodex Alexandrinus (A).
  5. Roland Murphy, "Interpreting The Song of Songs, "dalam Biblical Theology Bulletin 9 (1979): 99; Catholic Biblical Quarterly 16 (microfilm, 1954):3, mencatat bahwa kodex Sinaiticus sejak lama sudah memakai istilah nymphos (pengantin pria) untuk melukiskan pembicara pria, dan nymphe (pengantin wanita, untuk melukiskan pembicara wanita).
  6. F. Delitzsch dan C.F. Keil, Commentary on the Old Testament in Ten Volumes. Cetak ulang. Jil. 6: Proverbs, Ecclesiastes, Song of Solomon (Grand Rapids: Eerdmans, 1982), hal. 3.
  7. Untuk mengetahui lebih banyak tentang intepretasi secara drama, lihatlah Robert H. Pfeiffer, Introduction to the Old Testament (New York: Harper & Brothers Publishers, 1941), hal. 708-716.
  8. S.R. Driver, An Introduction to the Literature of the Old Testament (Gloucester: Peter Smith, 1972), hal. 437, 438.
  9. Calvin Seerveld, The Greatest Song: In Critique of Solomon, Palos Height: TRinity Pennyasheet PRess, 1967.
  10. E. J. Young, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1985), hal.353.
  11. M.G. Kline, "Bible Book of the Month: The Song of Songs," Christianity Today 3 (April, 1959):22.
  12. R.K. Harrison, "Song of Solomon," dalam The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible. Jil.5. Diedit oleh Merrill C. Tenney (Grand Rapids: Zondervan, 1975), hal 492.
  13. Driver, Introduction, hal 446,447.
  14. G.Ch. Aalders, Het Hooqlied (Kampen: Uitgeversmaatschappij J.H. Kok, 1952, hal 11.
  15. Driver, Introduction, hal 440-443. William Elliot Griffis dalam bukunya The Lily among the Thorns. A Study of the Biblical Drama entitled The Song of Songs (Boston dan New York: Houston, Mifflin and Co., 1890), hal 105 menafsir Kidung Agung mempunyai tiga pelaku dengan lima babak dan lima belas lokasi.
  16. Eisegesis berarti "a reading into. "
  17. Exegesis berarti "a reading out of"

Sumber Artikel: 
Sumber:
Nama Majalah : Momentum
Edisi : 8/Juni 1990
Judul Artikel: Pengenalan Terhadap Kidung Agung (II)
Penulis : Ev. Cornelius Kuswanto
Halaman : 42-45

Komentar