Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya bagi Pelayanan pada Abad XXI (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel bulan lalu. Setelah kita mengerti pergeseran teknologi yang terjadi, kita harus menyusun strategi untuk dapat tetap menjadi garam dan terang bagi dunia sesuai konteks zamannya. Mari kita simak lanjutan artikel ini. Soli Deo Gloria!

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Edisi: 
Edisi 154/Juli 2014
Isi: 

Pendidikan jarak jauh juga dapat dilakukan. Gelar-gelar dan kursus-kursus tidak terlokalisasi di satu tempat saja. Bahkan, perguruan tinggi dapat dibuat dengan bermodalkan sebuah ruko atau gedung sederhana, tetapi dengan jangkauan sedunia dan akses data serta pengajar secara luas.

Yang pasti, kehadiran komputer yang semakin murah dengan sejumlah aksesorisnya di Asia Tenggara telah mulai menjadi bagian hidup. Sebuah komputer dapat memainkan musik, film/laser, menjadi alat melalui jaringan internet, alat mengobrol bahkan dapat diprogram untuk mengatur listrik, dan berbagai alat di rumah kita. Jangan lupa, kita pun dapat membeli dan menjual barang melalui komputer serta kartu kredit. Dengan alat itu, pencarian informasi dan berbagai keputusan dapat dimulai di rumah. Lebih lanjut lagi, kalkulator akan digantikan dengan komputer saku yang setiap anak SD pun akan membawanya. Alat ini pun akan berfungsi sebagai telepon tangan, jam, dan alarm. Jadi, alat yang tadinya merupakan pengolah informasi, ternyata menjadi alat yang serba bisa, budak yang penurut dan setia selama kita memperlakukannya dengan baik dan benar.

Semuanya hanya menyiratkan satu hal bagi keluarga kita, yaitu dunia yang tadinya didominasi oleh ciptaan alamiah (biosphere), kini mulai didominasi dengan alat-alat buatan manusia (techno-sphere). Banyak alat komunikasi dan informasi tadi sudah demikian canggihnya. Kita tidak mengerti cara kerjanya, tetapi toh dapat menggunakannya. Kita mulai semakin tergantung padanya. Bila hal ini membuat manusia lebih menyukai hubungan dengan alat daripada hubungan antarpribadi secara nyata, jumlah manusia yang kesepian akan semakin bertambah. Kecenderungan ini akan membuat pola hubungan suami istri semakin steril. Demikian pun dengan anak. Keluarga sangat rentan terhadap penyakit kehilangan kehangatan emosi. Jadilah dikenal dengan apa yang dinamakan "virtual home" atau "virtual family". Hanya namanya saja masih satu keluarga, tetapi kebersamaan selalu jarang terjadi, semua penataan keluarga berjalan secara remote/jarak jauh.

VI. Dampak bagi Pelayanan Khusus di Indonesia

Indonesia dikenal dengan berbagai hal yang khas. Pertama, Indonesia adalah kerumunan manusia. Sekitar 250 juta jiwa manusia tersebar dengan tidak teratur di negara ini, hampir 80%-nya mungkin bertumpuk di pulau Jawa yang kian bergerak ke tengah kota-kota. Manusia-manusia ini juga mencerminkan pluralitas atau keberbagaian corak yang membuat Indonesia bagaikan sepiring rujak raksasa. Pluralitas tadi dapat berupa pluralitas orientasi nilai, pola hidup, kekuatan ekonomi, dan etnis serta pluralitas dalam bidang spiritual. Pengaruh perubahan tren yang telah kita bahas akan dirasakan berbeda di berbagai kelompok yang ada. Namun, jumlah orang yang merasa keder dan tercabut dari akar semakin nyata--hal mana sering terlihat dalam menumpuknya jumlah orang yang meminta pelayanan pastoral konseling. Mereka kehilangan dunia stabil yang dulu mereka huni secara kejiwaan, sedangkan dunia baru begitu beragam dan mungkin mereka belum memiliki tempat di dalamnya.

Dari sudut perubahan komunikasi, ketika sebagian besar rakyat meloncat dari pola lisan langsung ke komunikasi televisi tanpa menguasai komunikasi tertulis, guncangan besar terasa. Yang pasti, perbedaan antara kota besar dan kecil serta desa akan semakin terasa.

Bagi pelayanan Kristiani, kesulitan yang diakibatkan oleh pluralitas tadi adalah luar biasa. Dari pengamatan penulis, agaknya bagi lingkup antargereja, kecenderungan untuk menghasilkan keberagaman sama kuatnya dengan kecenderungan untuk mencari bentuk kesatuan atau keesaan. Sifat individualis yang diakibatkan oleh pendidikan kita juga membuat orang sulit bekerja sama dan memiliki wawasan yang luas. Kalaupun dipaksakan keesaan tadi, sering kali totalitarianisme yang tersamar serupa dengan yang terjadi di masyarakat feodal kuno menjadi modus kerja.

Kedua, situasi politik dan budaya Indonesia menunjukkan suatu pergeseran yang serius. Keenam sentra kuasa politik sedang bergerak saling memengaruhi secara lebih aktif. Keenam sentra tadi adalah kuasa lembaga presiden, birokrat, ABRI, massa Islam, para pelaku bisnis, dan lain-lain. Media massa juga menonjolkan istilah demokratisasi, suatu proses pemberian dan penyadaran kuasa kepada lebih banyak orang yang semakin popular dituntutkan, bertentangan dengan kecenderungan pemusatan kuasa yang juga meningkat. Internet semakin memungkinkan falsafah ini tersebar luas. Apakah pelimpahan kuasa tadi sejalan dengan perkembangan kesiapan orang banyak untuk memikul tanggung jawab yang lebih kompleks, tentu dapat dipertanyakan. Dunia bisnis memberikan contoh bahwa perusahaan yang menekankan struktur organisasi raksasa dan serupa piramid mengalami kerugian yang serius, sedangkan beberapa dari mereka yang berpedoman pada ukuran yang ramping, jaringan yang luas, serta pendekatan hi-tech dan hi-touch mengalami pesatnya pertumbuhan. Namun, sering kali, banyak perusahaan yang membelah diri ke dalam sentra-sentra yang lebih kecil malah ambruk karena "empowerment" tidak sejalan dengan pembinaan pelaku-pelakunya sehingga mereka tidak siap secara mental dan keterampilan, untuk mengikuti strategi yang lebih lincah dan organisasi yang lebih ramping. Di pihak lain, angin demokratisasi tadi berembus di berbagai negara dengan sangat kuatnya. Khusus untuk Indonesia, agaknya masih perlu dikaji akibat kemungkinan tren ini berhadapan langsung dengan tren penyatuan kuasa bisnis, teknologi, dan komunikasi bersama aparat-aparat pemerintah.

Ketiga, gereja-gereja di Indonesia terus bertumbuh, tetapi dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, serta pertumbuhan di kalangan Buddha, Hindu, dan Islam, mungkin pertumbuhan gereja tidak menimbulkan dampak makro secara nasional dan berjangka panjang. Dialog eksternal sering dilaksanakan secara sporadis, tetapi dialog internal di dalam kelompok sendiri malah lebih sulit dijalankan dengan tulus. Antar tiga unsur perubahan di dalam organisasi menurut teori Vijay Sathe, yaitu kepemimpinan, struktur organisasi, serta iklim kerja atau budaya organisasi gereja dan lembaga-lembaganya tidak bergerak seirama.

Dengan kata lain, di dalam pelayanan, dalam berbagai terobosan harus terjadi sesuatu yang menghasilkan dampak pada generasi yang akan datang. Di sini, pada dasarnya memang kita perlu mengkaji apakah perubahan di bidang komunikasi serta pergerakan manusia ke kota-kota di Indonesia merupakan alat Tuhan untuk memberikan kita kesempatan membuat terobosan serupa itu atau merupakan ancaman yang dapat menyulitkan kita.

VII. Tantangan dan Apa yang Dapat Dilakukan?

Pada zaman yang lalu, ketika para misionaris memasuki suatu ladang baru, mereka umumnya bekerja dengan pola yang serupa, yaitu membentuk sistem pendidikan, rumah sakit/kesehatan, percetakan, dan kemudian tempat pemeliharaan iman/gereja. Demikianlah kajian Thomas van den End. Jelaslah mereka menggunakan pendekatan yang holistik, yang masih relevan untuk zaman ini, yaitu melalui pendidikan, sistem pemeliharaan kesehatan, sistem komunikasi, serta sistem pemeliharaan dan pembinaan iman untuk menggarami masyarakat di mana mereka melayani. Namun, apakah cara kerja kita untuk menggarami lingkup-lingkup tadi perlu diubah? Tentunya masih harus diperjelas. Untuk itu, kita perlu merangkum situasi pelayanan masa kini.

Bagaimana dengan situasi sekarang? Masyarakat sekarang jelas digarami oleh media massa. Selain itu, pluralitas di dalam tubuh gereja terus menjadi-jadi di samping usaha pengembangan kerja sama. Untuk situasi yang dinamis dengan perkotaan sebagai pusat orientasi, cara kerja pelayanan yang berabad-abad tidak pernah diubah agaknya perlu pengkajian ulang. Cara yang lama mungkin tidak lagi dapat meraih kesepian orang-orang yang sedang bingung, tergoyah (displaced), serta lelah mengkaji alternatif jalur hidup karena perubahan yang demikian cepat sehingga mereka melarikan diri dengan mencari-cari kenikmatan dan hal-hal yang baru. Gereja yang lahir dari dalam budaya lisan dan menyelam ke budaya tulisan, sekarang harus meraih manusia yang berbudaya elektronis. Gereja mungkin mengalami kesulitan untuk memahami manusia yang berbudaya elektronis, apalagi untuk mampu berkomunikasi dengan mereka tentang Injil dan menyimak mereka. Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi tentu merupakan tantangan besar yang bersifat teologis dan budaya yang menuntut kerendahan hati kita dalam menjawabnya. Kita perlu menggumuli apa inti pelayanan dan bagian manakah yang dapat ditawar karena itu merupakan alas dalam menjalankan pelayanan tadi.

Tantangan lain terjadi pada tingkat manajerial pelayanan. Bila pada abad pertengahan dan zaman sebelum abad X gereja-gereja menguasai kota bersama para bangsawan dan kemudian bersama para pedagang, sekarang keadaan sudah lain. Tidak lagi mungkin sistem sekolah, rumah sakit, media massa, dan gedung-gedung gereja dimiliki oleh satu kelompok gereja yang bercorak iman yang sama walaupun gereja tadi berpusat di perkotaan, di mana segala sumber daya dan dana tersedia. Biaya overhead dan operasional akan terus berkembang melebihi daya dukung finansial yang dapat dikumpulkan oleh gereja dari warga dan donatur-donatur besarnya. Kompleksitas dan ragam pelayanan yang semakin membutuhkan pelayan-pelayan spesialis dan bukan hanya generalis membuat pembiayaan untuk SDM semakin cepat meningkat pula.

Keadaan serupa ini menuntut gereja dan umat Kristen untuk menempuh strategi yang berbeda dari abad pertengahan dan abad lain sebelum abad XX. Pertama, pelayanan harus ditangani, baik oleh gereja maupun oleh organisasi yang bercorak Kristen, walaupun organisasi tadi tidak dimiliki oleh gereja. (Pertanggungjawaban dan kaitan organisasi tadi ke gereja adalah melalui pertanggungjawaban moral-spiritual, bukan lagi struktural dan organisasional.) Dengan demikian, hubungan antara "church" dan "parachurch", yang notabene sudah ada lama di tanah air ini, harus dijadikan sinergi daripada dipandang sebagai persaingan, serentak dengan semakin lancarnya komunikasi antara pribadi orang Kristen yang saling berbeda serta telah ditembusnya batas-batas denominasi dan gaya spiritual serta gaya kerja pelayanan masing-masing.

Kedua, hubungan sinergisme antargereja sendiri menjadi hal yang tidak lagi dapat ditawar dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berdaya raih luas dan mendalam. Hal ini tidak berarti bahwa gereja harus meleburkan diri dengan wujud yang besar. Pendekatannya harus bagaikan internet, yaitu independen, tetapi interdependen dalam network. Tidak lagi mungkin pada zaman yang berubah cepat ini kita berkomunikasi sendiri, mengatur jalur kerja dan pelayanan sendiri, serta membuat pelayanannya sendiri pula. Zaman ini menuntut kerja sama dan aliansi strategis seperti yang disampaikan konsultan internasional Keniichi Ohmae. Menarik sekali bahwa berita ini disampaikan dari luar gereja dan sangat menggemakan apa yang disampaikan oleh firman Tuhan. Jadi, pengelolaan dan pembangunan rumah sakit, wisma pelatihan, atau sharing gedung gereja besar, dan sebagainya perlu dipikirkan sebagai suatu pilihan. Hal ini semakin mendesak terutama dengan terbukanya kesempatan untuk pengabaran Injil secara utuh melalui media massa, suatu usaha yang membutuhkan modal, sumber daya manusia, dan network yang sangat besar dan tidak mungkin dikelola untuk jangka panjang oleh satu dua kelompok Kristen.

Ketiga, network merupakan salah satu tiang utama dalam usaha apa saja di Indonesia. Tanpa network yang memadai di dalam dan luar negeri, informasi serta relasi yang dimiliki tidak akan cukup membuat terobosan inovasi yang bersifat nasional dan berdampak untuk jangka panjang. Di sini, kita menyadari bahwa kebutuhan untuk membuat pusat informasi bersama untuk seluruh kelompok Kristen akan menjadi tugas besar dalam waktu dekat. Pusat ini mungkin tidak harus besar dalam arti fisik, tetapi besar di dalam kemampuannya mengolah data dan memperoleh data dari berbagai sentra informasi yang telah ada. Teknologi komunikasi jelas sangat memungkinkan hal tadi. Network juga membuat kita terhindar dari duplikasi. Misalnya, antar sekian banyak sekolah teologi dan perpustakaannya di Jawa Barat dapat dilakukan sistem sharing peminjaman majalah, sistem transfer kredit, dan sebagainya.

Keempat, keseluruhan kemungkinan pelayanan yang dipaparkan di atas memanggil kita untuk menoleh sepenuhnya kepada Salib Kristus dan tidak terpaku untuk memandang diri sendiri, gereja sendiri, atau luka-luka hubungan antara gereja dan organisasi parachurch pada masa lalu. Selanjutnya, kita harus mengadopsi apa yang disebut oleh Taichi Sakaiya sebagai sikap "outward looking". Untuk menyiapkan sikap mental tadi dan sikap iman serupa itu, suatu crash program dapat dilaksanakan, khususnya dalam pelatihan pembentukan wadah muda-mudi Kristen antargereja atau menghidupkan salah satu wadah yang masih berpotensi. Masa depan kota dengan teknologi dan pluralitasnya membutuhkan kaum pemimpin muda yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Memiliki sikap ingin bekerja sama,
  2. lebih berporos pada visi kerajaan Allah daripada visi yang terikat hanya pada denominasi, mampu membuat konsep pelayanan bersama para teolog,
  3. mampu mengenali kesempatan melayani, antara lain melalui dunia komunikasi dan lingkup kota-kota,
  4. andal dalam menyusun strategi,
  5. mampu menjamin pelaksanaan operasionalnya dan mampu memiliki hati yang peka pada kehendak dan kuasa Allah bagi kenyataan di Indonesia, antara lain lajunya pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya jumlah mereka yang lebih lemah secara pendidikan, ekonomi, dan politis daripada kita,
  6. mampu menangani pertumbuhan iman pribadinya secara serius.

VIII. Penutup

Kesimpulan sejauh ini ialah dunia Asia dan Indonesia bergerak ke kota dengan berbagai pola komunikasi dan pluralitas yang dihasilkannya. Kota berarti kebutuhan untuk pegangan hidup dan peta perjalanan iman di tengah dinamika yang sering membingungkan. Teknologi komunikasi dan polanya yang beragam berarti tersedianya kemungkinan kita meningkatkan daya jangkau dalam usaha penginjilan dalam arti yang holistik. Pluralitas berarti kita perlu menggunakan pendekatan network dalam menjalin keesaan dan bukan pendekatan struktural birokratis. Di pihak lain, perkembangan kota, teknologi komunikasi, dan pluralitas juga dapat menghasilkan manusia yang bingung, mau enak saja, dan terbius kesan.

Dari mana kita memulainya? Berbeda dari lembaga lain dan umat lain, gereja dan orang percaya tidak bisa tidak harus mulai merespons perubahan yang ada dengan kaitan yang kian mendalam dengan Allah di dalam Tuhan Yesus. Kerinduan untuk mengungkapkan kasih dan perasaan berutang pada karya keselamatan dan kasih-Nya yang demikian luhur, harus menjadi tumpuan dari segala karya pelayanan dan strategi baru yang akan ditempuh dalam rangka kita melaksanakan tugas sebagai saksi-Nya. Lebih lanjut lagi, perubahan yang ada harus dipandang selaku kesempatan untuk lebih mengkaji dan mendalami makna hubungan kita dengan Bapa. Dengan demikian, perubahan tidak dilihat sebagai ancaman yang harus ditangkal, tetapi sebagai kesempatan mencari kehendak-Nya dan menjalani lagi langkah kepatuhan bagi Kristus dan kerajaan-Nya, serta sekaligus menunjukkan kasih kita bagi-Nya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi dan demikian mendasar mempertanyakan sedalam-dalamnnya siapa diri kita dan sejauh mana kita bersedia bergantung pada kehendak-Nya.

Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul buku: Jurnal Pelita Zaman, Volume 12, Nomor 01 (Mei 1997)
Judul bab : Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI
Penulis : Robby I. Chandra
Penerbit : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman
Halaman : 53 -- 67

Peta Perubahan Teknologi Komunikasi Dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad Xxi (1)

Penulis_artikel: 
Robby I. Chandra
Tanggal_artikel: 
26 Juni 2014
Isi_artikel: 
  1. Pendahuluan

  2. Di negara bagian Illinois, Amerika Utara, terdapat sebuah kota bernama Streator. Pada saat memasuki Streator, kita akan terpana membaca tulisan raksasa dengan gambar sebuah bola bumi: "Selamat Datang di Streator, Pusat Pembuat Botol Sedunia". Tiga puluh tahun lalu, lebih dari 5000 orang di kota ini bekerja untuk dua perusahaan botol raksasa. Pada masa itu, berbagai produk cair seperti jus, susu, dan minuman lain dilarang dijual di Streator bila tidak dimasukkan ke dalam botol kaca. Pendek kata, pada tahun 1960-an, konon Streator adalah benar-benar menjadi pusat botol dan beling sedunia. Kini, Streator cuma menjadi kota kecil yang hidup senin-kamis tanpa antusiasme. Sesuatu telah terjadi. Pada awal tahun 1970-an, orang mulai bergeser menggunakan botol plastik, kaleng aluminium, dan karton untuk menampung berbagai benda cair. Streator juga berusaha mengatasi perubahan tadi dengan mengadakan suatu orkestrasi besar-besaran dari kekuatan produksinya, tetapi gagal total; bukan karena kurang motivasi, kurang terampil, atau kurang gesit berespons. Mereka gagal karena tidak mengenali peta yang sedang berubah secara mendasar. Suatu pergeseran paradigma terjadi dan Streator gagal memahaminya.

  3. Di Mana Kita Berada?

  4. Sebentar lagi, kita akan mengalami sesuatu yang tak dialami oleh ayah ibu kita serta kakek nenek kita, yaitu kita akan mengalami berakhirnya suatu abad, sekaligus awal milenium baru. Di dalam sejarah kita, pergantian ini merupakan hal yang menarik dan berdampak luas. Terakhir kali hal tadi terjadi adalah seribu tahun silam. Pada waktu itu, beberapa ciri terlihat:

    Kota terbesar yang pernah dimiliki manusia sebelum abad ke-10 adalah Roma dengan jumlah penduduk sekitar satu juta dua ratus ribu orang. Namun, sekitar abad ke-10, kota-kota menjadi lebih kecil dan terisolasi dengan sistem mata uang, pajak, keamanan, budaya, pendidikan tersendiri.

    Asia merupakan kerajaan-kerajaan yang unggul dan berteknologi tinggi pada masanya.

    Sementara itu, Eropa sudah 5 abad berada dalam zaman amburadul, feodalistis, dan bahkan salah satu tiang kekuatan sosial pada saat itu, yaitu agama, sedang bergerak pecah dua, yaitu menjadi Gereja Barat (yang berpusat di Roma) dan Gereja Timur (Bizantium) pada tahun 1054.

    Masyarakat menjadi stagnasi, hanya terdiri atas bangsawan penguasa, pimpinan agama, kaum pedagang serta warga rakyat jelata.

    Sebagian orang segan bepergian jauh karena tiap lokasi memiliki sistem, penguasa, dan kualitas keamanan yang berbeda. Hanya kaum pedagang yang berani menempuh jarak yang panjang dan berbahaya.

    Dibandingkan dengan zaman itu, pergantian milenium ini menampilkan wajah masyarakat dunia yang jauh berbeda, antara lain:

    Manusia lebih banyak bergerak ke kota-kota daripada ke desa-desa. Kota-kota yang memiliki lebih dari 7 juta penduduk semakin banyak.

    Pusat dinamika kekuasaan sedang bergeser kembali ke Asia setelah dari Eropa ke Amerika (tingkat pertumbuhan ekonomi Asia sekitar 7 sampai 9 persen per tahun).

    Pusat ilmu pengetahuan tersebar di berbagai sentra di seluruh penjuru bumi. Keio University, East-West Center Hawaii, Nanyang University, National Singapore University, Monash, Harvard, Princeton, Berkeley, Northwestm University, dan sebagainya, mungkin lebih dikenal daripada perguruan-perguruan tinggi kuno dan top di Eropa seperti Padua, Salamanca, Den Haag, Praha, Heidelberg, Tubingen, Vrije, atau Geneva. Pendidikan lebih tersedia dan terjangkau untuk lebih banyak orang, termasuk warga jelata.

    Teknologi tinggi menjadi tersedia, bukan hanya untuk para bangsawan dan mereka yang memiliki kelebihan, melainkan juga bagi warga jelata. Televisi, lemari es, radio, kalkulator, kamera, merupakan bagian hidup sehari-hari.

    Manusia modern sudah bergerak dari pola komunikasi lisan audio ke komunikasi baca tulis, serta interactive electronic.

    Masyarakat bergerak dengan cepat dan berubah tanpa dapat diprediksi dengan mudah. Susunan masyarakat tidak hanya dari kaum "atas", pedagang, agama, dan rakyat jelata. Kaum intelektual menjadi kekuatan tersendiri. Kaum bangsawan penguasa kini berwujud menjadi dua kelompok yaitu, militer dan/atau birokrat.

    Berbagai tulisan telah membahas tren perubahan tadi. Di sini, saya akan membahas secara khusus akibat pergeseran pola komunikasi tadi dan dampaknya bagi pelayanan kristiani, terutama dengan fokus untuk lingkup perkotaan, mengingat lingkup perkotaan menjadi orientasi konteks hidup lainnya di Indonesia.

  5. Pergeseran Pola Komunikasi

  6. Ketika masyarakat masih mengandalkan komunikasi antarpribadi dengan metode audio (pendengaran) serta kata-kata lisan, jangkauan komunikasi antarmanusia dibatasi tempat dan waktu, demikian menurut studi yang dilakukan oleh pakar komunikasi di Ottawa, Walter Ong, SJ. Misalnya, ucapan Ratu Sima, atau Samarrotungga, tidak akan dapat didengar oleh cucu-cucunya karena untuk dapat mendengarnya, mereka harus hadir di sekitarnya dan hidup pada zaman yang sama dengannya.

    Ketika metode komunikasi antarmanusia diperkaya dengan metode tulisan, sesuatu hal yang baru terjadi dalam hidup manusia. Hal itu terjadi setelah Guttenberg atau orang Korea atau Kaisar Shih Huangti di China memungkinkan rakyat untuk memiliki akses ke dunia komunikasi tulis menulis. Kini, komunikasi dapat diawetkan dan ditransfer melewati zaman yang berbeda, bahkan menembus batas geografis yang sulit. Contohnya, tulisan kuno dari zaman perang petani (Baueren Krieg) abad 16-an, masih tersedia dalam bentuk aslinya sehingga kita dapat memahami situasi pada waktu itu.

    Namun, dengan munculnya komunikasi elektronik, khususnya radio dan televisi, manusia berhasil menembus batas geografis lebih andal, serta batas waktu. Informasi-informasi dari tempat yang jauh dan dekat kini ada di ruang tamu kita secara serempak dan real time. Lihat saja program Discovery Channel. Bahkan menurut Tony Schwartz, media elektronik telah menjadi ilah kedua, yang hadir di mana-mana dan kapan saja serta penuh dengan kuasa.

    Kehadiran komputer yang pada mulanya tidak ditujukan untuk konsumsi rakyat jelata ternyata mengubah dunia secara lebih radikal. Mulanya, alat ini diciptakan untuk membantu manusia dalam menyimpan dan mengolah informasi, khususnya mengolah penghitungan. Maka, muncullah bahasa komputer untuk mendukungnya. Bahasa pertama dibuat oleh George Boole pada tahun 1854. Demikian halnya dengan Charles Babbage. Pada tahun 1930, pembuatan metode perhitungan dengan komputer ini mencapai puncak dengan Massachusset Institute of Technology. Muncul pula nama Alan Turing, von Neumann, dan lain-lain. Dengan munculnya teknologi transistor, komputer yang sebesar deretan kulkas menjadi sebesar filing cabinet, dan akhirnya, sebesar desktop sekarang. Proses miniaturisasi mulai terjadi di dunia transistor. Muncullah berbagai cip yang berisi jutaan transistor dalam ukuran sebesar kuku jari manusia. Program yang semakin canggih membuat komputer memiliki multifungsi: menghitung, menyimpan informasi, mengklasifikasikannya, membuat simulasi untuk prediksi, membuat optimisasi, bahkan membuat desain, menulis, mengolah tampilan potret, dan sebagainya. Internet atau penghubungan komputer dengan rangkaian alat elektronik lain membuat komputer dapat mengatur lampu lalu lintas, kapan lampu rumah harus mati dan nyala, kapan suhu dari AC dikurangi, bahkan membuat berbagai keputusan sederhana sampai yang rumit dengan kecepatan yang luar biasa. Maka, terperangahlah para usahawan yang tadinya hanya menganggap komputer sebagai mesin hitung yang berlayar atau mesin yang rumit. Kini, di atas semua tadi, suatu tren terbaru muncul, yaitu membuat komputer dengan berbagai kehebatannya tadi dapat "berkomunikasi" satu dengan yang lainnya. Muncullah Local Area Network, Wide Area Network, serta yang kini digandrungi adalah internet. Data, gambar, dan berbagai pencarian informasi dapat dilakukan dari rumah secara interaktif. Dengan demikian, semestinya ada banyak pekerjaan dapat dikerjakan di rumah, dan bukan di kantor.

  7. Internet: Revolusi Diam-Diam

  8. Internet pada mulanya adalah jaringan komputer yang dibuat oleh lembaga pertahanan Amerika dalam rangka perang dingin dengan USSR. Waktu itu, namanya DARPA yang kemudian menjadi Arpanet. Kemudian, jaringan tadi melibatkan universitas, laboratorium, serta kalangan bisnis. Akhirnya, jaringan ini mencapai 50 juta komputer di seluruh dunia.

    Untuk mengaksesnya, seseorang hanya memerlukan komputer, modem (modulator demodulator), dan sebuah pesawat telepon serta berlangganan ke sebuah perusahaan yang menawarkan akses ke jaringan internet tadi. Perusahaan seperti ini dikenal dengan nama Internet Service Provider (ISP). Dengan memiliki akses ke internet, seseorang dapat mengirim pesan tertulis ke Skandinavia, misalnya, dengan biaya menelpon lokal, yaitu dari rumahnya ke kantor Internet Service Provider tadi, yang berada di kota yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia dapat pula mengirim file, gambar, musik, dan sebagainya.

    Lebih hebat lagi, alat ini juga dapat menjadi alat untuk menolong kita mencari informasi di segala penjuru bumi. Misalnya, Anda ingin tahu apakah dijual Alkitab dalam bahasa Mandarin untuk para tunanetra.

    Masih ada lagi yang internet dapat lakukan bagi Anda. Anda dapat bercakap-cakap dengan rekan dan saling melihat wajah Anda, yaitu dengan menghubungkan komputer Anda dengan sebuah kamera seharga US$ 200 dengan program yang bernama CUC me.

    Jelaslah, internet membuat desentralisasi kuasa terjadi melalui difusi atau penyebaran informasi dan akumulasi informasi yang tidak dapat dikendalikan siapa pun. Internet juga membuat manusia mampu mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan siapa saja melalui bahasa apa saja yang ia pilih, serta waktu yang ia kehendaki. Manusia bahkan dapat membentuk kelompok-kelompok, seperti asosiasi riset yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi di tingkat pascasarjana, forum pelayanan muda-mudi sedunia, Pink Network (gay), dan sebagainya. Semuanya mengisyaratkan bahwa dunia modern merupakan dunia yang penuh dengan keberbagaian pilihan.

  9. Dampak: Menuju Virtual Office, Virtual School, dan Virtual Home

  10. Apa dampak pergeseran di atas bagi kejiwaan anggota masyarakat dan gereja? Pertama, dengan komunikasi lisan, kita tidak terpisah secara batin dari orang yang kita ajak bicara. "Kau dan aku diikat dengan kata-kata dan bisikan." Realita dan diri kita tergabung jadi satu dalam harmoni. Emosi dan nalar tidak terpisah. Kita belajar berkomunikasi dengan sabar. Kita belajar menyimak dengan baik.

    Dengan berkomunikasi secara lisan dan juga masuk ke dunia tulis-menulis, manusia belajar untuk menata kompleksnya realitas ke dalam format yang rapi, tersusun, dan terkendali. Entah kiri ke kanan, entah dari atas ke bawah, atau dari kanan ke kiri, manusia dibiasakan untuk membuat realitas terpilah dan tersusun. Hubungan antarmanusia pun mulai mengambil dua bentuk. Bentuk lisan yang tradisional dan bentuk tulisan. Di dunia tulisan, anehnya, semua harus rapi. Realitas diwakilkan sebagai hal yang tersusun. Apa yang ambivalen segera dianggap sebagai anomali (kelainan). Kelekatan dan kedekatan emosi semakin longgar. Nalar semakin menjadi pendominasi ulung. Maka, abad pencerahan pada abad XIX pun muncullah.

    Manusia cenderung mengagungkan diri, merasa semakin rasional, bahkan sering menjadi pongah dalam menangani hidupnya, sampai muncullah perang dunia pertama. Di situ, manusia menyadari bahwa dirinya tidak hanya makhluk rasional, tetapi realitas juga tidak dapat disterilkan ke dalam format yang ia buat.

    Pergeseran ke dunia elektronis membuat manusia menjadi lebih pasif. Menurut Jacques Ellul, televisi terutama membuat manusia menikmati realitas yang telah dipilihkan oleh sang penyiar. Televisi yang mulanya dianggap sebagai alat penerima informasi, kini menjadi alat untuk berekreasi. Manusia segan menelaah secara kritis, tetapi lebih suka menikmati dan meminta variasi lebih. Hal ini terlihat dengan munculnya para pembosan yang sebentar-sebentar mencari saluran dan acara televisi yang lain.

    Khusus untuk Indonesia, terutama masyarakat kota besar dan masyarakat yang tidak sepenuhnya melek huruf, agaknya komunikasi elektronis rekreasional membuat dampak yang sangat kuat, entah untuk beberapa lama sampai keseimbangan tercapai. Apa yang disampaikan di media elektronik, terutama televisi, didifusikan, diadopsikan, dan jadi bagian hidup. Orang belajar dengan sukarela dari apa saja yang televisi sampaikan selama bobot rekreasinya tinggi karena kecepatan belajar dan kecepatan menyerap hal baru sangat meningkat bila orang merasa menikmati hal itu.

    Dengan kata lain, pergeseran pola komunikasi umum di masyarakat, membuat manusia cenderung semakin tak mampu menyimak, meneliti, dan mengamati untuk waktu yang panjang, apalagi hal-hal yang ia tidak minati. Orang jadi pembosan dan semakin kompleks dalam dirinya.

    Selain itu, manusia lebih suka berkecimpung dalam dunia kesan daripada memperhatikan pesan yang ada. Selama pesan tidak dikemas secara mengesankan (kalau perlu secara dramatis, berdarah, sadis, dan seksi), pesan tidak diperhatikan. Tingkat kekritisan menurun tajam. Inilah pop-culture secara global.

    Internet sebagai hal baru mungkin belum terasa dampak massalnya, tetapi jelas akan merambah dengan cepat. Bila pada tahun 1994 Indonesia memiliki satu service provider, kini telah tercatat 22 provider walaupun baru 9 yang memiliki izin operasional. Service provider terbesar dan pemimpin pasar (Rahajasa Media Internet) mendapatkan pelanggan 450 orang per bulan secara nonstop sejak dibukanya pada bulan Mei 1995. Pendatang baru, CBN net, mengalami hal yang sama, sejak Januari 1996 sampai sekarang, mereka berhasil mendapatkan 1500 pelanggan. Perkiraan kasar menunjukkan sekitar 25.000 orang telah menjadi pengakses internet. Hasil riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa 87 % pengguna aktif (28 -- 40 jam per bulan) adalah orang yang berusia 19 -- 30 tahun dengan mayoritas para penyandang gelar S1. Mereka menggunakan akses internet terutama dalam rangka berekreasi dan mencari data (n=364, studi dilakukan di Jakarta selama bulan Februari sampai awal Mei 1996). Keseluruhannya mencerminkan bahwa internet sangat dibutuhkan karena merupakan kesempatan menelusuri pilihan-pilihan yang beragam. Semangat individualistis dan postmodernism semakin nyata.

    Apakah ada dampak positif yang menyeluruh dari perkembangan pola komunikasi yang bergeser dan tumpang tindih? Pergeseran-pergeseran di atas membuat manusia menjadi semakin belajar untuk mengenal cara berkomunikasi yang berbeda-beda. Mereka belajar berbagai cara berkomunikasi serta sekaligus mengenali kompleksitas masing-masing. Manusia semakin mengeluarkan potensinya untuk berkomunikasi dalam berbagai mode.

    Secara praktis, beberapa kemungkinan baru menjadi muncul seperti terlihat dari ilustrasi ini. Pada saat ini, saya masih memimpin sebuah kantor dengan 15 staf di dalamnya. Menghitung biaya yang dikeluarkan setiap bulan untuk membayar listrik, air, AC, telepon, kebersihan, uang keamanan, dan sejenisnya, serta pusingnya menghadapi staf yang saling bersaing, atau bersinggungan secara antarpribadi tentunya bukan cuma monopoli kami. Belum lagi risaunya kita mengamati staf wanita yang baru memiliki bayi kecil yang sudah harus ditinggalkannya di rumah dengan baby sitter. Mereka bekerja dengan hati yang terpecah dua. Akan tetapi, bayangkan kemungkinan seperti ini: Semua staf diizinkan bekerja di rumah. Masing-masing memiliki sebuah telepon selular, komputer notebook dengan modem-nya. Seminggu sekali atau dua kali, kami akan berjumpa di hotel atau restoran untuk menentukan pembagian tugas. Bagi para staf, tentunya hal tadi sangat menyenangkan. Anak-anak mereka yang biasanya tumbuh di bawah pengaruh pembantu, kini masih bisa melihat ibunya di rumah secara rutin. Waktu perjalanan dari dan ke kantor yang setiap hari menyita dua jam lebih dapat dipergunakan untuk hal-hal lain. Biaya pemeliharaan kantor dapat dipakai untuk biaya telekomunikasi per telepon dan modem yang semakin murah. Selanjutnya, para staf terpaksa belajar untuk berkomunikasi lebih efektif, yaitu menyimak dan memberi instruksi atau memberi laporan secara singkat, padat, dan efektif. Lebih menarik lagi, bila kantor kami tadi kami sewakan atau jual, tidakkah akan ada dana berlebih? Inilah gejala yang dikenal dengan nama virtual office atau kantor maya. Hal tadi secara potensial dapat dilakukan dengan tersedianya teknologi informasi dan komunikasi. Namun, apakah hal ini dapat diterapkan di Indonesia sepenuhnya? Banyak prasyarat yang perlu disimak. Teknologi yang tersedia sudah pasti memungkinkan penekanan biaya overhead dan operasional untuk menjalankan sebuah kantor, atau sebuah percetakan, bahkan sebuah rumah sakit.

Sumber Artikel: 

Diambil dan disunting dari:

Judul buku: Jurnal Pelita Zaman, Volume 12, Nomor 01 (Mei 1997)
Judul bab : Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI
Penulis : Robby I. Chandra
Penerbit : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman
Halaman : 53 -- 67

Roh Kudus: Oknum Ketiga Allah Tritunggal

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selama bulan April -- Juni, kita merayakan empat peristiwa berturut-turut yang sangat penting dalam sejarah kekristenan, yaitu kematian Tuhan Yesus di kayu salib, kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian, kenaikan-Nya ke surga, dan penggenapan janji-Nya tentang Penolong yang akan datang, yaitu Roh Kudus, yang jatuh tepat pada Hari Raya Pentakosta. Dalam artikel bulan ini, kita akan melihat kepada Pribadi ketiga Allah Tritunggal. Pribadi Allah yang peran-Nya mungkin paling sering diremehkan oleh orang Kristen masa kini. Banyak orang Kristen salah dalam mengenali Roh Kudus: mereka sering kali menganggap bahwa Roh Kudus hanyalah kuasa dari Allah, keberadaan-Nya dibatasi hanya pada munculnya fenomena-fenomena rohani yang spektakuler, bahkan tidak jarang orang Kristen yang berusaha mengendalikan atau bersikap tidak hormat kepada Roh Kudus. Banyak juga lembaga gereja yang menuduh gereja lain "tidak ada Roh Kudusnya" hanya karena tidak pernah menggunakan "bahasa roh" di dalam ibadah.

Artikel di bawah ini diambil dari buku berjudul "Allah Tritunggal" yang ditulis oleh Pdt. Dr. Stephen Tong. Artikel ini berusaha meluruskan pandangan orang Kristen terhadap Roh Kudus dengan menunjukkan beberapa pengajaran yang salah mengenai Roh Kudus serta memberikan bukti-bukti bahwa Roh Kudus adalah Pribadi, Oknum ketiga dari Allah Tritunggal. Kiranya artikel ini dapat menjadi berkat bagi kita semua. Soli Deo Gloria!

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
edisi 152 - Roh Kudus: Oknum Ketiga Allah Tritunggal
Isi: 
Roh Kudus: Oknum Ketiga Allah Tritunggal

Roh Kudus: Oknum Ketiga Allah Tritunggal

Roh Kudus

Pada waktu Yesus baru memulai pekerjaan-Nya sebagai Mesias, Dia mengutip dari Kitab Yesaya, sebagai berikut:

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18-19)

Dalam ayat ini, kita melihat dengan jelas ketiga Pribadi: Allah Bapa mengurapi Yesus Kristus dengan pengurapan Roh Kudus dan mengutus Dia masuk ke dalam dunia. Hal yang sama terlihat dalam Kisah Para Rasul 10:38,

"yaitu tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia."

Di sini, sekali lagi, muncul tiga Pribadi; Allah Bapa mengurapi Allah Anak dengan Allah Roh Kudus. Yang mengurapi adalah Bapa, yang diurapi adalah Kristus, dengan urapan Roh Kudus.

Pada waktu Yesus Kristus berada di dunia, Ia pernah mengajarkan mengenai Roh Kudus kepada murid-murid-Nya. Dalam pengajaran-Nya itu, dengan sangat jelas Ia memberitahukan beberapa sifat Roh Kudus yang hanya dimiliki oleh Allah. Yesus pernah mengajar murid-murid-Nya dengan berkata,

"Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni." (Lukas 12:10)

Apa arti ayat di atas? Ada dua kemungkinan interpretasi yang salah terhadap ayat ini, yaitu (1) Tafsiran yang salah menganggap Roh Kudus lebih besar daripada Pribadi yang lain (Yesus Kristus, Anak Allah) sehingga kalau berdosa terhadap Anak masih bisa diampuni, sedangkan berdosa terhadap Roh Kudus tidak bisa diampuni lagi, sebab tingkatnya lebih tinggi. (2) Roh Kudus mempunyai sifat yang lebih keras sehingga tidak mau mengampuni kesalahan orang; sedangkan Pribadi yang lain (Anak Allah) lebih bersifat rahmani, murah hati, dan suka mengampuni. Walaupun kedua interpretasi di atas salah, tetapi paling tidak kita mengetahui bahwa Roh Kudus mempunyai hak, kedudukan sebagai Allah yang tidak bisa lebih rendah dari Pribadi yang lain (Anak Allah). Siapakah Roh Kudus itu?

Dalam Wahyu yang progresif (Progressive Revelation) dan dalam mengajarkan tentang Roh Kudus yang akan datang, Kristus sudah memberitahukan beberapa sifat Roh Kudus yang penting berikut ini:

"Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya," (Yohanes 14:16)

Ada Alkitab bahasa Indonesia yang tidak mencantumkan kata "selama-lamanya" pada ayat ini. Kata ini memang tidak ada di dalam Alkitab bahasa aslinya. Namun, kata yang dipakai (aorist tense) di sini menunjukkan arti selama-lamanya. Jadi, sifat kekal dari Roh Kudus dinyatakan oleh Tuhan Yesus di sini. Adakah, pernahkah, seorang nabi atau seorang rasul yang hidup di dunia ini menyertai murid-muridnya atau para pengikutnya sampai selama-lamanya? Tidak ada. Jika demikian, siapakah Dia yang dijanjikan oleh Kristus kepada mund-murid-Nya ini? Dalam ayat selanjutnya (ayat 17) dijawab:

"yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu."

Justru inilah yang membuat jaminan hidup kekal menjadi mungkin karena Roh itu adalah Roh Pemberi Hidup, dan Roh itu akan bersama-sama dengan kita untuk selama-lamanya. Itulah sifat kekekalan yang dimiliki oleh Roh Kudus, sifat Allah, sifat yang tidak lebih kecil daripada Anak. Sifat ilahi dari Roh Kudus juga diberitahukan di dalam Yohanes 3:34:

"Sebab siapa yang diutus Allah, Dialah yang menyampaikan firman Allah, karena Allah mengaruniakan Roh-Nya dengan tidak terbatas."

Tidak terbatas adalah ousia atau sifat asasi dari Allah. Siapakah yang tidak terbatas, selain Allah sendiri? Di sini, dikatakan bahwa Roh Kudus tidak terbatas, berarti Roh Kudus mempunyai sifat yang hanya ada pada Allah.

Sifat-sifat ilahi Roh Kudus muncul dalam banyak ayat lainnya. Hal ini disangkal oleh aliran-aliran yang disebut Saksi Yehovah, Unitarianisme, Monarchianisme, Modalistic Monarchianisme atau yang disebut juga Sabelianisme, serta Liberalisme. Kita hanya akan membahas sedikit mengenai Sabelianisme di sini karena secara tidak disadari, ajaran ini sekarang sedang menjalar di Indonesia.

Sabelianisme mengajarkan bahwa Allah itu Esa, tetapi mereka tidak percaya adanya tiga Pribadi. Mereka berusaha menjelaskan segala indikasi yang menunjukkan bahwa Allah Tritunggal di dalam Alkitab hanya sebagai semacam persona (Pribadi) yang diartikan sebagai topeng. (Sangat disesalkan, bahwa istilah persone dalam bahasa Latin, yang kemudian diterjemahkan menjadi person di dalam bahasa Inggris dan menjadi pribadi dalam bahasa Indonesia, mula-mula mempunyai pengertian topeng, yaitu topeng yang dipakai di dalam sandiwara.) Maksudnya, seorang pelaku sandiwara dapat berperan sebagai dua atau lebih tokoh dengan menggunakan topeng. Misalnya, pada babak pertama, dia berperan sebagai orang tua dengan memakai topeng orang tua, kemudian pada babak yang lain dia berperan sebagai anaknya sendiri dengan memakai topeng seorang anak. Dengan demikian, seorang pelaku dapat muncul beberapa kali dengan topeng yang berbeda-beda. Tentu saja, para penontonnya tidak tahu; mereka tertipu oleh topeng-topeng itu. Istilah persone inilah yang diambil oleh segolongan orang dan mengartikannya sebagai topeng-topeng untuk memainkan peranan yang berbeda-beda. Maka, golongan Sabelianisme merasa mudah untuk mengartikan Allah Tritunggal, yaitu sebagai Allah Yang Esa yang mempunyai tiga peranan: dalam zaman Perjanjian Lama, Allah berperan sebagai pelaku pertama dengan memakai topeng Bapa; kemudian dalam zaman Perjanjian Baru, Allah yang sama muncul dengan memakai topeng Anak berperan sebagai Allah Anak; dan setelah Yesus naik ke surga, Dia datang kembali dengan memakai topeng ketiga sebagai Roh Kudus. Bandingkan dengan, misalnya: Pada waktu saya di mimbar, saya berperan sebagai pengkhotbah; di rumah saya sebagai seorang ayah atau kepala keluarga; pada waktu saya mengajar di sekolah saya sebagai seorang guru atau dosen.

Itu bukan konsep Tritunggal, melainkan tunggal yang tritopeng, triperanan atau tripelaku, dan trifungsi. Seorang pelaku yang memerankan tiga tokoh dengan tiga topeng; kelihatannya seperti ada tiga pelaku, padahal cuma seorang pelaku dengan tiga peranan. Demikianlah Sabelianisme (dari seorang yang bernama Sabelius yang hidup pada abad kedua) atau Modalistic Monarchianime menjelaskan mengenai Tritunggal. Ajaran ini termasuk bidat, bukan ajaran Tritunggal yang sesuai dengan Alkitab.

Di dalam Tritunggal, Pribadi Pertama bukan Pribadi Kedua, dan Pribadi Kedua bukan Pribadi Ketiga. Berlainan Pribadi bukan berarti lain Allah, melainkan tetap satu Allah; satu Allah mempunyai tiga Pribadi, dan tiga Pribadi berada di dalam satu esensi Allah; inilah Tritunggal.

Roh Kudus bukan hanya kuasa, gerakan, atau prinsip kerja Allah; Roh Kudus adalah satu Pribadi yang mempunyai kemauan serta kemampuan memberikan keputusan atau ketetapan.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Jika kita menerima ajaran Sabelianisme, kita menerima bahwa ketika Allah mengutus Anak-Nya di dunia, berarti Allah mengutus dan diutus oleh diri-Nya sendiri karena pribadi yang bertopeng pertama itu mengutus dirinya sendiri yang bertopeng kedua. Jadi, yang mengutus adalah yang diutus. Kalau demikian, kita tidak bisa menghindarkan diri dari kesalahan teologis yang lain, yang disebut Patripachianisme, yaitu kesengsaraan Bapa sendiri. Maksudnya, pada waktu Yesus Kristus disalibkan, berarti Allah Bapa yang dipaku karena Bapa sedang memakai topeng Anak, datang ke dunia, dan disalibkan; Dia sendiri yang mengalami penderitaan dan sampai mati. Kalau Pribadi Pertama yang memakai topeng Pribadi Kedua itu mati, berarti Allah itu mati; dan pada waktu Allah mati, siapakah yang menopang alam, semesta ini? Teologi tidak semudah apa yang mungkin kita pikirkan. Bukankah banyak orang tidak menyukai teologi; mereka lebih menyukai khotbah-khotbah yang berisi banyak cerita, pengalaman, kesaksian, yang enak dan mudah didengar, yang lucu-lucu, serta yang ajaib. Tetapi, sadarkah kita bahwa orang-orang bidat yang menamakan diri Saksi-saksi Yehovah telah mendapatkan 70% anggotanya dari Protestan dan Katolik, Mormon 80%. Celakalah kalau gereja-gereja dan para pemimpinnya tidak mengajarkan doktrin-doktrin yang benar dan penting kepada anggota-anggotanya. Alkitab selalu memperingatkan, "Peliharalah firman Tuhan! Peganglah ajaran-ajaran yang benar! Bertekunlah di dalam pengajaran-pengajaran yang murni! Jangan berkompromi, tetapi lawanlah ajaran-ajaran yang sesat! Pertahankanlah ajaran yang benar sampai Tuhan Yesus datang kembali!" Sejarah sudah menjadi guru besar bagi kita. Seorang filsuf Jerman bernama Hegel pernah mengucapkan suatu kalimat yang mengejutkan, "Pelajaran terbesar dari sejarah adalah bahwa manusia tidak menerima pengajaran sejarah." Sejarah sudah mengajarkan kepada kita bahwa ajaran-ajaran bidat sudah muncul; isi ajarannya dan cara munculnya sudah dipelajari, tetapi manusia masih saja tidak waspada. Pintu selalu dibiarkan terbuka sehingga generasi berikutnya juga ditelan oleh ajaran-ajaran bidat itu. Mari kita menantang arus pengajaran yang tidak beres di zaman ini dengan menanamkan ajaran-ajaran secara ketat.

Gnostiksisme dan Arianisme yang hanya mempertahankan Keesaan Allah tanpa memedulikan kemungkinan adanya tiga Pribadi di dalam diri Allah Yang Esa itu, akhirnya jatuh kepada kepercayaan terhadap Yesus yang moralis saja, tanpa bersifat ilahi, dan menganggap Roh Kudus sebagai yang tidak berpribadi. Mereka tidak mau memerhatikan kesaksian Alkitab yang demikian banyak mengenai ketiga Pribadi Allah.

Apakah Roh Kudus hanya kuasa? Apakah Roh Kudus hanya semacam prinsip? Apakah Roh Kudus berpribadi? Yang disebut pribadi paling tidak mempunyai tiga unsur: (1) Unsur rasio, sehingga dapat berpikir serta mempunyai pengertian akan kebenaran; (2) Unsur emosi, sehingga bisa mencintai, membenci, sedih, berduka, sukacita, dan sebagainya; (3) Unsur kemauan, sehingga mempunyai kebebasan untuk bertindak menurut kemauan yang ada. Jika demikian, apakah Roh Kudus hanya semacam embusan angin atau kuasa, atau prinsip pekerjaan Allah saja? Ataukah sebaliknya, Roh Kudus adalah satu Pribadi?

Alkitab memberikan penjelasan mengenai Roh Kudus di dalam ayat-ayat berikut:

Roh Kudus adalah Kebenaran

"Inilah Dia yang telah datang dengan air dan darah, yaitu Yesus Kristus, bukan saja dengan air, tetapi dengan air dan dengan darah. Dan Rohlah yang memberi kesaksian, karena Roh adalah kebenaran." (1 Yohanes 5:6)

Yesus Kristus pernah berkata, "Akulah Kebenaran," maka kebenaran yang ada pada Kristus itu menjadi "ousia" ilahi. Demikian juga, kebenaran yang ada pada diri Roh Kudus itu pun menjadi ousia ilahi, sebab Roh Kudus adalah kebenaran. Lain halnya jika kita memikirkan mengenai kebenaran, maka kita hanya sebagai orang yang berhak untuk mempunyai dan melakukan fungsi intelek memikirkan tentang kebenaran. Namun, Roh Kudus adalah diri Kebenaran itu sendiri. Roh Kudus bukan saja berintelek, tetapi juga menjadi sumber segala intelek. Roh Kudus bukan hanya mempunyai rasio, tetapi juga merupakan Sumber segala rasio yang benar karena Dia adalah Kebenaran itu. Bukan saja demikian, Roh Kudus adalah Roh yang mewahyukan kebenaran, dan Roh yang memimpin masuk ke dalam segala kebenaran.

"yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak dapat melihat Dia. Tetapi, kamu mengenal Dia, Sebab Dia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu" (Yohanes 14:17).

"Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku." (Yohanes 15:26)

"Tetapi apabila Dia datang, yaitu Roh Kebenaran, Dia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Dia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Dia akan memberikan kepadamu hal hal yang akan datang." (Yohanes 16:13)

Roh Kebenaran bukan saja mempunyai kebenaran pada diri-Nya, tetapi Dia adalah diri kebenaran itu sendiri; bukan saja diri kebenaran, tetapi Dia juga adalah Pewahyu kebenaran; bukan saja Pewahyu kebenaran, tetapi juga yang memimpin pikiran manusia masuk ke dalam kebenaran. Dia bukan saja mempunyai rasio, tetapi Dia adalah Sumber dari semua makhluk yang berasio. Inilah unsur pertama yang dimiliki Roh Kudus, yang menunjukkan Dia adalah satu Pribadi, yaitu rasio.

Roh Kudus Memiliki Emosi

Roh Kudus mempunyai kasih, dan kasih Allah dicurahkan kepada kita justru melalui Roh Kudus.

"Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:5)

Roh Kudus juga bisa merasa sedih dan berduka, sebagaimana tertulis di dalam Efesus 4:30,

"Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan."

Apa yang dimaksud mendukakan Roh Kudus di sini? Ini berarti membuat Dia sedih dan susah karena ketidaktaatan manusia. Sebagaimana seorang ibu yang penuh kasih sayang sedih melihat anaknya yang tidak taat kepadanya, demikianlah Roh Kudus menjadi sedih apabila kita tidak taat kepada-Nya karena Dia dikaruniakan kepada setiap orang yang percaya; Roh Kudus menjadi materai dan berdiam di dalam diri setiap orang yang sungguh-sungguh telah diperanakkan kembali oleh-Nya sendiri.

Roh Kudus Memiliki Kemauan, Kebebasan, Ketetapan

"Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban daripada yang perlu ini." (Kisah Para Rasul 15:28)

Ayat ini mengenai larangan makan daging yang sudah dipersembahkan kepada berhala dan daging dari binatang yang mati lemas, larangan minum darah, serta percabulan. Ini adalah keputusan Roh Kudus dan rasul-rasul. Jadi, kita melihat, Roh Kudus mempunyai kemauan untuk mengambil keputusan. Roh Kudus bukan hanya kuasa, gerakan, atau prinsip kerja Allah; Roh Kudus adalah satu Pribadi yang mempunyai kemauan serta kemampuan memberikan keputusan atau ketetapan.

Holy Spirit

"Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah." (Roma 8:14) Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut." (Roma 8:2)

Roh Kudus, bukan saja memberikan keputusan bagi manusia, tetapi juga memimpin manusia. Roh Kudus bukan saja memimpin manusia, tetapi juga memberikan kebebasan kepada manusia sehingga di tempat Roh Kudus berada, di situ juga ada kebebasan. Roh Kudus bukan saja mempunyai kebebasan memimpin manusia masuk ke dalam manusia, tetapi juga memimpin manusia masuk ke dalam kebebasan. Roh Kudus juga mengutus orang untuk melayani Tuhan. Misalnya, Roh Kudus mengutus Barnabas dan Saulus dari Antiokhia untuk mengabarkan Injil keluar:

"Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus, 'Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.'" (Kisah Para Rasul 13:2)

Pengutusan itu direncanakan dan ditetapkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus bukan saja memberikan pimpinan positif, tetapi kadang-kadang juga memberikan pimpinan negatif. Roh Kudus bisa merintangi seseorang pada saat-saat dan di tempat-tempat tertentu dalam hal tertentu. Misalnya, Roh Kudus mencegah Paulus dan Silas untuk memberitakan Injil di Asia karena Roh Kudus ingin agar mereka memberitakan Injil ke Makedonia yang menjadi pintu gerbang untuk Injil masuk ke daratan Eropa (Kisah Para Rasul 16:6-12).

Siapakah Roh Kudus? Jika Roh Kudus bukan Pribadi, bagaimanakah Dia dapat mengambil keputusan, bagaimanakah Dia dapat mengutus, bagaimanakah Dia dapat membebaskan kita dan memimpin kita masuk ke dalam kebebasan? Roh Kudus adalah satu Pribadi, yaitu Pribadi Ketiga dari Allah Tritunggal.

Audio: Roh Kudus: Oknum Ketiga Allah Tritunggal

Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul buku: Allah Tritunggal
Judul bab : Roh Kudus Oknum Ketiga Allah Tritunggal
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993
Halaman : 75 -- 85

Pikullah Salibmu dan Ikutlah Aku

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Pertama-tama, kami segenap redaksi e-Reformed mengucapkan SELAMAT PASKAH! Semoga Paskah tahun ini mempunyai makna rohani yang berkesan bagi kita masing-masing.

Artikel e-Reformed untuk bulan April ini diambil dari buku karya John Piper berjudul "Apa yang Yesus Tuntut dari Dunia". Salah satu tuntutan orang Kristen adalah memikul salib. Memikul salib berarti rela menanggung segala penderitaan sebagai konsekuensi dari mengikut Kristus. Memikul salib berarti rela putus hubungan dengan hal-hal yang kita cintai demi mengikut Kristus. Sebagaimana yang dikatakan Paulus bahwa penderitaan adalah sebuah anugerah, seharusnya kita boleh berbangga dan bersukacita jika suatu saat kita menghadapi penderitaan karena Kristus. Memang hal ini tidak mudah, tetapi itulah yang menjadi identitas seorang pengikut Kristus, seperti yang telah dialami para pendahulu kita yang telah berhasil memperjuangkan dan mempertahankan iman sampai akhir.

Biarlah mengikut Kristus dengan segala konsekuensinya menjadi kerinduan bagi setiap kita. Kiranya Allah Roh Kudus dengan segala kasih karunia-Nya terus menyertai dan memampukan kita untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati. Soli Deo Gloria!

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Penulis: 
John Piper
Edisi: 
edisi 151 - Pikullah Salibmu dan Ikutlah Aku
Tanggal: 
23 April 2014
Isi: 
Pikullah Salibmu dan Ikutlah Aku

Pikullah Salibmu dan Ikutlah Aku

Yesus memanggul Salib.

"Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya." (Matius 16:24-25).

"Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." (Markus 1:17).

"Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." (Yohanes 8:12).

"Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka." (Matius 8:22).

"Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (Matius 19:21).

Yesus sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah (Yohanes 1:1,14). Ia bukan Allah dalam bungkus manusia, seperti kostum. Ia nyata, manusia dengan darah daging, seorang anak tukang kayu (Markus 6:3). Karena itu, ketika Ia berkata kepada para penangkap ikan dan pemungut cukai, "Ikutlah Aku," ketaatan mereka adalah konkret, perbuatan fisik yang menjejakkan kaki mereka ke tanah dan berjalan di belakang Yesus dan menjadi bagian dari tim perjalanan Yesus.

Mengikut Yesus Ketika Ia Tidak Lagi Di Sini

Yesus tahu bahwa Ia tidak akan selalu berada di bumi bersama pengikut-pengikut-Nya dalam pengertian fisik. "... tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku, ... Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu." (Yohanes 16:5,7) Yesus sadar sepenuhnya bahwa gerakan yang telah dimulai-Nya akan berlanjut setelah ia kembali kepada Bapa-Nya di surga. Ini adalah rencana-Nya.

Oleh sebab itu, tuntutan-Nya supaya kita mengikut Dia adalah relevan, bukan hanya pada masa Ia hidup secara fisik di dunia, melainkan juga sepanjang waktu. Ia dengan jelas menyatakan ini pada akhir pelayanan-Nya di bumi. Ia telah bangkit dari kematian dan akan kembali kepada Bapa-Nya. Ia mengatakan kepada Petrus bahwa suatu hari, ia akan mengalami mati syahid setelah Yesus naik ke surga. Petrus bertanya-tanya apakah ia orang satu-satunya sehingga ia bertanya kepada Yesus apa yang akan terjadi dengan rekan rasul yang lain, yaitu Yohanes. Yesus menjawab, Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: "Ikutlah Aku." (Yohanes 21:22).

Implikasi tentang mengikut Yesus ini terjadi setelah Yesus naik ke surga. Sampai Yesus datang kembali, Ia berharap murid-murid-Nya di dunia tetap mengikut Dia. Jadi, mengikut Yesus tidak dibatasi dengan berjalan secara fisik di sekitar Palestina di belakang Yesus. Yesus menuntut hal ini pada setiap orang, di setiap negara, pada setiap zaman.

Mengikut Yesus Berarti Melakukan Seperti yang Yesus Lakukan

Ketika Yesus berkata kepada Petrus dan Andreas, yang pekerjaannya adalah menangkap ikan, "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia" (Markus 1:17), Ia menggunakan perumpamaan yang berhubungan langsung dengan mereka, untuk sesuatu yang dapat diaplikasikan kepada setiap orang yang mengikut Yesus. Tuntutan untuk mengikut Yesus berarti bahwa setiap orang harus bersama Dia, melakukan apa yang Ia lakukan. Dan, berkali-kali Ia mengatakan apa yang Ia maksudkan. "Anak Manusia datang ... untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45) "Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." (Lukas 19:10) "Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat." (Lukas 5:32) "Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." (Yohanes 10:10) "Apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini. Bapa, muliakanlah nama-Mu!" (Yohanes 12:27-28)

Kesimpulannya, Ia datang untuk "mati" bagi bangsa (Israel), dan bukan hanya untuk bangsa Israel, tetapi juga untuk menyatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai di luar (Yohanes 11:51-52). Ia datang untuk mengumpulkan suatu umat, khususnya untuk mengumpulkan suatu umat yang setia kepada-Nya untuk kemuliaan Bapa-Nya, dengan mati untuk menyelamatkan mereka dari dosa dan memberi mereka hidup kekal dan suatu etika kasih yang baru seperti diri-Nya (Yohanes 13:34-35). Oleh sebab itu, ketika Ia menuntut agar kita mengikut Dia, yang Ia maksudkan ialah kita ikut bersama-Nya dalam tugas mengumpulkan. "Siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan." (Lukas 11:23) Tidak ada pengikut netral; kalau kita tidak mengumpulkan, kita mencerai-beraikan. Mengikut Yesus berarti melanjutkan pekerjaan-Nya, yang untuk itulah Ia datang -- mengumpulkan umat yang setia kepada-Nya untuk kemuliaan Bapa-Nya.

"Mengikut Yesus berarti kita ikut dalam penderitaan-Nya. (John Piper)"
FacebookTelegramTwitterWhatsApp

Mengikut Yesus dalam Penderitaan

Mengajak kita untuk turut melanjutkan pekerjaan-Nya, termasuk menderita bersama-Nya, merupakan tujuan kedatangan Yesus. Mengikut Yesus berarti kita ikut dalam penderitaan-Nya. Ketika Yesus memanggil kita untuk mengikut Dia, dalam hal inilah Ia menekankan, Ia tahu bahwa Ia menuju ke salib dan Ia menuntut kita melakukan hal yang sama. Ia menata seluruh kehidupan dan pelayanan-Nya untuk pergi ke Yerusalem dan dibunuh. "Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem." (Lukas 13:33)

Maka, "Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem." (Lukas 9:51) Dan, Ia tahu secara tepat apa yang akan terjadi di sana. Semuanya itu telah direncanakan Bapa-Nya ketika Bapa mengutus-Nya ke dalam dunia. "Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan, mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, dan Ia akan diolok-olokkan, diludahi, disesah dan dibunuh, dan sesudah tiga hari Ia akan bangkit." (Markus 10:33-34) Itulah rencana-Nya-sampai detail-detail ketika Ia diludahi.

Itulah rancangan kehidupan-Nya. Dan, Ia tahu bahwa penderitaan-Nya juga akan menimpa mereka yang mengikuti Dia. "Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu." (Yohanes 15:20) Maka, fokus yang pantang mundur dari tuntutan-Nya ialah bahwa kita mengikut Dia dalam penderitaan. "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24) Yesus menekankan pada kata menyangkal diri dan memikul salib.

Menderita Demi Yesus dengan Sukacita Menunjukkan Nilai Tertinggi Yesus

Yesus tidak mati untuk menjadikan kehidupan kita mudah dan makmur. Ia mati untuk menyingkirkan setiap halangan yang merintangi sukacita kekal yang akan kita peroleh dari-Nya. Dan, Ia memanggil kita untuk mengikut Dia dalam penderitaan-Nya karena penderitaan dan sukacita ini adalah demi Yesus (Matius 5:12). Ini menunjukkan bahwa Ia lebih berharga daripada segala pahala yang ditawarkan dunia (Matius 13:44;6:19-20). Jika Anda mengikut Yesus hanya karena Ia membuat kehidupan Anda mudah saat ini, itu akan memperlihatkan kepada dunia bahwa Anda mencintai apa yang mereka cintai, dan Yesus kebetulan menyediakan itu bagi Anda. Akan tetapi, jika Anda menderita bersama Yesus di jalan kasih karena Ia adalah harta yang tak ternilai bagi Anda, akan menjadi nyata kepada dunia bahwa hati Anda diarahkan kepada harta yang berbeda dari mereka. Itulah sebabnya, Yesus menuntut agar kita menyangkal diri dan memikul salib kita dan mengikut Dia.

Menderita Sementara Untuk Yesus; Bersukacita di dalam Yesus Itu Kekal

Tentu saja, penderitaan itu sementara. Tuhan tidak memanggil kita untuk penderitaan yang kekal. Ia menyelamatkan kita dari penderitaan."Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal." (Yohanes 12:25) "Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, Ia akan menyelamatkannya." (Markus 8:35) Menderita bagi Yesus adalah sementara. Sukacita di dalam Yesus adalah kekal. Ketika Petrus berkata (mungkin dengan sedikit nada mengasihani diri),"Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau, ...." Yesus menjawab tanpa memanjakan rasa mengasihani diri Petrus,"Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal." (Matius 19:27,29) Dengan kata lain, tidak ada pengorbanan yang paling tinggi dalam mengikut Yesus. "...engkau akan mendapat balasannya pada hari kebangkitan orang-orang benar." (Lukas 14:14) "... upahmu besar di sorga ..." (Matius 5:12).

Bahkan, sebelum surga, sukacita sudah berkelimpahan di sepanjang jalan yang keras dan memimpin kita melalui kematian menuju kebangkitan. Tidak ada yang dapat dibandingkan dengan sukacita berjalan di dalam terang bersama Yesus, sebagai lawan dari berjalan di dalam kegelapan tanpa Dia. Yesus berkata, "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." (Yohanes 8:12). Mengikut Yesus memang dapat membawa kita mengalami penderitaan dan kematian. Namun, jalan-Nya menuju kepada terang, kehidupan, dan kebenaran. Yesus berjanji, "Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20) Dan, di mana Yesus hadir, di situ ada sukacita, sukacita di dalam penderitaan sekarang, namun tetap adalah sukacita. "Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh." (Yohanes 15:11).

Seseorang berjalan sendiri di padang pasir.

Terputusnya Relasi dengan Sesama

Inilah sebabnya, terputusnya relasi sebagai konsekuensi dari mengikut Yesus tidak menghancurkan hidup kita, meskipun sangat mungkin terjadi putus relasi dengan orang lain, harta milik, atau dengan pekerjaan. Yesus mempunyai cara yang mengejutkan untuk menjelaskan harga mengikut Dia di dalam relasi dengan orang. "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka." (Matius 8:22) "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku." (Lukas 14:26) Dengan kata lain, mengikut Yesus begitu pentingnya sehingga Ia menuntut perilaku yang terkadang terlihat seperti membenci dunia. Saya melihat pilihan yang menyakitkan ini telah dihayati oleh para misionaris ketika mereka membawa anak-anak mereka yang masih kecil ke tempat-tempat yang berbahaya dan meninggalkan orang tua mereka yang telah lanjut usia, tak memelihara mereka, dan mungkin tidak akan melihat mereka lagi di dunia. Sebagian orang menyebutnya "tanpa kasih". Namun, Yesus melihat pada bangsa-bangsa dan apa yang dituntut oleh kasih demi bangsa-bangsa tersebut.

Putus Relasi dengan Harta Milik

Mengikut Yesus juga membuat kita putus relasi dengan harta milik. Suatu kali, ada seorang pemuda kaya yang sangat mencintai harta miliknya. Maka, Yesus memutus berhala dalam hatinya dengan tuntutan,"Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari, dan ikutlah Aku." (Matius 19:21) Jikalau ada sesuatu yang menghalangi jalan kita untuk mengikut Yesus, kita harus menyingkirkannya.

Hal ini bukan khusus untuk orang kaya tersebut, tetapi berlaku untuk kita semua."Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku." (Lukas 14:33) Melepaskan diri dari apa yang Anda miliki tidak selalu berarti menjual semua milik Anda. Yesus memuji Zakheus yang memberikan separuh dari harta miliknya untuk orang-orang miskin (Lukas 19:8-9). Akan tetapi, menjual semua berarti semua yang kita miliki tersedia sepenuhnya bagi Yesus untuk tujuan-tujuan yang menyenangkan Dia, dan bahwa harta itu tidak menghalangi ketaatan yang radikal terhadap perintah untuk mengasihi.

Putus Relasi dengan Pekerjaan

Juga ada putus relasi saat kita mengikut Yesus, yang berkenaan dengan pekerjaan kita. Ketika Yesus memanggil kedua belas murid untuk mengikut Dia, tidak seorang pun yang secara penuh menjadi pengikut Yesus. Mereka adalah penangkap-penangkap ikan, pemungut cukai, dan sebagainya. Mereka mempunyai pekerjaan. Yang luar biasa adalah terjadi hal seperti ini: "Kemudian ketika Ia (Yesus) lewat di situ, Ia melihat Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai lalu Ia berkata kepadanya: 'Ikutlah Aku!' Maka berdirilah Lewi lalu mengikut Dia." (Markus 2:14) Itu yang terjadi (sejauh yang kita ketahui). Bagi kebanyakan kita, tentu tidak sesederhana itu. Namun, bisa terjadi demikian.

Mungkin hal ini terjadi pada Anda. Tidak setiap orang harus meninggalkan pekerjaannya dan mengikut Yesus. Ketika seseorang mau meninggalkan kampung halamannya dan mengikut Yesus, Yesus berkata,"Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau." (Markus.5:19) Kebanyakan dari kita tetap tinggal pada posisi dan relasi sekarang. Namun, tidak semuanya. Untuk sebagian orang, mungkin Anda (ketika Anda membaca ini), mengikut Yesus bisa berarti putus relasi yang riskan dengan pekerjaan Anda. Janganlah takut untuk mengikut Dia dan menjauh dari keadaan yang tidak asing bagi Anda.

Mengikut Yesus Itu Mahal dan Berharga

Yesus tidak ingin menjebak Anda dengan semacam umpan atau tombol untuk mengikut Dia. Ia sangat jelas tentang harga yang harus dibayar. Sebenarnya, Ia mendesak Anda untuk menghitung harganya."Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? ... Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?" (Lukas 14:28,31) Biarlah panggilan untuk mengikut Yesus menjadi jelas dan tulus."Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia." (Yohanes 16:33) Sangat mahal dan sangat berharga.

Pikullah Salib

Sumber: 

Diambil dari:

Judul asli buku : What Jesus Demands From The World
Judul buku terjemahan : Apa yang Yesus Tuntut dari Dunia
Judul bab : Pikullah Salibmu dan Ikutlah Aku
Penulis : John Piper
Penerjemah : Miriam Santoso
Penyunting : Chilianha Jusuf
Penerbit : SAAT, Malang 2012
Halaman : 69 — 75

Dietrich Bonhoeffer dan Konteks Gereja Pada Zamannya

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Sudah lama kita tidak membahas tentang tokoh dan sejarah. Oleh karena itu, pada bulan ini, saya memilih artikel yang membahas tentang seorang tokoh gereja yang berani memperjuangkan kebenaran sampai mati pada zamannya, yaitu Dietrich Bonhoeffer. Beliau dengan berani dan tegas melawan pemerintahan diktator Hitler, yang pada saat itu melumpuhkan peran gereja dalam masyarakat. Karena kekejaman dan kekuasaan Hitler saat itu, bahkan gereja pun tutup mulut dan tutup mata. Gereja tidak berani memberikan teguran dan kritikan pada pemerintahan Hitler. Sosok seperti Bonhoeffer inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Orang yang di dalam minoritas, namun tetap berani bersuara memperjuangkan kebenaran.

Meskipun pada akhirnya beliau terlibat dalam organisasi yang merencanakan pembunuhan Hitler, tetapi kita dapat mengambil makna dari keberaniannya dalam memperjuangkan kebenaran. Untuk selengkapnya, silakan menyimak artikel berikut ini. Selamat menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Edisi: 
edisi 150/Maret 2014
Isi: 

Dietrich Bonhoeffer dan Konteks Gereja Pada Zamannya

Gereja dan negara adalah dua lembaga dalam masyarakat. Keduanya memiliki peran yang berbeda. Gereja adalah lembaga agama, sedangkan negara adalah lembaga politik. Dampak sekularisme menyebabkan gereja hanya berperan di wilayah privat, sedangkan negara berperan di wilayah publik. Akan tetapi, benarkah dikotomi seperti ini? Apakah gereja tidak memiliki peran apa pun dalam publik karena statusnya sebagai lembaga agama? Apakah gereja harus diam terhadap masalah-masalah sosial dan politik di dalam masyarakat? Dietrich Bonhoeffer akan menjawab dengan tegas, "Tidak."

Bonhoeffer adalah seorang teolog Jerman yang melakukan perlawanan terhadap rezim Hitler. Beliau menyadari kelumpuhan yang terjadi dalam gereja yang menutup mata terhadap kebijakan-kebijakan Hitler sampai akhirnya berujung pada Holocaust. Beliau menganggap urusan rohani bukan hanya terbatas di dalam gereja, melainkan juga di luar gereja.

Kehidupan Bonhoeffer

Bonhoeffer

Sebelum melihat perlawanan Bonhoeffer, kita perlu memahami latar belakang kehidupannya. Bonhoeffer hidup pada tahun 1906-1945. Dia dilahirkan dalam keluarga terpelajar yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Ayahnya bernama Karl Ludwig Bonhoeffer, seorang profesor psikiatri dan saraf di Universitas Berlin, sedangkan ibunya bernama Paula von Hase, seorang guru yang menjadi ibu rumah tangga. Pada tahun 1924, Bonhoeffer mendaftar menjadi mahasiswa fakultas teologi di Universitas Berlin dan pada tahun 1927, ia mendapat gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Communio Sanctorum. Pada tahun 1929, ia memperoleh jabatan profesor setelah menyelesaikan habilitasi atau disertasi kedua yang berjudul Act and Being.

Bonhoeffer adalah seorang akademisi. Dia menghabiskan waktunya dengan mengajar dan menulis. Beberapa karyanya yang sangat terkenal adalah "The Cost of Discipleship", "Life Together", dan "Ethics". Selain itu, dia juga aktif di dalam forum gereja-gereja, baik di Jerman maupun di dunia.

Ketika Bonhoeffer hidup, Jerman sedang mengalami perubahan politik. Perubahan yang pertama adalah kehancuran Kekaisaran Wilhelmine (Kaiserreich) yang disebabkan oleh Perang Dunia I. Kekaisaran Wilhelmine didirikan oleh Otto von Bismarck pada tahun 1871 untuk menjadikan Jerman sebagai negara paling kuat di Eropa. Pada masa itu, negara yang paling disegani di Eropa adalah Kerajaan Inggris Raya, dan untuk mengalahkan Inggris, Bismarck meningkatkan kekuatan militer dan industri Jerman. Keadaan ini membawa Jerman dalam Perang Dunia I, yang berakhir dengan kekalahan Jerman tahun 1918.

Perubahan yang kedua adalah kegagalan Republik Weimar. Setelah Perang Dunia I berakhir, Jerman kembali menata kehidupannya. Kekalahan Jerman dalam perang dianggap sebagai kegagalan sistem monarki yang didukung oleh kelompok intelektual dan industrialis. Sebab itu, kelompok oposisi, yaitu buruh, mengusulkan sistem parlementer. Gagasan ini kemudian dijalankan dalam bentuk republik yang dikenal sebagai Republik Weimar. Republik ini dibentuk dari koalisi kelompok-kelompok yang antimonarki. Akan tetapi, pemerintahan ini tidak berjalan dengan baik karena kelompok yang konservatif tetap ingin mempertahankan sistem monarki Wilhelmine. Dengan demikian, dalam negara Jerman terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan, yaitu kelompok antimonarki dan kelompok antidemokrasi.

Keadaan ini diperparah oleh masalah ekonomi. Pasca-Perang Dunia I, Jerman mengalami inflasi yang tinggi karena harus membayar utang perangnya, akibatnya pemerintah tidak sanggup mengatasi kekacauan ekonomi. Pemerintahan Weimar tidak dapat mengatasi keadaan ini sehingga harus berakhir pada tahun 1933.

Perubahan yang terakhir adalah berdirinya pemerintahan Nazi (Nasionalis Sosialis). Pada tahun 1933, Partai Nazi yang dipimpin oleh Hitler mengambil alih kekuasaan. Hitler diangkat menjadi kanselir dan berjanji akan mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran di Jerman. Sejarah masa lampau yang begitu gemilang dan kenyataan di depan mata yang begitu menyedihkan menyebabkan rakyat Jerman mengharapkan seorang pemimpin yang dapat mengembalikan kejayaan Jerman seperti di era Bismarck dan Wilhelmine. Bagi rakyat Jerman, pengembalian harga diri dan kebanggaan Jerman adalah prioritas utama dan siapa pun yang dapat melakukannya akan didukung sepenuhnya. Tidak mengherankan jika saat itu tidak banyak yang melakukan perlawanan terhadap Hitler.[1]

Hitler kemudian mengubah sistem parlementer menjadi sistem totaliter. Dia mengangkat dirinya menjadi Führer, yaitu pemimpin tertinggi. Walaupun hampir sama dengan monarki absolut, tetapi ada perbedaannya. Dalam monarki absolut masih terdapat hukum yang dibakukan, tetapi raja berada di atas hukum tersebut, sedangkan dalam sistem totaliter Hitler, seluruh hukum adalah produk dari nilai-nilai dan pengalaman pribadi Sang Führer.[2]

Kemunculan Hitler memang memberikan pengharapan kepada bangsa Jerman, tetapi menghasilkan ketakutan kepada bangsa Yahudi yang tinggal di Jerman. Demi mempersatukan semangat seluruh bangsa Jerman, Hitler meluncurkan propaganda tentang keunggulan ras Arya. Propaganda ini bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Jerman. Akan tetapi, propaganda ini kemudian diikuti dengan propaganda anti-Yahudi. Hitler menjadikan bangsa Yahudi yang tinggal di Jerman sebagai permasalahan bersama sehingga harus disingkirkan jika bangsa Jerman ingin mendapatkan kembali kejayaannya. Tentu saja propaganda ini mendapatkan dukungan dari rakyat Jerman yang sangat menginginkan Jerman kembali berjaya seperti dulu.

Hitler kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang memisahkan bangsa Jerman dari bangsa Yahudi. Semua orang Yahudi, yang memiliki jabatan di pemerintahan ataupun universitas, diberhentikan. Bahkan, pada tanggal 1 April 1933, Hitler mengumumkan pemboikotan terhadap toko-toko yang dimiliki orang Yahudi. Toko-toko orang Yahudi dijaga oleh tentara dan diberi tanda supaya orang Jerman tidak berbelanja ke sana. Selain itu, seluruh percetakan dan penerbitan yang dimiliki orang Yahudi juga ditutup karena dituduh menyebarkan kebohongan tentang pemerintahan Nazi.

Sejak Sang Führer menduduki tampuk kekuasaan, Jerman memasuki kekelaman yang tidak disadari oleh semua orang, kecuali beberapa orang yang masih berhati nurani seperti Bonhoeffer.

Anugerah Murahan dan Harga Sebuah Pemuridan

Kebijakan anti-Yahudi ini juga berimbas pada gereja karena Hitler membuat sebuah aturan pada gereja yang disebut dengan Paragraf Aryan. Peraturan ini bertujuan agar gereja sinkron dengan kebijakan Hitler. Dalam peraturan tersebut dikatakan gereja Protestan Jerman hanya untuk keturunan Arya, dengan demikian semua orang Kristen keturunan Yahudi yang sudah dibaptis di gereja tersebut harus dikeluarkan dari keanggotaan gereja. Selain itu, semua pendeta yang berdarah Yahudi juga tidak boleh melayani dalam gereja tersebut.

Kebijakan ini disambut baik oleh sebagian besar tokoh gereja Protestan pada saat itu. Akan tetapi, bukankah kebijakan ini salah? Mengapa gereja malah mendukungnya? Semuanya ini hanya bisa dipahami dengan melihat kondisi gereja Protestan di Jerman saat itu.

Gereja Protestan di Jerman telah menempati posisi yang penting dalam negara sejak zaman Martin Luther. Penguasa negara memberikan perlindungan penuh kepada gereja Protestan dan sebaliknya, gereja pun memberikan dukungan kepada penguasa. Hubungan ini terus berlangsung pada zaman Kekaisaran Wilhelmine. Para tokoh gereja memberikan dukungan mereka kepada cita-cita Bismarck untuk menjadikan Jerman sebagai negara terkuat di seluruh Eropa dan dunia sekalipun sampai harus berperang dengan negara lain. Para tokoh gereja pada saat itu sangat dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang menyatakan bahwa sejarah merupakan pewahyuan dari roh yang absolut sehingga mereka berpikir bahwa Jerman merupakan perwujudan dari roh yang absolut tersebut. Dengan demikian, jika Jerman menjadi penguasa dunia, berarti Kerajaan Allah sudah hadir.

Hubungan antara gereja dan negara telah menyebabkan gereja menganggap kebanggaan Jerman sebagai kebanggaan mereka juga. Dengan demikian, kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I menyebabkan tokoh-tokoh gereja kehilangan kebanggaannya. Mereka menginginkan Jerman seperti pada era Kaisar Wilhelmine, maka tidak heran jika mereka menolak pemerintahan Republik Weimar.

Ketika Hitler muncul menjadi penguasa, dia berjanji akan mengembalikan kejayaan bangsa Jerman seperti masa lampau, tentu saja sebagian tokoh gereja bergairah mendengarkan hal ini. Selain itu, Hitler juga menunjukkan penghormatan yang tinggi kepada gereja. Dia tidak melarang gereja Protestan di Jerman bahkan menyatakan gereja merupakan sumber kebudayaan yang penting bagi rakyat Jerman. Selain itu, Hitler menyatakan ketegasannya terhadap pemerintah Stalin di Soviet yang komunis yang dianggap sebagai musuh Tuhan oleh tokoh gereja di Jerman. Keadaan inilah yang menyeret gereja kepada kampanye anti-Yahudi Hitler.

Bonhoeffer

Bonhoeffer melihat kondisi ini lebih jauh. Dia menyatakan sikap gereja seperti ini disebabkan karena anugerah murahan yang telah diajarkan dalam gereja Protestan. Gereja mengajarkan tentang keselamatan melalui iman sehingga yang penting adalah percaya dan setelah itu menjadi anggota gereja dan mengikuti rutinitas gerejawi. Anugerah murahan ini menyebabkan orang-orang Kristen di Jerman sangat menyukai kenyamanan, khususnya di dalam gereja. Tidak mengherankan jika gereja tidak berani untuk menyatakan kesalahan Hitler karena Hitler tidak mengusik kenyamanan di gereja.

Bonhoeffer mengingatkan gereja pada saat itu bahwa Kristus bukan memberikan anugerah yang murah, tetapi anugerah yang mahal. Anugerah yang mahal menuntut setiap orang yang menerimanya untuk mengikut Yesus Kristus seumur hidupnya dan harus menyangkal diri dan memikul salib. Bonhoeffer menyatakan ini dalam kalimatnya yang terkenal, "Ketika Kristus memanggil seseorang, Dia memanggilnya untuk mati." Inilah yang disebut dengan harga sebuah pemuridan. Dengan demikian, setiap orang Kristen tidak boleh memikirkan kenyamanannya melainkan harus berani membayar harga demi ketaatannya pada Yesus Kristus, termasuk berani melawan pemerintah yang salah.

Gereja tidak boleh takut melawan kehendak Hitler jika memang tidak sesuai dengan kebenaran firman Allah. Bonhoeffer berkata, "The church has only one altar, the altar of the Almighty ... before which all creatures must kneel. Whoever seeks something other than this must keep away, he cannot join us in the house of God ... the church has only one pulpit, and from that pulpit, faith in God will be preached, and no other faith, and no other will than the will of God, however well-intentioned."

Bonhoeffer mendorong orang percaya agar tidak memerhatikan kenyamanan sendiri, melainkan juga kebutuhan orang lain termasuk orang tidak percaya. Gereja tidak boleh hanya memedulikan urusan internalnya, tetapi juga urusan lain yang terjadi di luar gereja. Bonhoeffer berkata, "The church is the church only when it exist for others. To make a start, it should give away all its property to those in need ... The church must share in the secular problems of ordinary human life, not dominating, but helping and serving."

Penutup

Kehidupan Bonhoeffer ditutup dengan tindakannya yang kontroversial, yaitu keterlibatannya dalam rencana pembunuhan Hitler. Hal ini menimbulkan sejumlah perdebatan etika di kalangan orang percaya. Kita tidak harus menyetujui tindakannya. Akan tetapi, Bonhoeffer menunjukkan sisi lain dari hubungan gereja dengan negara. Pada saat pemerintah melakukan keadilan, gereja harus menghormati otoritasnya tetapi ketika pemerintah melakukan ketidakadilan, bahkan kepada orang-orang di luar gereja, gereja seharusnya memberikan teguran kepada pemerintah.

Catatan Kaki:

  1. John A. Moses. Bonhoeffer’s Germany: The Political Context dalam John W. de Gruchy (Ed.) The Cambridge Companion to Dietrich Bonhoeffer (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 17.
  2. Ibid, 16.

Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Nama situs : Buletin Pillar
Alamat situs atau URL : http://www.buletinpillar.org
Judul artikel : Dietrich Bonhoeffer
Penulis artikel : Calvin Bangun
Tanggal akses : 4 Februari 2014

Garam dan Terang Dunia

Penulis_artikel: 
Panitia Konferensi Injil Nasional (KIN)
Tanggal_artikel: 
27 Februari 2014
Isi_artikel: 
Garam dan Terang Dunia

Garam dan Terang Dunia

pembawa terang

Kita adalah garam dan terang dunia. Kita akan menggumuli identitas kita sebagai orang Kristen. Garam berarti kita tidak sama dengan dunia yang menuju kepada pembusukan. Terang berarti, kita tidak sama dengan dunia yang menuju kepada kegelapan.

Pertama, identitas kita adalah kesucian (Imamat 11:45). Tuhan berkata, "Jadilah kudus sebab Aku ini kudus adanya." Tanpa kekudusan, tidak ada seorang pun dapat melihat Allah. Kita itu suci dan berbeda dari dunia yang begitu berdosa. Gereja (Yun. Ekklesia) berarti dipanggil keluar. Kita ada di dunia, tetapi tidak sama dengan dunia yang busuk, gelap, dan berdosa. Kata "kudus" (Ibr. Qadosh) memiliki arti terpisah.

Kedua, identitas kita adalah "keduniaan". Apa artinya? Kita adalah garam dunia yang diutus ke dalam dunia. Misi Allah adalah Tuhan Yesus mengutus kita, sama seperti Bapa mengutus Dia ke dalam dunia (Yohanes 17:18). Dunia memiliki dua pengertian: negatif dan positif. Paulus berkata, "Janganlah kamu serupa dengan dunia (negatif) ini." Di sisi lain, Yesus berkata, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia (positif) ini, maka Dia mengutus anak-Nya yang tunggal."

Ada empat sikap terhadap dunia. Pertama, menarik diri dan tidak menginjili. Kedua, mengakomodasi dan melebur dengan dunia sehingga kita kehilangan identitas dan tidak bisa menggarami dan menerangi dunia. Ketiga, dualisme yang munafik seperti orang Farisi. Keempat, kita pakai kekuatan senjata untuk menghancurkan dunia dan menjadi batu sandungan.

Sekarang, kita masuk ke dalam panggilan kita sebagai orang Kristen. Pertama, kita menggarami dunia. Garam itu bersifat mengawetkan sehingga mencegah kebusukan dan dapat mensterilkan luka. Apa artinya garam jadi tawar? Garam menjadi tidak murni lagi dan ini bahaya karena bisa jadi batu sandungan. Kedua, kita menerangi dunia. Menggarami bersifat negatif dengan mencegah pembusukan, sedangkan menerangi bersifat positif yang membawa keluar dari kegelapan. Kita mempunyai misi untuk menyelamatkan jiwa. Panggilan Yesus adalah untuk menjala manusia dan mengabarkan Injil.

Kasih dan keadilan harus berjalan bersama-sama. Menggarami dan menerangi harus berjalan bersama-sama. Mencegah, menghapus kejahatan, dan menginjili harus berjalan bersama-sama.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Penginjilan meliputi verbal (PI pribadi dan PI massal) dan dengan aksi sosial. Pertama, kita harus berani, menyangkal diri, berkorban, dan memikul salib, sehingga kemuliaan Tuhan dinyatakan. Kita harus menampakkan kekristenan kita, bukannya ditaruh di bawah gantang. Kedua, pengorbanan kita dengan kasih (sacrificial love dan unconditional love). Terakhir, kasih dan keadilan. Menggarami menekankan keadilan, dan menerangi menekankan cinta kasih. Bagaimana kita menyeimbangkan kedua hal ini? Bapa Gereja Agustinus berkata, "Tidak ada kasih tanpa keadilan." Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Mu (Mazmur 89). Kasih dan keadilan harus berjalan bersama-sama. Menggarami dan menerangi harus berjalan bersama-sama. Mencegah, menghapus kejahatan, dan menginjili harus berjalan bersama-sama. Di atas salib Kristus, keadilan dan kasih Allah terjadi bersama-sama. Amin.

Audio: Garam dan Terang Dunia

Sumber Artikel: 

Diambil dan disunting dari:

Judul buku : Konvensi Injil Nasional Jakarta 2013: Kristus Bagi Indonesia
Judul asli artikel: Ringkasan Khotbah KIN: Garam dan Terang Dunia
Penulis : Panitia Konverensi Injil Nasional (KIN)
Penerbit : Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI), Jakarta 2013
Halaman : 14

Artikel: Mukjizat Tuhan Yesus

Penulis_artikel: 
Andi Halim
Tanggal_artikel: 
30 Januari 2014
Isi_artikel: 

Bila saat ini kita atau orang yang sangat kita kasihi menderita sakit parah dan dalam keadaan sangat kritis, mungkin kita adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengharapkan mukjizat terjadi. Salahkah sikap seperti ini? Tentunya tidak.

Memang ada kelompok yang cukup ekstrem beranggapan bahwa mukjizat pada zaman ini sudah tidak pernah terjadi lagi. Bahkan, lebih dari itu, mukjizat di Alkitab pun diragukan kebenarannya. Jelas bahwa kelompok seperti ini adalah kelompok yang sudah terjerat oleh pola pikir rasionalisme dan liberalisme. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang "tidak masuk akal" berarti tidak pernah ada. Bila ada peristiwa yang tampak seperti "mukjizat", itu dianggap hanya sebagai kebetulan atau sugesti diri atau psikosomatis, halusinasi, atau fiksi. Kelompok ini menganggap akal atau logika adalah segalanya, selalu benar, dan menjadi standar atau patokan terhadap segala penilaian.

Di pihak lain, ada yang meninjau dari teladan Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus banyak kali memperhatikan orang yang mengharapkan kesembuhan atau pertolongan berupa mukjizat. Ia sendiri pun pernah berfirman: "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu ...." (Matius 7:7) "... Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, -- maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (Matius 17:20) "... apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu." (Markus 11:24)

Saat masih di dunia sebagai manusia, Tuhan Yesus tercatat dalam Alkitab telah melakukan mukjizat lebih dari 37 kali (belum lagi yang tidak tercatat; bdk. Yohanes 21:25). Jadi, bukankah Alkitab memberi tahu bahwa mukjizat merupakan suatu kejadian dan pengalaman yang unik bagi orang yang mau percaya? Bukankah Tuhan Yesus datang untuk menyembuhkan semua orang percaya dari segala macam penyakit?

"Ia ... melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. Maka ... dibawalah kepadaNya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka." (Matius 4:23-24) "Banyak orang mengikuti Yesus dan Ia menyembuhkan mereka semuanya" (Matius 12:15b; 14:35-36; 15:30-31).

Dari semua nabi, rasul, maupun orang-orang lain yang dipakai Allah, tidak pernah ada yang melakukan mukjizat sedemikian "banyak" dan "besar" seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, termasuk mukjizat membangkitkan diri-Nya sendiri dari kubur (Yohanes 2:19,21; Matius 26:32).

Di samping itu, ada kelompok ekstrem lain yang berlawanan dengan rasionalisme, yang mengajarkan bahwa Allah menghendaki anak-anak-Nya sehat walafiat, tanpa sakit apa pun, dalam keadaan berkelimpahan berkat, hidup makmur, dan tanpa penderitaan apa pun. Bahkan, pengalaman kesembuhan ilahi, hidup penuh dengan kesuksesan dan kelimpahan bukan lagi ditentukan oleh kehendak Tuhan, melainkan oleh kemauan atau usaha diri kita sendiri. Misalnya, perempuan yang menderita pendarahan, yang mau menjamah jubah Tuhan Yesus (Markus 5:28), seorang perwira yang bawahannya sedang sakit (Matius 8:10), dan perempuan Kanaan yang anaknya kerasukan setan (Matius 15:28), dipuji karena imannya yang sangat "besar". Iman dari Elia, Elisa, dan Paulus juga mendukung bukti bahwa mukjizat bergantung mutlak pada "besar kecilnya iman seseorang" terhadap mukjizat yang diharapkannya.

Bahkan, lebih dari itu, menurut kelompok ini, bukankah Tuhan Yesus juga berjanji bahwa setiap orang yang mau percaya akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada pekerjaan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus (Yohanes 14:12)? Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa tanda-tanda orang percaya adalah dapat mengusir setan, berbicara dalam bahasa baru, minum racun tidak mati, dan menumpangkan tangan pada orang sakit dan orang itu sembuh (Markus 16:17-18). Bukankah semua ini membuktikan bahwa mukjizat sungguh-sungguh terjadi, dan bahkan sampai hari ini dapat terjadi bagi setiap orang yang sungguh-sungguh percaya/beriman?

Kita memang mengimani bahwa mukjizat sungguh-sungguh dapat terjadi, baik pada masa lampau, sekarang, maupun pada yang akan datang. Kita percaya bukan kepada Allah yang tidak dapat berbuat apa-apa alias patung atau berhala, namun Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup, yang berkarya dalam kekekalan dan dalam sejarah manusia, mahakuasa, Allah yang tak terhingga dalam kekuatan dan kedaulatan-Nya. Namun demikian, meskipun Alkitab mencatat banyak mukjizat luar biasa terjadi karena "iman" seseorang, dan mukjizat yang tidak terjadi karena orang yang kurang atau tidak "beriman" (Matius 13:58; 17:19-20), kita jangan sampai terjebak pada hal-hal yang kita lihat sekadar secara lahiriah.

Banyak orang, sekali lagi, yang beranggapan bahwa mukjizat sangat bergantung pada "iman" dan "kemauan" kita. Bila kita beriman dan mau mengalami mukjizat, maka terjadilah mukjizat itu; dan sebaliknya. Dengan perkataan lain, tindakan Allah dalam melakukan mukjizat sangat bergantung pada kondisi "iman" dan "kemauan" (kepercayaan) kita terhadap mukjizat itu sendiri. Sebuah pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: Apakah Allah yang Alkitab perkenalkan adalah Allah yang demikian bergantung pada sikap kita?

Pernah dikisahkan sebuah lelucon yang menceritakan dua orang yang akan saling berhadapan dalam pertandingan badminton. Keduanya beriman dengan kualitas yang sama persis; keduanya berdoa agar mereka beroleh kemenangan. Lalu, bila jawaban doa itu bergantung pada "iman" dan "kemauan" masing-masing pemain, apakah pertandingan tersebut akan berakhir imbang? Ada juga cerita bahwa dalam satu desa terdapat seorang yang beriman mempunyai sawah dan pabrik payung, sedangkan seseorang yang lain beriman mempunyai pabrik kerupuk dan tambak yang menghasilkan garam. Yang satu berdoa supaya turun hujan agar sawahnya subur dan payungnya laris, yang satunya berdoa agar hujan sama sekali tidak turun agar garam dan kerupuknya jadi. Bagaimana kira-kira jawaban yang tepat bagi doa-doa orang yang "beriman" ini (misalkan Anda yang menjadi Allah)?

Memang Tuhan Yesus, beberapa nabi, rasul, dan orang-orang yang dipakai Allah disertai tanda-tanda mukjizat yang luar biasa, namun hal ini tidak harus berarti bahwa segala mukjizat yang dilakukan itu bergantung pada "iman" masing-masing sehingga setiap orang yang "beriman" pasti dapat melakukan (mengalami) mukjizat sesuai dengan apa yang diinginkannya (seperti orang yang memencet tombol otomatis). Di pihak lain, ternyata ada juga mukjizat, yang meskipun terjadi di depan orang yang tidak beriman, hasilnya tetap tidak menjadikan mereka percaya (Matius 11:20; bdk. Lukas 17:12-19). Bangsa Israel hampir setiap hari melihat mukjizat yang datang dari Allah, misalnya manna yang turun dari surga, laut terbelah, tiang api dan awan, dll., namun mereka tetap mengeraskan hati dan tidak mau taat kepada Allah.

Ternyata ada juga mukjizat yang diberikan Allah bukan sebagai berkat bagi seseorang, namun sebagai hukuman bagi mereka yang gila mukjizat atau yang mencobai Allah (Mazmur 106:15). Jadi, mukjizat bukan merupakan jaminan bahwa hal tersebut adalah suatu berkat yang datang dari Allah. Bahkan, dalam Matius 7:21-23, dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat melakukan mukjizat sama sekali tidak dapat menjamin bahwa ia sudah diselamatkan (lahir baru). Rasul Paulus mengingatkan bahwa pada akhir zaman akan banyak berdatangan nabi atau rasul palsu yang dapat menyerupai aslinya, terutama dalam kemampuannya melakukan mukjizat ataupun hal spektakuler atau yang menimbulkan sensasi lainnya (2 Tesalonika 2:9-12; 2 Korintus 11:12-15, Iblis dapat menjadi seperti malaikat terang). Bahkan, Tuhan Yesus sebelumnya juga pernah mengatakan bahwa di tengah-tengah kita akan muncul serigala yang berbulu domba (Matius 7:15)! Surat 1 Yohanes 4:1 dst. menegaskan agar kita selalu menguji setiap roh, apakah peristiwa, atau pemikiran, perkataan yang kita terima itu benar-benar dari Tuhan atau bukan.

Jika demikian, mengapa Tuhan Yesus, para rasul, nabi, dan orang-orang yang dipakai Allah dapat melakukan mukjizat yang begitu luar biasa? Dan, dalam hal itu, mengapa "iman" seolah-olah merupakan faktor yang sangat menentukan terjadi atau tidaknya suatu mukjizat? Dan, mengapa sampai hari ini mukjizat yang dilakukan oleh tokoh-tokoh "iman" masih terjadi demikian hebatnya dan berdampak luar biasa?

Melalui Matius 7:21-23, kita melihat bahwa ternyata ada "iman" yang tidak jelas sumbernya. Sebagai orang "beriman", mereka dapat melakukan mukjizat dalam nama Tuhan, namun sama sekali tidak mengenal siapa Tuhan yang mereka sebutkan itu. Dengan demikian, perlu dipertanyakan kembali dari mana asal (sumber) mukjizat yang mereka lakukan? Banyak orang yang mengaku beriman dan beribadah kepada Tuhan, namun perlu dipertanyakan apakah Tuhan yang kita anggap Tuhan itu benar-benar adalah Tuhan yang benar (Roma 10:1-3).

Roma 10:17 menyatakan bahwa iman yang benar berasal dari pendengaran dan pendengaran akan firman Allah. Iman yang benar adalah iman yang lahir dari persekutuan atau hubungan pribadi dengan Allah. Artinya, iman harus dan pasti sesuai dengan kehendak dan firman Allah. Mukjizat yang benar harus berdasarkan atau bersumber pada iman yang benar, sedang iman yang benar harus bersumber pada kehendak dan rencana Allah sendiri. Jadi, sumber terjadinya mukjizat sebenarnya bukan bergantung pada iman kita, namun pada kehendak dan rencana Allah.

Iman tidak sama dengan keyakinan. Iman adalah kepercayaan pada janji dan firman-Nya yang pasti diwujudkan sesuai dengan rencana-Nya. Iman itu sendiri adalah pemberian Allah sehingga melalui iman yang dianugerahkan itu, kita boleh mengerti kehendak dan rencana Allah, serta hidup seturut atau sesuai dengan rencana-Nya. Sebagai contoh, Elia mampu mendatangkan mukjizat hujan tidak turun selama 3 tahun, serta mukjizat hujan turun setelah masa kemarau selama 3 tahun. Dari mana asalnya iman yang mampu melaksanakan mukjizat yang demikian hebat (Yakobus 5:17-18)? Kebanyakan orang akan beranggapan bahwa semua itu berasal dari "kebolehan" iman (keyakinan) Elia yang sangat kuat sehingga dia mampu mengatur alam semesta, ia dapat mengubah cuaca dan keadaan. Benarkah analisis ini? Fungsi seorang nabi adalah sebagai juru bicara Allah. Ia tidak boleh menyampaikan apa pun kepada umat bila Allah tidak memberikan perintah kepadanya, termasuk dalam melakukan mukjizat. Bila ada nabi yang berani bertindak atau menjanjikan sesuatu atas nama Allah, tetapi Allah sendiri tidak pernah memberikan perintah tersebut, boleh dikatakan bahwa itu adalah nabi palsu. Elia menegaskan kata-katanya (1 Raja-raja 18:41-46) hanya berdasarkan perintah yang datang dari Allah (1 Raja-raja 18:1). Jadi, jelas bahwa mukjizat yang dilakukan oleh Elia bersumber dari kehendak Allah pada waktu itu.

Banyak orang Kristen mengharapkan mukjizat, namun tidak mendapatkannya sesuai selera mereka. Alasannya hanya satu, yaitu Tuhan sendiri tidak merencanakan seperti demikian (2 Korintus 12:7-10). Bahkan, kadang kala Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa yang "tidak menyenangkan" terjadi (1 Timotius 5:23, Ibrani 12:6-11), hanya supaya kita makin bersandar dan menyadari bahwa manusia penuh dengan kelemahan dan kekurangan, dan hanya Tuhan saja yang berdaulat dan merupakan sumber kekuatan serta kehidupan kita.

Kecanduan (kegandrungan) akan mukjizat serta kekecewaan yang mendalam bila mukjizat tidak terjadi adalah tanda atau bukti bahwa iman kita masih seperti iman orang yang tidak percaya/kafir (1 Korintus 1:22). Tuhan Yesus sangat mencela dan sering kali menyindir orang-orang yang selalu menuntut tanda sebagai angkatan yang jahat (Matius 12:39; bdk. Yohanes 6:26). Sebenarnya, jika kita mau jujur mengakui, inti dari tuntutan orang yang "memaksa" Tuhan melakukan mukjizat, bukanlah untuk kemuliaan nama Tuhan, namun hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu atau kepuasan (kepentingan) dirinya sendiri.

Sering kali, Tuhan Yesus disertai dengan tanda-tanda, bukan untuk kepuasan atau kenikmatan pribadi-Nya sendiri, namun bagi kemuliaan nama Tuhan dan untuk menggenapi misi Allah bagi dunia. Tuhan Yesus begitu banyak disertai tanda-tanda yang luar biasa karena memang sudah dinubuatkan bahwa Mesias yang akan datang di tengah-tengah umat Israel akan disertai tanda-tanda yang luar biasa (Kisah para Rasul 2:22). Para Rasul dan Nabi sering kali disertai tanda-tanda karena mereka mempunyai status yang sangat istimewa sebagai dasar berdirinya gereja (Efesus 2:19-20), serta menjadi saksi mata yang Allah utus sendiri untuk bersaksi dan membina jemaat mula-mula (Ibrani 2:3-4; Kisah Para Rasul 2:42).

Kesimpulan dari semua pembahasan ini adalah bahwa mukjizat bukanlah misi utama Allah, namun hanya sebagai salah satu alat atau tanda yang menyatakan pekerjaan Allah pada masa itu. Dengan demikian, tidak setiap pekerjaan Allah harus disertai dengan tanda atau mukjizat. Seperti Yohanes Pembaptis, ia sama sekali tidak pernah melakukan mukjizat, bahkan sampai matinya tidak ada sesuatu yang istimewa. Sebenarnya, sebagai seorang yang beriman, mukjizat bukan lagi kebutuhan utama dalam hidup kita. Bahkan, mata rohani kita dibukakan, yaitu diberi kemampuan untuk melihat bahwa dalam setiap keadaan, apa pun keadaan itu, di dalamnya mukjizat Allah dinyatakan, meskipun tidak ada peristiwa spektakuler atau yang menimbulkan sensasi. Dengan demikian, dalam setiap keadaan, kita belajar bersyukur, Tuhan selalu mempunyai rencana yang baik (Roma 8:28; 1 Korintus 10:13). Sikap doa orang beriman seharusnya meneladani Tuhan Yesus: "Bukan kehendak-Ku Bapa, melainkan kehendak-Mulah yang jadi". Bila Tuhan memang berkehendak memakai kita untuk melakukan atau mengalami mukjizat, mukjizat pasti terjadi dan hidup kita akan dipersiapkan untuk menghadapinya.

Daftar pustaka:

  1. Abineno, J. L. Ch., "Penyakit dan Penyembuhan". Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

  2. Caldwell, W., "Meet The Healer". Front Line Evangelism, 1965.

  3. Davis, B., "How to Activate Miracles In Your Life and Ministry". Harrison House, 1978.

  4. Handjojo, J., "Anda Sakit Jadilah Sembuh". Gereja Kristen Anugerah,1985.

  5. Hunter, C. & F., "Menyembuhkan Orang Sakit". Surabaya: GBT Bukit Zaitun Surabaya, 1984.

  6. Murray, A., "Kesembuhan Ilahi". Bandung: Kalam Hidup, 1967.

  7. ______, "The Plain Truth About Healing". Worldwide Church of God, 1979.

Sumber Artikel: 

Diambil dan disunting dari:

Judul jurnal: Jurnal Pelita Zaman, Volume 07, Nomor 01 (Mei 1992)
Penulis : Andi Halim
Penerbit : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman
Halaman : 83 -- 88

Mengapa Yesus Kristus Lahir Melalui Anak Dara?

Penulis_artikel: 
Ev. Liem Sien Liong
Tanggal_artikel: 
20 Desember 2013
Isi_artikel: 

Pertanyaan yang sering diajukan berkaitan dengan kelahiran Yesus Kristus (Natal) adalah: Mengapa Yesus Kristus harus lahir melalui anak dara? Tidak cukupkah Ia lahir seperti manusia pada umumnya? Bagaimana mungkin seorang perempuan yang belum bersuami dapat melahirkan anak?

PENGGENAPAN JANJI ALLAH

Ketika kita menilai peristiwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara, yang perlu kita ketahui adalah Allah telah menggenapi janji-Nya. Pada saat manusia melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3), Allah berfirman (bernubuat) kepada manusia bahwa "keturunan perempuan" akan meremukkan kepala si ular (Iblis). Istilah "keturunan perempuan" sebenarnya bukanlah istilah yang wajar dalam tradisi Yahudi, mengingat garis keturunan selalu dihubungkan dengan laki-laki, bukan perempuan (bdk. Kejadian 5). Namun, faktanya Musa, sang penulis Kitab Kejadian, tidak menuliskannya "keturunan laki-laki", sebaliknya dituliskan "keturunan perempuan" (Kejadian 3:15). Apakah Musa telah melakukan suatu kekeliruan? Tentu saja tidak! Ia menulis apa yang Allah janjikan bagi keselamatan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, bahwa melalui "keturunan perempuan" akan lahir Juru Selamat manusia. Artinya, Sang Juru selamat manusia dilahirkan bukan dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan, tetapi melalui "perempuan" saja.

Janji Allah ini kemudian diberitakan-Nya kembali pada zaman Nabi Yesaya, "Sesungguhnya, seorang perempuan muda (gadis) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel." (Yesaya 7:14) Nubuatan ini mengacu pada berita yang sama, bahwa Sang Imanuel, Juru Selamat manusia, akan lahir melalui seorang gadis muda. Maka, sesuai waktu dan rencana-Nya (Galatia 4:4), Allah menggenapi janji tersebut melalui seorang gadis muda bernama Maria (Lukas 1:34-38). Bagaimana Allah melakukan-Nya? Sesuai janji-Nya, Ia melakukannya tanpa keterlibatan seorang laki-laki (Yusuf).

Dalam silsilah Yesus Kristus, Matius memberikan penjelasan yang menarik tentang hal ini. Dari Matius 1:2-15, ia menggunakan bentuk kata kerja aktif untuk kata "memperanakkan". Namun, ketika ia sampai pada kelahiran Yesus Kristus (ayat 16), ia mengatakannya dengan bentuk yang berbeda: (1) Yusuf tidak dikatakan memperanakkan Yesus Kristus secara langsung seperti silsilah sebelumnya. (2) Kelahiran Yesus dihubungkan dengan Maria, bukan Yusuf. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tampaknya juga memahami hal ini dengan tepat melalui penggunaan kata yang berbeda. Untuk silsilah sebelumnya, seperti "Abraham memperanakkan Ishak", LAI memakai kata "memperanakkan" yang berarti keterlibatan secara aktif Abraham dalam menurunkan Ishak. Namun, ketika menerjemahkan kelahiran Yesus, LAI menggunakan kata: "melahirkan" yang menjelaskan bahwa kelahiran Yesus itu tidak ada keterlibatan Yusuf secara langsung dalam memperanakkan-Nya. (3) Kata "melahirkan" (ayat 16) berbentuk pasif sehingga hal ini menjelaskan bahwa, meskipun kelahiran Yesus Kristus melalui seorang gadis: Maria, namun kelahiran-Nya adalah mutlak tindakan Allah sendiri, yakni bagaimana Allah (Putra) menjadi manusia (bdk. Yohanes 1:14; Matius 1:20; Lukas 1:35). Jadi, Yesus Kristus datang melalui seorang gadis bernama Maria adalah penggenapan janji Allah sehingga melalui Yesus Kristus, manusia berdosa dapat diselamatkan (bdk. Yohanes 3:16-21; 14:6).

ALLAH YANG KUDUS BERJUMPA DENGAN MANUSIA BERDOSA

Keberdosaan manusia telah membuat dirinya tidak layak berdiri di hadapan kekudusan Allah. Manusia yang mencoba berhadapan muka dengan Allah secara langsung pasti binasa. Kondisi ini sangat mengerikan karena kekudusan Allah tidak dapat berjumpa dengan keberdosaan manusia.

Ketika Musa ingin berhadapan muka dengan Allah secara langsung, apa yang terjadi? Allah harus melindungi Musa dengan tangan-Nya, menempatkannya di lekuk gunung, dan apa yang dapat dilihat Musa? Musa hanya melihat bagian belakang Allah, sebab tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah dapat hidup (Keluaran 33:18-23).

Namun, melalui kelahiran anak dara, Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Allah memakai kelahiran melalui anak dara agar manusia dapat melihat-Nya secara langsung. Kelahiran anak dara merupakan sarana yang tepat, yang membuat keilahian Allah dapat bersatu dengan kemanusiaan, seperti perkataan Yohanes, "Firman itu telah menjadi manusia, ...." (Yohanes 1:14) Mengapa Allah harus menjadi manusia? Sebab, "Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya." (Yohanes 1:18) Artinya, Allah harus menjadi manusia supaya manusia dapat berjumpa dengan-Nya.

Hal ini menjelaskan dua hal: Pertama, kekristenan tidak pernah menempatkan manusia Yesus menjadi Allah, seolah-olah kekristenan mengakui bahwa manusia biasa dapat menjadi Allah. Sebaliknya, kekristenan mengakui Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati sehingga melalui-Nya, Allah yang kudus dapat berjumpa dengan manusia yang berdosa. Melalui-Nya pula, Allah yang kudus mendamaikan diri-Nya dengan manusia berdosa (2 Korintus 5:17-19). Jadi, Allah memakai kelahiran melalui anak dara agar diri-Nya dapat berjumpa dengan manusia berdosa. Dengan jalan ini pula, yakni melalui Yesus Kristus (Allah dan Manusia sejati), Ia membuka jalan bagi keselamatan manusia (Yohanes 14:6).

Kedua, kekristenan tidak pernah mengakui bahwa Yesus berubah menjadi Allah pada saat Ia dibaptis di sungai Yordan (bdk. Matius 3:16-17), seperti pengakuan bidat-bidat Kristen. Sebaliknya, Alkitab menjelaskan bahwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara membuktikan Dia adalah Allah yang menjadi manusia, bukan manusia yang diangkat menjadi Allah. Yohanes 1:1-3, 14-18, 8:42, 58; dan Wahyu 1:8, 17-18 membuktikan tentang praeksistensi Yesus, yang adalah Allah, dan dengan cara kelahiran melalui anak dara, Ia hadir di tengah-tengah manusia berdosa, agar barangsiapa percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16).

MENJAMIN KEMANUSIAAN YESUS TIDAK BERDOSA

Mungkin kita bertanya, "Kelahiran melalui manusia yang berdosa, sudah pasti berdosa; bagaimana kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria dapat tidak berdosa? Bukankah Maria adalah seorang berdosa?"

Maria adalah manusia berdosa adalah benar. Sebab, kekristenan tidak pernah mengakui Maria sebagai seseorang yang dilahirkan kudus oleh Allah. Alkitab sendiri menjelaskan bahwa Maria memerlukan Allah sebagai Juru Selamatnya (Lukas 1:47), dan ia juga mempersembahkan kurban persembahan sebagai penghapusan dosa (Lukas 2:22-24; bdk. Imamat 12:6-8). Ini berarti Maria adalah manusia berdosa. Namun, bagaimana kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria dapat menjamin ketidakberdosaan-Nya?

Alkitab menjelaskan bahwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara tidak bergantung pada keberadaan Maria yang berdosa, tetapi "Kuasa Allah yang Mahatinggi", sehingga "anak yang akan dilahirkannya adalah kudus, Anak Allah" (Lukas 1:35). Perkataan Malaikat kepada Maria tersebut menjawab dua hal: (1) Peristiwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara adalah karena kuasa Allah; (2) Kuasa Allah sendiri yang menjamin kemanusiaan Yesus tidak berdosa (kudus). Hal ini sama seperti yang diungkapkan Matius ketika ia menjelaskan kelahiran Yesus melalui Maria. Matius menggunakan bentuk kata pasif untuk kata "melahirkan" meskipun Yesus lahir dari Maria. Penggunaan bentuk pasif tersebut menjelaskan bahwa Allah Roh Kuduslah yang menjamin kemanusiaan Yesus yang dikandung Maria adalah kudus. Dengan kata lain, kelahiran melalui anak dara Maria dapat menjamin kekudusan kemanusiaan Yesus Kristus dalam arti: (1) tidak ada keterlibatan manusia berdosa (laki-laki) di dalamnya; (2) Keterlibatan pasif Maria. Artinya, Yesus lahir dari rahim Maria, tetapi kekudusan Yesus bukan bergantung pada keberdosaan Maria, tetapi peran Roh Kudus di dalamnya. Malaikat berkata, "Sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus" (Matius 1:20). Itulah sebabnya, di dalam pengakuan Iman rasuli dikatakan, "Aku percaya kepada Yesus Kristus, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria."

MAKNA KELAHIRAN MELALUI ANAK DARA BAGI IMAN KITA

Kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria memiliki implikasi yang signifikan bagi iman kita: Pertama, Allah tidak pernah berdusta terhadap janji-Nya. Kedua, Allah selalu berinisiatif untuk mengasihi kita. Ketiga, kita memiliki jalan pendamaian melalui Yesus Kristus, yang adalah Allah sejati dan manusia sejati. Keempat, Yesus adalah satu-satunya jalan (perantara) bagi kita berjumpa dengan Allah (bukan melalui Maria, sebab kelahiran melalui anak dara menekankan siapa Yesus sebenarnya, bukan menekankan status Maria). Kelima, Yesus adalah satu-satunya Juru Selamat manusia, sebab di dalam-Nya kita mendapatkan pendamaian dengan Allah.

Kiranya dalam menyambut atau memperingati Natal tahun ini, iman kita semakin dikuatkan, berakar, bertumbuh, dan berbuah di dalam Dia. Kiranya Natal tidak membuat kita sibuk, tanpa memperoleh pengertian yang mendasar darinya. Sebaliknya, Natal menjadikan kita semakin mengenal Dia. Amin.

Sumber Artikel: 

Diambil dan disunting dari:

Nama situs : Gereja Kristen Abdiel Gloria
Alamat URL : http://gkagloria.or.id
Penulis : Ev. Liem Sien Liong
Tanggal akses: 10 Desember 2013

Siap Atau Tidak?

Penulis_artikel: 
Agus Barlianto Sadewa
Tanggal_artikel: 
13 Desember 2013
Isi_artikel: 

Nas: Yesaya 1:1-9; Matius 25:1-13

"Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya." (Yesaya 1:3)

Adven adalah tentang menunggu. Menunggu Seseorang Yang Akan Datang. Menunggu Mesias. Menunggu dalam Adven tidaklah pasif, melainkan aktif. Mesias datang, dan dengan kedatangan-Nya damai sejahtera dan keadilan memerintah. Oleh karena itu, kita harus rajin bersiap-siap.

Sedikitnya, ada dua hal yang dapat menyebabkan kita gagal dalam bersiap, dua cara yang dapat membuat kita "kehilangan" Adven. Yang pertama digambarkan dalam perumpamaan sepuluh gadis. Ada sebuah pernikahan dan sebagaimana lazimnya, gadis-gadis sahabat mempelai perempuan menunggu mempelai laki-laki untuk mengiringinya ke pesta dan perayaan pernikahan. Tetapi, mempelai laki-laki terlambat. Pernikahan-pernikahan Timur Tengah agaknya memang tak pernah tepat waktu. Lima gadis mengantisipasi masalah ini dan bersiap-siap dengan minyak tambahan agar pelita mereka tetap menyala. Akan tetapi, lima gadis lainnya tidak begitu siap. Mereka tidak mengantisipasi kedatangan mempelai laki-laki sebagaimana mestinya dan tidak mempersiapkan diri dalam penantian untuk kemungkinan terjadinya penundaan. Lima menunggu dengan kesiapan, lima lainnya tidak. Mereka yang siap memasuki pesta, mereka yang tidak siap tertinggal di luar. Inilah hal pertama yang dapat menyebabkan kita kehilangan Adven. Kita dapat kehilangan Adven hanya dengan tidak siap, karena tidak menjalani hidup kita dengan cara terus-menerus mempersiapkan diri bagi kedatangan Kerajaan sukacita, damai sejahtera, dan keadilan.

Namun, ada cara lain yang dapat membuat kita kehilangan Adven. Kita dapat kehilangan Adven dengan tidak menunggu sama sekali. Anda lihat, bila kita puas dengan hidup kita sendiri, bila kita berpikir bahwa: "Apa yang kau lihat itulah yang kau peroleh," bila kita memiliki suatu pendirian bahwa kita telah "tiba" dan tak perlu melanjutkan perjalanan, maka tak ada lagi yang perlu kita tunggu. Inilah kenyataan yang Nabi Yesaya hadapi delapan abad sebelum Kristus.

Kita akan mencoba melihat konteks dari zaman Nabi Yesaya. Pelayanan Yesaya dimulai sejak pemerintahan Raja Uzia yang makmur di Yerusalem. Fakta menunjukkan bahwa sejak Raja Uzia berkuasa, kekuatan dan kemakmuran Yehuda hanya berada di kelas dua bila dibandingkan dengan era Raja Daud dan Salomo. Meskipun peta politis berada dalam proses perubahan terus-menerus (kerajaan utara, yaitu Israel, menjadi tawanan Assyrian pada 722 sM; sementara kerajaan selatan, yaitu Yehuda, sibuk mengikatkan diri pada berbagai aliansi dengan Mesir dan Syria (Aram) demi menjaga keamanannya dari ancaman Assyrian), suasana hati di Yerusalem tetap tenang. Bagaimanapun, Yerusalem adalah kota Daud! Dengan raja keturunan Daud di atas takhta dan Allah di Bait Suci, kejahatan apa yang dapat menimpa kita? Apa yang perlu kita tunggu lagi? Segala yang kita inginkan sudah di sini. Karena kita memiliki perjanjian yang aman dengan Allah Israel, kita telah tiba, dan buktinya ialah kemakmuran kita. Siapa yang butuh Adven bila janji telah digenapi?

Maka, masuklah Yesaya dengan pembacaan yang amat berbeda. Yehuda telah datang? Baik, bila sakit parah adalah gagasan Anda tentang kedatangan, maka ya, Yehuda memang telah datang. Dalam nubuat pembukaan, Yesaya menembus rasa puas diri Yehuda terhadap harta kekayaan dan percaya berlebihan pada perjanjian. Ia menggambarkan Yehuda sebagai tubuh yang memar, terluka, dan berdarah-darah. Pada saat Yehuda melihat dirinya aman dalam perbatasan-perbatasannya, Yesaya melukiskan potret orang-orang asing yang melahap hasil tanah dan sebuah kota yang terkepung.

Mengapa? Mengapa Yesaya melihat kehancuran dan keambrukan, sementara yang lain melihat kota yang makmur dan aman? Sebab, Yesaya tahu benar bahwa kehidupan kultural dan pribadi Yehuda yang tidak lagi menunggu pemerintahan Allah karena berpikir bahwa pemerintahan itu telah direalisasikan, sesungguh-sungguhnya berada di jalur kematian. Ketika kehidupan perjanjian sudah begitu terstruktur untuk melayani kepentingan si kaya dengan jalan mengorbankan si miskin, maka ini sebenarnya perjanjian dengan kematian.

Mempelai laki-laki berkata pada gadis-gadis itu, "Sesungguhnya aku tidak mengenal kamu." Yesaya berkata: Israel tidak mengenal pemiliknya -- "Umat-Ku tidak memahaminya". Marilah kita memasuki masa Adven ini dengan pengenalan dan pemahaman. Marilah kita menunggu dengan penuh harap.

Diterjemahkan dari The Advent of Justice: A Book of Meditation (1993). Brian Walsh, Richard Middleton, Mark Vander Vennen, Sylvia Keesmaat. Penerbit CJL Toronto, Canada.

Sumber Artikel: 

Diambil dan disunting dari :

Judul buletin: Momentum, Volume 53 (September 2003)
Penulis : Agus Barlianto Sadewa
Halaman : 33 -- 34

Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Dalam edisi ini, kita akan melanjutkan bahasan tentang konteks teologi John Calvin dalam usahanya menjelaskan Predestinasi serta aplikasinya bagi hidup orang percaya. Kiranya dari artikel lanjutan ini, Anda semakin mengerti secara lengkap pendekatan-pendekatan yang Calvin lakukan dalam mengaitkan relevansi doktrin ini dengan hidup orang percaya, dan bersyukur atas pemilihan yang Allah lakukan dalam hikmat-Nya yang tak terukur. Mari langsung saja kita simak artikel ini. Selamat menyimak!

Tuhan memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Edisi: 
Edisi 145/Oktober 2013
Isi: 

PREDESTINASI SEBAGAI JAMINAN KESELAMATAN DAN PANGGILAN HIDUP KRISTEN YANG SALEH

Dengan ditempatkannya predestinasi di bawah topik keselamatan, Calvin ingin menunjukkan bahwa predestinasi pun merupakan bagian dari berkat-berkat yang diperoleh orang-orang percaya di dalam Kristus. Pengertian ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Itu sebabnya, sekalipun faktanya doktrin predestinasi mengandung "labyrinth" yang tak terselami sebagai bagian dari wahyu Allah, Calvin percaya bahwa predestinasi adalah "very sweet fruit",[18] atau sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang percaya.

Permasalahannya adalah dalam hal apa dan bagaimana memahami predestinasi secara benar sehingga doktrin ini benar-benar memberi manfaat bagi orang percaya? Ini merupakan tanggung jawab yang Calvin merasa yakin terpanggil untuk menjawabnya. Calvin percaya sepenuhnya bahwa rahasia kehendak Allah berdiri di balik realitas orang percaya dan tidak percaya. Namun, ia tidak mau berspekulasi lebih lanjut, tentang mengapa, bagaimana, atau seperti apa persisnya hal itu terjadi di dalam kekekalan karena Alkitab tidak mengatakannya.

Calvin yakin sepenuhnya berdasarkan Alkitab bahwa kehendak Allah sebagai dasar utama keselamatan harus ditegakkan. Kepentingannya adalah sebagai jaminan keselamatan, yaitu bahwa keselamatan bukan berdasarkan perbuatan baik kita, melainkan sepenuhnya karena kemurahan Allah. Masalahnya, jika kebebasan manusia memiliki peran yang signifikan dalam hal keselamatan, keselamatan menjadi sesuatu yang tidak pasti. Sebab, apa standarnya? Sampai batas mana manusia harus melakukan kebaikan? Belum lagi adanya realitas dosa yang sangat serius dalam diri manusia. Namun, jika keselamatan bergantung pada ketetapan Allah sendiri, tidak ada hal apa pun juga di bumi maupun di surga yang bisa membatalkan ketetapan Allah tersebut.

Dalam satu bab terakhir tentang predestinasi di dalam buku III "Institutes" (1559), ia menjelaskan relasi yang erat antara predestinasi dan soteriologi secara induktif (ordo cognoscendi) sehingga manfaat doktrin predestinasi sebagai jaminan keselamatan nampak sangat jelas. Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari pola pendekatan ordo cognoscendi dalam konteks soteriologi untuk memahami predestinasi yang akan diuraikan berikut ini.

Dari Sebab Dekat (Proximate Cause) ke Sebab Utama (Ultimate Cause)

Dalam tafsirannya terhadap Efesus 1:5-8, Calvin menyimpulkan ada empat sebab keselamatan yang terjadi pada diri seseorang: pertama, kehendak Allah (God's will) sebagai yang menyebabkan pilihan-Nya pasti terlaksana (efficient cause); kedua, sebab yang dapat dilihat (material cause), yaitu Yesus Kristus; ketiga, sebab yang membuat pilihan Allah teraplikasi dalam diri orang berdosa (final cause), yaitu anugerah; dan keempat, sebab yang membuat kebaikan atau anugerah Allah sampai kepada umat manusia (formal cause), yaitu pemberitaan Injil. Di antara keempat sebab ini, efficient dan final cause adalah bagian dari misteri Allah, yang pasti terjadi, tetapi tidak mungkin dapat diselami. Karena itu, pemilihan sebagai jaminan keselamatan hanya dapat dipahami ketika kita mulai menggumulinya mulai dari bagaimana anugerah pemilihan itu sampai kepada kita, yaitu jika kita memulainya dari material dan formal cause. Yesus Kristus sebagai material cause akan kita bahas kemudian. Pada bagian ini, kita akan membahas sedikit lebih jauh arti formal cause.

Formal cause -- sebab yang membuat anugerah atau kebaikan Allah itu sampai kepada kita -- terdiri dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu panggilan firman (calling), pekerjaan Allah Roh Kudus secara internal, dan iman. Menurut Calvin, jaminan keselamatan itu memang bersumber dari takhta Allah yang Mahakudus, tetapi Ia tidak pernah meminta kita untuk naik ke hadirat-Nya yang kudus (selama kita di bumi). Dengan menggumuli firman di dalam iman dan pekerjaan Roh Kudus itulah, kita akan dibawa kepada posisi rohani, yang membuat panggilan (klesis) dan pilihan (ekloge) kita semakin teguh (2 Petrus 1:10). Namun sekali lagi, di sini Calvin sama sekali bukan mengatakan bahwa usaha manusialah yang menyebabkan pilihan. Calvin lebih ingin menekankan bagaimana kita sampai kepada "pemilihan kekal Allah" sebagai jaminan keselamatan.

Kristus sebagai "The Mirror of Election"

Dari penjelasan sebelumnya, telah ditunjukkan keyakinan Calvin bahwa manusia tidak mungkin sanggup mendaki secara langsung ke dalam misteri ketetapan kekal Allah. Namun, terdorong oleh panggilan untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa pemilihan kekal Allah merupakan jaminan keselamatan manusia dan bukan sebagai problem metafisika, maka berikutnya ia berusaha untuk tidak secara langsung menarik hubungan antara apa yang terjadi di dalam kekekalan (eternity) dan keselamatan yang terjadi pada manusia di dalam dunia ini (temporal). Artinya, ia tidak ingin terjebak di dalam silogisme: "Karena aku dipilih, maka aku diselamatkan". Sekalipun secara ontologi kalimat ini pasti ia setujui, tetapi ia memandang hal itu berbahaya.

Ia lebih mengarahkan argumentasi kepada keberadaan Yesus Kristus, yang adalah Allah sekaligus Manusia, sebagai titik temu antara apa yang terjadi di dalam kekekalan dan keselamatan yang dialami oleh manusia. Di sinilah, terjadi interpenetrasi antara paham tentang Kristus dan predestinasi. Mengarahkan iman kepada Kristus di sini memiliki makna yang sangat dalam, sebab berarti kita bukan sekadar "believe in Him" (Yohanes 3:16), tetapi lebih dari itu, kita percaya: (1) kepada Yesus Kristus sebagai dasar pilihan Allah di dalam kekekalan, yang sekaligus merupakan jaminan kekal yang tak tergoyahkan (Efesus 1:4-6); (2) Kristus di dalam sejarah, menyatakan pemilihan kita oleh Allah di dalam kekekalan (Efesus 1:7-9); (3) Kristus menyingkapkan tujuan pemilihan Allah, yaitu menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29), mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang (Roma 13:14), dan bertumbuh ke arah Kristus (Efesus 4:15). Hal yang terakhir ini menurut Calvin, sekaligus merupakan panggilan bagi setiap orang percaya untuk memiliki ketekunan dan hidup yang kudus. Melalui "union with Christ" inilah, kita juga akan dibawa kepada jaminan keselamatan yang berdasarkan pada pemilihan kekal Allah.

Reprobasi sebagai Misteri Penyataan Keadilan Allah

Ketika kita masuk ke dalam pembicaraan tentang reprobasi -- di mana Allah membiarkan sebagian orang dalam dosanya untuk menerima hukuman (reprobat) --, Calvin menekankan bahwa kita tidak bisa memikirkan reprobasi dan pemilihan Allah sebagai dua hal yang bersifat paralel. Artinya, sekalipun pemilihan dan reprobasi adalah dua hal yang memiliki "ultimate cause" di dalam misteri kehendak Allah, dan juga memiliki sebab yang dekat dengan manusia (proximate cause), tetapi ia melihat bahwa yang membedakan keduanya adalah jikalau dalam hal anugerah pemilihan proximate cause itu sama sekali tidak berasal dari manusia (perbuatan manusia tidak diperhitungkan sebagai penyebab), maka di dalam hal penghukuman kekal Allah (reprobation), proximate cause mengandung aspek kebebasan dan natur berdosa manusia (perbuatan berdosa manusia turut menyebabkan penghukuman). Namun, apakah hal ini berarti Allah secara aktif menyebabkan manusia berbuat dosa?

Calvin memang mengatakan bahwa "Kehendak dan ketetapan abadi Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada".[19] Namun, ia sama sekali tidak bermaksud untuk melemparkan tanggung jawab atas perbuatan dosa kepada "divine causality" (sebab ilahi) sehingga seolah-olah manusia tidak bertanggung jawab atau hanya merupakan alat saja di tangan Allah. Di dalam kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa, ia mengatakan, "Adam dapat tetap teguh jika ia mau, namun kejatuhannya semata-mata karena kehendaknya sendiri".[20] Tetapi, bagaimana hal ini tidak berkontradiksi dengan pernyataan Calvin sebelumnya bahwa ketetapan Allah adalah "penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada?"

Pertama-tama, ia mengajak kita untuk menjauhkan Allah dari posisi yang secara aktif menyebabkan terjadinya dosa. Kedua, untuk menjawab problem di atas, Calvin tidak memilih argumentasi yang membedakan ketetapan Allah dengan izin Allah. Sebuah pembedaan yang pada hakikatnya sama saja. Namun, Calvin tetap percaya bahwa kehendak Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada. Jika demikian, bagaimana Allah bukan sebagai penyebab aktif perbuatan dosa manusia? Di dalam buku yang sama (Calvin's Calvinism), ia berangkat dari asumsi bahwa sebuah tindakan dikatakan berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat. Jadi, ketika seseorang membunuh atau mencuri, perbuatan itu berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat.

Dengan demikian, di dalam kasus-kasus seperti pengerasan hati Firaun atau Yudas, Calvin berpendapat, pertama, kita mesti melihat adanya tujuan mulia dari Allah yang tak terselami dan hikmat-Nya yang Mahabenar yang tak tergapai. Kedua, adanya perbedaan kategori yang tak terseberangi antara kekekalan dan kesementaraan sehingga kita tidak bisa mengukur apa yang Allah lakukan di dalam kekekalan dengan kategori temporal. Itu sebabnya, ia menutup penjelasannya tentang predestinasi dengan pernyataan, "Seperti pernyataan Agustinus, mereka yang mengukur keadilan ilahi dengan standar keadilan manusia telah bertindak salah."

Namun, kembali kepada konteks soteriologi dalam pembicaraan tentang predestinasi, maka fungsi paham reprobasi bagi orang-orang percaya menurut Calvin sebenarnya sama halnya dengan anugerah pemilihan Allah, yaitu menyadarkan orang-orang percaya supaya patuh, kagum, heran, rendah hati, dan gemetar di hadapan kemahakuasaan Allah yang tak terselami, namun yang telah dinyatakan dalam Alkitab.[21] Sebagai bagian dari predestinasi, maka sama seperti pemilihan Allah pula, paham reprobasi juga ada di ujung pergumulan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus.

Kesimpulan

Dengan menempatkan doktrin predestinasi dalam konteks soteriologi, Calvin berusaha menunjukkan bahwa fungsionalitas doktrin predestinasi sebagai dasar jaminan keselamatan dapat ditimba oleh setiap orang percaya. Hal ini bisa terjadi apabila kita memulai pemahaman tentang predestinasi dengan berangkat dari tanda-tanda keselamatan yang Allah nyatakan kepada kita, dan dengan memandang kepada Yesus Kristus sebagai "the mirror of election". Cara seperti ini sudah tentu bukan jaminan untuk meniadakan sifat misteri doktrin predestinasi, melainkan justru karena kesadaran bahwa doktrin ini penuh dengan misteri ilahi.

Dengan demikian, cara yang dipakai oleh Calvin ini membawa orang percaya kepada sebuah relasi yang paradoks antara pergumulan iman tentang jaminan keselamatan dan predestinasi. Di satu pihak, predestinasi sebagai misteri (tetapi yang telah dinyatakan oleh Allah) adalah penyebab iman, di lain pihak, hal itu hanya bisa dipahami ketika iman sebagai jaminan yang membawa kita kepada rahasia predestinasi Allah. Jadi di sini, pergumulan dengan kebenaran predestinasi bersifat dua arah. Artinya, kita berangkat dari keyakinan akan berita Alkitab tentang ketetapan Allah sebagai sumber keselamatan kita, namun keyakinan itu baru dapat benar-benar kita gapai ketika kita menempatkan ketetapan Allah di ujung pergumulan iman kita.

Mengutip perkataan Agustinus, Calvin berkeyakinan bahwa menggumuli predestinasi berarti kita telah memasuki jalur iman.[22] Ketika iman kita membawa kepada keyakinan akan anugerah pemilihan Allah, dampak baliknya adalah penghiburan dan sekaligus panggilan untuk hidup suci. Namun, yang terpenting dalam usaha memahami predestinasi adalah "Mari kita berpegang teguh pada iman. Ia memimpin kita ke kamar Raja, tempat tersimpan seluruh harta pengetahuan dan kebijaksanaan."[23]

Catatan Kaki:

18. Institutes III.xxi.1.
19. Ibid. I.xvi.8; bdk. III.xxiii.7-8.
20. Ibid. I.xv.1, 8 [huruf tegak dari saya].
21. Ibid. III.xxi.1; III.xxiii.5; III.xxiv.17.
22. Ibid III.xxi.2.
23. Ibid.
Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul jurnal : Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan, Volume 02, Nomor 02 (Oktober 2001)
Judul artikel: Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi
Penulis : Kalvin S. Budiman
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2001
Halaman : 159 -- 175

Komentar


Syndicate content