Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/120

KISAH edisi 120 (27-4-2009)

Kanker Stadium Empat Sembuh Total Tanpa Operasi

____________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)_____________
                        Edisi 120, 27 April 2008

PENGANTAR

  Tatkala kita mengalami hal yang membuat kita merasa tak berdaya, 
  siapa yang pertama kali kita temui? Suami? Istri? Anak? Atau sahabat 
  kita?

  Kita adalah orang-orang percaya, kita yakin bahwa Tuhan Yesus adalah 
  sahabat sejati kita. Dia dapat merasakan apa yang kita rasakan dan 
  selalu memberikan rencana yang terbaik jika kita mau menyerahkan 
  segala permasalahan hidup kita hanya kepada-Nya. KISAH edisi 120 
  merupakan kesaksian seorang ibu yang mengalami pemulihan jasmani di 
  dalam Dia. Mari kita simak dan merenungkan kisah ini. Kiranya kisah 
  ini dapat menjadi berkat untuk kita semua. Amin!

  Staf Redaksi KISAH,
  Tatik Wahyuningsih
  http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
  http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

           KANKER STADIUM EMPAT SEMBUH TOTAL TANPA OPERASI

  Nama Saya Ginny Awuy. Saya bekerja sebagai HRD di Rimo Department 
  Store. Saya tinggal bersama anak saya, Steve, karena sudah lama 
  suami saya meninggalkan kami berdua bersama WIL-nya (wanita idaman 
  lain). Tahun 1996, secara tidak sengaja ketika meraba bagian 
  payudara sebelah kiri, saya mendapati benjolan sebesar kacang merah. 
  Karena saya banyak membaca perihal tentang kanker payudara, saya pun 
  menaruh curiga atas gejala ini, sekalipun kekhawatiran itu belum 
  terlalu menyergap perasaan saya. Waktu terus berlalu, benjolan itu 
  tidak juga kempes, malah sebaliknya, semakin membesar menjadi 
  seukuran bola bekel. Tentu saja melihat gejala ini saya semakin 
  khawatir.  Mulailah saya mengambil waktu khusus di rumah selama 1 
  jam setiap hari untuk berdoa.

  Benjolan di payudara saya semakin membesar. Bahkan, benjolan itu 
  semakin banyak, ada yang besar ada yang kecil, pokoknya tidak 
  beraturan, menyebar membentuk seperti kembang kol. Selain itu, 
  kanker ini ternyata cukup memengaruhi stamina saya. Untuk berjalan 
  dari tempat parkir ke toko, atau dari satu lantai ke lantai 
  berikutnya, rasanya capai sekali; seperti habis lari jauh. Saya 
  sendiri, karena takut diketahui orang lain, kalau sudah tak kuat 
  jalan, saya hanya terdiam mencari sandaran sambil pura-pura melihat 
  ke bawah. Keadaan ini terus memburuk, tapi saya tidak putus asa. 
  Saya tetap berdoa dan bekerja walau stamina saya semakin merosot.

  Sudah setahun penderitaan mendera, tapi tidak seorang pun yang saya 
  beritahu. Steve pun tidak, sebab saya khawatir kalau dia sampai 
  tahu, studinya akan terganggu. Maklumlah, kuliah Steve sudah berada 
  di semester akhir. Selain itu, alasan mengapa saya tidak 
  menceritakan penyakit saya ini kepada orang lain karena solusinya 
  pastilah dokter -- operasi. Padahal untuk operasi jelas kondisi 
  keuangan saya sangat tidak memungkinkan. Tabungan saya hanya 2,5 
  juta. Uang sejumlah ini rencananya untuk membayar biaya kuliah dan 
  wisuda Steve. Karena menyadari situasinya seperti ini, kepada Tuhan 
  pun saya sepertinya mendesak, "Tuhan, pokoknya Tuhan harus sembuhkan 
  saya tanpa operasi!"

  Pertengahan Desember 1997, ketika akan pulang kerja, tempat parkir 
  ramai sekali. Karena saya mengendarai mobil sendiri, maka cukup 
  banyak tenaga yang harus saya keluarkan untuk menggerakkan 
  persneling. Sampai di rumah, karena saya merasa di bagian payudara 
  yang sakit ada cairan, saya segera masuk kamar dan membuka baju. 
  Betapa kagetnya, ternyata cairan yang keluar itu darah. Waktu itu 
  pukul 20.00 WIB. Steve ada di rumah. Karena saya takut ia tahu, maka 
  saya segera masuk kamar mandi. Betapa semakin terkejutnya saya 
  karena darah langsung menyembur melalui tiga lubang yang ada di 
  payudara saya. Darah mancur begitu derasnya. Rasanya sakit sekali, 
  tapi saya tidak berani berteriak. Saya hanya berdoa dengan kata-kata 
  yang diulang-ulang, "Darah Yesus, hentikan pendarahan saya!" Saya 
  khawatir kalau pendarahan itu tidak berhenti hingga membuat saya 
  pingsan, pasti situasi jadi kacau. Karena saya cukup lama di kamar 
  mandi, Steve pun mulai curiga. Dari luar ia menyapa, "Ma, kok lama 
  amat sih, di kamar mandi?"

  "Sebentar," jawab saya.

  Waktu Steve memanggil, darah mulai berhenti, tinggal menetes-netes 
  saja. Sambil tetap duduk, saya arahkan "shower" ke tembok yang penuh 
  darah dengan harapan Steve tidak curiga dengan apa yang terjadi. 
  Karena saya lemas dan tidak kuat berdiri, saya minta tolong kepada 
  Steve untuk membuatkan teh manis. Dalam tempo yang tidak terlalu 
  lama, Steve sudah menyiapkan teh manis dan segera mengetuk pintu 
  kamar mandi. Ketika pintu saya buka, Steve nampak kaget melihat 
  bercak-bercak darah yang menempel di tembok. Setelah menutup pintu, 
  karena takut banyak gerak dan khawatir darah keluar lagi, maka saya 
  cepat duduk. Teh langsung saya minum dan hal ini membuat tubuh saya 
  sedikit lebih segar. Saya lalu pakai kimono dan berusaha sedapat 
  mungkin untuk membuat kain kimono itu tidak menempel di payudara. 
  Saya pelan-pelan keluar dari kamar mandi dan langsung berbaring di 
  tempat tidur. Di pembaringan ini, sekalipun tidak banyak, darah 
  kembali keluar. Steve duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah 
  yang sangat sedih sambil mengamati tangan saya mengelap darah yang 
  keluar dengan tissue. Saya lalu bercerita pada Steve secara 
  kronologis tentang penyakit saya.

  Kira-kira pukul 02.00 dini hari, rasa sakit itu kambuh lagi. Padahal 
  sebelumnya saya sudah minum Ponstan 4 dan Beralgin 2. Sakit itu 
  begitu luar biasa, sampai-sampai untuk menahan sakit, sprei tempat 
  tidur saya yang dijepit peniti, saya tarik hingga robek. Karena 
  sakitnya tidak tertahankan, saya memanggil Steve, "Steve, ayo ke 
  sini, Mama sudah nggak tahan. Ayo kita berdoa karena Mama merasa 
  sakit sekali." Waktu itu saya merintih, "Tuhan tolong, saya sudah 
  tak kuat lagi. Saya sudah tak sanggup lagi."

  Sungguh ajaib, selesai berdoa, sakit itu langsung reda. Ketika saya 
  jatuh sakit, sambil menyelesaikan tugas akhirnya, Steve sudah 
  bekerja di sebuah kantor. Mungkin karena bingung bagaimana mengatur 
  studi, kerja, dan tanggung jawab untuk merawat saya, usai berdoa 
  Steve nampak bingung. Untuk memecahkan kebekuan ini, saya bilang, 
  "Steve kamu besok tetap saja kuliah dan bekerja. Yang penting 
  `handphone` kamu nyalakan terus. Nanti kalau ada apa-apa, Mama akan 
  hubungi." Steve pun setuju.

  Besoknya Steve berangkat kerja seperti biasa. Setelah Steve pergi, 
  saya telepon adik saya, Endang, yang bekerja sebagai suster di RS 
  Fatmawati. Saya menceritakan semua yang telah saya alami, termasuk 
  kapan kanker itu mulai saya temukan hingga pecah secara mengerikan 
  semalam. Hari itu juga saya dibawa ke RS Fatmawati. Sementara itu, 
  Endang menghubungi adik saya yang lain yang ada di Bandung, orang 
  tua saya yang di Amerika, termasuk bos saya di kantor. Setelah 
  mereka tahu, keluarga, orang di kantor, semua panik. Mereka terkejut 
  dan menyatakan rasa herannya karena baru mengetahui penyakit saya. 
  Tiba di rumah sakit, saya langsung dibawa ke UGD. Usai diperiksa, 
  hari itu juga saya diopname. Selama dirawat ini, saya selalu 
  mendengarkan lagu-lagu rohani, membaca buku-buku rohani, dan saya 
  merasa dikuatkan saat membaca buku "Mukjizat Terjadi Bila Anda 
  Berdoa". Di RS, saya dibiobsi dan menggunakan kursi roda karena 
  kondisi saya sangat lemah. Luka di payudara saya sangat besar dan 
  sering mengeluarkan darah. Karena keadaannya seperti ini, yang bisa 
  mengganti kasa yang melekat di luka saya hanya Endang. Suster lain 
  sudah gemetaran lebih dulu sehingga saya tak yakin kalau dia bakal 
  berhasil.

  Selesai Berdoa Ada Aliran Hangat Di Dada

  Setelah dirawat beberapa hari, kondisi saya tak juga membaik. Bahkan 
  dokter mengatakan pada adik saya, bahwa percuma saja saya dioperasi 
  sebab menurut hasil pemeriksaan, kanker sudah menjalar ke tulang dan 
  paru-paru, hanya bagian paru-paru kanan saja yang belum kena. Karena 
  kondisinya demikian, maka perawatan yang diberikan hanya sekadar 
  untuk memperbaiki gizi saya. Waktu itu dokter sudah memperkirakan 
  bahwa kondisi saya akan menurun, menurun, dan meninggal. Kepada adik 
  saya dokter juga bilang, "Tinggal menunggu harinya saja karena itu 
  senangkanlah hati kakak kamu."

  Hari itu hari Sabtu. Seperti biasa, sambil menunggu jadwal visitasi 
  dokter, saya terus mendengarkan lagu-lagu rohani dan membaca buku. 
  Suatu kali, di buku yang saya baca, dikisahkan ada seorang Bapak 
  yang sembuh dari sakit jantung selepas berdoa minta jantung yang 
  baru kepada Tuhan. Pengalaman Bapak ini kemudian saya adopsi. Sebab, 
  keadaan yang dialami si Bapak mirip benar dengan apa yang saya 
  alami. Saya kemudian membaca Alkitab dan mulai berdoa, "Tuhan, saya 
  tahu artinya kanker. Namun Tuhan, saya tahu juga bahwa Tuhan sanggup 
  sembuhkan saya. Tuhan, gantilah semua organ tubuh saya yang rusak 
  dengan organ yang baru. Demi nama Tuhan Yesus Kristus, saya sudah 
  disembuhkan!" Begitu saya mengucapkan "amin", saya yakin benar bahwa 
  Tuhan sudah sembuhkan saya 100 persen. Walau benjolan masih ada dan 
  luka masih menganga, saya yakin Tuhan telah menjawab doa saya. 
  Tiba-tiba saya merasa di bagian dada saya ada getaran hangat yang 
  mengalir. Saya gemetaran dan saya langsung menangis tersedu-sedu. 
  Saya sudah tidak malu lagi menangis di hadapan orang lain. Seketika 
  itu juga saya mengatakan, "Terima kasih Yesus. Terima kasih Tuhan 
  sebab Engkau sudah jawab doa saya."

  Pukul 09.00, dokter yang memeriksa saya tiba. Pukul 11.00, dengan 
  memakai kursi roda, saya dites lagi di USG. Setelah beberapa hari 
  kemudian, hasil pemeriksanaan keluar dan dinyatakan: tidak ditemukan 
  lagi kanker di tubuh saya! Mungkin karena tidak percaya, saya 
  diperiksa lagi secara lebih teliti. Saya menjalani USG termasuk di 
  bagian perut saya dan hasilnya bagus. Lalu dilakukan "bone scanning" 
  dari ujung kaki sampai kepala dan hasilnya di luar dugaan: tak ada 
  kanker lagi di tubuh saya. Dokter tidak percaya, lalu dilakukan 
  "scanning" ulang dengan alat yang lebih canggih dan hasilnya tetap 
  sama. Berita ini kemudian saya sampaikan kepada teman saya, Silvia.

  Silvia adalah salah satu dari banyak orang yang sangat setia 
  membesuk saya, membantu, dan juga menceritakan keadaan saya kepada 
  orang lain. "Astra," demikian ujar Silvia dengan menyebut nama 
  panggilan saya waktu kecil, "ini sungguh karya Tuhan Yesus. Tuhan 
  Yesus sungguh luar biasa!" Ketika saya memberitahukan hal ini kepada 
  bos saya dan istrinya, mereka juga mengatakan hal yang senada, "Wah, 
  ini benar-benar pekerjaan Tuhan. Sungguh hebat, luar biasa!" 
  Teman-teman lain yang mendengar berita ini semuanya bersyukur dan 
  terharu.

  Setelah dokter yakin benar bahwa kanker itu sudah tidak ada lagi, 
  saya tinggal menjalani penyinaran sebanyak tiga puluh kali. Akhirnya 
  saya diizinkan meninggalkan RS setelah dirawat selama kurang lebih 
  sebulan. Yang tak kalah menakjubkannya, sekalipun saya dirawat di 
  kamar ber-AC dengan biaya yang tentunya tak sedikit, ternyata Tuhan 
  secara ajaib juga telah menyediakan biayanya. Keluar dari RS, dokter 
  tetap menyarankan agar saya menjalani kemoterapi dan minum obat 
  kanker seumur hidup. Anjuran dokter ini saya lakukan hingga kurang 
  lebih 8 bulan lamanya. Suatu ketika, pada bulan Agustus 1988, saya 
  diajak Silvia, untuk mengikuti KKR Kesembuhan Ilahi yang diadakan di 
  Gedung Menara Era, Senen, Jakarta Pusat. Waktu itu pembicara KKR 
  mengatakan, "Mengapa Tuhan tidak bekerja secara luar biasa? 
  Jawabnya, karena pikiran kita selalu meragukan pekerjaan Tuhan. 
  Karena itu, bila kita ingin mendapatkan kesembuhan ilahi, kita harus 
  percaya, kita harus beriman 100 persen bahwa Tuhan sanggup 
  menyembuhkan."

  Setelah khotbah usai, dalam sesi tantangan, akhirnya saya berdoa dan 
  mengambil keputusan: "Sejak malam ini saya tidak akan lagi minum 
  obat kanker dan saya tidak mau dikemoterapi. Tuhan, terima kasih, 
  Engkau sudah menyembuhkan saya secara total. Amin." Malam itu bagi 
  saya menjadi malam bersejarah kedua atas penyakit kanker saya. Saya 
  mengimani bahwa Tuhan Yesus sudah melakukan mukjizat penyembuhan 
  atas kanker saya secara sempurna. Dan benar, sejak saat itu, 
  sekalipun saya tidak minum obat kanker dan tidak menjalani 
  kemoterapi, tapi sakit saya tak pernah kambuh alias 100 persen 
  sembuh total hingga sekarang.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: 10 Mukjizat yang Terjadi pada Orang Biasa
  Penulis: Ginny Awuy
  Penerbit: CBN Indonesia, Jakarta 2001
  Halaman: 17 -- 25
______________________________________________________________________

  "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya
  pada TUHAN!" (Yeremia 17:7)
  < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Yeremia+17:7 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Bersyukur karena Tuhan tidak pernah dan tidak akan meninggalkan
     anak-anak-Nya sendirian dalam penderitaan yang Ia izinkan 
     terjadi. Dia juga memberikan jawaban yang tepat dan terbaik untuk 
     mereka yang menaruh pengharapan hanya di dalam Dia.

  2. Doakanlah supaya orang-orang yang saat ini mengalami berbagai
     penderitaan karena sakit-penyakit, agar dapat lebih berserah dan 
     berpengharapan hanya kepada Juru Selamat kita.

  3. Berdoalah supaya kita, di tengah-tengah kehidupan zaman yang
     serba canggih dan cenderung membawa kita dalam kesesakan ini, 
     dapat lebih menyerahkan hidup serta segala sesuatu yang menjadi 
     harapan kita kepada Kristus Yesus. 
______________________________________________________________________

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) 2009 YLSA
YLSA -- http://www.ylsa.org/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti
Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org