Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Dalam edisi ini, kita akan melanjutkan bahasan tentang konteks teologi John Calvin dalam usahanya menjelaskan Predestinasi serta aplikasinya bagi hidup orang percaya. Kiranya dari artikel lanjutan ini, Anda semakin mengerti secara lengkap pendekatan-pendekatan yang Calvin lakukan dalam mengaitkan relevansi doktrin ini dengan hidup orang percaya, dan bersyukur atas pemilihan yang Allah lakukan dalam hikmat-Nya yang tak terukur. Mari langsung saja kita simak artikel ini. Selamat menyimak!

Tuhan memberkati.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Edisi: 
Edisi 145/Oktober 2013
Isi: 

PREDESTINASI SEBAGAI JAMINAN KESELAMATAN DAN PANGGILAN HIDUP KRISTEN YANG SALEH

Dengan ditempatkannya predestinasi di bawah topik keselamatan, Calvin ingin menunjukkan bahwa predestinasi pun merupakan bagian dari berkat-berkat yang diperoleh orang-orang percaya di dalam Kristus. Pengertian ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Itu sebabnya, sekalipun faktanya doktrin predestinasi mengandung "labyrinth" yang tak terselami sebagai bagian dari wahyu Allah, Calvin percaya bahwa predestinasi adalah "very sweet fruit",[18] atau sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang percaya.

Permasalahannya adalah dalam hal apa dan bagaimana memahami predestinasi secara benar sehingga doktrin ini benar-benar memberi manfaat bagi orang percaya? Ini merupakan tanggung jawab yang Calvin merasa yakin terpanggil untuk menjawabnya. Calvin percaya sepenuhnya bahwa rahasia kehendak Allah berdiri di balik realitas orang percaya dan tidak percaya. Namun, ia tidak mau berspekulasi lebih lanjut, tentang mengapa, bagaimana, atau seperti apa persisnya hal itu terjadi di dalam kekekalan karena Alkitab tidak mengatakannya.

Calvin yakin sepenuhnya berdasarkan Alkitab bahwa kehendak Allah sebagai dasar utama keselamatan harus ditegakkan. Kepentingannya adalah sebagai jaminan keselamatan, yaitu bahwa keselamatan bukan berdasarkan perbuatan baik kita, melainkan sepenuhnya karena kemurahan Allah. Masalahnya, jika kebebasan manusia memiliki peran yang signifikan dalam hal keselamatan, keselamatan menjadi sesuatu yang tidak pasti. Sebab, apa standarnya? Sampai batas mana manusia harus melakukan kebaikan? Belum lagi adanya realitas dosa yang sangat serius dalam diri manusia. Namun, jika keselamatan bergantung pada ketetapan Allah sendiri, tidak ada hal apa pun juga di bumi maupun di surga yang bisa membatalkan ketetapan Allah tersebut.

Dalam satu bab terakhir tentang predestinasi di dalam buku III "Institutes" (1559), ia menjelaskan relasi yang erat antara predestinasi dan soteriologi secara induktif (ordo cognoscendi) sehingga manfaat doktrin predestinasi sebagai jaminan keselamatan nampak sangat jelas. Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari pola pendekatan ordo cognoscendi dalam konteks soteriologi untuk memahami predestinasi yang akan diuraikan berikut ini.

Dari Sebab Dekat (Proximate Cause) ke Sebab Utama (Ultimate Cause)

Dalam tafsirannya terhadap Efesus 1:5-8, Calvin menyimpulkan ada empat sebab keselamatan yang terjadi pada diri seseorang: pertama, kehendak Allah (God's will) sebagai yang menyebabkan pilihan-Nya pasti terlaksana (efficient cause); kedua, sebab yang dapat dilihat (material cause), yaitu Yesus Kristus; ketiga, sebab yang membuat pilihan Allah teraplikasi dalam diri orang berdosa (final cause), yaitu anugerah; dan keempat, sebab yang membuat kebaikan atau anugerah Allah sampai kepada umat manusia (formal cause), yaitu pemberitaan Injil. Di antara keempat sebab ini, efficient dan final cause adalah bagian dari misteri Allah, yang pasti terjadi, tetapi tidak mungkin dapat diselami. Karena itu, pemilihan sebagai jaminan keselamatan hanya dapat dipahami ketika kita mulai menggumulinya mulai dari bagaimana anugerah pemilihan itu sampai kepada kita, yaitu jika kita memulainya dari material dan formal cause. Yesus Kristus sebagai material cause akan kita bahas kemudian. Pada bagian ini, kita akan membahas sedikit lebih jauh arti formal cause.

Formal cause -- sebab yang membuat anugerah atau kebaikan Allah itu sampai kepada kita -- terdiri dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu panggilan firman (calling), pekerjaan Allah Roh Kudus secara internal, dan iman. Menurut Calvin, jaminan keselamatan itu memang bersumber dari takhta Allah yang Mahakudus, tetapi Ia tidak pernah meminta kita untuk naik ke hadirat-Nya yang kudus (selama kita di bumi). Dengan menggumuli firman di dalam iman dan pekerjaan Roh Kudus itulah, kita akan dibawa kepada posisi rohani, yang membuat panggilan (klesis) dan pilihan (ekloge) kita semakin teguh (2 Petrus 1:10). Namun sekali lagi, di sini Calvin sama sekali bukan mengatakan bahwa usaha manusialah yang menyebabkan pilihan. Calvin lebih ingin menekankan bagaimana kita sampai kepada "pemilihan kekal Allah" sebagai jaminan keselamatan.

Kristus sebagai "The Mirror of Election"

Dari penjelasan sebelumnya, telah ditunjukkan keyakinan Calvin bahwa manusia tidak mungkin sanggup mendaki secara langsung ke dalam misteri ketetapan kekal Allah. Namun, terdorong oleh panggilan untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa pemilihan kekal Allah merupakan jaminan keselamatan manusia dan bukan sebagai problem metafisika, maka berikutnya ia berusaha untuk tidak secara langsung menarik hubungan antara apa yang terjadi di dalam kekekalan (eternity) dan keselamatan yang terjadi pada manusia di dalam dunia ini (temporal). Artinya, ia tidak ingin terjebak di dalam silogisme: "Karena aku dipilih, maka aku diselamatkan". Sekalipun secara ontologi kalimat ini pasti ia setujui, tetapi ia memandang hal itu berbahaya.

Ia lebih mengarahkan argumentasi kepada keberadaan Yesus Kristus, yang adalah Allah sekaligus Manusia, sebagai titik temu antara apa yang terjadi di dalam kekekalan dan keselamatan yang dialami oleh manusia. Di sinilah, terjadi interpenetrasi antara paham tentang Kristus dan predestinasi. Mengarahkan iman kepada Kristus di sini memiliki makna yang sangat dalam, sebab berarti kita bukan sekadar "believe in Him" (Yohanes 3:16), tetapi lebih dari itu, kita percaya: (1) kepada Yesus Kristus sebagai dasar pilihan Allah di dalam kekekalan, yang sekaligus merupakan jaminan kekal yang tak tergoyahkan (Efesus 1:4-6); (2) Kristus di dalam sejarah, menyatakan pemilihan kita oleh Allah di dalam kekekalan (Efesus 1:7-9); (3) Kristus menyingkapkan tujuan pemilihan Allah, yaitu menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29), mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang (Roma 13:14), dan bertumbuh ke arah Kristus (Efesus 4:15). Hal yang terakhir ini menurut Calvin, sekaligus merupakan panggilan bagi setiap orang percaya untuk memiliki ketekunan dan hidup yang kudus. Melalui "union with Christ" inilah, kita juga akan dibawa kepada jaminan keselamatan yang berdasarkan pada pemilihan kekal Allah.

Reprobasi sebagai Misteri Penyataan Keadilan Allah

Ketika kita masuk ke dalam pembicaraan tentang reprobasi -- di mana Allah membiarkan sebagian orang dalam dosanya untuk menerima hukuman (reprobat) --, Calvin menekankan bahwa kita tidak bisa memikirkan reprobasi dan pemilihan Allah sebagai dua hal yang bersifat paralel. Artinya, sekalipun pemilihan dan reprobasi adalah dua hal yang memiliki "ultimate cause" di dalam misteri kehendak Allah, dan juga memiliki sebab yang dekat dengan manusia (proximate cause), tetapi ia melihat bahwa yang membedakan keduanya adalah jikalau dalam hal anugerah pemilihan proximate cause itu sama sekali tidak berasal dari manusia (perbuatan manusia tidak diperhitungkan sebagai penyebab), maka di dalam hal penghukuman kekal Allah (reprobation), proximate cause mengandung aspek kebebasan dan natur berdosa manusia (perbuatan berdosa manusia turut menyebabkan penghukuman). Namun, apakah hal ini berarti Allah secara aktif menyebabkan manusia berbuat dosa?

Calvin memang mengatakan bahwa "Kehendak dan ketetapan abadi Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada".[19] Namun, ia sama sekali tidak bermaksud untuk melemparkan tanggung jawab atas perbuatan dosa kepada "divine causality" (sebab ilahi) sehingga seolah-olah manusia tidak bertanggung jawab atau hanya merupakan alat saja di tangan Allah. Di dalam kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa, ia mengatakan, "Adam dapat tetap teguh jika ia mau, namun kejatuhannya semata-mata karena kehendaknya sendiri".[20] Tetapi, bagaimana hal ini tidak berkontradiksi dengan pernyataan Calvin sebelumnya bahwa ketetapan Allah adalah "penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada?"

Pertama-tama, ia mengajak kita untuk menjauhkan Allah dari posisi yang secara aktif menyebabkan terjadinya dosa. Kedua, untuk menjawab problem di atas, Calvin tidak memilih argumentasi yang membedakan ketetapan Allah dengan izin Allah. Sebuah pembedaan yang pada hakikatnya sama saja. Namun, Calvin tetap percaya bahwa kehendak Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada. Jika demikian, bagaimana Allah bukan sebagai penyebab aktif perbuatan dosa manusia? Di dalam buku yang sama (Calvin's Calvinism), ia berangkat dari asumsi bahwa sebuah tindakan dikatakan berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat. Jadi, ketika seseorang membunuh atau mencuri, perbuatan itu berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat.

Dengan demikian, di dalam kasus-kasus seperti pengerasan hati Firaun atau Yudas, Calvin berpendapat, pertama, kita mesti melihat adanya tujuan mulia dari Allah yang tak terselami dan hikmat-Nya yang Mahabenar yang tak tergapai. Kedua, adanya perbedaan kategori yang tak terseberangi antara kekekalan dan kesementaraan sehingga kita tidak bisa mengukur apa yang Allah lakukan di dalam kekekalan dengan kategori temporal. Itu sebabnya, ia menutup penjelasannya tentang predestinasi dengan pernyataan, "Seperti pernyataan Agustinus, mereka yang mengukur keadilan ilahi dengan standar keadilan manusia telah bertindak salah."

Namun, kembali kepada konteks soteriologi dalam pembicaraan tentang predestinasi, maka fungsi paham reprobasi bagi orang-orang percaya menurut Calvin sebenarnya sama halnya dengan anugerah pemilihan Allah, yaitu menyadarkan orang-orang percaya supaya patuh, kagum, heran, rendah hati, dan gemetar di hadapan kemahakuasaan Allah yang tak terselami, namun yang telah dinyatakan dalam Alkitab.[21] Sebagai bagian dari predestinasi, maka sama seperti pemilihan Allah pula, paham reprobasi juga ada di ujung pergumulan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus.

Kesimpulan

Dengan menempatkan doktrin predestinasi dalam konteks soteriologi, Calvin berusaha menunjukkan bahwa fungsionalitas doktrin predestinasi sebagai dasar jaminan keselamatan dapat ditimba oleh setiap orang percaya. Hal ini bisa terjadi apabila kita memulai pemahaman tentang predestinasi dengan berangkat dari tanda-tanda keselamatan yang Allah nyatakan kepada kita, dan dengan memandang kepada Yesus Kristus sebagai "the mirror of election". Cara seperti ini sudah tentu bukan jaminan untuk meniadakan sifat misteri doktrin predestinasi, melainkan justru karena kesadaran bahwa doktrin ini penuh dengan misteri ilahi.

Dengan demikian, cara yang dipakai oleh Calvin ini membawa orang percaya kepada sebuah relasi yang paradoks antara pergumulan iman tentang jaminan keselamatan dan predestinasi. Di satu pihak, predestinasi sebagai misteri (tetapi yang telah dinyatakan oleh Allah) adalah penyebab iman, di lain pihak, hal itu hanya bisa dipahami ketika iman sebagai jaminan yang membawa kita kepada rahasia predestinasi Allah. Jadi di sini, pergumulan dengan kebenaran predestinasi bersifat dua arah. Artinya, kita berangkat dari keyakinan akan berita Alkitab tentang ketetapan Allah sebagai sumber keselamatan kita, namun keyakinan itu baru dapat benar-benar kita gapai ketika kita menempatkan ketetapan Allah di ujung pergumulan iman kita.

Mengutip perkataan Agustinus, Calvin berkeyakinan bahwa menggumuli predestinasi berarti kita telah memasuki jalur iman.[22] Ketika iman kita membawa kepada keyakinan akan anugerah pemilihan Allah, dampak baliknya adalah penghiburan dan sekaligus panggilan untuk hidup suci. Namun, yang terpenting dalam usaha memahami predestinasi adalah "Mari kita berpegang teguh pada iman. Ia memimpin kita ke kamar Raja, tempat tersimpan seluruh harta pengetahuan dan kebijaksanaan."[23]

Catatan Kaki:

18. Institutes III.xxi.1.
19. Ibid. I.xvi.8; bdk. III.xxiii.7-8.
20. Ibid. I.xv.1, 8 [huruf tegak dari saya].
21. Ibid. III.xxi.1; III.xxiii.5; III.xxiv.17.
22. Ibid III.xxi.2.
23. Ibid.
Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul jurnal : Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan, Volume 02, Nomor 02 (Oktober 2001)
Judul artikel: Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi
Penulis : Kalvin S. Budiman
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2001
Halaman : 159 -- 175

Komentar