SEMINAR KELUARGA KELOMPOK BINA IMAN DOMBA KRISTUS

LOVING YOUR MARRIAGE

Ketika menyatakan janji pernikahan, suami dan istri memasuki pengalaman yang baru; hidup intim dengan orang lain. Pengalaman baru ini segera dilalui berdua disusul dengan anak-anak yang Tuhan karuniakan. Ada apa selanjutnya? selengkapnya...»

Kemuliaan dan Damai Sejahtera

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Wah ..., tidak terasa tahun 2007 sudah akan meninggalkan kita dan tahun 2008 akan segera menyambut kita. Namun, melihat keadaan dunia yang kian tak menentu ini, kita tidak tahu apakah tahun 2008 akan menyambut kita dengan senyuman atau dengan tangisan. Tapi puji Tuhan, sebagai orang yang percaya, senyuman atau tangisan bukanlah hal yang perlu kita kuatirkan karena jika Tuhan ada di pihak kita, siapakah lawan kita?

Sebelum menutup sajian e-Reformed tahun ini, saya ingin mengucap syukur kepada Tuhan atas kebaikan-Nya yang telah menyertai pelayanan e-Reformed hingga saat ini. Pemeliharaan Tuhan sungguh sangat nyata. Saya yakin Anda pun pasti bisa memberikan kesaksian akan kebaikan Tuhan atas hidup Anda selama tahun 2007 ini. Nah, ucaplah syukur karena semua itu merupakan pengalaman yang sangat berharga yang membangun iman kita.

Tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih untuk semua anggota e-Reformed yang dengan setia terus bergabung bersama-sama sampai akhir tahun ini. Harapan saya, Anda mendapat berkat melalui keikutsertaan Anda di e-Reformed ini. Mari doakan agar hikmat Tuhan terus menyertai pelayanan e-Reformed di tahun 2008 dan biarlah pelayanan ini bisa semakin ditingkatkan. Bagaimana caranya? Saya menantikan usulan-usulan Anda.

Sebelum kita berpisah di tahun ini, saya juga ingin mengucapkan `Selamat Hari Natal 2007 kepada semua anggota e-Reformed`, damai sejahtera Tuhan kiranya senantiasa menyertai kita semua, dari sekarang sampai Maranatha.

Sebagai hadiah Natal, silakan nikmati renungan Natal yang disampaikan oleh Pdt. Albert Konaniah di bawah ini. Biarlah pada perayaan Natal ini, kita dapat merasakan kemuliaan Allah yang ada di tempat yang mahatinggi, karena tanpa Dia ditinggikan, tidak ada damai sejahtera yang akan turun ke bumi.

Haleluya! Bagi Dia kemuliaan untuk selama-lamanya.

Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 

Pdt. Albert Konaniah

Edisi: 

094/XII/2007

Tanggal: 

17-12-2007

Isi: 

KEMULIAAN DAN DAMAI SEJAHTERA


Malaikat

Pada malam ketika Tuhan Yesus dilahirkan, para malaikat dan bala tentara surga memuji Allah dan berkata, "KEMULIAAN BAGI ALLAH DI TEMPAT YANG MAHA TINGGI DAN DAMAI SEJAHTERA DI BUMI DI ANTARA MANUSIA YANG BERKENAN KEPADANYA" (Lukas 2:14). Betapa sederhananya kedua kalimat pujian tersebut, namun di dalamnya terkandung dua pemberitaan penting, yakni: KEMULIAAN dan DAMAI SEJAHTERA. Berita pertama berkenaan dengan yang berada di tempat yang mahatinggi dan berita kedua berkenaan dengan yang berada di bumi. Di tempat yang mahatinggi ada KEMULIAAN dan di bumi ada DAMAI SEJAHTERA. KEMULIAAN dan DAMAI SEJAHTERA saling berkaitan erat, tetapi urutannya terlebih dahulu harus ada KEMULIAAN di tempat yang mahatinggi, barulah kemudian ada DAMAI SEJAHTERA di bumi. Jika kita terlebih dahulu mengutamakan KEMULIAAN di surga, barulah kita bisa mendapatkan DAMAI SEJAHTERA Allah di bumi.

  1. Malaikat Allah memproklamasikan, "KEMULIAAN BAGI ALLAH DI TEMPAT YANG MAHATINGGI" -- Walaupun Tuhan Yesus dilahirkan di dalam palungan yang hina, namun kelahiran tersebut memuliakan Allah.
    1. Ia dilahirkan oleh seorang anak dara, hal ini membuktikan kesejatian nubuat para nabi Allah.
      Kira-kira tujuh ratus tahun sebelum kelahiran Tuhan Yesus, Allah bernubuat melalui nabi Yesaya, "Seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Immanuel" (Yes. 7:14). Kelahiran dari seorang anak dara adalah peristiwa yang ajaib di dunia ini. Selain dari anak dara Maria yang mengandung dari Roh Kudus dan melahirkan Tuhan Yesus, sepanjang sejarah umat manusia tidak pernah terjadi peristiwa yang sama ini sebab hal ini adalah peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam. Jikalau bukan Allah sendiri yang memberikan janji itu dan menggenapi-Nya, mustahillah peristiwa ini akan terjadi. Tuhan Yesus dilahirkan dari anak dara mutlak bukanlah perbuatan manusia, mutlak bukan suatu kisah dongeng karena ada fakta sejarah. Dan hal ini merupakan perbuatan kuat kuasa Allah yang melampaui sejarah dan alam. Dengan demikian, bukankah sudah sepantasnya KEMULIAAN diberikan kepada Allah di tempat yang mahatinggi?>
    2. Kelahiran Tuhan Yesus membuktikan besarnya kasih Allah kepada umat manusia.
      Ketika nabi Yesaya bernubuat, "Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan kepada kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasehat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaan-Nya, karena Ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya" (Yes. 9:5-6).
      Orang Israel yang merindukan kedatangan Mesias ingin menyaksikan kedatangan-Nya di antara mereka karena Dialah yang akan mengadakan penyelamatan besar bagi mereka. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa Mesias ini -- Tuhan Yesus yang begitu hina dan papa dilahirkan dalam palungan. Palungan yang kotor bagaimana dapat diserasikan dengan Allah yang Perkasa, Bapa yang kekal? "Ia yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia" (Fil. 2:6-7). Kesungguhan kenosis-Nya (pengosongan Diri-Nya) itulah yang menunjukkan hormat dan kemuliaan-Nya. Pemazmur berkata, "Aku hendak bersyukur sangat kepada Tuhan dengan mulutku, dan aku hendak memuji-muji Dia di tengah-tengah orang banyak. Sebab Ia berdiri di sebelah kanan orang miskin untuk menyelamatkannya dari orang-orang yang menghukumnya" (Maz. 109:30-31).
  2. Malaikat Allah juga memproklamirkan, "DAMAI SEJAHTERA DI BUMI DI ANTARA MANUSIA YANG BERKENAN KEPADANYA." Sebenarnya, kelahiran Tuhan Yesus tidak mengakibatkan DAMAI SEJAHTERA bagi bumi; kelahiran-Nya malah mengakibatkan kecemburuan serta ketidaktenangan hati raja, sehingga mendatangkan terjadinya pembunuhan kanak-kanak di bawah usia dua tahun di seluruh tanah Yudea. Ketika Ia mulai menjalankan pelayanan-Nya di bumi ini, tidak ada sambutan yang baik dari manusia, Ia ditolak bahkan timbul pula perpecahan di bumi ini karena Dia. Tuhan Yesus sendiri bersabda, "Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari sekarang, akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga" (Luk. 12:51-53; Mat. 10:34-36). Jika demikian, mengapa malaikat berkata "DAMAI SEJAHTERA di bumi bagi manusia yang berkenan kepada-Nya"? DAMAI SEJAHTERA macam apakah yang dimaksudkan malaikat Allah itu?
    1. DAMAI SEJAHTERA yang didatangkan karena berdamai dengan Allah.
      Jikalau manusia tidak mengenal Allah, ia tidak akan memiliki DAMAI SEJAHTERA, sebab pemazmur berkata, "Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu, dan karena kehangatan amarah-Mu kami terkejut. Engkau menaruh kesalahan kami dihadapan-Mu, dan dosa kami yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu" (Maz. 90:7-8). Sebab itu, jika manusia ingin mendapatkan DAMAI SEJAHTERA, ia harus terlebih dahulu berdamai dengan Allah, -- yakni Sumber DAMAI SEJAHTERA itu. Namun, oleh karena Allah adalah kudus dan adil, sedangkan manusia adalah berdosa, bagaimanakah orang berdosa dapat mendekatkan diri dengan Allah yang kudus? Rasul Paulus berkata, "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus" (Rom. 5:1). Karena di atas kayu salib, Tuhan Yesus telah menjadi Korban penebusan dosa bagi kita sehingga orang yang percaya kepada-Nya, dosanya diampuni serta diperdamaikan dengan Allah. Kesukacitaan dan DAMAI SEJAHTERA yang diberikan karena pembenaran oleh iman ini tidak lain adalah DAMAI SEJAHTERA yang dibawa Tuhan Yesus melalui kelahiran-Nya.

    2. DAMAI SEJAHTERA di dalam Kristus.
      DAMAI SEJAHTERA yang kita peroleh karena berdamai dengan Allah ini, juga adalah DAMAI SEJAHTERA karena jiwa kita diselamatkan oleh Tuhan, juga merupakan DAMAI SEJAHTERA dalam kehidupan kita. Namun, manusia berada di tengah pergolakan dunia, di mana perubahan politik dan ekonomi sangat tidak menentu, beban kehidupan yang semakin berat, serta penantian masa depan yang masih merupakan tanda tanya bagi kita. Kesemuanya ini mengakibatkan banyak orang Kristen kehilangan DAMAI SEJAHTERA dan kesukacitaan dalam hati. Tuhan Yesus bersabda, "DAMAI SEJAHTERA-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu" (Yoh. 14:27). Maka bagaimana pun besarnya bahaya dan pergolakan bumi, betapa pun besarnya penderitaan, kesemuanya ini tidak mampu mengguncangkan hati kita. Jikalau kita berada dalam Kristus, kita memiliki DAMAI SEJAHTERA Tuhan, dan DAMAI SEJAHTERA ini tidak dapat direbut oleh dunia ini, bahkan DAMAI SEJAHTERA ini akan membawa kita untuk mengalahkan dunia.
      Rasul Paulus berkata, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. DAMAI SEJAHTERA Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus" (Fil. 4:6-7). Hendaklah orang Kristen belajar bagaimana mendapatkan DAMAI SEJAHTERA dalam Kristus. Bukan saja menyerahkan hidup kita ke dalam tangan-Nya, juga belajar untuk tidak kuatir, belajar untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, melalui doa dan ucapan syukur menyatakan segala sesuatu kepada Tuhan; dengan yakin bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Dengan demikian, hati dan pikiran kita akan beroleh perlindungan Tuhan dan DAMAI SEJAHTERA yang sempurna kita miliki. Keadaan boleh berubah-ubah, tetapi hati kita tidak akan bimbang dan gelisah karena DAMAI SEJAHTERA telah dikaruniakan Tuhan kepada orang yang berkenan kepada-Nya.
      Dewasa ini, dunia dipenuhi oleh ketidakpercayaan dan kedurhakaan kepada Tuhan, hati manusia jauh dari Allah, mereka menyembah kepada kesia-siaan, meninggikan diri, serta menyangkal keberadaan Allah. Apa yang kita saksikan dengan mata, dan yang kita dengar melalui telinga; semuanya adalah kisah penipuan, kekejaman, kecongkakan, kepalsuan, kebobrokan, dan kejahatan manusia semata-mata. Menghadapi semua fakta ini, apa yang sudah dilakukan oleh anak-anak Allah di dunia ini? Semoga peringatan hari Natal -- hari kelahiran Tuhan Yesus -- menggemakan pemberitaan serta puji-pujian yang sama seperti yang dinyanyikan para malaikat dan bala tentara surga tersebut, yakni "KEMULIAAN BAGI ALLAH DI TEMPAT YANG MAHATINGGI, DAN DAMAI SEJAHTERA DI BUMI DI ANTARA MANUSIA YANG BERKENAN KEPADA-NYA."
Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buletin: Berita SAAT 1998
Judul artikel: Kemuliaan dan Damai Sejahtera
Penulis : Pdt. Albert Konaniah
Halaman : 1 -- 2

NATAL AKBAR 2007

Hadirilah ....


NATAL AKBAR 2007

PELAKSANAAN:

HARI/TANGGAL : Kamis, 13 Desember 2007
PUKUL : 18.30 -- 21.00 WIB
TEMPAT : Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Ngagel Jaya
Ruko RMI Blok K1-3A (Eks. Kebun Bibit)
ALAMAT : Jl. Ngagel Jaya Selatan, Surabaya
TELP. : (031) 5047759; 5055754

CONTACT PERSON: selengkapnya...»

Pentingnya Pekerjaan Anda di Mata Tuhan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan ke mailbox Anda ini sudah cukup panjang. Jadi, saya tidak perlu menambah dengan komentar lagi. Saya hanya ingin menegaskan bahwa artikel ini akan menjadi jawaban dari dua pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh orang awam.

  1. Mengapa Tuhan menempatkan saya di dunia "sekular" (di mana Tuhan dianggap tidak ada)?
  2. "Bagaimana saya membawa Tuhan ke dunia "sekular" (di mana Tuhan dianggap tidak ada?)

Selamat menemukan jawabannya.

In Christ, Yulia < yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 

Neil Hood

Edisi: 

093/XI/2007

Tanggal: 

19-11-2007

Isi: 
Pentingnya Pekerjaan Anda di Mata Tuhan

Pentingnya Pekerjaan Anda di Mata Tuhan

"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh. 1:14)

Sebelum kita melihat lebih jauh mengenai bagaimana memahami dunia kerja melalui sudut pandang alkitabiah, kita perlu mempertimbangkan bagaimana Tuhan memandang pekerjaan kita. Jika kita tidak tahu apa arti pekerjaan kita dan dampaknya bagi Tuhan dan kerajaan-Nya, kita berisiko memandang iman dalam bekerja sebagai sesuatu yang tak penting. Topik ini menghadirkan dua pertanyaan pokok dan kemudian kita akan melihat sekilas apa yang dikatakan Alkitab mengenai sikap yang Tuhan inginkan dalam kita bekerja.

Apa istimewanya pekerjaan saya?

bekerja

Kita akan membahas beberapa prinsip berkenaan dengan pekerjaan secara mendalam dan praktis sembari kita berusaha mencari jawaban atas pertanyaan utama: "Pekerjaan siapakah ini sebenarnya?" Sangat mudah bagi kita untuk terjebak dalam rutinitas sehari-hari -- keasyikan dalam mengerjakan tugas dan memenuhi tenggat waktu, pentingnya menanggapi tekanan, dan tuntutan kerja yang berubah-ubah -- sehingga kita tidak lagi bepikir bahwa sebenarnya pekerjaan kita berarti untuk Tuhan. Orang Kristen dianjurkan untuk memulai harinya bersama Tuhan dan menegaskan kembali tujuan dan misinya dalam bekerja. Namun, kedisiplinan untuk melakukan anjuran itu sangat mudah sekali dilindas oleh semangat dan kesibukan dalam bekerja. Kedisiplinan itu memang penting, tapi itu saja tidak cukup untuk membuat kita sadar bahwa pekerjaan yang kita lakukan, demikian halnya dengan sikap kita saat bekerja, benar-benar berarti bagi Tuhan. Jika saya dapat memahami tujuan Tuhan dalam pekerjaan saya, sejauh manakah saya dapat memahaminya? Dengan segala aspeknya, pekerjaan dapat membuat kita sangat sibuk saat jam kerja (dan jam di luar jam kerja) sehingga kita melupakan rencana indah di balik posisi yang Tuhan berikan kepada kita sekarang ini. Malahan, banyak orang Kristen tidak menyadari bahwa ada rencana di balik semua hal yang kita lakukan.

Ada banyak orang (termasuk orang Kristen) yang akan membuat Anda bosan selama berjam-jam saat mereka menceritakan segala rincian tentang apa yang istimewa dari pekerjaan mereka. Mereka bisa dengan kesungguhan menjawab pertanyaan, "Apa istimewanya pekerjaan saya?" Sisi negatifnya, jenis pembicaraan seperti ini menyingkapkan keistimewaan diri, kekuasaan, status profesional, permainan kekuasaan, dan sebagainya. Sedangkan sisi positifnya, semua orang perlu memiliki pemikiran bahwa pekerjaan mereka berarti dan berperan dalam kebutuhan mereka dan dalam masyarakat. Walaupun kenyataannya ada orang-orang yang tidak suka membicarakan pekerjaan mereka. Kita mencari jawaban untuk pertanyaan yang sedikit berbeda, yaitu "Apa istimewanya pekerjaan saya bagi Tuhan?" Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kehendak Tuhan atas para murid-Nya. Sangat tidak mungkin jika Tuhan yang memanggil kita untuk mengikut-Nya, tidak memiliki tujuan saat menempatkan kita pada tempat di mana kita menghabiskan dua pertiga waktu kita dan setengah dari hidup kita. Menyangkali tujuan Tuhan berarti menganggap panggilan itu hanya setengah-setengah dan pemuridan itu adalah palsu. Untuk memahami arti pemuridan, kita perlu mempertimbangkan semangat dan sikap kita dalam bekerja. Doa John Oxenham sangat menantang: "Tuhan, ubahlah rutinitas pekerjaan menjadi perayaan kasih". Saya menyadari bahwa saya takkan pernah dapat melakukan hal itu sampai saya bisa menjawab pertanyaan utama kita. Jadi, saya harus menanyakan apa sebenarnya keistimewaan pekerjaan saya bagi Tuhan? Sikap seperti apa yang Tuhan ingin saya lakukan dalam bekerja? Empat sikap ilahi berikut akan menuntun kita kepada jawabannya.

Menjadi saksi

Kita bisa menerapkan Amanat Agung Yesus hanya jika kita bersedia menerima dan menaati perintah-Nya. "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat. 28:18-20). Karena ayat ini tidak menjelaskan secara gamblang mengenai pekerjaan sekular, sulit untuk melihat bagaimana murid yang potensial bisa dijangkau atau diajar tanpa perlu melibatkan diri dengan mereka dalam situasi kerja. Yesus tidak hanya bekerja sebagai tukang kayu, Ia juga mengunjungi orang- orang di tempat kerja mereka (di perahu, kantor pemungut pajak, dsb.) dan menantang serta mengajar mereka menerapkan iman mereka dalam situasi kerja.

Amanat Agung meliputi perintah untuk mengajar semua bangsa "segala sesuatu" yang diperintahkan Yesus -- dan Ia mengajarkan banyak hal tentang sikap dalam bekerja! Sikap Yesus terhadap pekerjaan kita adalah kunci mengapa pekerjaan kita penting dan yang akan menghancurkan pemikiran kita bahwa iman dan pekerjaan itu harus dipisahkan. Mungkin tempat kerja kita adalah satu-satunya tempat di mana rekan kerja kita bisa mengenal kekristenan. Akan tetapi, apakah itu berarti kita harus memprioritaskan penginjilan di tempat kerja kita? Jika memang demikian, pekerjaan yang kita lakukan sekarang akan menjadi pekerjaan sambilan yang tidak terlalu penting. Mungkin kemudian kita menganggap pekerjaan kita "hanyalah sebuah pekerjaan" dan sebuah sarana untuk mencapai tujuan akhir. Dengan sikap seperti itu, kita tidak akan memuliakan Tuhan melalui performa dan sikap kita dalam bekerja. Pekerjaan kita kemudian akan tidak sesuai dengan beberapa aturan standar yang ada di Alkitab. Efesus, misalnya, mendorong murid untuk "... dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan" (Ef. 6:7-8). Ayat tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa Tuhan mengharapkan sebuah pekerjaan yang dikerjakan dengan sangat baik karena dari situlah kesaksian yang efektif akan muncul. Kombinasi pekerjaan yang seperti itulah yang Ia inginkan. Kekristenan akan bekerja saat kita menjadi teladan yang hidup.

Dibentuk oleh Tuhan

Saya memerlukan beberapa waktu untuk bisa melihat bagaimana Tuhan telah memakai pengalaman kerja saya yang beragam -- yang baik dan yang buruk -- guna membentuk saya untuk kepentingan pelayanannya. Terkadang sulit untuk kita pahami bagaimana Tuhan membentuk hidup kita ketika atasan kita selalu dipuji atau selalu dapat menghadapi konflik dalam semua hubungan kerjanya, atau ketika rekan kerja kita bersikap sinis terhadap agama kita. Pengalaman seperti itu nampaknya bukanlah suatu pembentukan yang positif. Namun, bagi kebanyakan orang, tempat di mana kita bekerja dan menghabiskan sebagian besar hidup, berperan penting bagi perkembangan iman kita kepada Tuhan. Dan, setiap kita telah dibentuk dengan cara yang berbeda. Terkadang, semakin buruk situasi kerja kita, semakin teguh kita memegang iman kita. Tuhan tidak selalu mengubahkan pekerjaan, tetapi Ia mengubah pekerja-Nya. Paulus mengaitkan proses ilahi itu dalam frasa "kita adalah ciptaan Tuhan" (Ef.2:10) -- secara harafiah, ini berarti kita adalah hasil karya-Nya yang hidup, dengan segala keterampilan dan keunikan yang terpancar darinya. Melalui proses "berjalan dalam Roh" (Gal. 5:25), kita telah menjadi seperti itu.

Sayangnya, tidak semua orang Kristen teguh ketika melalui ujian itu. Saya mengenal begitu banyak profesional Kristen muda yang dibentuk oleh ambisi, uang, dan kekuasaan daripada oleh iman. Hubungan mereka dengan Tuhan adalah hubungan yang salah. Sebaliknya, lihatlah bagimana kemampuan Yusuf dalam memimpin Mesir diasah oleh pengalamannya dibuang dan diperbudak. Proses hidup yang menyakitkan itu membawanya ke dalam istana dan posisi istimewa dalam kepemimpinan. Daniel juga berubah dari seorang tawanan menjadi seorang pemimpin yang memimpin sepertiga kerajaan Babilonia. Dari awal, perannya sebagai saksi dalam pekerjaan sangat luar biasa. Dalam hal performa kerja, dia dan teman-temannya lebih baik sepuluh kali lipat daripada mereka yang tidak mengenal Tuhan (Dan. 1:20). Kebanyakan dari kita sudah merasa senang bila kita lebih baik dua kali lipat daripada orang lain. Jika kita mengizinkan Tuhan membentuk kita sesuai keinginan-Nya, Ia akan memiliki pelayan- pelayan handal di tempat kita bekerja. Terkadang ada kehampaan dalam kita bekerja -- kehampaan yang muncul akibat penolakan kita terhadap tujuan-Nya.

Tuhan mengharapkan sebuah pekerjaan yang dikerjakan dengan sangat baik karena dari situlah kesaksian yang efektif akan muncul.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Prinsip bagaimana kita memandang pekerjaan dalam konteks hubungan yang benar dengan Tuhan mencakup banyak bidang pekerjaan. Kita semua perlu mengetahui jawaban pertanyaan "pekerjaan siapakah ini sebenarnya?" Dalam kitab Kolose, misalnya, dikatakan untuk budak (kelas masyarakat yang paling rendah): "taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. (Kol. 3:22-24)" Kita jarang membayangkan pekerjaan kasar, rendah, dan buruk yang dilakukan oleh budak-budak pada masa itu. Namun, Tuhan sendiri menghargai pekerjaan itu karena pekerjaan itu dilakukan untuk-Nya. Sebaliknya, anggota masyarakat yang paling berkuasa yang telah menjadi Kristen diminta untuk bersikap lain dari pada yang biasa mereka lakukan di masa lalu. Di dunia di mana budak tidak memiliki suatu hak apa pun juga, Tuhan memerintah para penguasa: "berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga" (Kol. 4:1). Sungguh suatu cerminan dampak Roh Kudus dalam hidup mereka! Kristus memperkenalkan dua kelas masyarakat itu kepada dimensi pekerjaan mereka yang lebih tinggi, kepada apa yang menjadi kewajiban mereka dalam bekerja. Yesus Kristus mengingatkan mereka bahwa Ialah penguasa lingkungan kerja mereka. Mungkin mengejutkan bahwa asumsi dari ayat itu adalah Tuhan mendominasi pekerjaan kita. Mungkin kita bisa membatasi-Nya, tapi itu jelas bukan rencana-Nya. Kita harus masuk dalam rencana-Nya!

Menyaksikan kasih Tuhan dalam tindakan

Menyaksikan kasih Tuhan memang berkaitan dengan peran khusus kita sebagai saksi, lebih spesifik dengan sikap kita dalam pekerjaan. Kini kita berada dalam bagian yang sulit. Perilaku kerja orang Kristen banyak yang tidak menunjukkan keilahian Tuhan. Beberapa orang Kristen cenderung dikarakterisasi oleh kekakuan, kearoganan, kepicikan, dan mulut besar mereka daripada keilahian Tuhan. Kelemahan gereja yang paling besar adalah kehidupan jemaatnya yang tidak mencerminkan Kristus. C.H. Spurgeon pernah menyatakan, "Jika pengetahuan teologi Anda tidak bisa mengubah Anda, maka nasib Anda juga tidak bisa berubah." Ketika ditanya tentang perintah Allah yang terbesar, Yesus menjawab, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." ... Dan yang kedua adalah: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37,39). Hal tersebut adalah sebuah mandat yang menantang -- mengasihi Tuhan, sesama, dan diri kita sendiri. Makna praktis mandat tersebut sangat luas. Mengasihi Tuhan memerlukan ketaatan. Seberapa sering kita merenungkan pekerjaan dan sikap kita dalam bekerja? Seberapa sering kita bertanya apakah dan di mana kasih Tuhan nyata dalam sikap kita? Haruskah kasih kita kepada Tuhan tampak dalam cara kita memperlakukan orang, cara kerja, kinerja, motivasi kita, dsb.? Misalnya, bagaimana kasih itu bisa tampak ketika melayani pelanggan yang merepotkan di toko? Bagaimana kasih itu bisa tampak dalam hubungan seorang manajer dengan pegawai yang kaku? Dalam kehidupan seorang perawat yang kelelahan merawat pasien yang tidak tahu terima kasih? Kita mungkin tergoda untuk menanyakan, "Apa hubungan kasih dengan pekerjaanku?" Jawaban Alkitabiah untuk pertanyaan itu adalah -- segalanya.

Namun ada sebuah misteri dan kenyataan dalam hal ini. Tuhan bisa saja dengan mudah mengkloning kita saat Ia memanggil kita. Namun, ternyata Ia memanggil kita dengan segala kesalahan kita. Dan, melalui kuasa Roh Kudus, Tuhan mampu mengubah kita sehingga kita bisa mengekspresikan kasih-Nya dalam tindakan dan pekerjaan kita. Seperti itulah seharusnya seorang tukang kayu, bankir, sopir truk, dokter, tukang ledeng, atau guru dalam mengerjakan pekerjaan Tuhan. Sebagian dari kasih ini dinyatakan melalui hubungan di tempat kerja. Selain itu, kasih juga harus terlihat nyata melalui bentuk pelayanan kita yang lain seperti membantu sesama dan peduli kepada keluarga dan mereka yang membutuhkan. Meskipun William Tyndale mengatakan beberapa abad yang lalu, tetapi perkataannya itu sepenuhnya alkitabiah dan tidak ketinggalan zaman dalam penerapannya. "Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dalam menyukakan Tuhan; menuangkan air, mencuci piring, menjadi tukang sepatu, atau rasul, semuanya sama; mencuci piring dan berkhotbah adalah sama, semuanya untuk menyenangkan Tuhan."

Untuk memuliakan Tuhan

Dalam hal yang penting ini, kita menghadapi tantangan besar. Dalam pekerjaan, kita dituntut untuk memimpin orang-orang yang berinteraksi dengan kita untuk bersyukur dan memuliakan-Nya. Mungkin Anda bertanya, untuk apa? Untuk mereka melihat Kristus dalam diri kita; untuk mereka melihat perbedaan yang disebabkan oleh Roh dalam hidup kita, untuk mereka melihat perbuatan kita yang menyatakan kasih Kristus; untuk mereka melihat penyataan iman kita; untuk mereka melihat integritas kita, untuk mereka melihat kepedulian kita terhadap orang lain, dsb.. Kalimat "supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya" (Ef. 1:12) menyiratkan hal itu, bahkan lebih. Sangat mudah untuk menyerah dan mengatakan bahwa panggilan ini adalah mustahil karena beberapa alasan. "Saya bekerja dengan orang-orang yang tidak mengenal atau memuji Tuhan"; "tidak ada seorang pun di sini yang berpikiran seperti itu -- jika saya seorang yang baik, mereka tidak akan tahu kepada siapa mereka harus berterima kasih (itu pun jika mereka terpikir untuk berterima kasih)"; "orang-orang memerhatikan perbedaan, namun hanya dalam hal yang umum -- baik atau buruk, ramah atau kasar, dll. -- mengapa mereka perlu sebuah alasan?"; "situasi kerja di sini sangat tidak menyenangkan, Tuhan tidak mungkin akan dimuliakan di sini". Semua tanggapan ini mengarah kepada satu jawaban yang masuk akal. Saya harus hidup sebagai pengikut Kristus dan berbicara tentang-Nya. Bagaimana lagi orang Kristen harus bersikap? Orang Kristen terpanggil untuk menjadi lebih dari sekadar "orang yang baik". Hal itu menghadirkan masalah untuk beberapa orang Kristen. Mereka berpendapat, lebih baik bertindak daripada berbicara. Sebenarnya, keduanya penting. Kebanyakan dari kita tinggal dalam dunia yang maju, di tengah masyarakat yang mungkin post-Kristen. Banyak orang yang lupa akan arti mengikut Kristus. Menurut mereka, menjadi orang Kristen bukanlah menjadi sesuatu yang berbeda, sama saja. Orang lain membutuhkan penjelasan mengapa kita melakukan hal tertentu, dan kita harus menjelaskannya kepada mereka.

Penulis Perjanjian Baru dengan konsisten mengatakan kepada kita bahwa kemuliaan sifat, karakter, kekuasaan, dan tujuan Allah terlihat dalam diri Yesus. Seperti yang dikatakan penulis kitab Ibrani, misalnya, "Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan" (Ibr. 1:3). Yohanes menulis sabda Allah melalui Alkitab dengan kuasa Roh Kudus. Yesus ada dalam diri kita melalui Roh Kudus -- dan saat ini kita memang menjadi bagian dari sabda-Nya. Dalam segala hal, pekerjaan "memuliakan" tetap diteruskan melalui kita. Namun, bagaimana kita tahu bahwa kita memuliakan Tuhan? Mungkin kita tidak akan pernah menyadarinya. Memang, ada alat untuk mengetahui tingkat kolesterol, tekanan darah, atau keadaan jantung kita, tetapi tidak ada yang namanya "alat pengukur kemuliaan". Namun, kita diyakinkan bahwa Tuhan senang karena kita menaati panggilan-Nya, dan ketaatan itu akan dengan sendirinya membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Tugas kita adalah mengatur pekerjaan kita, dan Tuhan yang akan menilai hasilnya.

Namun begitu, ada aspek lain yang juga penting dalam memuliakan Tuhan. Dalam Alkitab, pekerjaan dan penyembahan sangat berkaitan. Bahkan, kata "bekerja" dalam bahasa Ibrani terkadang diartikan sebagai `penyembahan`. Mark Greene mengaitkannya setelah mengamati bahwa "bekerja adalah kata yang dibentuk oleh tujuh huruf"[1]. Ketika seorang Kristen bekerja, dia juga sedang menyembah. Apakah Anda merasa sudah melakukannya setiap hari? Cara kerja dan cara menyikapi pekerjaan yang buruk akan mengarah kepada penyembahan yang berkualitas buruk pula -- atau tidak menyembah sama sekali. Jika itu terjadi, kemuliaan Allah sedang dirampok sebanyak dua laki lipat -- karena kita tidak mendorong orang lain untuk memuliakan-Nya karena kita sendiri pun tidak memuliakan-Nya.

Doa Daud, ketika dia mempersiapkan Bait Allah yang kelak akan dibangun oleh anaknya, Salomo, menyiratkan pola penyembahan dalam Alkitab: "Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala" (1 Taw. 29:11).

Yesus mengambil inti dari doa itu yang kemudian Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya (Mat.6:9-13). Seperti yang dikatakan William Barclay, "Saya tidak bisa mengatakan amin (untuk doa itu) kecuali saya bisa mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Karena bagaimanapun juga itu adalah doa saya." Sungguh-sungguh suatu tantangan yang besar untuk memuliakan Tuhan dalam hidup dan pekerjaan kita [2].

Aksi:

Kita telah membahas empat cara agar pekerjaan kita bisa memuliakan Tuhan. Periksa dan nilailah pekerjaan Anda sekarang berdasar empat prinsip ini. Berdoalah agar Anda mampu bersikap jujur dan objektif. Kita semua perlu belajar banyak dan mencoba menerapkannya dengan lebih baik. Bagaimana Anda menjawab pertanyaan, "Apa pentingnya pekerjaanku bagi Tuhan?"

Apakah Tuhan tercermin dalam sikap kerjaku?

menjadi saksi

Sikap kerja kita berperan penting dalam menentukan peran unik kita nantinya. Ketika Anda mengerjakan beberapa aksi di atas, Anda mungkin merasakan kepedihan akan sikap Anda yang sekarang. Saya sendiri merasakan seperti itu. Mari kita bahas hal ini lebih dalam dengan melihat "semangat zaman" ini. Bagaimana dan di mana semangat zaman ini bisa memengaruhi kerja kita yang begitu dipedulikan Tuhan? Saya mencari profil seseorang atau perusahaan untuk mengetahui sikap yang umum dilakukan dalam bekerja. Saya tidak butuh waktu lama untuk menemukan apa yang saya cari -- profil-profil seperti itu banyak terdapat dalam media massa dan pelatihan yang ada di seluruh dunia. Mereka inilah yang membentuk opini yang memengaruhi kita dalam menetapkan konteks mengenai bagaimana orang Kristen harus bekerja. Inilah sepuluh pandangan mereka tentang diri mereka sendiri atau orang lain yang mereka kagumi.

  1. Ia selalu memiliki sikap bersaing tanpa pikir panjang.
  2. Orang ini selalu ingin menjadi penguasa setiap saat.
  3. Ia penuh dengan ambisi.
  4. Agar berhasil, semua orang harus dipandang sebagai musuh.
  5. Pekerjaan adalah mesin promosi untuk diri sendiri.
  6. Dalam segala hal, moralitas tidak penting -- yang penting adalah hasil akhir.
  7. Rahasia sukses adalah pertama-tama menemukan cara bagaimana menghasilkan uang dengan cepat.
  8. Budaya kerja 24-7 sangat cocok; berkeluarga tidak penting.
  9. Selalu penuh dengan adrenalin, selalu melakukan sesuatu dengan semaksimal mungkin.
  10. Seorang pembentuk tim dikenal karena pendelegasian atau kepercayaannya -- tapi tidak keduanya.

Anda akan melihat betapa tegas dan kerasnya pernyataan-pernyataan di atas. Ada beberapa pernyataan yang sangat ekstrem, dan kebanyakan terkesan negatif. Ambisi dan persaingan memang dibutuhkan agar kinerja seseorang baik -- pada tingkat tertentu, hal itu akan membawa kemuliaan bagi Tuhan. Namun, bagian-bagian lain, seperti meniadakan moral atau tidak ingin berkeluarga, tidak bisa disebut sebagai prinsip orang Kristen. Anda mungkin mengenal banyak orang seperti itu atau jangan-jangan Anda sendiri memiliki pemikiran seperti itu, tergantung dari jenis pekerjaan yang Anda lakukan. Mungkin Anda baru saja memulai karier dan mengabaikan hal ini, atau mungkin Anda berada di pertengahan karier dan semua ini terdengar seperti "memang seperti itulah bisnis". Bukan hanya "pemimpin dunia industri" yang menggunakan pernyataan- pernyataan seperti itu. Saya sudah bertemu dengan orang-orang seperti ini dalam jalan kehidupan yang sangat berbeda. Banyak dari mereka yang mengganggap bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah suatu kehormatan. Meskipun ada yang melecehkan sikap-sikap seperti itu, tetapi pada kenyataannya banyak yang memercayai dan melakukannya. Dan, sebagian dari mereka adalah orang-orang Kristen.

Kini kita tahu bahwa pekerjaan kita berarti untuk Tuhan -- setidaknya itulah yang diharapkan Tuhan. Namun, berarti atau tidaknya pekerjaaan kita tergantung dari sikap dan perilaku kita. Cermati lagi kesepuluh perilaku di atas. Pikirkanlah kesepuluh hal itu sebagai tempat kita bercermin, yang mana yang ada pada diri Anda dan lingkungan kerja Anda.

Tanggapan:

Apakah Anda mengekspresikan salah satu dari karakteristik ekstrem di atas ketika Anda bekerja? Jika ya, pikirkanlah bagaimana sikap itu memengaruhi peran pekerjaan yang Tuhan inginkan. Jika Anda cukup berani, mintalah pendapat dari rekan kerja untuk melihat bagaimana mereka menanggapi Anda. Apa yang akan Anda lakukan untuk mengubah sikap yang tidak ilahi ini? Jika Anda memiliki karakteristik- karakteristik seperti itu, berdoalah agar Anda dilepaskan dari pencemarannya.

Sikap dalam pekerjaan yang Tuhan inginkan

Sang Pencipta tahu semua kelemahan dan kelebihan kita -- dan diberikan-Nyalah Alkitab sebagai penuntun hidup kita. Karena etika Kristen tidak dikembangkan dalam gereja atau untuk gereja, John Stott kemudian meneliti, "... konteks Perjanjian Baru bagi kehidupan Kristen adalah ramai, sibuk, dan menantang di tempat kerja dan lingkungan bisnis." [3] Apa yang kita lakukan di sini adalah mengaitkan apa yang telah lama terpisahkan. Kita bisa dengan yakin mengatakan Tuhan tidak bermaksud untuk memisahkan pekerjaan dan kehidupan dari iman. Dan untuk itu, Alkitab memiliki banyak pandangan yang sangat membantu untuk mengetahui sikap yang diperlukan untuk dapat bersaksi tentang Tuhan melalui pekerjaan kita. Segera, kita akan membahas ketiga sikap itu.

Bait Allah

Dalam 1 Korintus 3:16, Paulus mengemukakan pertanyaan, "Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?" (1 Kor. 3:16). Maksudnya adalah bahwa bait Allah itu sangat suci dan "Anda adalah bait itu. Ini adalah metafora yang sangat luar biasa dan memandang manusia dengan sangat tinggi. Bagi sebagian dari kita, pandangan ini mungkin terlalu tinggi. Apa yang dikatakan dalam ayat itu, mungkin sulit untuk kita penuhi -- terutama dalam lingkungan kerja. Meski begitu, nilai yang dimiliki orang Kristen di dunia ini terletak pada hubungan istimewa mereka dengan Tuhan. Itulah pekerjaan yang dimaksudkan Alkitab. Untuk itulah Kristus mati. Lebih jauh lagi, kita perlu bertanya pada diri sendiri mengenai kegiatan yang dilakukan dalam bait ini, di tempat yang sebenarnya adalah milik Tuhan. Siapa lagi yang tinggal di dalamnya? Apakah bait kita hanyalah sekadar bangunan sejarah atau tempat untuk menyembah dan bersaksi? Lebih dalam lagi, ini berarti bahwa Anda membawa serta Roh Kudus saat Anda bersikap tanpa kasih, mencaci maki orang lain atau bawahan Anda. Roh Kudus ada ketika Anda berbohong kepada seorang pelanggan tentang permasalahan produk yang Anda miliki. Roh Kudus melihat Anda sedang berbohong saat mengajukan klaim. Roh Kudus di sana, menunggu, ketika sebenarnya Anda memiliki kesempatan untuk bersaksi, tetapi tidak pernah menyatukan iman dan pekerjaan sebagai sebuah prinsip. Jika hal itu membuat Anda menangis, menangislah. Kadangkala, inilah fakta menyedihkan kehidupan seorang Kristen di tempat kerjanya. Masalahnya bukanlah bagaimana saya dapat hidup seperti Kristus, melainkan bagaimana saya mengizinkan Kristus hidup di dalam saya. Tubuh saya adalah rumah -- apakah Roh Kudus sudah tinggal di dalamnya?

Partner Allah

Bersekutu dan berbagi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan Kristen. Prinsip bersekutu mengakar dalam bidang bisnis dan komersial. Namun, hal ini sangat relevan dengan pembahasan kita. Tidak akan ada persekutuan jika kedua belah pihak tidak memiliki tujuan yang sama; harus ada alasan kuat untuk terlibat dalam hubungan tersebut, dan alasan itu harus mampu bertahan dalam keadaan baik ataupun buruk. Persekutuan jarang dapat bertahan lama jika salah satu pihak "tidur", atau bersikap pasif. Apakah Anda pernah "bersekutu dengan Kristus"? Apakah Anda pernah berpikir untuk melakukan (atau tak melakukan) pekerjaan Tuhan? Tanpa terkecuali, semua orang Kristen disebut sebagai rekan dalam anugerah Tuhan. Paulus mendapat gagasan ini saat ia bersyukur pada Tuhan karena "persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Fil. 1:5-6)." Sungguh melegakan karena Alkitab ternyata mengerti kebutuhan kita yang selalu membutuhkan bantuan untuk menjalankan peran kita. Selain kekuatan, persekutuan juga memerlukan semangat yang benar. Hal itu tidak bisa dijalankan bila saya merasa terpaksa membawa masuk Tuhan dalam kerja saya. Anda bisa beranggapan bahwa Tuhan mempunyai suatu pekerjaan untuk Anda lakukan bersama-sama di tempat kerja Anda; tetapi terkadang Anda tidak selalu menjadi rekan yang mau bekerja dengan-Nya.

Murid-murid Allah

Karakter orang Kristen sesungguhnya adalah sebagai murid. Ini merupakan tujuan hidup -- berdasar sikap rendah hati yang rindu untuk mengenal dengan lebih dalam tentang orang yang diikutinya. Bagi sebagian besar dari kita, kerja bisa menjadi lingkungan yang keras -- serta merupakan tempat di mana kita semua melakukan kesalahan. Aturan pertama untuk semua murid adalah mengakui bahwa orang lain mungkin benar dan dia bisa saja salah. Perkataan spontan, situasi yang tak terduga, rekan kerja yang tidak mau menolong adalah beberapa hal yang bisa menyebabkan perilaku kita tidak mencerminkan Kristus. Kita perlu ingat bahwa apa yang sedang kita pelajari adalah tentang kebesaran dan kemampuan Tuhan dalam mengatasi setiap tantangan-tantangan hidup kita. Orang lain perlu (beberapa orang ingin) untuk belajar dari kita. Banyak orang tidak membaca Alkitab. Dalam kehidupan kerja kita, kita tidak selalu mendengarnya dalam perkataan yang ditujukan untuk Filipus, "Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus" (Yoh. 12:21). Para pencari kebenaran dari Yunani ini menggambarkan kehausan akan Tuhan yang tidak selalu dimiliki sesama kita. "Permintaan" itu terkadang tidak diekspresikan; situasi kantor biasa-biasa saja, terkadang muncul pertanyaan yang sinis dan mencemooh, ada juga kata-kata celaan. Namun, pada kenyataannya, orang-orang memang mencari fakta dari pembelajaran dan kepengikutan kita akan Tuhan. Apa yang mereka lihat? Jika mereka mencatat di buku harian, apakah yang akan mereka tulis tentang "kehidupan seorang Kristen"?

Tantangan

Bahasan dalam artikel ini meliputi beberapa materi yang agak pribadi mengenai keinginan Tuhan, sikap kita, dan pekerjaan kita. Luangkanlah beberapa menit untuk merenungkan hal-hal berikut.

  1. Tentukan apa yang menurut Anda istimewa bagi Tuhan mengenai peran Anda dalam pekerjaan Anda saat ini. Sangat penting untuk menentukan sikap itu sekarang karena sikap inilah yang akan mempengaruhi hidup Anda selanjutnya.
  2. Selama beberapa tahun terakhir ini, apakah pekerjaan Anda lebih memberi pengaruh kepada diri Anda daripada Tuhan? Atau apakah Anda merasa bahwa Tuhan ikut bekerja sehingga Anda mampu mengatasi beragam sikap yang ada dalam lingkungan kerja Anda?
  3. Bagaimana Anda mengaitkan pekerjaan Anda yang sekarang ini sebagai "penyembahan"? Bandingkan dengan bagaimana Anda mempersiapkan dan keterlibatan Anda dalam penyembahan, dampaknya terhadap Anda, sikap Anda saat menyembah, seberapa fokus Anda, dsb..
  4. Bagaimana Anda bisa lebih memuliakan Tuhan melalui pekerjaan Anda? Atau apakah yang harus Anda mulai ubah agar Anda dapat lebih memuliakan-Nya?
  5. Saat Anda merenungkan tentang bait Allah, persekutuan, dan pemuridan, pikirkanlah mana yang paling relevan untuk Anda kaitkan dengan pekerjaan Anda?
  6. Satu kesimpulan yang bisa diambil oleh seorang Kristen dari bahasan di atas adalah: "Saya bekerja untuk Tuhan". Bisakah Anda mengatakan kalimat itu? (t/Lanny dan Dian)

Tambahan Catatan Kaki:

[1] Mark Greene, `Thank God It`s Monday; Ministry in the Workplace (London: Scripture Union, 1994), hal. 36.

[2] William Barclay, The Plain Man Looks at the Lord`s Prayer (London: Collins, 1964.

[3] John Stott, The Incomparable Christ (Leicester: IVP, 2001), hal 96-97.

Audio: Pentingnya Pekerjaan Anda di Mata Tuhan

Sumber: 

Diterjemahkan dari:
Judul buku : God`s Payroll: Whose Work is It anyway?
Judul bab : The Importance of Your Work in God`s Eyes.
Penulis : Neil Hood
Penerbit : Bell and Bain Ltd, Glasgow 2003
Halaman : 17 -- 26

REFORMATIONAL WORLDVIEW CHAPEL

Eksposisi Surat 1 Petrus
Pengkhotbah: Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.)

PELAKSANAAN:

Setiap hari Minggu, pukul 17.00 -- 18.30 WIB
Di R. Flamboyan Jakarta Design Centre Lt. 6, Slipi

Mulai bulan Desember 2007 kegiatan RWF di JDC berubah menjadi
pukul 12.30 - 17.00:

  • 12.30-14.30 - Public Lecture / ICS
  • 15.00-17.00 - Chapel

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Toni Afandi < administrator(at)rwfonline.org >

Untuk berkunjung ke situs:
http://www.rwfonline.org/aboutrwf

REFORMATIONAL WORLDVIEW CHAPEL

Eksposisi Surat 1 Petrus
Pengkhotbah: Pdt. Joshua Lie, Ph.D. (Cand.)

PELAKSANAAN:
Setiap hari Minggu, pukul 17.00 -- 18.30 WIB
Di R. Flamboyan Jakarta Design Centre Lt. 6, Slipi

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Toni Afandi < administrator(at)rwfonline.org >

Untuk berkunjung ke situs:
http://www.rwfonline.org/aboutrwf

Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi

Editorial: 

Salam,

Reformasi abad ke-16 yang dimotori oleh Martin Luther adalah momentum Illahi. Sebuah gerakan pembaharuan rohani yang muncul tepat pada puncak penduniawian gereja oleh Katolik Roma. Momen ini dapat ditafsirkan sebagai sejarah yang terulang sejak Reformasi Ezra dan Nehemia dalam sejarah umat Allah untuk pemurnian umat.

Dipublikasikannya 95 Tesis sebagai data akurat dan tidak terbantahkan yang disusun oleh Martin Luther untuk menunjukkan bukti penyimpangan ajaran dan korupsi gereja Katolik Roma di gerbang gereja Wittenburg adalah titik penentu keefektifan Reformasi ini. Efektivitas Reformasi yang terutama adalah revitalisasi religiusitas dan teologis. Reformasi adalah awal babak baru pemurnian iman dan pengajaran dalam gereja Tuhan dan menjadi penentu arah perkembangan teologi dan pengajaran di kemudian hari.

Calvin, penerus Luther, adalah salah seorang reformator yang mampu menafsirkan gerakan itu sebagai momen yang mampu merevitalisasi kehidupan religius dan teologia pada zamannya dan berefek sampai hari ini. Baginya, kebenaran ajaran dan teologi gereja ditentukan dan didasarkan pada Alkitab dan interpretasinya yang benar. Prinsip Sola Scriptura adalah penentu keberhasilan Reformasi. Dari prinsip ini akan ditemui prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti Sola Gratia dan Sola Fide, termasuk Sola Gloria.

Tugas Calvin, khususnya sebagai penafsir Alkitab, telah berhasil membawa Reformasi keluar dari mistikisme gereja; corak dominan pengajaran dan teologia gereja abad pertengahan, dengan cara menolak interpretasi Alkitab secara alegoris. Sebaliknya, Calvin, secara realistis sanggup memadukan doktrin dan mengajarkannya dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat secara sistematis dan alkitabiah. Calvin mampu mengajarkan kemuliaan Allah berdasarkan kebutuhan rohani pada zamannya yang secara esensi tidak bisa dilepaskan dari prinsip Alkitab. Gerakan Reformasi itu sangat biblikal karena menekankan pentingnya penafsiran Alkitab secara literal dan historis.

Alkitab adalah dasar Reformasi dan kedaulatan Allah adalah segala- galanya. Karena Reformasi sangat menekankan Alkitab dan kedaulatan Allah sebagai pusat teologi, maka pada era-era sekarang, teologi Reformasi cenderung menjadi "tolok ukur" untuk menguji teologia- teologia lainnya. Teologi Reformasi "mampu mengukur" konsistensi dan ketepatan, sekaligus mendeteksi penyimpangan berbagai aliran teologi. Dari sinilah prinsip Calvin, "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent" menjadi terkenal. Bagi Calvin, Alkitab dan Allah tidak dapat dipisahkan dalam pengajaran dan teologia alkitabiah. Inilah salah satu warisan Reformasi yang sangat berpengaruh sampai saat ini di samping warisan-warisan besar lainnya.

Untuk memperingati Hari Reformasi Gereja, yang akan diperingati tanggal 31 Oktober 2007 nanti, dan juga untuk mengingat kembali efektivitas gerakan Reformasi abad ke-16 yang lalu dan menguji kembali apakah kebenaran yang telah ditegakkan oleh para reformator, khususnya Calvin, tentang pentingnya Alkitab sebagai sumber final pengajaran dan teologi itu masih relevan, maka, tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito di bawah ini mencoba menganalisa kesinambungan esensi dan relevansi gerakan tersebut dalam pengajaran iman dan teologi Kristen hari ini.

Selamat memperingati Hari Reformasi Gereja!

Sola Gratia,
Riwon Alfrey

Penulis: 

Daniel Lucas Lukito

Edisi: 

092/X/2007 (15-10-2007)

Tanggal: 

15-10-2007

Isi: 

PENDAHULUAN

Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun saat itu Martin Luther -- juga kemudian John Calvin -- menentang ajaran gereja Katolik Roma, mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan Reformasi itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan dibangunkan agar berpaling pada "raison d`etre" dan vitalitasnya di bawah terang Injil.

Menurut ajaran gereja Katolik Roma pada zaman itu, gereja memiliki "gudang" penyimpanan anugerah berlimpah yang diperoleh dari orang- orang kudus yang perbuatan baiknya melampaui tuntutan kewajiban bagi keselamatan mereka. Itulah sebabnya, bagi mereka yang kekurangan anugerah, gereja sebagai sumber dapat menyalurkannya. Dari konsep pemikiran tersebut, meluncurlah ajaran tentang "surat penghapusan siksa" (indulgences) yang dapat diperjualbelikan. Bahkan Paus Sixtus IV, pada ca. 1460 mendeklarasikan bahwa khasiat dari surat penghapusan itu dapat ditransferkan kepada orang Kristen yang jiwanya "tersangkut" dalam purgatori atau (tempat) api penyucian.

Karena itulah, pada 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesis atau keberatan pada pintu sebuah gereja di Wittenberg. Ia mengajukan keberatan sekaligus protes yang isinya sebenarnya ditujukan kepada penyimpangan ajaran dan korupsi gereja, khususnya dalam hal penjualan "surat penghapusan siksa" di mana seakan-akan pengampunan dosa itu sendiri dapat diperoleh secara kontribusional atau komersial.[1] Jadi, tujuan Luther yang sepolos-polosnya dan semurni-murninya ialah mengembalikan gereja pada esensi yang sesungguhnya dari iman Kristen.

Memang secara umum, istilah "reformasi" menunjuk pada adanya suatu penyimpangan atau penyelewengan yang dienyahkan serta adanya suatu usaha penataan kembali terhadap hal-hal yang esensial. Singkatnya, terdapat koreksi dan perbaikan dari sebuah keadaan. Sebagai contoh, Raja Hizkia (2Raj. 18:1-18) jelas mengadakan suatu reformasi berupa pemberantasan terhadap penyimpangan di dalam ibadah, serta perpalingan kembali untuk menyembah Yahweh. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja Yosia (2Raj. 23:4-20); ia mengoreksi peribadatan bangsa Israel yang korup, sekaligus mengembalikan bangsanya pada penyembahan yang benar (ay. 21-23).

Dalam sejarah gereja, Reformasi (dengan huruf "r" kapital) menunjuk pada pembaruan terhadap gereja melalui usaha yang tidak jauh berbeda dengan dua kejadian di atas. Gereja seolah-olah direvitalisasikan atau dihidupkan kembali agar kembali pada sumber pemberi hidupnya, yaitu Allah dan firman-Nya. Jadi, Reformasi terhadap gereja pada abad 16 merupakan usaha pembaruan, bukan pemberontakan (It was a reform, not a revolt). Alasannya, kontinuitas terhadap sumber ajaran yang esensial itu tetap dipelihara. Kalaupun pada akhirnya berdiri gereja Protestan sebagai gereja yang baru, gereja itu sendiri sebenarnya adalah gereja yang lama dari zaman para rasul. Inti permasalahannya hanyalah gereja yang ada saat itu (gereja Katolik Roma) menolak usaha pengoreksian tersebut, bahkan menolak usaha pengembalian pada ajaran gereja yang rasuli. Hal ini juga berarti bahwa semua faktor (seperti kaitan sosial, politik, dan intelektual) yang menyertai peristiwa Reformasi abad 16 itu bukanlah faktor yang utama karena asal-usul dan maksud Reformasi itu sendiri bersifat religius dan teologis.

Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa kelanjutan dari Reformasi yang dikerjakan oleh Calvin, Melanchthon, Zwingli, Bucer, Oecolampadius, Farel, Beza, Bullinger, Knox, Ursinus, Olevianus, dan lainnya, semuanya tidak jauh berbeda dari Luther bila ditinjau dari esensi pemikiran dasarnya. Tulisan ini mencoba melihat teologi Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan iman Kristen pada masa kini. Karena keterbatasan ruang, penulis lebih banyak memfokuskan pembahasan pada pandangan J. Calvin (1509 -- 1564) tentang esensi Reformasi itu sendiri karena di dalam pemikiran Calvinlah kita dapat menemukan pemikiran dasar teologi Reformasi dalam struktur yang lebih mendalam dan sistematis.

ESENSI TEOLOGI REFORMASI

Calvin lebih dikenal sebagai juru sistematisir dari Reformasi yang dimulai oleh Luther. Meskipun ia adalah tokoh generasi kedua, ternyata ia sanggup memadukan doktrin dari Alkitab secara sistematis. Bila dilihat dari karyanya yang agung seperti "Institutes of the Christian Religion",[2] komentari, dan karya-karya tulis lainnya, tampaknya tidak ada seorang reformator pun baik sebelum atau sesudah Calvin yang sanggup melampaui karya-karyanya tersebut. Penulis sendiri merasa "iri" kepada kejeniusannya yang pada usia 27 tahun (tahun 1536) telah menghasilkan karya monumental (Institutio) untuk pertama kali.[3]

Mungkin ada sebagian orang mengira Calvin adalah seorang teolog yang aktivitasnya kebanyakan hanya di belakang meja tulis (zaman sekarang, di belakang meja komputer) dan menjadi seorang "scholar" yang nongkrong di atas "menara gading." Perkiraan seperti itu benar-benar keliru. Calvin pertama-tama adalah seorang gembala atau pendeta yang melayani di gereja. Di dalam pelayanan tersebut, ia berpikir dan menulis karya-karya teologinya selalu dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat.[4] Ia sendiri mengatakan hal ini dengan jelas di dalam edisi perdana dari "Institutio"-nya bahwa karya tersebut ditujukan "terutama untuk masyarakat awam Prancis, di mana banyak di antara mereka yang lapar dan haus akan (pengenalan pada) Kristus. Buku ini sendiri boleh dikata merupakan bentuk pengajaran yang sederhana dan elementer." Di dalam karya tersebut kita melihat catatan-catatan yang bersifat pastoral, pembinaan gereja, pendidikan agama Kristen di rumah dan gereja, bahan katekisasi, dan sejenisnya. Itu sebabnya, tidak mengherankan jika gereja yang dilayani oleh Calvin di Geneva menjadi gereja model bagi gerakan Reformasi.

Sekarang, bila kita hendak meninjau ciri-ciri teologi Reformasi satu per satu, ini tentu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin. Dari satu sisi, seseorang dapat mengembangkan ajaran tentang teosentrisitas Allah atau tentang kedaulatan Allah dalam teologi Reformasi. Dari sisi yang berbeda orang yang lain dapat menekankan keajaiban kasih karunia (sola gratia), atau tentang satu-satunya iman yang ajaib (sola fide). Dari sisi yang lebih spesifik, bisa saja orang yang lain lagi membicarakan epistemologi dari teologi Reformasi, atau tentang keunikan manusia, tentang keselamatan, tentang "covenant", predestinasi, kerajaan Allah, gereja, perjamuan kudus, kebudayaan, dan seterusnya. Apabila kesemuanya itu hendak dibahas atau ditinjau satu per satu, tidaklah menjadi masalah. Hanya saja, apabila seseorang mau menelusuri teologi Reformasi secara konsisten, ia harus mengakui bahwa esensi atau "benang merah" dari Reformasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the Scriptural principle).[5]

Sebagai contoh, Calvin sendiri membahas siapa Allah, siapa manusia, dan kaitan antara kedua tema itu. "True knowledge of man is unattainable without knowledge of the living God."[6] Namun, ia senantiasa menimba ajaran-ajaran tersebut dari prinsip dasar Alkitab. Singkatnya, "worldview" dan "lifeview"-nya selalu memiliki referensi yang tepat di dalam Alkitab. Sebagai gembala, pengkhotbah, ekseget dan teolog, ia selalu tidak terlepas relasinya dengan Alkitab. "Holy Scripture contains a perfect doctrine, to which one can add nothing .... "[7] Dengan demikian, dari satu segi, Calvin boleh dikata pertama-tama adalah seorang "biblical theologian", oleh karena ia memang betul-betul terlatih dan menguasai teknik-teknik eksegese yang berhubungan dengan penelitian sejarah dan tata bahasa Alkitab.

Melalui karya-karyanya, Calvin jelas menolak metode interpretasi dari teolog abad pertengahan yang cenderung mengalegorikan, merohanikan, dan memolarisasikan Alkitab. Ia menegaskan bahwa penafsiran Alkitab yang benar harus kembali pada arti yang literal dari perkataan Alkitab dan sesuai konteks historisnya. Maksudnya, apa yang orang Kristen katakan tentang Allah haruslah sejauh yang Alkitab katakan tentang Allah. Oleh karena itu, di dalam pikirannya setiap orang Kristen harus sampai pada pengakuan bahwa pengenalannya akan Allah memiliki batas dan di dalam pengenalan itu senantiasa terdapat suatu misteri. Batas dan misteri tersebut tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. Itulah sebabnya, Calvin kerap mengutip Ulangan 29:29 di dalam karyanya.

Penekanan pada prinsip bahwa Alkitab menjadi sumber satu-satunya tersebut membuat Calvin "tertawan" pada pikiran bahwa Alkitablah satu- satunya otoritas terakhir yang menentukan kepercayaan, tindakan, dan kehidupan Kristen. Pandangan tersebut barangkali terkesan naif, simplistis, dan tidak cocok bagi kalangan atau aliran modern tertentu dewasa ini. Bagi orang yang berteologi liberal, Alkitab tidak terlalu berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Bagi orang yang berteologi neo-ortodoks, Alkitab tidak mungkin dijadikan otoritas satu-satunya karena Alkitab tidak identik dengan firman Allah. Kalaupun kedua kalangan tersebut mengatakan bahwa mereka menerima otoritas Alkitab, esensi dari pandangan tersebut berbeda dengan posisi Calvin.

Sedangkan bagi kalangan yang "gemar" berglosolalia, menikmati penglihatan, sampai kepada mereka yang senang bertumbangan dalam Roh, dibedah oleh Roh, muntah-muntah di dalam Roh, bahkan cekikikan dalam Roh, Alkitab menurut pandangan Calvin di atas hanyalah "pelengkap penderita" atau "catatan kaki" bagi usaha pelegitimasian atau pengesahan pengalaman mereka. Tidak heran kalau pada akhirnya Alkitab sebenarnya tidak atau kurang dihargai di kalangan tersebut.

Esensi teologi Reformasi, sekali lagi, terletak pada kesetiaan terhadap prinsip Alkitab tersebut. Menurut Calvin, Alkitab ialah sumber wahyu satu-satunya di dalam kekristenan, dan karena itu, "message" atau berita dari berita Injil hanya dapat ditemukan di dalam atau di balik teks Alkitab. Maksudnya, kebenaran apa pun yang Allah ingin sampaikan kepada manusia (apalagi hal yang penting seperti keselamatan), arti sesungguhnya hanya ditemukan di dalam Alkitab. Karena itulah, di dalam seluruh "Institutio"-nya ia menulis dengan dua tujuan yang jelas: pertama, memperjelas Alkitab pada seluruh bagiannya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama bertahun-tahun ia menulis komentari untuk setiap kitab dalam Alkitab (walaupun ternyata pada akhir hidupnya tidak semua kitab dalam Alkitab berhasil diselesaikan penafsirannya). Kedua, menyusun berita Alkitab secara sistematis dengan penjudulan yang tepat.[8] Hal ini tidak mengherankan, sebab "Institutio" bukan karya yang ia tujukan bagi para teolog atau guru besar di bidang penelitian iman Kristen, melainkan untuk pembaca Alkitab dan para pemula dalam iman Kristen.

Bersamaan dengan itu, perlu dimengerti bahwa bagi Calvin bukan hanya bagian tertentu dari Alkitab saja yang menjadi otoritas iman Kristen. Sebaliknya, Alkitab secara keseluruhan (tota Scriptura), kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ialah firman Allah yang utuh.[9] Sekalipun ia cenderung menggemari kitab Kejadian, Mazmur, Matius, Yohanes, Roma, dan 1 Korintus, ia justru terlihat mengupayakan pengajarannya secara menyeluruh dari Alkitab.[10] Meskipun Calvin adalah seorang ekseget Alkitab yang terkemuka dalam teologi Reformasi, ia menegaskan berulang-ulang: "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent."[11] Sungguh, zaman sekarang ini banyak aliran yang telah bergeser terlalu jauh dari diktum di atas.

Ada kalangan yang begitu berani menceritakan pengalamannya mondar- mandir ke surga. Yang lain, sepertinya tidak ingin kalah dengan pengalaman tersebut, menceritakan tentang "darmawisata"-nya ke neraka. Masih ada lagi yang tidak mau kalah menceritakan pengalaman hebat- hebat lainnya, yang intinya kebanyakan dari pengalaman itu sudah atau berusaha melampaui apa yang ada di dalam Alkitab. Teologi Reformasi seakan-akan menegaskan proposisi ini: "Dengarlah, taatilah Alkitab, dan hindarkan spekulasi." Dengan demikian, prinsip tersebut menempatkan manusia di bawah kebenaran (mengaktualisasikan kebenaran), dan bukan manusia di atas kebenaran (mengakomodasikan kebenaran).[12] Karena Alkitab yang adalah firman Tuhan adalah kebenaran, Alkitab harus menjadi satu-satunya sumber di dalam pengajaran iman Kristen dan satu-satunya patokan atau standar bagi doktrin Kristen.

Lebih lanjut, di dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes, Calvin menegaskan bahwa Kristus tidak dapat dikenal secara benar dengan cara apa pun kecuali melalui Alkitab. Maksudnya, bila seseorang menolak ajaran Alkitab sebagai ajaran yang berotoritas penuh, ia sebenarnya menolak Kristus. Apabila kita bertanya kepada Calvin, bagaimana seharusnya seseorang atau gereja membaca Alkitab, ia akan menjawab dengan tegas: kita harus membaca Alkitab secara kristologis dan kristosentris. "First then, we must hold that Christ cannot be properly known from anywhere but the Scriptures. And if that is so, it follows that the Scriptures should be read with the aim of finding Christ in them."[13] Perhatikan bagaimana esensialnya keberadaan dan kepentingan Alkitab di mata Calvin; baginya Alkitab dan Kristus tidak dapat dipisahkan.

Jadi dapat disimpulkan, bagi gereja Reformasi yang ada dan melayani di zaman modern ini, pengakuan dan disposisi Calvin tersebut harus tetap berlaku. Esensi pengajarannya adalah: gereja tidak boleh mengabaikan, apalagi membuang, pengajaran Alkitab karena Alkitab merupakan otoritas satu-satunya yang menentukan hidup matinya pengajaran gereja. Bukan itu saja, Alkitab menentukan pengenalan gereja akan Juru Selamat satu- satunya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Maka pada waktu seseorang menyimpang dari Alkitab, saat itu juga hidupnya menyimpang dari Kristus.

RELEVANSI TEOLOGI REFORMASI

Pada bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa Calvin bukanlah seorang teolog yang berbicara "di atas angin," melainkan ia pertama- tama adalah seorang gembala, pengkhotbah, pengajar yang sangat "down to earth" (realistis). Di sinilah kita melihat relevansi yang paling pertama dan utama bagi gereja Reformasi zaman modern, yaitu gereja harus menerapkan pendidikan dan pengajaran yang sederhana kepada para anggotanya persis seperti yang pernah dilakukan oleh Calvin sendiri karena tradisi Reformasi yang paling menonjol adalah perhatian yang serius terhadap pendidikan Kristen bagi anggota jemaat.

Kebanyakan pihak setuju bahwa penginjilan dan usaha misionaris yang memenangkan banyak jiwa adalah usaha yang esensial; tetapi pendidikan dan pembinaan terhadap warga gereja adalah usaha yang tidak kalah pentingnya. Usaha tersebut tidak terbatas pada pengajaran di kelas katekisasi, sekolah minggu, kelas pembinaan khusus, melainkan lebih jauh lagi sampai menjangkau pembinaan di kampus, sekolah teologi, lembaga Kristen, bahkan yang lebih penting lagi, pembinaan melalui literatur Kristen.[14] Dengan demikian, "Christian scholarship" seperti yang pernah diupayakan oleh Abraham Kuyper, dapat merambah ke segala bidang. Gereja tidak boleh melupakan usaha besar yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti J. H. Bavinck, Herman Dooyeweerd, D. H. Th. Vollenhoven, James Orr, J. Gresham Machen, C. Van Til, Pierre Marcel, dan yang lainnya, yang pernah mengabdikan diri serta memperkembangkan suatu pendekatan yang tetap setia kepada tradisi Reformasi di dalam berbagai bidang. Usaha besar seperti inilah yang perlu dihidupkan kembali pada zaman sekarang.

Bagi gereja di Asia pada umumnya, dan gereja di Indonesia khususnya, tampaknya penerapan terhadap pendidikan agama Kristen dan gerakan penghargaan terhadap Alkitab tidaklah terlalu sulit. Mengapa? Karena kita melihat bangsa Timur lebih mudah beradaptasi dengan hal-hal yang bersifat panutan dan tradisi. Orang Timur juga lebih mudah menyesuaikan diri dengan pola pengajaran yang bersifat patriarkat dan seminal. Selain itu, kebanyakan gereja di Indonesia dimulai dan bertumbuh melalui pekerjaan misi dari Eropa yang menekankan tradisi Reformasi. Hanya pertanyaannya, apakah tradisi yang baik itu (penekanan pada pendidikan Kristen dan penghargaan terhadap Alkitab) tetap mendapatkan prioritas utama di dalam agenda pelayanan gereja? Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh gereja-gereja di Indonesia yang menerima landasan teologi Reformasi sebagai azas beriman dan azas bergerejanya.

Kedua, hal lain yang tidak kalah penting dengan di atas ialah, selain pendidikan Kristen, tradisi Reformasi juga menjunjung tinggi sentralitas pemberitaan firman Allah, baik untuk penginjilan, pengajaran, maupun aplikasi pastoral. Gereja di Asia dan Indonesia yang bertumbuh dengan benar dan baik pastilah merupakan gereja yang menghargai pemberitaan firman dengan pengupasan yang tepat tentang isi Alkitab. Sebaliknya, bila pemberitaan gereja hanya mengumandangkan ajaran-ajaran moral yang umum, ideologi-ideologi politis, atau terapi- terapi sosiologis, psikologis, dan seterusnya, dan tidak memberitakan ajaran Alkitab yang adalah firman Allah, gereja tersebut akan mengalami kemerosotan di dalam pemahaman yang benar dan tepat terhadap firman Allah.

Ketiga, teologi Reformasi yang sehat bukan menekankan pemberitaan kerugma saja, tetapi juga memberi penekanan yang benar tentang tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab.[15] Calvin jelas pernah mengajarkan bahwa jabatan dan fungsi seorang diaken adalah untuk maksud seperti itu, yakni untuk menjadi administrator dan pelayan sosial. Memang benar bahwa menjadi seseorang yang setia kepada ajaran Reformasi haruslah menerapkan keyakinan tersebut di dalam segala bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, ketuhanan Kristus yang diajarkan dalam Alkitab harus bergema di dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni dan lainnya.[16] Boleh dikata keberadaan gereja Reformasi di dalam dunia adalah untuk berinteraksi dengan setiap aspek dari ciptaan Tuhan. Misinya yang utama adalah untuk mengubah dunia, yaitu agar dunia mengenal, menjalani hidup, dan mempraktikkan kasih karunia Allah yang bekerja secara ajaib di dalam Yesus Kristus. Singkatnya, gereja Reformasi tidak hanya terpanggil untuk sekadar memiliki iman kepercayaan atau komitmen yang kuat, ia juga terpanggil untuk menaati dan melaksanakan misi Allah sesuai dengan ajaran Alkitab.

PENUTUP

Dunia kita sekarang ini, dengan segala ajaran yang pluralis di dalamnya, tampaknya sedang mengalami keguncangan karena manusia lebih cenderung menerima hal-hal yang bersifat relatif. Cukup banyak orang Kristen dan gereja cenderung meninggalkan paham dan tradisi lama yang kebanyakan dianggap bersifat anakronistis atau sudah ketinggalan zaman. Hal ini disebabkan oleh munculnya ideologi, -isme, dan keyakinan baru yang menyaingi kepercayaan yang lama. Lebih daripada itu, kepercayaan yang baru seakan-akan lebih mengena dan pragmatis sifatnya dalam memberikan jawaban untuk mengatasi kebingungan manusia modern. Bahkan banyak ajaran yang baru seolah-olah telah sanggup secara total mengatasi problema manusia di dalam hal dosa, sakit penyakit, dan memberikan arti kehidupan yang baru.

Pada saat seperti inilah dunia kekristenan memerlukan tuntunan dan pengarahan yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Pengajaran dan pelayanan gereja yang berbobot sangat esensial serta menentukan sekali untuk memberi arah kepada manusia agar tidak dibingungkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang palsu. Itu sebabnya, pandangan dari teologi Reformasi yang diterapkan menjadi program yang sistematis untuk pendidikan, pemberitaan firman, dan pengajaran melalui gereja adalah sesuatu yang integral dengan konsepsi dari Calvin tentang kehidupan Kristen yang benar. Mengabaikan hal ini berarti sama saja dengan melepaskan sebuah kesempatan yang tak ternilai untuk menggarami kehidupan jemaat di gereja dan umat manusia di dunia ini.

Footnote: --------- *Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku "Perjuangan Menantang Zaman" (ed. Hendra G. Mulia; Jakarta: Reformed Institute, 2000) 3-16, dan dimuat dengan izin tertulis dari Reformed Institute Press tanggal 5 Juni 2001.

  1. Untuk melihat ringkasan sejarah Reformasi, lih. J. E. McGoldrick, "Three Principles of Protestantism," Reformation & Revival Journal 1/1 (Winter 1992) 13-15; W Stevenson, The Story of the Reformation (Richmond: John Knox, 1959) 29-49; H. J. Hillerbrand, The Protestant Reformation (NY: Harper Torchbooks, 1968) xi-xxvii. Mengenai Luther dan sejarah hidupnya, lih. H. A. Oberman Luther: Man Between God and the Devil (New Haven: York University Press, 1982) 3-206; M. Brecht, Martin Luther: His Road to Reformation 1483-1521 (Minneapolis: Fortress, 1985).
  2. Calvin: Institutes of the Christian Religion (ed. J. T McNeill; LCC; 2 vols.; Philadelphia: Westminster, 1960).
  3. Lih. pujian dan deskripsi terhadap Institutio oleh W Cunningham, The Reformers and the Theology of the Reformation (Edinburgh: Banner of Truth, 1989) 294-296.
  4. Menurut J. L. Mays, ketika menuliskan tafsiran Mazmur pun, Calvin menulisnya guna kepentingan jemaat Tuhan, bukan untuk para scholars ("Calvin`s Commentary on the Psalms: The Preface as Introduction" dalam John Calvin and the Church: A Prism of Reform [ed. T George; Louisville: Westminster/John Knox, 1990] 197).
  5. Istilah ini diadopsi dari artikel F. H. Klooster, "The Uniqueness of Reformed Theology," Calvin Theological Journal 14/1 (April 1979) 39; bdk. J. F. Peter, "The Place of Tradition in Reformed Theology," Scottish Journal of Theology 18/3 (1965) 294-307. (Dalam beberapa segi pemikiran dasar untuk artikel ini penulis berhutang banyak pada kedua tulisan tersebut.) Perlu dicatat bahwa istilah "the Scriptural principle" di atas berbeda pengertiannya dengan K. Barth ("The Scripture Principle" dalam The Gottingen Dogmatics: Instruction in the Christian Religion [Grand Rapids: Eerdmans, 1991] I: 201-226).
  6. J. D. Gort, "The Contours of the Reformed Understanding of Christian Mission," Calvin Theological Journal 15/1 (April 1980) 49.
  7. Dikutip dari J. H Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox, 1977) 101.
  8. Institutes 4, Intro. ix; bdk. pendapat R. C. Gamble, "Exposition and Method in Calvin," Westminster Theological Journal 49 (1987) 153- 165, khususnya kesimpulan h. 164.
  9. Menurut D. H. Kelsey (The Uses of Scripture in Recent Theology [Philadelphia: Fortress, 1975]), hampir setiap teolog Protestan modern (seperti B. B. Warfield, K. Barth, R. Bultmann, P. Tillich) selalu ingin menyesuaikan teologinya dengan isi Alkitab dalam batas-batas tertentu; tetapi menurut Kelsey, masing-masing dari mereka hanya menampilkan aspek tertentu saja dari Alkitab yang dianggap berotoritas; jadi, bukan Alkitab secara menyeluruh.
  10. Leith, Introduction 103.
  11. Dikutip dari Klooster, "The Uniqueness" 39.
  12. Istilah H. Thielicke, The Evangelical Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 1977) 1:27.
  13. J. Calvin, The Gospel According to St. John 1-10 (repr. ed.; Grand Rapids: Eerdmans, 1961) 139, yaitu tafsiran terhadap Yoh. 5:39; lih. juga K. Runia, "The Hermeneutics of the Reformers," Calvin Theological Journal 19/2 (November 1984) 144; dan W Niesel, The Theology of Calvin (Philadelphia: Westminster, 1956) 27. Sama dengan hal itu, Calvin juga menegaskan bahwa Alkitab harus menjadi otoritas yang manunggal dengan kehidupan gereja. Hal ini bukan hanya bertalian dengan pemberitaan gereja semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan seluruh aspek kehidupan dan pelayanan gereja.
  14. Lih. juga penekanan yang mirip dengan di atas dari D. K. McKim, "Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society," Reformed World 38/8 (1985) 405-421; bdk. D. H. Bouma "Sociological Implications for Reformed Christianity," Reformed Review 2/2 (1966) 50-63; O. Fourie, "Thinking Biblically; Education: Whose Responsibility?," Calvinism Today 3/1 (January 1993) 24-29; R. S. Wallace, Calvin, Geneva and the Reformation: A Study of Calvin as Social Reformer, Churchman, Pastor and Theologian (Grand Rapids: Baker, 1988) 131-218; E. H. Harbison, "Calvin" dalam The Christian Scholar in the Age of the Reformation (New York: Charles Scribner`s Sons, 1956) 145-146.
  15. Perh. himbauan dari K. Runia, "Evangelical Responsibility in A Secularized World," Christianity Today 14/19 (1970) 851-854; bdk. P. F. Scotchmer, "Reformed Foundations for Social Concern," Westminster Theological Journal 40/2 (1978) 318-349; W. J. Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait (NY: Oxford University Press, 1988) 191- 203, dan R. M. Kingdon, "Calvinism and Social Welfare," Calvin Theological Journal 17/2 (November 1982) 212-230.
  16. Ketuhanan Kristus dalam gereja Reformasi bukan hanya menuntut gereja terus-menerus diperbarui secara internal (ecclesia reformata semper reformanda), melainkan juga memperbarui masyarakat dunia dan kebudayaan (sempersocietas reformanda); lih. J. Verkuyl, Theology of Transformation, or Towards a Political Theology (Johannesburg: The Christian Institute of Southern Africa, 1973) 2.

Diambil dari:

Judul majalah: Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan (Vol. 2 No. 2)
Judul artikel: Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi
Penulis : Daniel Lucas Lukito
Halaman : 149 -- 157

Lima Puluh Alasan Mengapa Kristus Menderita dan Mati

Penulis_artikel: 

John Piper

Tanggal_artikel: 

17-09-2007

Isi_artikel: 
  1. Untuk Menanggung Murka Allah
  2. Untuk Menyenangkan Bapa-Nya yang di Sorga
  3. Untuk Belajar Taat dan Disempurnakan
  4. Untuk Mendapatkan Kebangkitan-Nya Sendiri dari Kematian
  5. Untuk Menunjukkan Kekayaan Kasih dan Anugerah Allah bagi Orang Berdosa
  6. Untuk Menunjukkan Kasih-Nya kepada Kita
  7. Untuk Membatalkan Tuntutan Hukum Taurat terhadap Kita
  8. Untuk Menjadi Tebusan bagi Banyak Orang
  9. Untuk Pengampunan Dosa-dosa Kita
  10. Untuk Memberikan Dasar bagi Pembenaran Kita
  11. Untuk Menggenapkan Ketaatan yang Menjadi Kebenaran Kita
  12. Untuk Menghapus Hukuman Kita
  13. Untuk Menghapus Sunat dan Seluruh Ritual yang Dijadikan Dasar Keselamatan
  14. Untuk Membawa Kita kepada Iman dan Menjaga Kita agar Tetap Beriman
  15. Untuk Menjadikan Kita Kudus, Tak Bercacat, dan Sempurna
  16. Untuk Memberi Kita Hati Nurani yang Murni
  17. Untuk Mendapatkan Segala Hal yang Baik bagi Kita
  18. Untuk Menyembuhkan Kita dari Penyakit Moral dan Fisik
  19. Untuk Memberikan Hidup Kekal bagi Semua Orang yang Percaya kepada-Nya
  20. Untuk Menyelamatkan Kita dari Zaman yang Jahat Ini
  21. Untuk Mendamaikan Kita dengan Allah
  22. Untuk Mendekatkan Kita kepada Allah
  23. Agar Kita Bisa Menjadi Milik-Nya
  24. Untuk Memberi Kita Jalan Masuk ke Tempat Kudus-Nya
  25. Untuk Menjadi Tempat Kita Bertemu dengan Allah
  26. Untuk Mengakhiri Keimaman Perjanjian Lama dan Menjadi Imam Besar yang Kekal
  27. Untuk Menjadi Imam yang Dapat Merasakan Kelemahan-kelemahan Kita dan Menolong Kita
  28. Untuk Membebaskan Kita dari Kesia-siaan Cara Hidup Nenek Moyang Kita
  29. Untuk Membebaskan Kita dari Perbudakan Dosa
  30. Agar Kita Mati terhadap Dosa dan Hidup dalam Kebenaran
  31. Agar Kita Mati terhadap Hukum Taurat dan Menghasilkan Buah bagi Allah
  32. Untuk Memampukan Kita Hidup bagi Kristus, dan Bukan bagi Diri Kita Sendiri
  33. Untuk Menjadikan Salib-Nya sebagai Dasar Kita Bermegah
  34. Untuk Memampukan Kita Hidup Beriman dalam Dia
  35. Untuk Memberi Arti Terdalam bagi Pernikahan
  36. Untuk Menciptakan Suatu Umat yang Rajin Melakukan Kebajikan
  37. Untuk Memanggil Kita untuk Meneladani Kerendahan Hati dan Kasih yang Rela Berkorban seperti Diri-Nya
  38. Untuk Membentuk Pengikut yang Mau Memikul Salib
  39. Untuk Membebaskan Kita dari Ketakutan terhadap Kematian
  40. Agar Kita Bisa Bersama-Nya Segera setelah Kematian
  41. Untuk Menjamin Kebangkitan Kita dari Kematian
  42. Untuk Melucuti Penguasa-penguasa dan Pemerintah-pemerintah
  43. Untuk Menyatakan Kuasa Allah dalam Injil
  44. Untuk Menghancurkan Permusuhan antar ras
  45. Untuk Membebaskan Orang-orang dari Setiap Suku dan Bahasa dan Bangsa
  46. Untuk Mengumpulkan Seluruh Domba-Nya dari Segenap Penjuru Dunia
  47. Untuk Menyelamatkan Kita dari Penghakiman Akhir
  48. Untuk Mendapatkan Sukacita-Nya dan Sukacita Kita
  49. Agar Dia Bisa Dimahkotai dengan Kemuliaan dan Hormat
  50. Untuk Menunjukkan bahwa Kejahatan yang Paling Kejam Diizinkan Allah bagi Kebaikan
Sumber Artikel: 
Judul Buku: The Passion Of Jesus Christ
Penulis: John Piper
Penerbit: Penerbit Momentum
Tahun:2004
Halaman:vii-ix

Pembuktian Saksi Mata

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salam jumpa.

Berikut ini artikel menarik yang saya ambil dari bagian buku tulisan Lee Stroble terbitan Gospel Press. Silakan disimak karena akan menolong Anda mengerti bahwa Allah menghargai keingintahuan kita akan kebenaran-Nya. Biarlah penghargaan kita terhadap Alkitab semakin tinggi. GBU.

In Christ, Yulia Oeniyati

Penulis: 

Lee Strobel

Edisi: 

091/IV/2007

Tanggal: 

04-10-2007

Isi: 

CRAIG L. BLOMBERG, PH.D. secara luas dianggap sebagai salah satu pakar terkemuka dalam biografi-biografi Yesus yang disebut dalam empat Injil. Ia memperoleh gelar doktornya dalam Perjanjian Baru dari Aberdeen University di Skotlandia, selanjutnya melayani sebagai seorang rekanan periset senior di Tyndale House pada Cambridge University di Inggris, di mana ia adalah bagian dari sebuah kelompok sarjana elit internasional yang menghasilkan serangkaian karya tentang Yesus yang disambut dengan sangat baik. Selama dua belas tahun terakhir, ia menjadi seorang profesor dalam Perjanjian Baru di Denver Seminary yang amat disegani.

Buku-buku Blomberg termasuk "Jesus and the Gospels; Interpreting the Parables; How Wide the Divide?"; dan penjelasan-penjelasan Injil Matius dan 1Korintus. Ia juga membantu mengedit jilid keenam dari "Gospel Perspectives", yang menguraikan mujizat-mujizat Yesus secara panjang lebar, dan ia menjadi rekanan penulis "Introduction to Biblical Interpretation". Ia memberikan kontribusi beberapa bab tentang kehistorisan empat Injil kepada buku "Reasonable Faith" dan buku pemenang penghargaan, "Jesus Under Fire". Keanggotaannya meliputi Society for the Study of the New Testament, Society of Biblical Literature, dan The Institute for Biblical Research.

SAKSI-SAKSI MATA ATAS SEJARAH

"Coba beritahukan saya," kata saya dengan sedikit nada menantang dalam suara saya, "apakah mungkin untuk menjadi seseorang yang berpikiran pintar serta kritis dan tetap percaya bahwa keempat Injil ditulis oleh orang-orang yang namanya dilekatkan ke kitab-kitab tersebut?"

Blomberg meletakkan cangkir kopi di pinggir mejanya dan menatap dengan sungguh-sungguh kepada saya. "Jawabannya adalah ya," katanya dengan penuh keyakinan.

Ia duduk kembali dan melanjutkan. "Penting untuk mengakui bahwa secara terus terang, keempat Injil memang tanpa nama. Namun, kesaksian yang seragam dari gereja mula-mula adalah bahwa Matius, juga dikenal sebagai Lewi, si pemungut cukai dan salah satu dari dua belas murid, adalah penulis Injil pertama dalam Perjanjian Baru; bahwa Yohanes Markus, yang menyertai Petrus, adalah penulis Injil yang kita sebut Markus; dan bahwa Lukas, dikenal sebagai "tabib yang dikasihi" Paulus, menulis Injil Lukas serta Kisah Para Rasul."

"Seberapa seragamnya kesaksian bahwa mereka adalah para penulisnya?" saya bertanya.

"Tidak ada satu saingan pun bagi ketiga Injil ini," katanya. "Rupanya, itu sama sekali tidak dipersoalkan."

Bahkan meskipun demikian, saya ingin menguji isu ini lebih lanjut. "Mohon maklumi keskeptisan saya," kata saya, "tetapi tidak adakah seorang pun yang akan memiliki suatu motivasi untuk berbohong dengan menyatakan bahwa orang-orang ini menulis ketiga Injil tersebut, padahal sebenarnya bukan mereka?"

Blomberg menggelengkan kepalanya. "Mungkin tidak. Ingat, mereka adalah karakter-karakter yang tidak mungkin ditunjuk untuk maksud itu," katanya, suatu senyum lebar terbentuk di wajahnya. "Markus dan Lukas bahkan tidak termasuk dalam keduabelas murid. Matius memang, namun sebagai seorang bekas pemungut cukai yang dibenci, ia pasti akan menjadi karakter yang paling tidak disukai selain Yudas Iskariot, yang mengkhianati Yesus!"

"Bandingkan ini dengan apa yang terjadi ketika injil-injil apokrifa ditulis dan muncul lama sesudah itu. Orang-orang memilih nama figur- figur yang terkenal dan patut dicontoh sebagai penulis fiktifnya -- Filipus, Petrus, Maria, Yakobus. Nama-nama itu jauh lebih berbobot daripada nama-nama Matius, Markus, dan Lukas. Jadi untuk menjawab pertanyaan Anda, tidak akan ada alasan apa pun untuk menghubungkan kepenulisan kepada ketiga orang yang lebih kurang dihormati ini jika itu tidak benar."

Ini kedengaran logis, namun nyata bahwa ia dengan mudahnya melewatkan satu dari para penulis Injil. "Bagaimana dengan Yohanes?" saya bertanya. "Ia amat sangat menonjol; sebenarnya, ia bukan saja salah satu dari keduabelas murid melainkan salah satu dari tiga orang yang paling dekat dengan Yesus, bersama Yakobus dan Petrus."

"Ya, itu merupakan satu pengecualian," Blomberg mengakuinya dengan satu anggukan kepala. "Dan yang menarik, Yohanes adalah satu-satunya Injil yang dipertanyakan dalam hal kepenulisannya."

"Nama si penulis tidaklah diragukan -- tentu saja Yohanes," jawab Blomberg. "Pertanyaannya adalah apakah itu Yohanes sang rasul atau Yohanes yang lain."

"Anda lihat, kesaksian seorang penulis Kristen bernama Papias, bertanggal sekitar 125 M, merujuk kepada Yohanes sang rasul dan Yohanes yang lebih tua, dan tidak jelas dari konteksnya apakah ia berbicara tentang seseorang dari dua sudut pandang yang berbeda atau berbicara tentang dua orang yang berbeda. Namun karena pengecualian tadi, kesaksian awal selebihnya dengan suara bulat menyepakati bahwa Yohanes sang rasullah -- anak Zebedeus -- yang menulis Injil."

"Dan," kata saya dalam usaha untuk menekannya lebih keras, "Anda yakin bahwa ia yang menulisnya?"

"Ya, saya percaya bahwa mayoritas penting dari material itu kembali kepada sang rasul," ia menjawab. "Bagaimanapun juga, jika Anda membaca Injil dengan teliti, Anda dapat melihat beberapa indikasi bahwa ayat- ayat kesimpulannya mungkin telah diberi sentuhan akhir oleh seorang editor. Secara pribadi, saya tidak punya masalah untuk percaya bahwa seseorang yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Yohanes mungkin memainkan peran itu, memperbaiki ayat-ayat terakhir dan kemungkinan besar menciptakan keseragaman gaya bahasa pada seluruh dokumen."

"Namun dalam peristiwa apa pun," ia menekankan, "Injil ini jelas-jelas berdasar pada material saksi mata, seperti halnya ketiga Injil yang lain."

MENYELIDIKI HAL-HAL YANG SPESIFIK

"Mari kembali ke Markus, Matius, dan Lukas," kata saya. "Bukti spesifik apa yang Anda miliki bahwa mereka adalah para penulis Injil?"

Blomberg mencondongkan diri ke depan. "Sekali lagi, kesaksian tertua dan mungkin terpenting datang dari Papias, yang pada sekitar tahun 125 M, secara spesifik menegaskan bahwa Markus telah dengan teliti dan akurat mencatat pengamatan-pengamatan saksi mata Petrus. Sebenarnya, ia berkata bahwa Markus `tidak membuat kesalahan` dan tidak memasukkan `pernyataan palsu apa pun.` Dan Papias berkata bahwa Matius juga telah memelihara ajaran-ajaran Yesus secara demikian."

"Kemudian Irenaeus, menulis sekitar tahun 180 M, memperkuat kepenulisan tradisional tersebut. Sebenarnya, di sini," ia berkata, meraih sebuah buku. Ia membukanya dan membaca kata-kata Irenaeus.

"Matius menerbitkan Injilnya sendiri di antara orang-orang Yahudi dalam bahasa mereka sendiri, selagi Petrus dan Paulus memberitakan Injil di Roma dan mendirikan gereja di sana. Setelah kepergian mereka, Markus, murid dan penafsir Petrus, memberikan sendiri kepada kami tulisan berisi pokok-pokok khotbah Petrus. Lukas, pengikut Paulus, mengumpulkan Injil yang diberitakan gurunya dalam sebuah buku. Kemudian Yohanes, murid Tuhan, yang juga bersandar di dada-Nya, menuliskan sendiri Injilnya sementara ia tinggal di Efesus di Asia."

Saya mendongak dari catatan-catatan yang sedang saya buat. "Oke, biarkan saya menjernihkan hal ini," kata saya. "Jika kita dapat meyakini bahwa keempat Injil ditulis oleh Matius dan Yohanes, murid- murid Yesus, oleh Markus, yang menyertai Rasul Petrus, dan oleh Lukas, si sejarawan yang menyertai Paulus, dan semacam jurnalis abad pertama, kita dapat menjadi yakin bahwa peristiwa-peristiwa yang mereka catat didasarkan pada kesaksian saksi mata secara langsung ataupun tak langsung."

"Tepat sekali," katanya singkat.

BIOGRAFI-BIOGRAFI KUNO VERSUS MODERN

Masih ada beberapa aspek yang mengganggu dari keempat Injil yang perlu saya jernihkan. Secara khusus, saya ingin lebih memahami jenis gaya sastra yang mereka wakili.

"Ketika saya pergi ke toko buku dan melihat pada bagian biografi, saya tidak melihat jenis tulisan yang sama dengan yang saya lihat dalam keempat Injil," kata saya. "Kalau seseorang menulis suatu biografi saat ini, mereka secara menyeluruh menyelidiki kehidupan orang tersebut. Namun coba lihat Markus, ia tidak berbicara tentang kelahiran Yesus atau apa pun juga tentang tahun-tahun pertama kedewasaan Yesus. Sebaliknya, ia berfokus pada suatu periode tiga tahun dan mengisi separuh Injilnya dengan peristiwa-peristiwa yang menuju ke dan memuncak pada minggu terakhir Yesus. Bagaimana Anda dapat menjelaskan itu?"

Blomberg mengacungkan dua jari. "Ada dua alasan," jawabnya. "Yang satu berkaitan dengan kesusastraan dan yang lain bersifat teologis."

"Alasan kesusastraan adalah bahwa pada dasarnya, beginilah cara orang- orang menulis biografi pada zaman kuno. Mereka tidak memiliki pemahaman, seperti yang kita miliki sekarang, bahwa penting untuk memberikan proporsi yang seimbang kepada semua periode dalam kehidupan seseorang atau bahwa perlu untuk menceritakan kisah tersebut dalam urutan kronologis yang tepat atau bahkan untuk mengutip orang-orang secara kata demi kata, sejauh esensi dari apa yang mereka katakan dipertahankan. Orang-orang Yunani dan Yahudi kuno bahkan tidak memiliki simbol untuk tanda-tanda kutipan."

"Satu-satunya tujuan untuk apa sejarah perlu dicatat menurut mereka adalah karena terdapat beberapa hal yang harus dipelajari dari karakter-karakter yang dideskripsikan. Dengan demikian, para penulis biografi ingin berdiam sepanjang porsi bagian kehidupan orang tersebut yang patut diteladani, yang membantu menjelaskan, yang dapat menolong orang lain, yang memberi makna pada suatu periode sejarah."

"Dan apa alasan teologisnya?" tanya saya.

"Itu mengalir dari pokok yang baru saja saya jelaskan. Orang-orang Kristen percaya bahwa sebagaimana menakjubkannya kehidupan dan ajaran dan mujizat Yesus, kehidupan mereka tidak akan bermakna jika secara historis kematian Kristus dan kebangkitan-Nya dari kematian dan bahwa ini memberikan pendamaian, atau pengampunan, atas dosa kemanusiaan, tidak berdasar pada fakta-fakta yang sesungguhnya."

"Jadi, Markus pada khususnya, sebagai penulis dari Injil yang mungkin ditulis paling awal, mempersembahkan kira-kira separuh kisahnya bagi peristiwa-peristiwa yang menuju ke dan mencakup periode waktu satu minggu dan memuncak pada kematian dan kebangkitan Kristus."

"Dengan pentingnya penyaliban," ia menyimpulkan, "ini sangat masuk akal dalam literatur kuno."

MISTERI Q

Sebagai tambahan kepada keempat Injil, para sarjana sering merujuk kepada apa yang mereka sebut Q, yang mewakili kata bahasa Jerman "Quelle", atau "sumber." Karena kemiripan bahasa dan isi, telah diasumsikan secara tradisional bahwa Matius dan Lukas menggunakan Injil Markus yang telah ditulis lebih dulu dalam menuliskan Injil mereka sendiri. Sebagai tambahan, para sarjana berkata bahwa Matius dan Lukas juga memasukkan beberapa material dari Q misterius ini, material yang tidak ada dalam Markus.

"Sebenarnya apakah Q ini?" tanya saya pada Blomberg.

"Itu tidak lebih dari suatu hipotesis," jawabnya, sekali lagi menyandar dengan santai di kursinya. "Dengan sedikit perkecualian, itu hanyalah perkataan-perkataan atau ajaran-ajaran Yesus, yang mungkin sekali waktu dulu pernah menjadi sebuah dokumen yang berdiri sendiri dan terpisah."

"Anda lihat, dulu adalah suatu gaya sastra yang umum untuk mengumpulkan perkataan-perkataan dari guru-guru yang dihormati, seperti kalau kita memilih lagu-lagu terbaik dari seorang penyanyi dan mengumpulkannya dalam suatu album `terbaik`. Q mungkin adalah sesuatu seperti itu. Setidaknya itulah teorinya."

Namun, jika Q ada sebelum Matius dan Lukas, itu akan merupakan material awal tentang Yesus. Barangkali, saya pikir, itu dapat memberi penjelasan baru pada seperti apakah Yesus sebenarnya.

"Izinkan saya menanyakan ini," kata saya. "Jika Anda memisahkan material dari Q saja, gambaran Yesus seperti apa yang Anda dapatkan?"

Blomberg mengusap janggutnya dan menatap langit-langit ruangan untuk sesaat seraya ia merenungkan pertanyaan itu. "Yah, Anda harus tetap mengingat bahwa Q adalah suatu kumpulan perkataan, dan dengan demikian itu tidak memiliki material kisah yang akan memberi kita suatu gambaran tentang Yesus yang lebih bulat sepenuhnya," jawabnya, berbicara dengan perlahan sementara ia memilih tiap kata yang ia ucapkan dengan hati-hati.

"Meskipun demikian, Anda mendapati bahwa Yesus membuat beberapa pernyataan yang kuat sebagai misal, bahwa Ia adalah Firman yang menjelma menjadi manusia dan bahwa Ia adalah Dia yang melalui-Nya Tuhan akan menghakimi semua manusia, entah mereka mengakui-Nya atau menyangkali-Nya. Sebuah buku kesarjanaan penting baru-baru ini telah mengajukan pendapat bahwa jika Anda memisahkan semua perkataan Q, seseorang sebenarnya memperoleh gambaran yang sama tentang Yesus -- seorang yang membuat pernyataan-pernyataan yang berani tentang diri- Nya sendiri -- sebagaimana yang Anda dapati dalam keempat Injil secara lebih umum."

Saya ingin menekannya lebih jauh pada titik ini. "Tidakkah Ia akan terlihat sebagai seorang pembuat mujizat?" selidik saya.

"Sekali lagi," jawabnya, "Anda harus mengingat bahwa Anda tidak akan mendapatkan banyak cerita mujizat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, karena itu semua biasanya ditemukan di dalam kisah, dan Q terutama adalah suatu daftar perkataan."

Ia berhenti untuk menjangkau ke atas mejanya, mengambil sebuah Alkitab bersampul kulit, dan membalik halaman-halamannya yang usang.

"Namun, sebagai contoh, Lukas 7:18-23 dan Matius 11:2-6 berkata bahwa Yohanes Pembaptis mengirim utusan-utusannya untuk bertanya pada Yesus apakah Ia benar-benar Kristus, sang Mesias yang mereka nanti-nantikan. Yesus menjawab pada intinya, `Katakan padanya untuk mempertimbangkan mujizat-mujizat-Ku. Katakan pada-Nya apa yang telah kamu lihat: yang buta melihat, yang tuli mendengar, yang timpang berjalan, yang miskin telah mendengar kabar baik yang diberitakan kepada mereka.`"

"Jadi, bahkan dalam Q," ia menyimpulkan, "jelas terdapat suatu kesadaran akan pelayanan mujizat-mujizat Yesus."

Disebutkannya Matius oleh Blomberg memunculkan pertanyaan lain dalam pikiran saya tentang bagaimana keempat Injil dikumpulkan. "Mengapa," tanya saya, "Matius -- yang mengaku sebagai saksi mata Yesus -- memasukkan bagian dari suatu Injil yang ditulis oleh Markus, yang semua orang setuju bahwa ia bukanlah seorang saksi mata? Jika Injil Matius benar-benar ditulis oleh seorang saksi mata, Anda akan berpikir bahwa ia pasti mengandalkan pengamatannya sendiri.

Blomberg tersenyum. "Itu hanya masuk akal jika Markus memang mendasarkan laporannya pada ingatan kesaksian mata Petrus," katanya. "Seperti yang Anda katakan sendiri, Petrus adalah seorang yang berada dalam kalangan terdekat Yesus dan secara pribadi dapat melihat dan mendengar hal-hal yang tidak dilihat dan didengar murid-murid lain. Jadi, akan masuk akal bagi Matius, bahkan meskipun ia adalah seorang saksi mata, untuk mengandalkan versi Petrus tentang peristiwa- peristiwa sebagaimana yang diteruskannya melalui Markus."

Ya, pikir saya kepada diri sendiri, itu memang masuk akal. Sebenarnya, suatu analogi mulai terbentuk dalam pikiran saya berdasarkan pengalaman saya selama bertahun-tahun sebagai seorang reporter surat kabar. Saya ingat menjadi bagian dari sekerumunan jurnalis yang mengepung seorang tokoh politik Chicago terkenal, almarhum Walikota Richard J. Daley, untuk menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang sebuah skandal yang terjadi di dalam angkatan kepolisian. Ia mengucapkan beberapa perkataan sebelum menyelamatkan diri ke dalam limusinnya.

Bahkan walaupun saya adalah seorang saksi mata atas apa yang telah terjadi, saya segera mendatangi seorang reporter radio yang telah berada lebih dekat dengan Daley, dan memintanya untuk memutar kembali rekamannya yang berisi apa yang baru saja dikatakan oleh Daley. Dengan cara ini, saya dapat memastikan bahwa saya menuliskan kata-katanya dengan tepat.

Itu, setelah saya renungkan, rupanya adalah apa yang Matius lakukan dengan Markus -- meskipun Matius memiliki ingatannya sendiri sebagai seorang murid (saksi mata), pencariannya akan keakuratan mendorongnya untuk mengandalkan beberapa material yang datang langsung dari Petrus sebagai kalangan terdekat Yesus.

PERSPEKTIF UNIK YOHANES

Merasa puas dengan jawaban-jawaban awal Blomberg mengenai tiga Injil pertama -- yang disebut sinoptik, yang berarti `melihat pada saat yang bersamaan` karena garis besar dan hubungan timbal-balik mereka yang mirip -- selanjutnya saya mengalihkan perhatian saya pada Injil Yohanes. Siapa pun yang membaca keempat Injil secara menyeluruh akan segera menyadari bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara sinoptik dan Injil Yohanes, dan saya ingin mengetahui apakah ini berarti terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak dapat dirujukkan di antara mereka.

"Dapatkah Anda menjelaskan perbedaan-perbedaan antara Injil-injil sinoptik dengan Injil Yohanes?" tanya saya pada Blomberg.

Kedua alisnya terangkat. "Pertanyaan besar!" serunya. "Saya berharap dapat menulis satu buku penuh mengenai topik ini."

Setelah saya meyakinkannya bahwa saya hanya mencari pokok-pokok dari isu ini, bukan suatu diskusi yang mendalam, ia kembali memapankan diri di kursinya.

"Yah, memang benar bahwa Yohanes lebih berbeda daripada mirip dengan sinoptik," ia memulai. "Hanya sedikit kisah-kisah utama dalam tiga Injil lain yang muncul dalam Yohanes, meskipun perubahan-perubahan itu kelihatan jelas jika seseorang membaca sampai pada minggu terakhir Yesus. Sejak titik itu paralel -- maka paralel selanjutnya jauh lebih mirip."

"Kelihatannya juga terdapat suatu gaya bahasa yang sangat berbeda. Dalam Yohanes, Yesus menggunakan peristilahan yang berbeda, ia berbicara dalam khotbah-khotbah yang panjang, dan kelihatannya terdapat suatu Kristologi (studi atas karya dan pribadi Yesus Kristus serta literatur yang berkaitan dengan-Nya) yang lebih tinggi, yakni pernyataan-pernyataan yang lebih langsung dan blak-blakan bahwa Yesus adalah satu dengan Bapa; Tuhan sendiri; Jalan, Kebenaran, dan Hidup; Kebangkitan dan Hidup."

"Apa yang menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut?" tanya saya.

"Selama bertahun-tahun, asumsinya adalah bahwa Yohanes mengetahui semua yang ditulis oleh Matius, Markus, dan Lukas, dan ia melihat bahwa semuanya itu tidak perlu diulangi lagi, jadi secara sadar ia memilih untuk memberi tambahan kepada mereka. Baru-baru ini muncul asumsi bahwa Yohanes sebagian besar tidak bergantung pada ketiga Injil yang lain, yang dapat menjelaskan tidak hanya pilihan-pilihan material yang berbeda melainkan juga perspektif-perspektif yang berbeda tentang Yesus."

PERNYATAAN-PERNYATAAN YESUS YANG PALING BERANI

"Terdapat beberapa perbedaan teologis dalam Yohanes," kata saya setelah melakukan pengamatan.

"Memang, tetapi apakah mereka pantas disebut sebagai kontradiksi- kontradiksi? Saya pikir jawabannya adalah tidak, dan sebabnya adalah: hampir untuk setiap tema atau perbedaan utama dalam Yohanes, dapat Anda temukan paralelnya dalam Matius, Markus, dan Lukas, bahkan jika mereka tidak sama banyaknya."

Itu merupakan suatu pernyataan yang sangat tegas. Saya segera memutuskan untuk mengujinya dengan mengangkat isu yang mungkin paling penting di atas segalanya mengenai perbedaan-perbedaan antara sinoptik dan Injil Yohanes.

"Yohanes membuat pernyataan-pernyataan yang sangat eksplisit tentang Yesus sebagai Tuhan, yang beberapa di antaranya berhubungan dengan fakta bahwa ia menulisnya lebih belakangan daripada yang lain dan mulai membumbui banyak hal," kata saya. "Dapatkah Anda menemukan tema ketuhanan ini dalam sinoptik?"

"Ya, saya dapat," katanya. "Lebih implisit dan Anda akan menemukannya di sana. Pikirkan kisah Yesus berjalan di atas air, temukan dalam Matius 14:22-33 dan Markus 6:45-52. Sebagian besar terjemahan bahasa Inggris menyembunyikan bahasa Yunaninya dengan mengutip bahwa Yesus berkata, `Aku ini, jangan takut! (Fear not, it is I)` Sebenarnya, bahasa Yunaninya secara harafiah mengatakan, `Jangan takut, Akulah Aku (Fear not, I am).` Kedua kata terakhir ini identik dengan apa yang Yesus katakan dalam Yohanes 8:58, ketika ia ia memanggil diri-Nya sendiri nama ilahi `Aku (adalah Aku),` yang merupakan cara Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada Musa dalam semak-semak yang terbakar dalam Keluaran 3:14. Jadi, Yesus mengungkapkan diri-Nya sendiri sebagai Dia yang memiliki kuasa ilahi atas alam yang sama seperti Yahwe, Tuhan Perjanjian Lama."

Saya mengangguk. "Itu satu contoh," kata saya. "Apakah Anda memiliki contoh lainnya?"

"Ya, saya dapat menjelaskan ini satu per satu," kata Blomberg. "Sebagai contoh, gelar Yesus yang paling umum bagi diri-Nya sendiri dalam tiga Injil pertama adalah `Anak Manusia` dan ..."

Saya mengangkat tangan saya untuk menghentikannya. "Tunggu sebentar," kata saya. Meraih ke dalam tas kerja saya, saya menarik sebuah buku dan membalik-balik halamannya sampai saya menemukan kutipan yang saya cari. "Karen Armstrong, mantan biarawati yang menulis buku laris `A History of God` (Sejarah Tuhan), berkata bahwa kelihatannya istilah `Anak Manusia` `hanya menekankan kelemahan dan mortalitas kondisi manusia`, jadi dengan menggunakan istilah tersebut, Yesus sekadar menekankan bahwa `ia adalah seorang manusia lemah yang pada suatu hari akan menderita dan mati`. Jika itu benar," kata saya, "itu tidak terlalu kedengaran sebagai suatu pernyataan akan ketuhanan."

Ekspresi Blomberg menjadi masam. "Lihat," katanya sungguh-sungguh, "bertentangan dengan apa yang secara populer dipercayai, `Anak Manusia` terutama tidak merujuk pada kemanusiaan Yesus. Sebaliknya, itu adalah suatu kiasan langsung dari Daniel 7:13-14."

Bersamaan dengan itu ia membuka Perjanjian Lama dan membaca kata-kata Nabi Daniel itu.

"Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak-manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah."

Blomberg menutup Alkitab itu. "Jadi, lihat pada apa yang Yesus lakukan dengan menerapkan istilah `Anak Manusia` kepada diri-Nya sendiri," lanjutnya. Ini adalah seseorang yang mendekati Tuhan berdiri dalam hadirat sorgawi-Nya dan diberikan kekuasaan serta dominion universal. Itu membuat `Anak Manusia` menjadi sebuah gelar kemuliaan yang besar, bukan sekedar kemanusiaan."

Selanjutnya saya menemukan sebuah komentar oleh sarjana lain yang akan segera saya wawancarai untuk buku ini, William Lane Craig, yang telah membuat pengamatan serupa.

"Anak Manusia" sering dianggap mengindikasikan kemanusiaan Yesus, persis seperti ekspresi refleks "Anak Allah" mengindikasikan ketuhanan-Nya. Sebenarnya, kebalikannyalah yang benar. Anak Manusia adalah seorang figur ilahi dalam kitab Daniel di Perjanjian Lama yang akan datang pada akhir zaman untuk menghakimi umat manusia dan memerintah selamanya. Akibatnya, pernyataan sebagai Anak Manusia akan menjadi suatu pernyataan ketuhanan.

Lanjut Blomberg: "Sebagai tambahan, Yesus menyatakan akan mengampuni dosa-dosa dalam Injil-injil sinoptik, dan itu adalah sesuatu yang hanya Tuhan yang dapat melakukannya. Yesus menerima doa dan penyembahan. Yesus berkata, `Barangsiapa mengakui Aku, Aku akan mengakuinya di hadapan Bapa di sorga.` Penghakiman terakhir didasarkan pada reaksi seseorang kepada siapa? Manusia biasa ini? Tidak, itu akan menjadi suatu pernyataan yang sangat arogan. Penghakiman terakhir didasarkan pada reaksi seseorang pada Yesus sebagai Tuhan."

"Seperti yang dapat Anda lihat, ada semua jenis material dalam sinoptik tentang ketuhanan Kristus, yang kemudian menjadi lebih eksplisit dalam Injil Yohanes."

AGENDA TEOLOGIS KEEMPAT INJIL

Dalam menulis Injil terakhir, Yohanes benar-benar memiliki keuntungan karena dapat mempertimbangkan isu-isu teologis dalam suatu periode waktu yang lebih lama. Jadi saya bertanya pada Blomberg, "Tidakkah fakta bahwa Yohanes menulis dengan suatu kecenderungan teologis yang lebih besar berarti bahwa material historisnya mungkin telah dicemari dan dengan demikian menjadi kurang dapat dipercaya?"

"Saya tidak percaya bahwa Yohanes lebih teologis," Blomberg menekankan. "Ia hanya memiliki kumpulan penekanan-penekanan teologis yang berbeda. Matius, Markus, dan Lukas masing-masing memiliki sudut- sudut teologis yang sangat berbeda yang ingin mereka soroti: Lukas, teolog yang memberi perhatian pada mereka yang miskin dan masalah sosial; Matius, teolog yang mencoba memahami hubungan antara Kekristenan dengan Yudaisme; Markus, yang menunjukkan Yesus sebagai budak yang menderita. Anda dapat membuat daftar yang panjang mengenai perbedaan teologis antara Matius, Markus, dan Lukas."

Saya menyelanya karena takut Blomberg kehilangan maksud utama saya yang lebih luas. "Oke, tetapi tidakkah motivasi-motivasi teologis itu menimbulkan keraguan akan kemampuan dan kemauan mereka untuk secara akurat melaporkan apa yang terjadi?" tanya saya. "Apakah tidak mungkin bahwa agenda teologis mereka akan mendorong mereka untuk mengubah dan memutarbalikkan sejarah yang mereka catat?"

"Itu tentunya berarti bahwa sebagaimana halnya dengan dokumen ideologis mana pun juga, kita harus mempertimbangkannya sebagai suatu kemungkinan," ia mengakui. "Ada orang-orang dengan keyakinan kuat untuk melakukan sesuatu dengan mengubah sejarah untuk mencapai tujuan ideologis mereka, namun sayangnya orang-orang telah menyimpulkan bahwa itu selalu terjadi, padahal itu adalah suatu kesimpulan yang salah."

"Dalam dunia kuno, gagasan untuk menulis sejarah yang tidak memihak dan objektif sekadar untuk mencatat peristiwa-peristiwa secara kronologis, tanpa tujuan ideologis apa pun, tidak pernah terdengar. Tidak seorang pun menulis sejarah jika tidak terdapat suatu alasan untuk belajar dari itu."

Saya tersenyum. "Saya kira Anda dapat berkata bahwa itu membuat segalanya menjadi patut dicurigai," saya berpendapat.

"Ya, pada suatu tingkat memang," jawabnya. "Namun, jika kita secara masuk akal dapat merekonstruksi sejarah yang akurat dari semua jenis sumber sejarah kuno lainnya, kita seharusnya mampu melakukannya dari keempat Injil, bahkan meskipun mereka juga ideologis."

Blomberg berpikir sejenak, memikirkan sebuah analogi yang sesuai untuk menyampaikan maksudnya. Akhirnya ia berkata, "Berikut ini adalah sebuah paralel modern, dari pengalaman komunitas Yahudi, yang mungkin dapat menjelaskan apa yang saya maksudkan."

"Beberapa orang, biasanya untuk tujuan-tujuan anti-Semitik (Semitik: bangsa-bangsa yang berbahasa Semit, umumnya dipakai untuk mengacu kepada bangsa Yahudi), menyangkal atau mengecilkan kengerian-kengerian Holocaust (usaha pemusnahan orang-orang ras Yahudi di Eropa oleh Nazi sebelum dan selama Perang Dunia II). Namun, para sarjana Yahudilah yang menciptakan museum-museum, menulis buku-buku, memelihara artifak- artifak, dan mendokumentasikan kesaksian saksi mata mengenai Holocaust."

"Nah, mereka memiliki suatu tujuan yang sangat ideologis yakni, untuk memastikan agar kekejaman semacam itu tidak akan pernah terjadi lagi, namun mereka juga menjadi orang-orang yang paling setia dan objektif dalam melaporkan kebenaran sejarah.

"Kekristenan juga berdasar pada pernyataan-pernyataan historis tertentu bahwa Tuhan secara unik memasuki ruang dan waktu dalam pribadi Yesus dari Nazaret sehingga ideologi yang diupayakan oleh orang-orang Kristen untuk dikembangkan itu memerlukan karya historis yang sehati-hati mungkin."

Ia membiarkan analoginya diresapi. Berpaling untuk menghadap saya lebih langsung, ia bertanya, "Apakah Anda menangkap maksud saya?"

Saya mengangguk untuk mengindikasikan bahwa saya sudah menangkap maksudnya.

BERITA-BERITA HANGAT DARI SEJARAH

Mengatakan bahwa keempat Injil berakar pada kesaksian saksi mata langsung maupun tidak langsung adalah satu hal, namun menyatakan bahwa informasi ini secara dapat diandalkan dipelihara sampai akhirnya dituliskan bertahun-tahun kemudian merupakan hal yang berbeda. Ini, saya tahu, adalah suatu pokok pernyataan besar, dan saya ingin menantang Blomberg dengan isu ini seterus-terang mungkin.

Sekali lagi saya mengambil buku populer Armstrong, "A History of God". "Coba dengarkan hal lain yang ia tulis," kata saya.

"Kita hanya mengetahui sangat sedikit tentang Yesus. Laporan panjang pertama tentang kehidupan-Nya adalah dalam Injil Santo Markus, yang tidak dituliskan sampai sekitar tahun 70, kira-kira empat puluh tahun setelah kematian-Nya. Pada saat itu, fakta-fakta sejarah telah diselaputi elemen-elemen dongeng yang mengekspresikan makna yang telah Yesus berikan kepada para pengikut-Nya. Makna inilah yang terutama disampaikan oleh Santo Markus lebih daripada suatu pelukisan terus terang yang dapat dipercaya.

Melemparkan buku itu kembali ke dalam tas kerja saya yang terbuka, saya berpaling kepada Blomberg dan melanjutkan. "Beberapa sarjana berkata bahwa keempat Injil ditulis begitu jauh setelah legenda mengembang dan mengubah peristiwa-peristiwa yang akhirnya dituliskan; mengubah Yesus dari sekadar seorang guru yang bijak menjadi Anak Allah yang mitologis. Apakah itu merupakan suatu hipotesis yang masuk akal atau adakah suatu bukti yang bagus bahwa keempat Injil dicatat lebih awal daripada itu, sebelum legenda dapat sepenuhnya mengubah apa yang pada akhirnya dicatat?"

Kedua mata Blomberg menyipit, dan suaranya bernada kukuh. "Ada dua isu terpisah di sini, dan penting untuk menjaga keduanya tetap terpisah," katanya. "Saya sungguh-sungguh berpikir bahwa terdapat bukti yang bagus untuk mengusulkan tanggal-tanggal yang awal bagi penulisan keempat Injil. Namun kalaupun tidak ada, argumen Armstrong bagaimanapun juga tidak akan terbukti."

"Mengapa tidak?" tanya saya.

"Penanggalan standar oleh para sarjana, bahkan dalam kalangan yang sangat liberal, adalah Markus pada tahun 70-an, Matius dan Lukas pada tahun 80-an, Yohanes pada tahun 90-an. Tapi dengar: itu masih tetap di dalam masa ketika banyak saksi mata Yesus masih hidup, termasuk para saksi mata yang memusuhi yang akan berperan sebagai pengoreksi jika ajaran-ajaran yang salah tentang Yesus disebarluaskan.

"Secara konsekuen, tanggal-tanggal untuk keempat Injil ini benar-benar tidak semuanya selambat itu. Sebenarnya, kita dapat membuat suatu perbandingan yang sarat informasi."

"Dua biografi Alexander Agung yang paling awal ditulis oleh Arrian dan Plutarch lebih dari empat ratus tahun setelah kematian Alexander pada tahun 323 SM. Walaupun demikian, para sejarawan menganggap bahwa secara umum keduanya patut dipercaya. Ya, material legendaris tentang Alexander memang berkembang seiring berlalunya waktu, namun itu hanya dalam abad-abad setelah kedua penulis ini mati.

"Dengan kata lain, kisah Alexander terpelihara cukup utuh selama lima ratus tahun pertama; material legendaris mulai muncul selama lima ratus tahun sesudahnya. Jadi, entah apakah keempat Injil dituliskan enam puluh atau tiga puluh tahun setelah kehidupan Yesus, jumlah waktunya dapat diabaikan menurut perbandingan ini. Itu hampir bukan merupakan isu."

Saya dapat memahami apa yang dikatakan Blomberg. Pada saat yang sama, saya memiliki beberapa keberatan mengenai itu. Menurut saya, secara intuitif kelihatan jelas bahwa semakin singkat celah antara sebuah peristiwa dan saat ketika itu dicatat dalam tulisan, semakin berkurang kemungkinan bahwa rulisan-tulisan itu akan menjadi legenda atau memori-memori yang salah.

"Untuk saat ini saya mengakui kebenaran pendapat Anda, namun marilah segera kembali pada penanggalan keempat Injil," kata saya. "Anda mengindikasikan bahwa Anda percaya keempat Injil ditulis lebih awal daripada tanggal-tanggal yang Anda sebutkan."

"Ya, lebih awal," katanya. "Dan kita dapat menguatkannya dengan memerhatikan kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas. Kisah Para Rasul rupanya belum selesai ditulis -- Paulus adalah figur sentral dalam kitab itu, dan ia berada dalam tahanan rumah di Roma. Dengan laporan itu, kitab tersebut secara mendadak terputus. Apa yang terjadi pada Paulus? Kita tidak menemukannya dalam Kisah Para Rasul, mungkin karena kitab itu ditulis sebelum Paulus dihukum mati."

Blomberg semakin bersemangat seraya ia melanjutkannya. "Itu berarti Kisah Para Rasul tidak dapat diberi tanggal lebih lama daripada tahun 62 M. Dengan menetapkan demikian, kita kemudian dapat bergerak mundur dari situ. Karena Kisah Para Rasul merupakan yang kedua dari sebuah karya yang terdiri dari dua bagian, kita tahu bagian yang pertama -- Injil Lukas -- pasti telah ditulis lebih awal dari itu. Dan karena Lukas memasukkan bagian-bagian dari Injil Markus, itu berarti Markus ditulis bahkan lebih awal lagi."

"Jika Anda memberikan waktu mungkin satu tahun bagi tiap-tiap kitab tersebut, Anda akan mendapat hitungan akhir bahwa Injil Markus ditulis tidak lebih lama dari sekitar tahun 60 M., mungkin bahkan pada akhir tahun 50-an. Jika Yesus dihukum mati tahun 30 atau 33 M, kita membicarakan suatu celah maksimum sebesar kurang lebih tiga puluh tahun."

Ia duduk kembali di kursinya dengan suatu raut kemenangan. "Berbicara secara historis, khususnya dibandingkan dengan Alexander Agung," katanya, "itu seperti suatu berita kilat!"

Memang, itu mengesankan, menutup celah antara peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus dan penulisan keempat Injil sampai pada titik di mana itu dapat diabaikan oleh standar-standar historis. Bagaimanapun juga, saya masih ingin mendesakkan isu ini. Sasaran saya adalah memutar waktu mundur kembali sejauh yang saya bisa untuk sampai pada informasi yang paling awal tentang Yesus.

KEMBALI KE AWAL

Saya berdiri dan berjalan ke lemari buku. "Mari lihat apakah kita dapat kembali bahkan lebih jauh lagi," kata saya, berpaling menghadap Blomberg. "Seberapa awal kita dapat memberi tanggal pada kepercayaan- kepercayaan mendasar kepada pendamaian Yesus, kebangkitan-Nya, dan hubungan-Nya yang unik dengan Tuhan?"

"Penting untuk mengingat bahwa kitab-kitab Perjanjian Baru tidak disusun berdasarkan urutan kronologis," ia memulai. "Keempat Injil ditulis setelah selesainya hampir seluruh surat-surat Paulus, yang pelayanan menulisnya barangkali dimulai pada akhir tahun 40-an. Kebanyakan surat-surat utamanya muncul selama tahun 50-an. Untuk menemukan informasi yang paling awal, seseorang melihat surat-surat Paulus dan kemudian bertanya, `Apakah ada tanda-tanda bahwa sumber- sumber yang bahkan lebih awal digunakan dalam penulisan semua surat itu?`"

"Dan," potong saya, "apa yang kita temukan?"

"Kita menemukan bahwa Paulus memasukkan beberapa pernyataan kepercayaan, pengakuan-pengakuan iman, atau himne-himne dari gereja Kristen paling awal. Ini semua kembali ke bangkitnya gereja segera sesudah Kebangkitan Kristus."

"Pernyataan kepercayaan yang paling terkenal mencakup Filipi 2:6, yang berbicara tentang Yesus dalam `rupa Allah`, dan Kolose 1:15-20, yang mendeskripsikan Yesus sebagai `gambar Allah yang tidak kelihatan`, yang menciptakan segalanya dan melalui siapa segala sesuatu diperdamaikan dengan Allah dengan `mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.`"

"Semua itu tentu saja penting dalam menjelaskan apa yang diyakini orang-orang Kristen paling awal tentang Yesus. Namun barangkali pernyataan kepercayaan paling penting dalam istilah-istilah Yesus yang historis adalah 1Korintus 15, di mana Paulus menggunakan bahasa teknis untuk mengindikasikan bahwa ia sedang menyampaikan tradisi oral ini dalam bentuk yang relatif lebih pasti."

"Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa- dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa la telah dibangkitkan, pada hari yang ke tiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas (Petrus) dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu, Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua Rasul."

"Dan inilah intinya," kata Blomberg. "Jika Penyaliban terjadi seawal tahun 30 M, pertobatan Paulus terjadi sekitar tahun 32. Dengan segera Paulus diantar ke Damaskus, di mana ia bertemu dengan seorang Kristen bernama Ananias dan beberapa murid lainnya. Pertemuan pertamanya dengan para rasul di Yerusalem akan berarti terjadi kira-kira tahun 35 M. Pada suatu waktu di sana, Paulus diberi pernyataan kepercayaan ini, yang telah dirumuskan dan digunakan dalam gereja mula-mula."

"Kini, Anda telah memiliki fakta-fakta kunci tentang kematian Yesus untuk dosa-dosa kita, ditambah sebuah daftar rinci berisi semua orang kepada siapa Ia menampakkan diri dalam wujud kebangkitan -semuanya bertanggal kembali pada dua sampai lima tahun dari peristiwa-peristiwa itu sendiri!"

"Itu bukan mitologi yang lebih lambat dari empat puluh tahun atau lebih sesudahnya, seperti pendapat Armstrong. Suatu pembuktian yang bagus bisa dibuat untuk mengatakan bahwa orang Kristen memercayai Kebangkitan yang, meskipun belum dituliskan, dapat diberi tanggal dalam dua tahun setelah peristiwa itu sendiri terjadi."

"Ini luar biasa penting," katanya, suaranya sedikit meninggi untuk memberi penekanan. "Kini Anda tidak membandingkan tiga puluh sampai enam puluh tahun dengan lima ratus tahun yang secara umum diterima untuk data lain -- Anda membicarakan kira-kira dua tahun!"

Saya tak dapat menyangkal pentingnya bukti itu. Itu tentu saja kelihatannya meredam tuduhan bahwa Kebangkitan -- yang disebut oleh orang-orang Kristen sebagai penegasan atas penobatan ketuhanan Yesus - - hanyalah sekadar konsep mitologis yang berkembang setelah periode waktu yang panjang sementara legenda-legenda mengubah laporan-laporan para saksi mata kehidupan Kristus. Bagi saya, ini khususnya menghantam hampir tepat pada sasaran -sebagai seorang skeptik, ini adalah salah satu dari penolakan-penolakan terbesar saya terhadap kekristenan.

Sumber-sumber lain mengenai topik ini

Barnett, Paul. Is the New Testament History? Ann Arbor, Mich.: Vine, 1986. jesus and the Logic of History. Grand Rapids: Eerdmans, 1997.

Blomberg, Craig. The Historical Reliability of the Gospel. Downer Grove, I11.: InterVarsity Press, 1997.

Bruce, F.F. The New Testament Document: A re They Reliable? Grand Rapids: Eerdmans, 1960.

France, R. T. The Evidence for Jesus. Downers Grove, I11.: InterVarsity Press, 1986.

Judul buku: Pembuktian atas Kebenaran Kristus; Investigasi Pribadi
Seorang Jurnalis atas Bukti tentang Yesus
Penulis : Lee Strobel
Penerbit : Gospel Press
Tahun : 25 -- 44

Beritakan Injil; Standar Alkitabiah Bagi Penginjil

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat berjumpa lagi dalam kasih Kristus.

Walaupun tugas penginjilan ditujukan bagi semua orang Kristen, tidak semua orang Kristen mengetahui adanya standar tertentu yang harus dipenuhi ketika kita menginjili. Kebanyakan kita mempelajari penginjilan hanya sekadar metode yang harus dipelajari. Padahal ada esensi penting yang harus diberitakan dan dikerjakan sehingga sebuah penginjilan bisa disebut penginjilan yang bertanggung jawab. Esensi penginjilan adalah perintah Alkitab yang seharusnya memiliki isi yang sama untuk semua orang Kristen di seluruh dunia. Apakah isi esensi penginjilan itu?

Konferensi Internasional Bagi Penginjil Keliling, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penginjilan Billy Graham di Amsterdam pada tahun 1983, telah melahirkan Lima Belas Pengukuhan penting tentang esensi penginjilan itu. Sebagai pemrakarsa konprensi ini, Billy Graham didaulat untuk memberikan uraian/penjelasan tentang Lima Belas Pengukuhan yang telah disampaikan dalam konferensi tersebut dalam sebuah buku, yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya berjudul "Beritakan Injil: Standar Alkitabiah bagi Penginjil". Nah, saya anjurkan Anda membeli buku tersebut sehingga dapat membaca dengan jelas uraian yang disampaikan di dalamnya.

Bagi Anda yang tidak dapat menikmati bukunya, saya ingin memberikan cuplikannya saja, khususnya prakata buku tersebut yang disampaikan oleh Billy Graham sendiri. Bagian prakata ini sangat penting untuk memahami latar belakang dan motivasi lahirnya Lima Belas Pengukuhan yang dideklarasikan dalam konferensi internasional bagi para penginjil ini. Untuk itu, silakan simak artikel berikut ini yang sebenarnya adalah prakata dari buku yang aslinya berjudul "A Biblical Standard for Evangelists."

Untuk melengkapinya, saya tambahkan juga pokok penting dari Lima Belas Pengukuhan di bagian bawah artikel ini. Namun, saya minta maaf karena isinya hanyalah rumusannya saja dan tidak ada uraiannya. Untuk mendapatkan uraiannya, belilah bukunya.

In Christ, Yulia Oeniyati < yulia(a t)in-christ.net >

Penulis: 

Billy Graham

Edisi: 

088/IV/2007

Tanggal: 

01-10-2007

Isi: 
Beritakan Injil; Standar Alkitabiah bagi Penginjil

Beritakan Injil; Standar Alkitabiah bagi Penginjil

Konferensi Internasional bagi Penginjil Keliling -- Amsterdam `83 -- tidak hanya merupakan kejadian penting dalam kehidupan saya sebagai penginjil, tetapi juga merupakan konferensi yang bersejarah. Baru pertama kali dalam sejarah, konferensi semacam itu diselenggarakan. Pada puncak konferensi itu, terjadilah saat-saat yang khidmat, yaitu janji penyerahan diri. Rekan-rekan sepanggilan -- para penginjil dari berbagai benua -- termasuk saya, menyerahkan diri kembali untuk melayani Tuhan kita, Yesus Kristus. Dengan bersuara, kami mengucapkan kata-kata yang sangat berarti, yang kami sebut sebagai "Pengukuhan-Pengukuhan Amsterdam".

Kelima Belas Pengukuhan itu memuat patokan alkitabiah bagi mereka yang dikhususkan Tuhan untuk "melakukan pekerjaan seorang penginjil". Lebih daripada itu, Kelima Belas Pengukuhan tersebut juga ada hubungannya dengan seluruh keluarga besar Allah. Bukankah kita semua dipanggil untuk menjadi saksi-saksi-Nya? Oleh karena itulah buku ini, yang berisi ulasan tentang Kelima Belas Pengukuhan tersebut, ditulis untuk menjangkau kalangan yang lebih luas.

penginjilan

Perkenankan saya mengenang sejenak. Bertahun-tahun yang lalu, Tuhan memberi visi kepada saya untuk menghimpun penginjil-penginjil dari berbagai penjuru dunia dalam sebuah konferensi. Pada waktu itu, hal tersebut tampaknya tidak mungkin terjadi. Saya masih terlalu muda. Penginjil-penginjil yang lebih tua dan yang lebih berpengalaman daripada saya mungkin saja tidak menyukai prakarsa saya itu. Namun, gagasan itu tidak pernah memudar. Saya tidak pernah meragukan bahwa pada suatu hari, konferensi itu akan terlaksana. Hanya saja, saya harus peka terhadap "waktu" Tuhan, kapan Ia menghendaki konferensi itu diselenggarakan. Kalau kami mengenang kembali, kami dapat merasakan bimbingan-Nya langkah demi langkah sampai konferensi tersebut terselenggara.

Sementara itu, Lembaga Penginjilan Billy Graham sering mengadakan dan membiayai berbagai kegiatan serupa lainnya. Kongres Pekabaran Injil se-Dunia diadakan di Berlin pada tahun 1966. Setelah itu, berbagai konferensi regional, termasuk konferensi untuk para pemimpin injili se-Asia diadakan di Singapura pada tahun 1968. Konferensi Pekabaran Injil se-Eropa diadakan pada tahun 1971. Setelah itu, kami menyelenggarakan konferensi sedunia lagi di Laussane, Swis, pada tahun 1974. Walaupun semua konferensi itu diorganisasikan dan dibiayai oleh Lembaga Penginjilan Billy Graham, dan sebagian besar tanggung jawab jatuh di bahu saya, sebagai ketua kehormatan, saya mengangkat ketua- ketua rapat dan ketua-ketua panitia sebagai orang-orang yang bertanggung jawab atas kelangsungan konferensi itu.

Pertemuan-pertemuan itu menghimpun para teolog, para pakar pendidikan, ketua-ketua badan zending, pendeta-pendeta, pemimpin-pemimpin gereja dan para penginjil, sangat mengesankan dan bermanfaat. Kalau kami tinjau kembali, rupanya mereka telah menjadi peletak dasar terwujudnya Konferensi Amsterdam `83. Namun, dalam benak dan hati saya, selalu terbayang visi konferensi khusus bagi para penginjil. Masalahnya: Bagaimana kita dapat membedakan antara pendeta yang mempunyai karunia sebagai penginjil, dengan orang yang seperti saya, berkeliling mewartakan Injil dari satu tempat ke tempat yang lain? Kami berpendapat kata "keliling" ini telah memperjelas perbedaannya.

Anehnya, waktu kami membicarakan kemungkinan dilaksanakannya konferensi itu, ternyata hanya sedikit orang saja yang mempunyai visi yang sama. Namun, sementara waktu berjalan, kami heran bahwa ada antusias yang kian meningkat selagi publikasi tentang konferensi itu beredar. Pada masa itu, anggaran yang kami perkirakan tidak lebih dari sejuta dolar. Kami tidak pernah menduga bahwa anggaran yang diperlukan dapat melonjak sampai delapan juta dolar! Pada waktu itu, kami juga tidak dapat memperkirakan berapa banyak penginjil yang akan turut berperan serta, dan dari mana saja mereka akan berdatangan. Kendati biayanya sampai mencapai delapan juta dolar, saya yakin setiap dolar yang dikeluarkan tidaklah sia-sia. Bagaimana Tuhan menyediakan dana -- hal itu menakjubkan sekali. Orang-orang dari seluruh dunia mengirim sumbangan. Sementara masa persiapan terus bergerak maju, orang-orang Kristen di berbagai negara terus berdoa. Tuhan mengabulkan doa-doa mereka -- lebih dari apa yang kami harapkan.

Di mana konferensi akan diselenggarakan? Maka Amsterdamlah yang terpilih menjadi tuan tamu. Bangsa Belanda dikenal sebagai orang-orang yang suka menerima tamu. Dan, kami mengetahui bahwa tidak ada kesulitan untuk mendapatkan visa bagi para peserta dari berbagai negara. Ada fasilitas istimewa yang membuat Amsterdam menjadi salah satu tempat konferensi yang terbaik di dunia -- sanggup menyediakan seratus delapan puluh tempat lokakarya (dengan banyak ruang cadangan). Maskapai Penerbangan Belanda, KLM, berjanji untuk membantu, tidak saja dalam hal transportasi, tetapi juga mau menyediakan makanan bagi setiap peserta selama konferensi berlangsung. Mereka menepati janji dengan memberi makan lima ribu orang secara serentak dalam waktu kurang dari lima puluh menit.

Tuhan menyediakan beberapa orang untuk menjabat sebagai pemimpin. Walter H. Smyth, yang bertugas menangani urusan internasional. Orang yang diangkat menjadi direktur adalah teman lama saya. Dia juga teman sejawat saya dan menjabat sebagai ketua dari pelayanan organisasi kami di Jerman, yaitu Werner Burklin. Ia membawa timnya yang terdiri dari orang-orang yang melayani tanpa pamrih. Leighton Ford diminta menjadi ketua rapat. Campus Crusade for Christ mengutus Paul Eshleman untuk melayani sebagai ketua acara. Saya ingat, pada suatu rapat panitia, Paul mengutarakan garis besar dari visinya; ia meluaskan pikiran saya seribu kali lipat tentang kemungkinan-kemungkinan jangka panjang yang dapat lahir dari konferensi itu.

Bob William, dari staf kami, diminta untuk memimpin bagian penyeleksian para peserta. Mula-mula kami mengira hanya ada beberapa ratus Penginjil Keliling saja yang akan hadir. Kami tidak mengira bahwa ada begitu banyak Penginjil Keliling di dunia ini. Selama beberapa tahun, kami mengumpulkan nama-nama Penginjil Keliling. Itu merupakan pekerjaan yang belum pernah kami lakukan. Besarnya jumlah penginjil melebihi perkiraan kami. Formulir-formulir pendaftaran peserta terus mengalir masuk, melebihi jumlah kursi yang tersedia. Sekitar dua ratus panitia di seluruh dunia membantu untuk menyeleksi pesertanya. Kami memerhatikan secara khusus agar para penginjil yang tidak terkenal namanya, yang setia melayani di bagian bumi yang paling jauh dari kami, jangan sampai terlewat.

Saya tidak dapat melupakan hari pembukaan konferensi itu. Hari itu adalah hari yang terpanas di Amsterdam. Ruangan konferensi bagaikan sebuah oven raksasa. Dengan mengenakan jas biru, seratus lima puluh penerima tamu dari universitas Kristen dan berbagai organisasi Kristen mengantar sekitar empat ribu hadirin (ditambah dengan seribu orang lainnya yang terdiri dari para pemantau, tamu, wartawan, dll.) ke tempat duduk mereka masing-masing.

Sementara saya menatap lautan manusia itu dari panggung, hati saya penuh dengan rasa terima kasih kepada Tuhan. Visi yang Ia berikan kepada saya bertahun-tahun yang lalu telah digenapi pada waktu-Nya yang tepat.

Dalam upacara pembukaan diadakan pawai dengan membawa bendera dari seratus tiga puluh tiga negara yang diwakilinya. Di hadapan saya terhimpun penginjil-penginjil yang menjadi bagian dari pasukan Allah. Mereka adalah orang-orang yang bertekad melaksanakan Amanat Agung Yesus Kristus. Dari wajah mereka dan dari sinar mata mereka tercermin bahwa mereka datang dengan penuh antusias. Banyak di antara mereka ada yang baru pertama kali bepergian keluar dari negara mereka, bahkan ada yang baru kali itu bepergian keluar dari provinsinya! Sebagian, ada yang baru pertama kali menumpang pesawat udara. Kedatangan mereka di Amsterdam merupakan pengalaman yang istimewa. Segala sesuatunya baru. Melalui pantulan sinar mata mereka, tercerminlah sekilas pandangan baru tentang dunia ini. Kesungguhan mereka dalam menyimak apa yang kami sampaikan merupakan tanda betapa dalamnya pengabdian mereka.

Di dalam buku karangan Dave Foster mengenai konferensi itu yang berjudul Billy Graham, A Vision Imparted, ia menggambarkan saat-saat saya mengakhiri sidang pembukaan itu:

"Pada waktu ia mengakhiri kata-kata pembukaannya dan memimpin doa pengabdian dan penyerahan diri, konferensi itu seakan-akan `tersulut api`. Di situ dapat dirasakan sudah terjadi pembaharuan rohani dalam hati para peserta. Hal itu nampak jelas dari ungkapan hati mereka waktu menyanyikan lagu penutup yang berbunyi:

"Tuhanku Allahku -- penuh kasih karunia, Tolonglah hamba mewartakan, Memberitakan ke seluruh penjuru bumi, Kemuliaan nama-Mu.

"Ketika Walter Smyth turun dari panggung, ... ia berkata bahwa kehadiran Roh Kudus dan persatuan di dalam kasih Kristus sudah terasa. Suasana dipenuhi puji-pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Konferensi ini tampaknya dimulai dengan suasana yang pada umumnya terjadi pada penutupan suatu konferensi."

Sahabat karib saya, yang juga teman sejawat saya, Cliff Barrows, adalah seorang yang sangat besar peran sertanya dalam konferensi tersebut sehingga tercipta suasana yang seperti itu. Dialah yang bertugas mengurus panggung selama konferensi berlangsung. Sepanjang masa pelayanan saya, saya belum pernah menemukan orang lain yang dapat lebih baik melakukan pekerjaan semacam itu daripada dia. Acara musik yang dipimpinnya di Amsterdam betul-betul mengagumkan. Lagu-lagu rohani yang telah dipilihnya dengan baik, berikut refrein-refreinnya sangat berkaitan dengan peristiwa besar itu. Setiap kali saya mendengar atau menyanyi lagu "Emmanuel, God with us" atau "Freely, freely, you have received ...", saya pasti terkenang akan konferensi di Amsterdam.

Konferensi itu lebih daripada sekadar kesempatan istimewa untuk bersekutu dan berbakti bersama para penginjil -- rekan-rekan sepanggilan. Konferensi itu merupakan kesempatan untuk berpikir dengan sungguh-sungguh mengenai strategi penginjilan, kesempatan untuk berdoa bagi terlaksananya Amanat Agung. Umpamanya, banyak gagasan berbobot telah terkumpul untuk menerbitkan sebuah buku penuntun bagi para Penginjil Keliling di seluruh dunia. Banyak sekali penginjil yang berminat akan hal itu. Dr. Lewis Drummond, seorang profesor bidang penginjilan di Southern Baptist Theological Seminary, Louisville, Kentucky, yang diberi tanggung jawab untuk menyusun buku penuntun itu berkata, "Saya mengira, saya datang di Amsterdam ini untuk bekerja sama dengan tidak lebih dari dua puluh profesor dari bidang penginjilan yang akan menyiapkan buku penuntun tersebut. Saya tidak mengira sama sekali bahwa begitu banyak penginjil yang berminat untuk menyusun kurikulum Penginjil Keliling." Kalau begitu, bagaimanapun juga, Amsterdam `83 akan tetap merupakan sarana yang melahirkan banyak cara untuk melaksanakan PI yang berkesinambungan.

Lagi pula, Amsterdam `83 juga merupakan motor penggerak bagi kegiatan penginjilan selama konferensi itu berlangsung. Supaya mereka mempraktikkan penginjilan berdasarkan berbagai ketentuan yang alkitabiah, para penginjil yang datang ke Amsterdam mengkhususkan suatu sore untuk bersaksi di jalan-jalan, di pantai Laut Utara Negeri Belanda, di taman-taman, dan di mana saja mereka dapat menjumpai orang-orang.

Saya ingin sekali turut mengambil bagian dalam kegiatan bersaksi sore itu, tetapi ada masalah. Setiap kali media massa memublikasikan kehadiran saya di suatu tempat, tidak mungkin saya dapat berjalan dengan bebas karena mereka semua mengenali saya. Maka dari itu, sebelum saya pergi dengan rekan saya, T.W. Wilson, ke taman yang ada banyak orang, saya mengenakan celana jins yang sudah usang, topi, dan kaca mata hitam. Saya membagi-bagikan traktat "Empat Langkah Menuju Perdamaian dengan Allah", dan saya mencoba bersaksi. Tanggapan yang saya terima tidak begitu menggembirakan. Rasanya saya tidak mencapai sasaran!

Pada waktu itu saya melihat sekelompok kecil orang Kristen Afrika dari Pantai Gading. Mereka sedang bersaksi kepada seorang mahasiswa Belanda. Pada mulanya mahasiswa itu kelihatan hendak mengelak. Akan tetapi, orang-orang Afrika itu begitu ramah dan manis budi sehingga mahasiswa itu tidak jadi menghindar! Mereka membuka Alkitab dan menunjukkan beberapa ayat kepadanya. Saya bergabung dengan mereka dan duduk mendengarkan. Saya belum pernah mendengar kesaksian yang semantap itu!

Di Amsterdam, Tuhan membuka kemungkinan bagi kami untuk saling belajar. Satu hal yang saya pelajari dari orang-orang yang kami jangkau ialah mereka lebih tertarik kepada Pribadi Yesus Kristus daripada kepada agama atau organisasi Kristen atau gereja. Pribadi Kristuslah yang menarik perhatian mereka.

Ketika kami sedang berusaha menentukan siapa yang hendak kami undang ke Amsterdam, kami terlebih dahulu harus membuat ketentuan dengan membahas pertanyaan dasar, "Seorang penginjil itu apa?" Memang kita mengetahui bahwa setiap orang Kristen adalah seorang saksi Kristus. Akan tetapi, kita juga menyadari bahwa Tuhan memanggil orang-orang tertentu untuk melaksanakan pelayanan khusus, yaitu pelayanan penginjilan.

pendukung penginjilan

Penginjil adalah orang yang diberi karunia khusus dari Roh Kudus untuk memberitakan Kabar Baik. Metode-metode yang dipakai akan berbeda-beda. Hal itu bergantung pada kesempatan dan panggilan yang dimiliki setiap penginjil. Namun, ada satu hal pokok yang sama: seorang penginjil dipanggil dan diperlengkapi secara khusus oleh Tuhan untuk memberitakan Injil kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus. Tujuannya agar mereka berpaling kepada Kristus, bertobat dari dosa-dosa mereka, serta beriman kepada-Nya. Dalam Perjanjian Baru, kata "pemberita Injil" dalam bahasa Yunani berarti "seseorang yang memberitakan kabar baik". Bentuk kata kerja yang berarti "memberitakan kabar baik" itu muncul lebih dari lima puluh kali. Kata benda "pemberita Injil" yang dipakai untuk menyebutkan seseorang yang membawa kabar baik, agaknya merupakan kata yang jarang dipakai pada zaman dahulu, kendati kata itu dipakai sebanyak tiga kali dalam Perjanjian Baru. Marilah kita tinjau sejenak ketiga ayat itu, agar kita dapat memahami apa yang dimaksudkan Alkitab dengan kata "pemberita Injil".

Acuan yang paling umum bagi kata "pemberita Injil" dapat kita temukan dalam Efesus 4:11. Dalam ayat itu, Rasul Paulus menyatakan bahwa Tuhanlah yang "memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala gembala dan pengajar-pengajar". Karunia dan jabatan penginjil yang terdapat dalam Perjanjian Baru ini tidak pernah dicabut dari gereja. Itu bukan saja merupakan pelayanan yang penting, tetapi juga merupakan pelayanan yang Tuhan berikan untuk dipakai -- seperti halnya dengan karunia-karunia lainnya -- "bagi pembangunan tubuh Kristus" (Efesus 4:12).

Tragis sekali, ada kalanya gereja tidak lagi menyadari pentingnya pelayanan seorang penginjil. Lebih buruk lagi, kadang-kadang para penginjil itu sendiri menambah runyam persoalan karena mereka gagal untuk bekerja sama sepenuhnya dengan gereja-gereja. Bagaimanapun juga, tentu salah satu kebutuhan utama gereja masa kini ialah menemukan kembali pentingnya penginjilan; gereja juga perlu mempunyai keyakinan kembali tentang perlu adanya seorang penginjil. Berikut ini adalah kutipan perkataan mantan Uskup Besar Anglikan di Sidney, Sir Marcus Loane yang memberi ceramah di Amsterdam.

"Mudah sekali kita mengira bahwa zaman penginjilan ... telah berakhir. Dugaan itu menimbulkan wabah yang menjangkiti gereja yang visi penginjilannya sudah kabur .... Bilamana visi penginjilan dan usaha penjangkauan itu mandek, gereja akan menghadapi masalah serius: Para anggotanya terdiri dari orang-orang Kristen KTP saja. Masalah itu timbul dari dalam; gereja menjadi suam-suam kuku."

Dua ayat lainnya dalam Perjanjian Baru mengacu kepada orang-orang yang secara khusus melayani bidang penginjilan. Dalam Kis. 21:8, Filipus disebut "pemberita Injil". Dalam 2 Timotius 4:5 Rasul Paulus berkata kepada Timotius, "Lakukanlah pekerjaan pemberita Injil" (2 Timotius 4:5). Kami mengangkat nasihat itu menjadi tema Amsterdam`83.

Pekerjaan seorang penginjil dengan jelas digambarkan oleh Filipus dan Timotius. Menurut Kis. 8:12, kita mengetahui bahwa "Filipus ... memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, ... " Dalam Konferensi Amsterdam, Dr. Stephen F. Olford menyoroti tiga ciri Filipus -- ciri-ciri itu harus ada pada tiap penginjil. Pertama, Filipus adalah seorang pelayan Tuhan di gereja, dan penginjilan harus selalu ditanamkan sebanyak mungkin di dalam gereja. Kedua, Filipus juga seorang pengkhotbah di dunia; ia beranjak dari tempat yang satu ke tempat yang lain, menemui orang- orang yang belum mendengar Injil atau yang belum mengenal Kristus. Ketiga, Filipus tidak mengabaikan tanggung jawab atas keluarganya. Ia mempunyai empat anak perempuan yang dikenal sebagai orang-orang yang memiliki karunia Roh; dan mereka adalah pelayan Tuhan. Begitu pula dengan Timotius. Rasul Paulus menulis tentang Timotius sebagai berikut, "Ia seorang pelayan Allah yang bekerja bersama kami untuk memberitakan Kabar Baik tentang Kristus" (1 Tesalonika 3:2, BIS).

Itulah yang dinamakan penginjilan, "memberitakan Kabar Baik tentang Kristus". Penginjilan itu lebih daripada sekadar metode; penginjilan adalah sebuah BERITA. Berita tentang kasih Allah, tentang dosa manusia, tentang kematian Kristus, tentang penguburan-Nya, dan kebangkitan-Nya. Penginjilan adalah berita tentang pengampunan dosa dari Allah. Penginjilan adalah berita yang menuntut suatu tanggapan -- menerima Injil itu dengan iman, lalu menjadi murid Yesus. Istilah "penginjilan" mencakup segala usaha untuk memberitakan Kabar Baik tentang Yesus Kristus. Tujuannya ialah supaya orang-orang mengerti bahwa Allah menawarkan keselamatan dan supaya mereka menerima keselamatan itu dengan iman, lalu hidup sebagai murid Yesus. Seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Lausanne, "Menginjili ialah memberitakan Kabar Baik bahwa Yesus Kristus mati bagi dosa-dosa kita, dan Ia sudah dibangkitkan dari antara orang mati, menurut Kitab Suci. Yesus Kristus adalah Tuhan yang memerintah, Ia sekarang menawarkan pengampunan dosa dan mengaruniakan Roh Kudus kepada semua orang yang bertobat dan yang percaya. ... Penginjilan itu sendiri ialah pemberitaan bahwa Kristus yang dikenal dalam sejarah dan dari Kitab Suci adalah Juru Selamat dan Tuhan. Ada pun tujuan pemberitaan itu ialah supaya orang-orang mau datang kepada-Nya secara pribadi dan dengan demikian mereka diperdamaikan dengan Allah. Waktu kita mengundang agar orang mau menerima Kristus, kita tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang murid Yesus . ... Hasil dari penginjilan mencakup hidup patuh kepada Kristus, menggabungkan diri dengan gereja-Nya, dan melayani Tuhan dengan penuh tanggung jawab di dunia ini." [Butir ke-4, dalam Perjanjian Lausanne, (c)1974 World Wide Publication, Minneapolis, Minnesota]

Semangat dan pengabdian dalam bidang penginjilan merupakan ciri khas orang-orang Kristen abad pertama. Itu seharusnya juga tercermin dalam kehidupan gereja masa kini. Pekerjaan menginjil tetap tidak berubah. Kebutuhan rohani umat manusia tetap tidak berubah. Berita penginjilan tetap tidak berubah. Dan, karunia Allah kepada gereja-Nya -- termasuk karunia seorang penginjil -- tetap tidak berubah.

Amsterdam `83 memberi kesan yang berbeda-beda kepada setiap peserta yang hadir. Bagi sebagian peserta, mungkin hal yang sangat mengesankan tentang Konferensi Amsterdam`83 itu ialah adanya penegasan tentang peranan seorang penginjil. Bagi peserta lainnya, mungkin saja yang sangat mengesankan adalah saat-saat mengabdikan diri kembali kepada pelayanan pemberitaan Injil yang diwarnai dengan suasana khusyuk dan khidmat. Akan tetapi, apa pun yang menjadi kesan dalam diri setiap peserta, saya yakin bahwa setelah tiap peserta pulang dan meresapi betapa pentingnya pelayanan memberitakan Injil, dan betapa besarnya kuasa Allah yang bekerja untuk mencapai tujuan-Nya, mereka pasti akan mengalami perubahan.

Sebagai tanda pengenal dan menyangkut keamanan, peserta konferensi diberi gelang plastik. Gelang plastik itu dipakai siang-malam selama konferensi itu berlangsung, dan tidak dapat dilepaskan tanpa memotongnya. Peserta diminta untuk tetap memakai gelang plastik itu sampai mereka meninggalkan Amsterdam. Cukup menarik. Sebagian penginjil merasa bahwa gelang plastik yang sederhana itu mempunyai arti lebih daripada sekadar tanda pengenal. Walau konferensi sudah lama berlalu, banyak di antara mereka masih memakai gelang plastik itu untuk mengingat kembali janji mereka yang diteguhkan di hadapan Tuhan, di Amsterdam, khususnya ketika mereka menyuarakan Kelima Belas Pengukuhan. Buku ini ditulis untuk memberi ulasan tentang pengukuhan- pengukuhan tersebut. Beberapa penginjil masih memakai gelang plastik itu sampai saat ini, misalnya di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan di berbagai belahan bumi ini!

Penginjilan itu lebih daripada sekadar metode; penginjilan adalah sebuah BERITA. Berita tentang kasih Allah, tentang dosa manusia, tentang kematian Kristus, tentang penguburan-Nya, dan kebangkitan-Nya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Sementara membuat persiapan Amsterdam `83, banyak orang dari berbagai negara menanyakan, apakah akan ada semacam "Keputusan Bersama" yang akan dikeluarkan oleh konferensi itu, seperti halnya Perjanjian Lausanne. Perjanjian itu adalah hasil dari Konferensi Lausanne pada tahun 1974 yang membahas tema pekabaran Injil sedunia. Setelah dipertimbangkan dengan saksama, diputuskan bahwa Amsterdam`83 tidak akan mengeluarkan keputusan bersama yang meringkaskan hasil dari konferensi karena tujuan utama Konferensi Amsterdam ialah berkenaan dengan hal-hal praktis, yaitu pelaksanaan PI. Bersamaan dengan itu, banyak penginjil dari latar belakang yang lain mengutarakan harapannya agar patokan-patokan bagi para penginjil dapat disusun. Akhirnya, panitia internasional yang sudah diseleksi, yang diketuai oleh Dr. Kenneth Kantzer, ditunjuk untuk menyusunnya. Mereka bekerja keras selama konferensi berlangsung. Naskah kasar mereka disampaikan kepada kelompok yang mewakili para penginjil dari berbagai penjuru dunia; mereka memberi banyak usulan yang berharga kepada panitia internasional itu. Naskah akhir mereka -- Pengukuhan- Pengukuhan Amsterdam -- disusun dengan singkat dan saksama, merangkum dasar-dasar alkitabiah, pekerjaan serta integritas seorang penginjil. Pada upacara penutupan, peserta konferensi serentak menyuarakan janji mereka terhadap setiap pengukuhan itu yang berjumlah lima belas butir.

Disarankan, agar saya menulis ulasan yang bersifat interpretatif tentang Kelima Belas Pengukuhan Amsterdam. Saya menyetujui. Agar saya dapat melakukan hal itu, saya menghubungi teman-teman saya, John Akers, Art Johnston, Dave Foster, dan Stephen F. Olford. Dalam menyiapkan khotbah, menulis artikel dan menyusun buku, saya sering bergantung pada pertolongan tim saya dan sahabat-sahabat saya itu. Saya sangat berterima kasih atas kesediaan mereka menolong dan memberi anjuran sementara saya menyelesaikan pekerjaan ini.

Doa saya ialah supaya Tuhan tidak hanya memakai buku ulasan tentang Kelima Belas Pengukuhan Amsterdam ini untuk menolong para Penginjil Keliling, tetapi juga untuk menolong banyak orang Kristen lainnya agar mereka mendapat visi yang lebih luas lagi tentang pekerjaan Tuhan di dunia ini. Allah telah menempatkan kita pada zaman yang unik ini dan yang mendesak waktunya bagi penginjilan. Ladang-ladang sudah "menguning dan siap untuk dituai". Memang sebagian orang dipilih khusus untuk menjadi penginjil, tetapi bukankah semua umat Allah adalah saksi-saksi-Nya. Oleh karena itu, saya berharap agar daya jangkau buku ini melebihi mereka yang hadir dalam Konferensi Amsterdam '83, dan supaya mereka melaksanakan apa yang tertuang dalam Pengukuhan-Pengukuhan itu. Saya berharap, kita akan melihat adanya pembaharuan pengabdian dan semangat penginjilan dalam diri setiap anak Tuhan dalam generasi ini.

15 PENGUKUHAN AMSTERDAM `83

PENGUKUHAN I

Kita mengakui, Yesus Kristus itu Allah, Tuhan, dan Juru Selamat kita, yang dinyatakan di dalam Alkitab -- firman Allah yang sempurna, tanpa kesalahan.

PENGUKUHAN II

Kita bersama-sama mengukuhkan komitmen kita terhadap Amanat Agung dari Tuhan kita, dan menyatakan bersedia untuk pergi ke mana saja, melakukan apa saja, dan mengorbankan apa saja yang Tuhan kehendaki demi terpenuhinya Amanat itu.

PENGUKUHAN III

Kita bersama-sama menyambut panggilan Allah untuk melaksanakan penginjilan yang alkitabiah, dan menerima tanggung jawab untuk memberitakan firman Allah kepada semua orang, sesuai dengan kesempatan yang Allah berikan.

PENGUKUHAN IV

Allah mengasihi setiap orang. Orang yang tidak beriman kepada Kristus, berada di bawah hukuman Allah, dan dengan sendirinya akan masuk neraka.

PENGUKUHAN V

Inti pesan alkitabiah ialah Kabar Baik tentang keselamatan yang dari Allah: keselamatan itu diterima karena kasih karunia semata-mata melalui iman dalam Tuhan Yesus Kristus yang sudah bangkit; keselamatan itu diterima melalui iman pada kematian-Nya di kayu salib, yang menebus dosa-dosa kita.

PENGUKUHAN VI

Dalam memberitakan Injil, kita menyadari pentingnya memanggil semua orang supaya mereka mengambil keputusan untuk mengikut Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat mereka; kita harus melakukan dengan kasih, tanpa memaksa atau membujuk.

PENGUKUHAN VII

Kita perlu dan rindu dipenuhi serta dikuasai oleh Roh Kudus sementara kita membawakan kesaksian tentang Injil Yesus Kristus karena hanya Tuhan sajalah yang dapat membuat orang-orang berdosa bertobat dan memeroleh kehidupan yang kekal.

PENGUKUHAN VIII

Kita mengakui kewajiban kita sebagai hamba-hamba Tuhan: kita harus hidup suci, dan bermoral bersih karena kita tahu bahwa kita adalah saksi-saksi Kristus kepada jemaat dan kepada dunia ini.

PENGUKUHAN IX

Kesetiaan dalam doa dan pemahaman Alkitab itu diperlukan bagi pertumbuhan rohani kita pribadi dan bagi kekuatan kita dalam pelayanan.

PENGUKUHAN X

Kita akan menjadi abdi yang setia dalam segala pekerjaan yang Allah berikan kepada kita. Kita akan bertanggung jawab dalam bidang keuangan yang dipercayakan bagi pelayanan kita, dan dengan jujur memberi laporan data pelayanan kita.

PENGUKUHAN XI

Keluarga adalah suatu tanggung jawab yang Allah berikan kepada kita, dan merupakan pemberian Allah yang dipercayakan-Nya kepada kita; oleh karena itu kita harus setia kepada panggilan untuk melayani sesama.

PENGUKUHAN XII

Kita bertanggung jawab kepada gereja, dan akan selalu gigih melaksanakan pelayanan, membangun gereja setempat, dan melayani umat Kristen pada umumnya.

PENGUKUHAN XIII

Kita bertanggung jawab untuk memelihara kerohanian orang-orang yang menerima Yesus melalui pelayanan kita; kita bertanggung jawab untuk menganjurkan, agar mereka menggabungkan diri dengan gereja setempat; kita juga harus mendorong gereja agar mereka dapat membimbing para petobat itu dan memberi petunjuk bagaimana bersaksi tentang Injil.

PENGUKUHAN XIV

Kita sehati dengan Kristus yang sangat memedulikan penderitaan manusia secara pribadi maupun penderitaan seluruh umat manusia; sebagai orang Kristen dan sebagai penginjil, kita menerima tanggung jawab untuk sedapat mungkin mengurangi penderitaan manusia dengan berusaha untuk mencukupi kebutuhan mereka.

PENGUKUHAN XV

Kita memohon agar seluruh Tubuh Kristus sehati di dalam doa dan bekerja untuk perdamaian di dunia ini, untuk membangun kehidupan rohani, untuk memperbaharui pengabdian dan mengutamakan Alkitab dalam penginjilan di gereja, untuk memelihara kesatuan dan persatuan orang-orang percaya di dalam Kristus, dan untuk melaksanakan Amanat Agung, sampai Kristus datang kembali.

Audio: Beritakan Injil; Standar Alkitabiah Bagi Penginjil

Dikutip dari:

Judul buku : Beritakan Injil; Standar Alkitabiah bagi Penginjil
Penulis : Billy Graham
Penerbit : Lembaga Literatur Baptis, Bandung dan Yayasan Andi, Yogyakarta 1995
Halaman : 7 -- 20

Komentar


Syndicate content