Iman Kristen Mengatasi Kebangkrutan Manusia

Ini ada titipan informasi:

Dalam Rangka Memperingati Hari REFORMASI, Reformational Worldview Foundation & Tabloid REFORMATA mempersembahkan seminar:

"IMAN KRISTEN MENGATASI KEBANGKRUTAN MANUSIA"

Kehidupan kini sedang menuju kebangkrutan dalam pelbagai dimensi yang fundamental. Dari spiritual, moral, hingga mental, membuat pengetahuan dan kemampuan bukan lagi alat untuk memuliakan Tuhan, melainkan pencipta kekacauan. Bagaimana iman Kristen menjawab tantangan ini? selengkapnya...»

Seminar dan Kuliah Intensif Oleh Prof. Dr. Richard B. Gaffin., Th.D.

Silakan simak berita gembira di bawah ini:

  1. SEMINAR

    PELAKSANAAN:

    HARI/TANGGAL : Minggu, 16 November 2008
    WAKTU : Pukul 17.00 -- 21.00 WIB
    TEMPAT : Lobby Aula John Calvin
    Reformed Millenium Center
    Jl. Industri Blok B14 No.1 Kemayoran, Jakarta
    TEMA : "The Holy Spirit and The Christian Life"
    (dalam Bahasa Inggris, dengan terjemahan)
    PEMBICARA : Prof. Dr. Richard B. Gaffin., Th.D.
    BIAYA PENDAFTARAN : Rp. 100.000,- (Mahasiswa)
    Rp. 200.000,- (Umum)
    CONTAC PERSON : Eva/Esther (021-6513815)

Seminar Reformed

Institut Reformed dan Departemen Pengajaran GRII Pusat menyelenggarakan:

  1. KULIAH INTENSIF:

    "CHRISTIANITY and SOCIETY"

    • oleh: Prof. Dr. James Skillen, Ph.D.
    • Kamis - Jumat (11 - 12 September 2008) Senin - Rabu (15 - 17 September 2008)
    • Pk. 08.00 - 14.00 Wib
    • di Institut Reformed, Jl. Danau Sunter Utara Kompleks Ruko Prima Sunter Blok B - C Jakarta Utara

    Biaya:
    Mahasiswa Rp. 500.000,-
    Umum Rp. 1.000.000,- selengkapnya...»

Gereja Beraliran Teologi Reformed

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Saya membeli sebuah buku kecil dengan judul yang sangat menarik, "The Readable TULIP". Buku tersebut ditulis oleh seorang Pendeta Gereja Covenant Evangelical Reformed di Singapura yang bernama Cheah Fook Meng. Belum pernah terbayang dalam benak saya ada buku yang membahas TULIP (Lima Inti Calvinisme), sekecil dan setipis itu. Tentu menyenangkan sekali menemukan kenyataan bahwa itu bukan mimpi lagi.

Saya kira kata "Readable" yang dipakai di sini bukan dimaksudkan sebagai sindiran (kalau untuk sindiran, kata-katanya mungkin akan seperti ini: "TULIP for the Dumies"), tapi sebagai pembelaan, bahwa walaupun kebenaran iman Reformed memang tidak mudah (harus berpikir), namun bukan berarti tidak bisa dijelaskan dengan sederhana, khususnya bagi orang Reformed baru. Yang menjadi masalah adalah, yang mempersulitnya justru orang Reformed itu sendiri. Selain bahasanya yang sederhana, cara penyampaian gagasan dalam buku ini kelihatan bersahaja. Memang ada kesan tegas, solid, dan bertahan pada pendirian, namun tidak sombong. Memang ada kesan elite, tapi tidak eksklusif.

Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang TULIP. Namun, saya sengaja tidak mengambil bagian ini untuk saya bagikan kepada Anda karena saya berasumsi bahwa kebanyakan dari Anda sudah tahu. Saya justru mengambil dua artikel pendek lain sesudahnya karena bagi saya, bagian ini lebih menarik. Dua bab yang saya ambil adalah:

  • Why We are Reformed?
  • What if We Reject the Reformed Faith?

Silakan menyimak. Jika Anda ingin memberi komentar, silakan berkunjung (tapi harus mendaftar menjadi anggota dulu) ke situs Soteri di:
==> http://reformed.sabda.org

In Christ,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Cheah Fook Meng
Edisi: 
102/VIII/2008
Tanggal: 
14-8-2008
Isi: 

GEREJA BERALIRAN TEOLOGI REFORMED

MENGAPA KAMI MENJADI JEMAAT REFORMED?

Gereja dan teologi Reformed tidak populer untuk banyak orang. Kalau mau jujur, kalau saya bercita-cita ingin membangun gereja yang nantinya akan dipenuhi dengan pengunjung, maka saya tidak akan membangun gereja Reformed. Gereja-gereja kontemporer dengan musik pop dan nada musik yang keras serta panggung/mimbar yang ditata dengan apik, lebih populer. Gereja-gereja yang sangat menekankan pemuridan (red: sel group), sedang digemari pada era milenium ini. Gereja-gereja yang memfokuskan diri pada kebutuhan manusia juga memiliki banyak jemaat. Namun, posisi gereja Reformed tidak terlalu baik dalam popularitas kekristenan.

Citra umum gereja Reformed adalah bahwa gereja ini membosankan dan banyak batasannya. Gaya penyembahannya yang kuno tidak relevan dengan budaya modern berteknologi tinggi. Jemaatnya berpenampilan terlalu tenang karena penekanannya pada kerusakan moral; hidup mereka nampak pasif karena ajaran predestinasi. Dan lagi, usaha penginjilannya tidak menarik untuk zaman sekarang. Namun meski kurang populer, kami tetap ingin menjadi jemaat Reformed. Mengapa?

Pertama, menjadi jemaat Reformed bukanlah pilihan, namun pendirian. Menjadi jemaat Reformed berarti menjadi alkitabiah. Semua doktrin iman Reformed -- predestinasi, kerusakan moral total, penebusan dosa yang absolut, anugerah yang luar biasa, dan ketekunan orang percaya --merupakan kebenaran yang ada dalam Injil. Meskipun istilah-istilah yang kami gunakan untuk menyimpulkan iman Reformed, tercipta dari panasnya debat teologi, namun kebenarannya berakar dalam pada pengajaran Alkitab. Seperti yang dikatakan sang pengkhotbah, Charles Spurgeon, "menjadi Calvinis berarti menjadi alkitabiah".

Kedua, menjadi Reformed berarti menjadi apostolik. Kami tidak percaya pada rangkaian apostolik seperti agama Katolik Roma memercayainya. Mereka percaya pada rangkaian jasa para santo. Namun, kami percaya pada rangkaian doktrin orang kudus. Iman Reformed bukanlah suatu ajaran baru. Iman Reformed muncul pada era Reformasi abad ke-16. Meskipun namanya diambil dari kata Reformasi, doktrin iman Reformed diajarkan oleh Agustinus bahkan sebelum Martin Luther melontarkan 95 tesisnya. Iman Reformed dan penekanannya pada kedaulatan anugerah Allah, bersumber pada wahyu Injil.

Ketiga, iman Reformed memuliakan Allah. Gereja superbesar (megachurch) pada zaman sekarang menyembah Allah dengan musik kontemporer dan aksi panggung yang terus berkembang. Gereja Reformed memuliakan Allah dengan pengagungannya yang dalam pada kedaulatan dan kekudusan Allah. Allah berdaulat atas karya penciptaan dan pemeliharaan. Kedaulatan Allah adalah sebuah kebenaran yang sangat diakui oleh iman Reformed. Namun iman Reformed mengatakan lebih dari itu. Karena saat kami mengakui bahwa Allah berdaulat atas karya penebusan, kami mengatakan bahwa keselamatan adalah murni karena anugerah. Kami tidak mulai bertobat dengan sendirinya. Allah mengubahkan kami oleh anugerah-Nya. Dengan kuasa-Nya, Ia membuat kami berkehendak untuk berubah. Respons iman adalah sebuah anugerah yang Allah kerjakan dalam hati orang-orang pilihan-Nya. Hal ini bertentangan dengan teologi populer. Dalam banyak presentasi Injil, karya keselamatan dinyatakan sebagai sebuah kerja sama. Allah mengerjakan 50% dalam anugerah-Nya dan menunggu tak berdaya untuk manusia mengerjakan 50% sisanya dalam kehendak bebasnya. Charles Spurgeon pernah mengatakan bahwa jika ada satu persen kehendak manusia dalam selubung kebenaran-Nya, ia akan selamanya tersesat.

Keempat, iman Reformed memberikan jaminan sejati bagi gereja dan jemaatnya dalam masa pencobaan dan krisis. Iman Reformed bukanlah sebuah doktrin teoritis alternatif. Iman Reformed merupakan teologi dengan kebenaran yang secara praktis sangat berkuasa. Saat seorang anak Allah mengalami pencobaan hebat, ia memandang pada kasih pemeliharaan Allah dan mengakui bahwa Allah berkuasa atas segalanya. Ia mengakui bahwa Allah berkuasa memberikan kelepasan. Lebih daripada mengharapkan datangnya kelepasan, orang itu akan berpegang pada imannya yang percaya bahwa Allah sanggup membawa kebaikan bahkan, dalam situasi yang paling buruk sekalipun.

Orang Reformed tidak pernah putus asa. Bandingkan iman sederhana ini dengan pengakuan arogan beberapa pendoa kesembuhan. Mereka mengatakan kepada kita bahwa Allah ingin menyembuhkan penyakit kita. Dan saat kesembuhan tidak terjadi, kesalahan ditimpakan kepada orang percaya dengan alasan bahwa ia tidak cukup beriman untuk dapat sembuh. Namun, orang Kristen Reformed lebih dewasa dalam pandangannya. Pertama-tama, ia menginginkan kesembuhan jiwa. Saat ia memohon kesembuhan fisik, ia tahu bahwa Allah mungkin akan mengabulkannya, tapi mungkin juga tidak, sesuai dengan kedaulatan tujuan-Nya. Dan saat kesembuhan tidak juga datang, itu bukan karena ia kurang beriman, namun karena Allah ingin ia percaya bahwa Ia sanggup memberikan kebaikan, bahkan dalam hal buruk sekalipun. Orang Kristen Reformed mensyukuri kekayaan dan kebahagiaan, tapi juga dalam penderitaan. Ia tahu bahwa Allah berkuasa atas dua hal ekstrim yang ada dalam kehidupan itu.

Kelima, iman Reformed selalu memperbaiki. Iman Reformed tidak pernah mandek (stagnan). Meski mengakui iman yang sudah kuno, namun iman ini selalu bekerja keras memahami lebih banyak kebenara-Nya dari firman Tuhan. Kita tidak akan pernah dapat memahami segalanya tentang Allah. Meski Allah dapat dikenali, Ia juga tidak terpahami. Pengetahuan kita akan Allah akan semakin dalam, khususnya pada

saat-saat Ia mencobai kita dengan kesulitan-kesulitan. Dari pencobaan-pencobaan itulah kami biasanya melihat lebih banyak keindahan dan kemuliaan-Nya. Iman Reformed tidak berkembang dari perenungan di tempat tinggi dengan suasana yang tenang. Kebenaran iman Reformed diformulasi saat ada pertumpahan darah, ancaman, dan kontroversi. Kebenaran-kebenaran itu dikembangkan untuk memenuhi perjuangan umat Allah sehari-hari. Katekisme Heidelberg, yang jelas merupakan iman Reformed paling disukai, diawali dengan pertanyaan yang benar-benar praktis dalam instruksinya, "Apa yang menjadi satu-satunya penghiburan bagi Anda dalam kehidupan dan kematian?"

Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, iman Reformed selalu konsisten. Dispensasionalisme memiliki banyak variasi. Karismatisme memiliki banyak jemaat. Arminianisme mengubah Allah dan membuatnya makin terbuka dan mudah dikecam. Namun, iman Reformed konsisten dalam pengakuannya atas anugerah kedaulatan Allah. Apa yang diakui iman Reformed kini sama dengan yang diakui pada generasi yang akan datang. Setiap generasi mungkin memerluasnya. Namun presuposisi dan prinsip dasarnya tetap sama -- Allahlah yang berkuasa. Dan karena kekonsistenannya ini, hanya iman Reformedlah yang dapat membawa gereja melalui masa depan yang terus berubah. Kebenaran-Nya tidak pernah berubah. Allah berkuasa kemarin. Ia berkuasa sekarang ini. Dan Ia berkuasa selamanya.

BAGAIMANA JADINYA JIKA KITA MENOLAK IMAN REFORMED?

Menyepelekan Allah adalah Konsekuensi dari Menolak Iman Reformed

"Aku percaya padamu". Siapa yang mengucapkannya? Itulah yang pertama kali terlintas di benak saya saat melewati sebuah gereja yang memasang spanduk bertuliskan kalimat itu. Filsuf, psikologis, humanis, atau ahli manajemen mana yang telah mengatakan sesuatu yang sangat berpusat pada manusia itu? "Apakah filsuf besar Yunani, Socrates, yang mengatakannya?" tanyaku. Ia adalah orang yang bersikeras bahwa Anda harus "mengenal diri Anda sendiri". Apakah Narcissus, seorang pemikir sombong yang jatuh cinta dengan citra dirinya sendiri dan memuji kebajikannya sebagai manusia dan keterlibatan pribadinya?

Saat saya melihat di bagian bawah tulisan yang dicetak tebal itu untuk mencari sumbernya, saya benar-benar kaget. Allah yang mengatakannya. Allah? Saya segera membaca cepat seluruh Perjanjian Lama dan Baru untuk mencari firman Allah yang mengatakan, "Aku percaya padamu." Saya tidak bisa menemukannya. Kalimat itu tidak ada dalam Alkitab.

"Sejak kapan Allah menempatkan manusia sebagai objek kepercayaan-Nya," pikirku. Kalimat itu mungkin terlihat keren bagi generasi modern, namun tidak sesuai dengan teologi yang saya tahu di Alkitab.

Alkitab menjelaskan kejatuhan manusia sebagai "maut dalam pelanggaran dan dosa". Alkitab mengatakan kepada kita bahwa "keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah". Alkitab mengatakan bahwa setiap manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Dan bahkan Alkitab dengan berani mengatakan bahwa kita "diperanakkan dalam kesalahan dan dikandung ibu kita dalam dosa.

Dengan pernyataan-pernyataan tegas tentang keadaan manusia yang tersesat seperti itu, hal baik apa yang membuat manusia yang sudah berdosa dan rusak itu menjadi objek kepercayaan-Nya?

Pernyataan itu memang tegas. Seperti kebanyakan tipu muslihat iklan, pernyataan itu ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat modern. Dan dalam usahanya menarik massa, bahkan ada juga yang cukup berani menulis ulang pokok-pokok iman Kristen.

Mereka menulis ulang apa yang Injil katakan tentang manusia, dan membuatnya menjadi seseorang dengan bawaan lahir ilahi yang disenangi Allah. Namun, Injil menegaskan bahwa manusia jasmani tidak dapat menyenangkan Allah (Roma 8:6-8). Mengatakan Allah percaya pada manusia berarti menyatakan secara tak langsung bahwa manusia memiliki kebaikan dan keterampilan spiritual yang terhadapnya Allah berkenan. Hal baik apa yang ada dalam manusia berdosa yang dapat membuat Allah mengatakan padanya, "Aku percaya padamu?"

Mungkin Allah terkesan dengan intelegensi kita. Lagipula, kita adalah manusia yang berpendidikan tinggi dan inovatif. Kita telah menghasilkan sarjana-sarjana dan menciptakan sistem yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk masyarakat global.

Mungkin Allah terkesan dengan budaya populer kita. Pada 1960-an, kita memiliki Beatles dan kemudian, Bee Gees, dan kini kita punya Westlife dan Britney Spears. Mungkin Allah senang dengan bagaimana kita memakai musik untuk menghilangkan stres dan membuat jiwa kita menari.

Mungkin Allah terkesan dengan bagaimana kita saling mencintai satu sama lain sebagai manusia. Karena kasih adalah hal yang terpenting, mungkin Allah tergerak oleh bagaimana kita mengasihi tanpa penilaian, pernikahan, etika, dan tanggung jawab. Mungkin Ia terkesan dengan bagaimana kita dapat dengan mudah terlibat dan melakukan pernikahan sesama jenis.

Mungkin Allah terkesan dengan bagaimana kita dapat lebih maju dalam memandang kehidupan. Ada yang bilang kita berasal dari kera. Yang lain berkata bahwa materialisme dan kesenangan hidup adalah yang terpenting. Namun, yang lain lagi berkata bahwa kita harus memutuskan etika kita berdasarkan perasaan kita -- jika dirasa baik, lakukan. Dan mungkin Allah terkesan dengan bagaimana pandangan- pandangan ini mampu bertahan dalam pasar publik tanpa persaingan.

Atau mungkin terkesan dengan bagaimana kita percaya terhadap diri kita sendiri. Manusia adalah tolok ukur segala sesuatu. Ia adalah kapten dari takdirnya sendiri. Ia memiliki kemampuan untuk membentuk dunia tanpa Allah. Dan karena semua yang dapat dilakukan manusia itu, Allah percaya padanya.

"Aku percaya padamu?" Sebaliknya, saya menemukan di Alkitab kalimat yang jauh lebih menenangkan. Allah mengatakan kepada setiap orang yang memusatkan diri pada manusia bahwa jika Anda hidup dalam daging, Anda akan mati (Roma 8:13).

Pernyataan itu mengubah apa yang sudah dituliskan Allah, karena merendahkan kedaulatan Allah dan menjadikan Allah sekadar sebagai penonton, motivator, "Aku percaya padamu, kamu pasti bisa!"

Allah, dalam kepercayaan Protestan tradisional, disembah sebagai Pencipta dan Penebus. Ia memutuskan hidup semua manusia. Ia menentukan bagaimana segala sesuatu akan terjadi. Ia melakukan segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Tidak seorang pun dapat menggagalkan rencana-Nya. Tak seorang pun mampu menentang perkataan- Nya. Dan tak seorang pun yang menyarankan-Nya bahwa rencana B jauh lebih baik. Salah satu pernyataan paling indah tentang Allah ada di Yesaya 46.

"... Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan." (Yesaya 46:9-10)

Allah tidak perlu percaya kepada siapa pun. Ia sendiri adalah Yang Mahakuasa. Tak ada yang seperti-Nya. Tak seorang pun memiliki kuasa membentuk masa depan. Tak seorang pun dapat menebus kejatuhan manusia. Tak seorang pun dapat melakukan sesuatu tanpa Allah. Tanpa Allah, manusia dan segala ciptaan bahkan tidak dapat hidup barang sesaat. Mengapa Allah mengatakan kepada manusia, "Aku percaya padamu?"

"Aku percaya padamu" hanyalah satu dari banyak peryataan yang dapat Anda temukan di www.lovesingapore.org.sg. Pernyataan lain di antaranya: "Aku berpikir akan membuat dunia hitam dan putih. Lalu Aku berpikir ... naaaah." "Aku benci aturan. Itulah sebabnya mengapa aku hanya membuat sepuluh aturan." Dan semua pernyataan itu dipertautkan dengan Allah.

"Golden rules" seperti itu dimaksudkan untuk menempatkan Allah di jantung kota, untuk membuat-Nya nampak keren, jenaka, tak ketinggalan zaman, dan dapat diterima. Namun sungguh, hal ini merupakan sesuatu yang menjelaskan bagaimana gereja modern sudah melangkah terlalu jauh. Gereja masa kini telah kalah oleh budaya populer. Jika sesuatu tidak modern, maka sesuatu itu tidak relevan. Karena itu gereja yang memakai metode iklan baru ini memutuskan untuk membuat Allah lebih modern.

Namun dengan membuat Allah menjadi lebih relevan, mereka tidak menghormati Allah. Kini, Allah menjadi seperti produk konsumen. Ia harus didikte untuk berkata sesuatu yang tampak keren di budaya populer kita. Jadi, perkataan-Nya harus dinyatakan ulang, status-Nya diposisikan ulang, dan kedaulatan-Nya direndahkan dalam rangka membuat-Nya lebih relevan dengan keadaan masa kini. Allah harus mengatakan apa yang para pembuat iklan inginkan untuk Dia katakan. Dan orang-orang yang mendanainya sepertinya tidak merasa bahwa menggunakan nama Allah dengan begitu sembarangan dan tidak menghormati adalah pelanggaran perintah yang ketiga, "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan." Nama Allah, yang adalah kemuliaan-Nya, kini direduksikan menjadi label komersial, untuk mempromosikan produk baru Injil masa kini.

Penyepelean Allah ini adalah sesuatu yang serius. Perhatikan komentar Warren Wiersbe, seorang pengkhotbah Kristen yang terkenal, "Kita tidak perlu mengutuk atau bersumpah untuk menyebut nama Allah dengan sembarangan. Kita hanya perlu menggunakan nama-Nya dalam hal- hal sepele, maka kita pun sudah menghina nama Allah. Tak semestinya familiaritas dapat merendahkan nama ilahi layaknya penghinaan nama Allah yang jelas-jelas diucapkan. Mengucapkan hal-hal spiritual yang berharga dengan cara seadanya dan terkesan menyepelekan merupakan sebuah dosa dan sekaligus menyangkal kebenaran-Nya.

Menyepelekan Allah sama dengan menyingkirkan Allah dari kekristenan historis. Pernyataan "Aku percaya padamu" bukanlah pernyataan yang netral dan tak berbahaya. Pernyataan itu adalah perusakan teisme dan humanisme. Pernyataan itu merupakan sebuah paduan yang jelas antialkitabiah. Pernyataan itu lebih buruk daripada Arminianisme yang membawa masalah bagi gereja pada era Reformasi. Arminianisme bersifat sinergis. Paham ini mengatakan bahwa Allah membutuhkan kerja sama manusia. Namun pernyataan "Aku percaya padamu" nampak seperti sinkretisme, yang membawa suara humanistis yang halus namun tegas. Manusia memiliki masa depan yang dapat ia atur sendiri. Manusia dapat melakukan apapun menurut kehendaknya untuk menyenangkan Allah. Dan saat manusia itu berhasil, Allah bertepuk tangan untuknya dan berkata, "Benar, kan, kamu pasti bisa melakukannya. Aku selalu percaya padamu." Pernyataan ini menempatkan Allah dan manusia pada derajat yang sama.

Allah yang dipromosikan dalam iklan-iklan itu bukanlah Allah yang ada di dalam Injil. Saya yakin gereja-gereja yang mendukung slogan ini tidak bermaksud untuk merendahkan dan menyingkirkan Allah dari kekristenan historis. Namun pernyataan itu jelas membuktikannya. Hal ini membawa saya kepada pertanyaan yang perlu diselidiki: "Sudahkah kita menjadi sedemikian acuh secara teologis sampai-sampai kita tidak lagi mampu membedakan dasar kekristenan dari humanisme dan ketidakpercayaan?"

Memasang tulisan-tulisan seperti itu di dalam dan di luar gereja tidak akan membuat kekristenan menjadi keren dan relevan. Pernyataan itu hanya menunjukkan seberapa jauh komunitas Kristen secara teologis sudah sangat tersesat. Fakta banyaknya gereja terkemuka memasang spanduk seperti itu telah mencerminkan tidak adanya kepemimpinan teologis dalam komunitas Kristen lokal. Warisan Protestan di Singapura telah kalah oleh roh zaman ini. Allah alkitabiah tidak ada lagi dalam spanduk-spanduknya. Segera, Ia akan hilang dari aula suci kita ... kecuali kita kembali kepada kesehatan rohani alkitabiah dan mulai menghormati Allah serta menyadari kemuliaan-Nya. (t/Dian)

Sumber: 

Diterjemahkan dari:

Judul buku : The Readable TULIP
Judul asli artikel : 1. Why We are Reformed? 2. What if We Reject Reformed Faith?
Penulis : Cheah Fook Meng
Penerbit : Genesis Books, Singapura 2003
Halaman : 62 -- 71

Quo Vadis Pendidikan Kristen?

Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK)

Oleh: Pdr DR. Stephen Tong

QUO VADIS PENDIDIKAN KRISTEN?
selengkapnya...»

INSTITUT REFORMED & Departemen Pengajaran GRII Pusat

Menyelenggarakan:

  1. Kuliah Intensif

    "Redemption" (Book III - Institutes of the Christian Religion)

Panggilan -- Apakah Pelayanan itu Suatu Karier

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Benar, bahwa semua pelayanan yang kita lakukan untuk Tuhan itu baik, tak peduli jabatan atau peran yang kita emban dalam melayani. Namun, kita harus selalu waspada karena tidak semua pelayanan yang kita lakukan menyenangkan hati Tuhan, meskipun apa yang kita lakukan itu baik. Salah satu hal yang membedakan pelayanan yang menyenangkan-Nya dan yang tidak adalah bagaimana cara kita memandang dan melakukan pelayanan yang saat ini sedang kita lakukan -- apakah sebagai panggilan atau sebagai karier?

Saat ini banyak orang yang menganggap bahwa pelayanan yang mereka lakukan adalah sebuah panggilan, padahal bukan. Mereka sebenarnya menghidupi pelayanan mereka sebagaimana layaknya dalam berkarier. Pelayanan semacam itu jelas dapat merusak hubungan kita dengan Allah karena pada dasarnya hal inilah merupakan esensi dari sebuah panggilan untuk melayani.

Melalui sajian di bawah ini, bersama-sama kita akan dibawa dalam suatu pemahaman mengenai apa artinya panggilan dan apa bedanya dengan pelayanan yang hanya merupakan karier. Tentu saja kami berharap agar kita semua memiliki jiwa pelayanan yang benar dan menghidupi pelayanan kita sebagai sebuah panggilan -- sebuah pelayanan yang Dia inginkan dan yang pasti berkenan di hati-Nya.

Selamat menyimak.

Redaksi Tamu e-Reformed,
Dian Pradana

Penulis: 
Ben Patterson
Edisi: 
101
Tanggal: 
19-7-2008
Isi: 

Cara kita memandang tugas dapat mengubah apa yang ada dalam dunia -- dan juga gereja.

Saya sering dipusingkan dengan hal yang kita sebut sebagai "panggilan". Apa itu panggilan? Bagaimana cara Saudara mengetahui datangnya panggilan itu?

Banyak yang tidak saya ketahui. Namun, satu hal yang benar-benar bisa saya jelaskan ialah bahwa panggilan bukanlah karier. Ada perbedaan mendasar di antara kedua hal ini. Penting bagi kita untuk mengerti apa itu panggilan, khususnya pada saat ini.

Kata "karier" itu sendiri sudah mengacu kepada pembedaan tersebut. Kata bahasa Inggris, "career", berasal dari bahasa Perancis, "carriere", yang berarti suatu jalan atau suatu "highway". Gambaran ini menyiratkan adanya satu tujuan dan peta jalan yang ada dalam genggaman, tujuan di depan mata, tempat-tempat berhenti untuk makan, penginapan, dan tempat pengisian bahan bakar.

Dari gambaran sebelumnya, kita bisa menyebutkan bahwa karier seseorang ibarat sebuah jalan yang telah dia ambil. Semakin sering membicarakannya, semakin kita melihat jalur ke depan yang diambil dan direncanakan untuk kita lalui secara profesional. Ibarat suatu jalan yang peta dan rencananya telah dibuat, mencapai tujuan menjadi hal yang terutama. Jalannya telah ditandai dengan baik. Selanjutnya terserah kepada orang yang akan melakukan perjalanan tersebut.

panggilan Allah

Tidak seperti karier, panggilan sama sekali tidak dipetakan. Tidak satu jalur pun yang akan diikuti. Tidak ada tujuan yang dapat dilihat. Panggilan lebih bersandar kepada mendengarkan "suara". Organ iman untuk panggilan adalah telinga, bukan mata. Yang pertama dan terakhir, itulah sesuatu yang perlu didengarkan oleh seseorang. Segala sesuatu hanya bersandar pada hubungan yang ada antara pendengar dan Dia yang memanggilnya.

Bila karier berarti membuat sebuah formula dan cetak biru (blue print), suatu panggilan hanya bertujuan untuk membina hubungan. Suatu karier bisa didapat hanya dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, sedangkan panggilan tidak.

Musa mendengar Allah.

Ketika Musa mendengar Allah memanggilnya untuk membebaskan para budak di Mesir, tanggapan pertamanya adalah seolah-olah ia muncul dengan keputusan yang bersifat karier. Apakah dia memenuhi syarat? Apakah dia mempunyai pengalaman cukup dan kemampuan khusus yang diperlukan untuk tugas semacam itu? Dia berbicara dengan Allah yang sepertinya sedang mengadakan wawancara untuk suatu pekerjaan. Siapakah saya yang melakukan pekerjaan semacam ini? Bagaimana jadinya kalau rakyat tidak mau menurut? Dan, apakah Allah tidak tahu kalau Musa bukanlah orang yang pintar berbicara di muka umum?

Semua hal tersebut tidak relevan bagi Allah. Selanjutnya, yang terjadi adalah Musa yakin bahwa Allah dapat dipercayai sehingga ia pun berkata, "Aku akan mengikuti-Mu."

Pendeknya, yang menjadi perhatian adalah panggilan tersebut -- dan Musa pun mengikatkan dirinya pada Dia yang menyerukan panggilan itu.

BAHAYA SEORANG PROFESIONAL

Jika kita memandang panggilan kita sebagai suatu karier, kita merendahkan pelayan-pelayan Yesus sebagai seorang makhluk hambar yang disebut "kaum profesional". Berpakaian baik, berbicara dengan baik, dilengkapi dengan kepandaian, mengerti kepemimpinan, pintar dalam manajemen, dan belajar mengenai seluk-beluk pemasaran -- tentu saja semua itu baik kalau dipergunakan bagi sebuah pekerjaan. Kita ingin membuat tanda pada dunia, sedikit memberi respek pada para profesional, dan untuk selamanya memancarkan citra seperti Pendeta Rodley Dangerfield.

Dengan perasaan yang realistis, kaum profesional berharap agar gereja memperlakukan mereka sebagai seorang profesional sehingga untuk berhubungan, diadakan perundingan tentang gaji dan keuntungan-keuntungan yang akan didapat.

Sungguh suatu hal yang mengerikan ketika kita mendapati seorang rohaniwan yang akan memakai kepandaian dan kecanggihannya, berdagang misalnya, guna meningkatkan pendapatan secara luar biasa. Gereja-gereja mungkin akan bertumbuh -- dan rohaniwan melakukannya tanpa bersandar pada sesuatu pun.

"Allah memerdekakan kita dari mereka yang memakai sikap profesional," kata Pendeta John Piper dari Minneapolis. Dengan mengikuti gema suara Paulus, dia bertanya, "Apakah Allah membuat hamba-hamba Tuhan menjadi yang terakhir dalam keseluruhan ciptaan dunia-Nya ini? Demi Kristus kita adalah orang-orang bodoh yang lemah. Menjadi seorang profesional memang bijaksana. Mereka yang profesional memang diangkat dengan kehormatan .... Namun, profesionalisme tidak ada hubungannya dengan inti dan hati pelayanan Kristen karena tidak ada seorang profesional yang seperti anak kecil. Tidak ada seorang profesional yang lemah lembut. Tidak ada seorang profesional yang mencari pertolongan kepada Allah." Bagaimana cara Saudara membawa salib secara profesional? Apakah arti beriman secara profesional itu?

Karierisme telah mendorong adanya pemisahan antara Allah yang memanggil dan individu yang menjawab-Nya. Hal itu mengarahkan kita untuk percaya bahwa penampilan lebih penting daripada diri kita sehingga apa yang kita lakukan dalam lingkungan gereja tak ubahnya dengan pertemuan antara pembeli dan penjual (tempat seperti itu disebut pasar), di mana suasana lebih penting dibandingkan posisi kita di hadapan Allah.

Karierisme akan memberikan rasa percaya diri pada kita. Padahal dalam melakukan panggilan, kita perlu gemetar dan berseru untuk pengampunan. Hal seperti itu tidak ada dalam silabus para profesional, padahal Paulus sendiri datang ke kota Korintus dalam kelemahan dan kebodohan. Demikian pula Yeremia yang menelan firman Allah dan dari situ dia hanya mengecap rasa yang tidak enak. Atau pada Yesus yang mengakhiri hidupnya di depan umum, di atas kayu salib.

PANGGILAN ADALAH SESUATU YANG KITA DENGAR

Sebenarnya dalam cerita rakyat tentang seorang ayah dan anak laki-lakinya, digambarkan hal yang penting mengenai panggilan. Mereka melakukan perjalanan ke suatu kota yang jauh, sedangkan mereka tidak mempunyai peta. Perjalanan itu sangatlah panjang, tidak mulus, dan penuh dengan bahaya. Mereka menempuh banyak jalan yang tidak bisa mereka kenali dan sudah tidak berupa jalan lagi.

Di tengah perjalanan, anak laki-lakinya bertanya-tanya. Dia ingin mengetahui apa gerangan yang ada di balik hutan, jauh di seberang tepian? Bisakah dia melintasi dan melihatnya? Ayahnya pun mengizinkannya.

"Tetapi, Ayah, bagaimanakah caranya supaya saya tahu kalau-kalau saya telah berjalan terlalu jauh dari engkau? Bagaimanakah caranya supaya saya jangan sampai tersesat?"

"Setiap menit," kata sang ayah, "saya akan memanggil namamu dan menunggu jawabanmu. Dengarkanlah suaraku, anakku. Di saat engkau tidak bisa lagi mendengar suara ayah, engkau akan tahu bahwa engkau telah pergi terlalu jauh."

Pelayanan bukanlah suatu kedudukan, melainkan suatu panggilan. Bukan ijazah profesional yang diperlukan, melainkan kemampuan mendengar dan memerhatikan panggilan Allah. Cara yang sederhana ialah dengan cukup menyempatkan diri untuk mendekat dan mendengar suara-Nya. Keteguhan dalam melaksanakan tugas-tugas kita yang tidak terpikul hanya bisa diperoleh karena uluran tangan-Nya yang tidak pernah berakhir.

PANGGILAN AKAN TETAP KUAT

Bersatu dalam panggilan Allah merupakan sesuatu yang kejam yang tidak bisa dibantah. Dia memanggil, tetapi Dia tidak bisa dipanggil. Hanya Dialah yang melakukan panggilan itu, sedangkan kitalah yang menjawabnya.

"Engkau tidak memilih-Ku; Akulah yang memilih kamu," kata Yesus kepada murid-murid-Nya. Panggilan Allah ini selalu mengandung paksaan. Bahkan sering terkesan kejam.

Setelah pukulan yang membutakan di jalanan menuju Damaskus, akhirnya Paulus berkata dengan jelas, "Celakalah aku ini jika tidak mengkhotbahkan Injil!" Yeremia meratap bahwa Allah telah memaksakan panggilan yang dia terima dan tidak pernah membiarkannya untuk ingkar, tidak peduli seberapa parah luka yang terjadi, "Jika aku bisa berkata, `Aku tidak akan menyebutkan-Nya atau berbicara lagi dalam nama-Nya,` kata-kata-Nya seperti api dalam hatiku, api yang berada dalam tulang-tulangku. Aku lelah membawa-Nya; sesungguhnya aku tidak mampu."

Spurgeon melihat penawaran secara ilahi ini sebagai tanda yang jelas dari suatu panggilan sehingga dia menasihati orang muda untuk memertimbangkan hal ini dan tidak mengambil jalur pelayanan jika mereka merasa bisa melakukan hal yang lain.

Berkali-kali kami berusaha untuk menyederhanakan panggilan itu dengan menyamakannya dengan sebuah posisi staf gereja atau dalam organisasi keagamaan. Akan tetapi, panggilan itu selalu mengalahkan segala sesuatu yang kami lakukan dengan terpaksa untuk mendapatkan uang. Bahkan, jika perlu, kami juga melakukan itu di dalam gereja. Kami meminta pembedaan yang sama untuk dicatat dalam permohonan yang dimintakan pada kami. Panggilan kami di dalam Kristus adalah satu hal, sedangkan apa yang kami lakukan dalam kedudukan adalah hal yang lain.

Panggilan kami adalah panggilan untuk melayani Kristus. Sementara itu, kami juga memiliki kedudukan untuk melakukan pekerjaan dalam dunia ini. Kami juga memiliki panggilan untuk memaksakan kedudukan pelayanan agar bisa masuk ke dalam panggilan kami. Berbahagialah laki-laki atau perempuan yang panggilan dan kedudukannya saling berdekatan. Akan tetapi, tidak akan ada bencana jika mereka tidak melakukannya.

Jika esok pagi saya dipecat dari pekerjaan saya sebagai hamba Tuhan di New Providence Presbyterian Church, dan saya terpaksa mencari pekerjaan di Stasiun Sunoco, panggilan saya akan tetap melekat. Saya akan tetap terpanggil untuk berkhotbah. Tidak ada yang dapat mengubah panggilan tersebut dengan nyata, kecuali ada situasi yang bisa melarutkan saya. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ralph Turnbull, saya bisa berkhotbah seperti hamba Tuhan yang dibayar oleh gereja, tetapi saya tidak dibayar untuk berkhotbah. Saya diberi izin, oleh karena itu saya bisa lebih bebas berkhotbah.

hidup adalah lebih penting daripada melakukan sesuatu karena Allah ingin agar saya bersama-Nya dan tidak melakukan segala macam pekerjaan yang tujuannya untuk membuktikan bahwa saya berarti.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Berkali-kali kami mencoba menyederhanakan panggilan itu dengan menjadikannya sebagai seorang rohaniwan. Pendidikan seminari (teologi) tidaklah membuat seseorang memenuhi syarat untuk ditahbiskan menjadi pendeta, tidak juga dengan bertambahnya penguatan oleh tes-tes psikologis dan pengalaman kerja. Tentu saja hal-hal itu bisa berharga, bahkan perlu bagi pelayanan. Akan tetapi, tidak satu pun dari persyaratan itu, baik secara terpisah atau pun seluruhnya, bisa memenuhi syarat.

Tidak ada kantor atau posisi yang bisa disamakan dengan panggilan. Tidak pula ijazah, pendidikan, atau juga tes yang bisa memermudahnya. Pelatihan, pengalaman, atau pun sukses dalam hal kegerejaan tidak akan bisa mengambil alih sebuah panggilan.

"Patterson, coba pikirkanlah apa yang sedang Anda lakukan saat ini?" Jawaban saya adalah mencoba untuk mengikuti panggilan tersebut.

Hanya panggilan yang bisa memberi kepuasan. Yang lain hanya sekadar catatan kaki dan komentar.

Catatan:

Ben Patterson adalah pendeta New Providence (New Jersey) Presbyterian Church.

MENEMUKAN PANGGILAN HIDUP PADA MOBILITAS YANG MENURUN

Dulu saya menyenangkan hati ayah dan ibu sebaik mungkin dengan belajar, lalu mengajar dan menjadi terkenal. Dengan pergi ke Notre Dame, Yale, dan Harvard, saya menyenangkan hati banyak orang dan hal itu juga menggembirakan saya sendiri.

Akan tetapi, saya bertanya-tanya, apakah masih ada panggilan lain dalam hidup saya. Saya mulai memerhatikan hal ini pada saat menemukan diri saya sedang berbicara kepada ribuan orang mengenai kemanusiaan dan pada saat yang bersamaan saya bertanya apakah yang mereka pikirkan tentang hidup saya.

Sesungguhnya saya tidak merasakan damai sejahtera, saya kesepian. Saya tidak tahu menjadi bagian dari siapa. Di mimbar, saya bisa berbicara dengan baik sekali, tetapi hati saya tidaklah selalu demikian. Timbul keragu-raguan, apakah karier saya ini tidak sesuai dengan panggilan saya yang sesungguhnya.

Maka saya mulai berdoa, "Tuhan Yesus, biarlah saya mengetahui ke mana Engkau mengutus saya untuk pergi dan saya akan mengikuti-Mu. Tetapi buatlah agar terlihat jelas. Jangan berupa pesan-pesan yang membingungkan saja!" Saya mendoakan hal ini terus-menerus.

Pada saat itu saya tinggal di Yale. Pada pagi hari pukul 09.00, seseorang menekan bel apartemen saya. Ketika membuka pintu, saya berhadapan dengan seorang perempuan muda.

"Apakah Anda Henri Nouwen?"

"Ya."

"Saya datang membawa salam dari Jean Vanier," katanya. Pada saat itu nama Jean Vanier tidaklah berkesan di hati saya. Saya hanya mendengar bahwa dia adalah pendiri L`Arche Communities (L`Arche artinya Bahtera Nuh) dan ia bekerja untuk orang-orang yang menderita cacat mental. Hanya itu saja yang saya ketahui.

Saya berkata, "Oh, menyenangkan. Terima kasih. Apa yang bisa saya lakukan buat Anda?"

"Tidak, tidak," jawabnya. "Saya datang untuk menyampaikan salam Jean Vanier."

Saya berkata lagi, "Terima kasih. Tapi apakah ia menginginkan agar saya berbicara di suatu tempat atau menulis sesuatu atau memberikan kuliah?"

"Tidak, tidak," dia tetap bertahan, "saya hanya datang untuk memberitahukan bahwa Jean Vanier mengirimkan salam buat Anda."

Ketika wanita itu sudah pergi, saya duduk di kursi dan berpikir, ini sesuatu yang khusus. Bisa jadi Allah sedang menjawab doa saya, membawa suatu pesan dan memanggil saya untuk sesuatu yang baru. Saya tidak diminta untuk mendapatkan pekerjaan baru atau mengerjakan proyek yang lain. Saya tidak diminta agar berguna bagi orang lain. Akan tetapi, cuma diundang untuk mengetahui bahwa ada manusia lain yang pernah mendengar tentang saya.

Hal itu terjadi kira-kira tiga tahun sebelum saya benar-benar bertemu dengan Jean. Kami bertemu dalam suasana yang tenang pada suatu retret di mana tidak satu patah kata pun yang terucap. Dan, pada akhirnya Jean berkata, "Henri, mungkin kami -- masyarakat orang cacat -- dapat menawarkan rumah, tempat di mana Anda dapat merasa aman, di mana Anda dapat bertemu dengan Allah dengan cara yang benar-benar baru."

Dia tidak meminta saya agar lebih berguna; dia tidak menyuruh saya agar bekerja untuk orang-orang cacat; dia tidak mengatakan bahwa dia membutuhkan hamba Tuhan yang lain. Dia hanya mengatakan, "Mungkin kami dapat menawari Anda sebuah rumah."

Sedikit demi sedikit, saya mulai menyadari kalau saya menjawab panggilan itu secara serius. Saya tinggalkan universitas dan pergi ke L`Arche Community di Trosly Brevil, Perancis. Setelah setahun tinggal dengan para penderita cacat mental dan para perawat yang hidup dengan semangat "beatitudes", saya pun menjawab panggilan untuk menjadi hamba Tuhan di Daybreak, di L`Arche Community dekat Toronto, sebuah komunitas yang beranggotakan sekitar seratus orang dengan lima puluh orang cacat dan lima puluh orang asisten perawatnya.

Tugas pertama yang dipercayakan kepada saya adalah bekerja melayani Adam. (Dari semua nama yang ada, Adam yang diberikan kepada saya! Kedengarannya seperti bekerja untuk kemanusiaan itu sendiri.) Adam, pria berusia 24 tahun yang tidak bisa berbicara. Dia tidak bisa berjalan. Dia tidak dapat mengenakan atau pun menanggalkan pakaiannya sendiri. Anda tidak yakin apakah dia mengenali Anda atau tidak. Tubuhnya cacat, punggungnya rusak, dan dia menderita karena sering terserang epilepsi.

Pada mulanya saya takut terhadap Adam. "Jangan kuatir," demikian mereka meyakinkan saya.

Saya seorang profesor dari suatu universitas. Saya belum pernah menyentuh seseorang begitu dekat. Dan, kini Adam, saya memeluk dia.

Pada jam tujuh pagi, saya pergi ke kamarnya. Saya menanggalkan pakaiannya, menolong dia berdiri, dan memapahnya dengan hati-hati ke kamar mandi. Saya takut karena berpikir bahwa dia bisa terserang epilepsi secara mendadak. Saya berjuang memeras tenaga untuk mengangkatnya ke dalam bak rendam (bathtub) karena berat badannya sama dengan berat badan saya. Saya mulai menyiram air pada tubuhnya dan mengangkatnya keluar dari bak rendam untuk menyikat giginya, menyisir rambutnya, dan mengembalikan dia ke tempat tidurnya. Setelah itu, saya mengenakan bajunya dengan pakaian yang dapat saya temukan dan membawanya ke dapur.

Saya dudukkan dia di depan meja dan mulai memberinya sarapan. Satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah mengangkat sendok ke mulutnya. Saya duduk dan melihat dia makan. Memakan waktu satu jam. Saya belum pernah bersama dengan seseorang selama satu jam penuh hanya untuk melihat apakah dia bisa makan.

Kemudian ada suatu kemajuan. Setelah dua minggu, saya tidak terlalu takut lagi. Setelah tiga atau empat minggu, barulah saya menyadari bahwa saya banyak berpikir tentang Adam dan berharap untuk hidup dengan dia. Saya menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi di antara kami -- sesuatu yang akrab dan indah dari Allah. Bahkan saya tidak tahu bagaimanakah caranya agar bisa menjelaskannya dengan baik.

Orang yang kurang berarti ini menjadi sarana Allah untuk berbicara kepada saya dengan cara-Nya yang baru. Sedikit demi sedikit, saya menemukan kasih dalam diri saya dan percaya bahwa Adam dan saya saling memiliki. Secara sederhana, Adam mengajar saya tentang kasih Allah secara nyata.

Pertama, dia mengajari saya bahwa hidup adalah lebih penting daripada melakukan sesuatu karena Allah ingin agar saya bersama-Nya dan tidak melakukan segala macam pekerjaan yang tujuannya untuk membuktikan bahwa saya berarti. Hidup saya dulu adalah kerja, kerja, dan kerja.

Saya adalah seorang yang penuh semangat, ingin melakukan ribuan perkara sehingga saya dapat memamerkannya -- seperti itulah hingga akhirnya saya rasa saya berarti.

Orang biasa berkata begini, "Henri, Anda baik-baik saja." Akan tetapi, saat sekarang, di sini dengan Adam, saya mendengar, "Saya tidak peduli dengan apa yang Anda lakukan, asal Anda tetap bersamaku." Tidaklah mudah tinggal dengan Adam. Tidaklah mudah untuk hidup dengan seseorang yang tidak bisa melakukan banyak hal.

Adam mengajari saya sesuatu yang lain. Hati itu lebih penting daripada pikiran. Kalau Anda lulusan suatu universitas, akan terasa sukar untuk memahaminya. Berpikir logis, berargumentasi, berdiskusi, menulis, bekerja -- itulah manusia. Tidakkah Thomas Aquinas mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir?

Memang, Adam tidak berpikir. Akan tetapi, Adam memiliki hati, sungguh-sungguh hati manusia.

Pelayanan

Berkenaan dengan itu, saya melihat bahwa apa yang membuat seorang manusia menjadi manusia adalah hati. Hati membuat manusia bisa memberi atau menerima rasa kasih. Adam sedang memberikan kasih Allah yang begitu besar dan saya sedang memberikan kasih saya buat Adam. Ada suatu keakraban yang jauh melampaui perkataan maupun tindakan.

Saya juga menyadari kalau Adam bukan sekadar orang yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, manusia yang tidak utuh, seperti saya atau pun orang lain. Adam itu sepenuhnya manusia, begitu penuh sehingga dia dipilih Allah untuk menjadi alat bagi kasih-Nya. Adam begitu rapuh, lemah, dan begitu polos sehingga dia menjadi hati saya sendiri -- hati di mana Allah ingin bertakhta, di mana Ia ingin berbicara kepada mereka yang datang dengan hati yang rapuh. Adam adalah manusia yang utuh, bukan setengah manusia atau manusia yang tidak lengkap. Saya menemukan Adam sebagai manusia seutuhnya.

Saya pun menjadi mengerti apa yang sudah saya dengar di Amerika Latin, mengapa pilihan khusus Allah diberikan kepada orang miskin. Sungguh, Allah mengasihi mereka yang miskin, dan khususnya Ia sangat mengasihi Adam. Dia ingin berdiam dalam diri Adam yang cacat itu sehingga Dia dapat berbicara dari ketidakmampuan ke dalam dunia yang kuat dan memanggil orang-orang untuk menjadi tidak mampu.

Akhirnya, Adam mengajarkan sesuatu yang nyata kepada saya. Melakukan pekerjaan-pekerjaan secara gotong royong itu lebih penting daripada melakukannya sendiri-sendiri. Saya datang dari dunia yang biasa bertindak secara mandiri, tetapi di sini ada Adam yang begitu lemah dan tidak mampu. Saya tidak bisa sendirian menolong Adam. Kami membutuhkan segala macam orang dari Brasil, Amerika Serikat, Kanada dan Belanda -- tua muda, hidup bersama di sekitar Adam dan para penderita cacat lainnya di satu rumah.

Saya mengerti bahwa Adam, paling lemah di antara kami, telah membuat lingkungan yang begitu bersifat persaudaraan. Dialah yang mempersatukan kami; kebutuhan-kebutuhannya dan ketidakmampuannya membuat kami ada dalam masyarakat persaudaraan yang murni. Dengan seluruh perbedaan kami, kami tidak dapat bertahan sebagai suatu lingkungan masyarakat yang kompak apabila tidak ada Adam di situ. Kelemahannya menjadi kekuatan kami. Kelemahannya membuat kami ada dalam suatu lingkungan masyarakat yang penuh kasih. Kelemahannya mengundang kami memaafkan satu terhadap yang lain, menyabarkan perbantahan kami, agar bersama dengannya.

Itulah yang saya pelajari. Saya baru ada di Daybreak tiga tahun dan itu tidaklah mudah. Dalam banyak hal, Notre Dame, Yale, dan Harvard lebih mudah. Akan tetapi, inilah panggilan hidup saya. Saya ingin tetap setia.

-- Henri Nouwen, Daybreak, Richmond Hill, Ontario

Audio: Apakah Pelayanan itu Suatu Karier

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul jurnal: Kepemimpinan, Volume 18/Tahun V
Penulis : Ben Patterson dan Henri Nouwen
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta 1990
Halaman : 46 -- 50 dan 57 -- 60

PUBLIC LECTURE & ICS

Mysticism: Antara Barat dan Timur

Hari/Waktu : Minggu, 03, 10, 17, 24 Agustus 2008
Jam : pkl. 12.30-14.30
Tempat : R. Flamboyan, Jakarta Design Centre Lt.6

FREE selengkapnya...»

Kuliah Intensif

Cultural Apologetics in the Reformed Perspective
Senin - Jumat, 21-25 Juli 2008, Pk. 08.00 – 14.00 WIB
Institut Reformed, Sunter, Jakarta
Biaya: Rp. 500.000/ Mhs; Rp. 1.000.000/ Umum

Seminar Khusus Reformed Apologetics
Minggu, 20 Juli 2008, Pk. 17.00 – 21.00 WIB
Lobby John Calvin, Reformed Center, Kemayoran, Jakarta
Biaya: Rp. 100.000/ Mhs; Rp. 200.000/ Umum selengkapnya...»

Certificate Of Christian Leadership

Program ini memperlengkapi orang Kristen bertindak sesuai dengan imannya di tengah-tengah perubahan jaman. Bertindak bukan sekedar bertingkah laku, memerlukan perenungan yang matang untuk dapat bersukacita menjawab panggilan Tuhan. Inilah saatnya orang Kristen bertindak dalam segala bidang kehidupan sebagai penggenapan kasih karunia Tuhan.

Komentar


Syndicate content