Kategori Utama

strict warning: Declaration of views_plugin_style_default::options() should be compatible with views_object::options() in /home/sabdaorg/public_sabda/reformed/sites/all/modules/views/plugins/views_plugin_style_default.inc on line 24.

Dear Pembaca e-Reformed,

Apabila Saudara mendapatkan pilihan antara "biasa" dan "luar biasa", manakah yang akan Saudara pilih? Benarkah kekristenan pun dibagi ke dalam dua kubu tersebut? Kita perlu memperoleh paradigma yang baru bahwa Allah bekerja dengan cara-cara yang biasa dan luar biasa menurut ketetapan dan kehendak-Nya. Sekalipun Allah bekerja dengan cara yang biasa, Dia tetap Allah yang kudus dan agung. Iman kita dalam Kristus seharusnya tidak tergantung dari hal-hal yang lahiriah. Kekristenan pun seharusnya juga tidak tergantung pada hal-hal lahiriah. Kekristenan bergantung mutlak kepada Kristus dan firman-Nya. Apabila seseorang sakit keras, lalu dia menerima mukjizat kesembuhan, bukan berarti Allah tidak bekerja dalam hidup umat-Nya yang sehat dan tidak mengalami masalah. Allah kita adalah Pribadi yang bekerja, Dia bekerja dari masa sekarang, saat ini, sampai seterusnya. Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita adalah bahwa Allah memanggil kita untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Maukah kita memenuhi panggilan agung-Nya? Marilah kita terus memandang kepada Allah dengan iman, mengasihi sesama kita, dan terus berjuang dalam langkah iman. Selamat merenungkan. Soli Deo gloria!

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Amidya

Dear e-Reformed Warganet,

Abad pertengahan dalam sejarah gereja, berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 M. Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan berlangsung hingga sebelum Reformasi Luther pada tahun 1517. Pendidikan pada masa itu adalah pendidikan yang didasarkan pada perenungan dalam hidup biara, dan para teolognya cenderung melakukan askese. Perenungan hidup di biara dan beraskese dinilai dapat mencapai pengenalan akan Allah dan mendapatkan kebahagiaan. Mengapa pendidikan pada masa abad pertengahan justru menjadi tolok ukur "Pendidikan yang berpusat kepada Allah"?

Nicholas P. Wolterstorff dalam bukunya yang berjudul Mendidik untuk Kehidupan menjelaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada Allah akan menghasilkan Shalom. Apa maksudnya? Dapatkan jawabannya dengan membaca artikel di bawah ini. Harapan kami, para pembaca akan mendapatkan wawasan yang semakin luas tentang pentingnya pendidikan yang berpusat pada Allah yang menghasilkan Shalom dalam hidup kita. Selamat merenungkan.

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Amidya

Dear Netters,

Dalam melayani Tuhan dibutuhkan motivasi yang murni sehingga hati dan jiwa kita tetap lurus dan tidak ada unsur-unsur campuran yang menghalangi pelayanan kita. Bagaimana cara kita memiliki motivasi yang murni? Dalam artikel yang dibawakan oleh Pdt. Stephen Tong di bawah ini kita akan belajar bahwa motivasi melayani sangat penting dalam pelayanan supaya kita dapat bertahan menghadapi kesulitan apapun yang menghadang kita, terkhusus ketika kita menjalankan tugas penginjilan. Lalu, apa hubungan motivasi dan kehendak Allah dalam penginjilan? Allah dalam kehendak-Nya yang kudus dan agung memercayakan kepada kita tugas pemberitaan Injil supaya orang-orang yang belum mendengar Injil tidak berjalan menuju kebinasaan, tetapi bertobat dan menjadi anak-anak Allah.

Saya berharap melalui artikel yang kami siapkan bulan ini, para pembaca akan semakin sadar bahwa memberitakan Injil adalah kehendak Allah. Jika semakin hari semakin banyak kita melihat jiwa yang berjalan menuju kebinasaan, apa yang akan kita lakukan? Termotivasikah kita untuk menjangkau mereka dan menjalankan kehendak Allah? Karena itu, marilah kita sungguh-sungguh menggunakan waktu dan kesempatan yang ada untuk memberitakan Injil dengan serius dan meminta anugerah Tuhan agar kehendak-Nya terjadi. Soli Deo gloria!

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Amidya

Dear e-Reformed Netters,

Peristiwa Keluaran, yakni seluruh kisah Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir dan berjalan melintasi padang gurun selama empat puluh tahun, cenderung identik dengan kemahakuasaan Allah yang menghancurkan musuh-Nya serta keadilan Allah yang menuntut manusia untuk hidup kudus sempurna. Namun, ada satu aspek di dalamnya yang kerap terlupakan -- suatu atribut kekal Allah yang seolah tertimbun di bawah tumpukan hukum Taurat yang ketat -- yakni kemahahadiran Allah, kesetiaan-Nya yang lembut. Inilah sisi yang secara unik diangkat dalam artikel di bawah.

Dalam tulisannya ini, Sinclair Ferguson mengajak kita menjelajahi kisah Keluaran yang dahsyat dan riuh dengan kembali pada suatu hari yang tampak biasa di Gunung Horeb, saat Musa sedang sendirian di tengah keheningan alam bersama kambing domba mertuanya. Peristiwa nyala api di atas semak duri yang telah familiar ini dikaji sedemikian hingga kita melihat kedalaman karakter ilahi yang jarang digali dari kisah ini. Allah bukan saja tiang api raksasa yang bisa menyelubungi ribuan orang, tetapi Ia juga bisa mewahyukan diri dalam bentuk kobaran api yang kelihatannya tidak berbahaya sehingga menarik perhatian Musa untuk datang mendekat. Itulah Tuhan kita, akbar tak terukur, tetapi bisa dan mau mengecilkan diri sedemikian rupa untuk ada bersama manusia. Merendahkan diri hingga seolah hilang kemegahan-Nya supaya bisa didekati umat-Nya. Inilah Allah pemurah.

Eksposisi terhadap episode pemanggilan Musa dalam artikel ini secara jeli menyibakkan kesinambungan antara penyingkapan pribadi Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terutama dalam aspek kemahahadiran-Nya yang senantiasa setia di tengah umat manusia. Ia mendengar jerit pilu penderitaan anak-anak-Nya di bawah perbudakan, sehingga, sekalipun bersemayam dalam surga tanpa duka, Ia memilih untuk turun ke dunia penuh nestapa untuk hadir bersama kita yang dikasihi-Nya.

Joy

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Joy

Dear e-Reformed Netters,

Frasa "Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja" sudah tidak asing lagi di telinga kita, bahkan mungkin sudah sangat lekat dalam benak setiap orang percaya. Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Sang Nabi Agung, Imam Besar, dan Raja Semesta ini, sementara Perjanjian Baru menceritakan penggenapannya. Dalam Surat Ibrani dijelaskan dengan gamblang bagaimana Kristus menggenapkan jabatan imam besar; kepada Rasul Yohanes, Ia menyatakan kedaulatan-Nya sebagai Raja, yang ditulis dalam kitab Wahyu; sementara itu, Injil-Injil sinoptik menceritakan bagaimana Yesus melayani sebagai Nabi.

Tentu saja, kita mengimani ketiga peranan Kristus tersebut sebagai suatu fungsi ilahi yang memungkinkan tersampaikannya firman Allah kepada dunia, subsitusi dan penebusan dosa manusia, serta pemerintahan Allah yang absolut. Kita bersyukur atas hal-hal tersebut, mengagungkan Dia, serta menghayati karya-Nya dalam menggenapi ketiga fungsi itu. Lebih jauh lagi, kita bahkan menyebut diri sebagai imamat rajani, sebab demikianlah predikat yang Alkitab katakan mengenai jemaat-Nya (1 Petrus 2:9). Hal itu berarti jabatan Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja tidak berhenti pada pribadi Yesus saja, tetapi memiliki implikasi terhadap diri kita sebagai umat-Nya.

Bagaimana doktrin Kristologi, yang tampaknya begitu transenden dan baka ini, terkait dengan kehidupan praktis manusia setiap hari? Bagaimana konsep ini seharusnya membentuk kita, orang Kristen, untuk menghidupi teladan Tuhan kita yang adalah nabi, imam, dan raja? Edisi pertama pada tahun yang baru ini mengajak kita berefleksi pada sebuah kebenaran hakiki sehingga kita mampu menghidupinya di tengah tantangan zaman.

Joy

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Joy

Komentar