Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/143

e-Wanita edisi 143 (20-8-2015)

Etika Kristen bagi Kaum Wanita


______________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen______________
                   TOPIK: Pergaulan Wanita Kristen
                        Edisi 143/Agustus 2015
                         
e-Wanita -- Etika Kristen bagi Kaum Wanita
Edisi 143/Agustus 2015


Salam kasih dalam Kristus,

Baik atau buruknya perilaku dalam arti moral adalah ranah kedaulatan 
bagi persoalan etika. Dalam etika Kristen, persoalan moral yang 
disorot akan ditakar dan diukur dengan menggunakan standar Alkitab. 
Berbicara mengenai etika Kristen berarti berbicara mengenai standar 
moral yang dilihat dari sudut pandang Alkitab, bukan hanya sekadar 
standar moral menurut arus dunia. Ada banyak persoalan dalam kehidupan 
yang dapat mengarah pada persoalan etika Kristen, salah satunya dalam 
masalah reproduksi. Publikasi e-Wanita edisi 143 ini akan 
mengetengahkan artikel mengenai pandangan etika Kristen terhadap 
reproduksi, terutama reproduksi yang menggunakan rekayasa teknologi. 
Baca pula kisah seorang wanita Iran di Amerika yang terpisah dengan 
suaminya di Iran karena menjadi pengikut Kristus melalui kolom Women 
to Women. Simak kedua artikel tersebut selengkapnya di edisi e-Wanita 
Agustus di bawah ini!

Pemimpin Redaksi e-Wanita,
N. Risanti
< okti(at)in-christ.net >
< http://wanita.sabda.org/ >


  WOMEN TO WOMEN: SEORANG ISTRI KHAWATIR TIDAK AKAN MENDENGAR SUARA 
                SUAMINYA LAGI SELAMA 8 TAHUN KE DEPAN

Pemerintah Amerika tidak yakin Saeed Abedini akan dapat dibebaskan 
dari penjara Iran.

Musim Semi di Idaho, Colorado, 28 Januari 2013 (Sumber: World Watch 
Monitor) - Istri dari seorang warga negara Amerika berkebangsaan Iran 
yang dijatuhi hukuman 8 tahun penjara khawatir tidak akan dapat 
bertemu dengan suaminya lagi sampai tahun 2021, kecuali pemerintah 
Amerika sanggup membebaskannya. Naghmeh Shariat Panahi mengatakan pada 
World Watch Monitor bahwa terakhir kalinya ia mendengar suara Saeed 
Abedini adalah melalui sambungan telepon internasional selama 3 menit 
pada 9 Januari lalu. Keluarga Abedini di Teheran, Iran, menempelkan 2 
telepon selular bersamaan -- satu telepon tersambung pada Naghmeh di 
Idaho, Amerika, sementara telepon yang lainnya tersambung pada Abedini 
di penjara Iran -- agar keduanya dapat saling bercakap-cakap. "Ia 
ingin mendengar suara anak-anak kami," ujar Naghmeh. Pasangan suami 
istri ini memiliki sepasang anak, Rebekka yang berusia 6 tahun dan 
Jacob yang berusia 4 tahun. Setelah percakapan telepon selama 3 menit 
itu selesai, Naghmeh mendengar bahwa ia tidak akan bisa menelepon 
suaminya lagi.

Saeed Abedini, 32 tahun, yang ditahan pada bulan September 2012 dan 
menjalani pengadilan sejak 21 Januari lalu, dijatuhi hukuman 8 tahun 
penjara karena dianggap mengancam stabilitas dan keamanan nasional 
Iran atas usahanya mendirikan gereja-gereja rumah. Ia adalah seorang 
berkebangsaan Iran yang meninggalkan Islam untuk menjadi pengikut 
Kristus pada tahun 2000, dan setelah itu giat melayani dalam pendirian 
gereja-gereja rumah kecil di Iran. Ia kemudian mendapatkan 
kewarganegaraan Amerika dan menetap bersama istri dan kedua anaknya di 
Idaho, Colorado. Pengacara Saeed mengatakan, ketika mendapat 
peringatan dari pemerintah Iran pada tahun 2009, kliennya telah setuju 
untuk berhenti mendirikan gereja-gereja rumah di Iran. Sejak itu, 
Saeed mengalihkan fokus pelayanannya pada pendirian panti asuhan umum 
dan ia telah berkali-kali mengunjungi Iran untuk menyelesaikan 
proyeknya tersebut.

Saat ini, berbagai macam cara sedang diupayakan oleh Tiffany Barrans, 
pengacara Saeed, agar Pengadilan Revolusioner Iran membatalkan hukuman 
dan membebaskan Saeed.

"Tindakan yang mungkin ampuh dalam membebaskan Saeed adalah bila 
pemerintah Amerika mengupayakan jalur diplomatik dalam kasus ini, 
yaitu dengan meminta bantuan negara-negara sekutu Amerika yang 
melakukan perdagangan dengan Iran agar memutuskan hubungan dan 
menghentikan perdagangan dengan negara tersebut," ujarnya kemudian. 
Saat ini, Iran memang sedang mengalami krisis perekonomian yang cukup 
parah. Sementara itu di Idaho, Amerika Serikat, Naghmeh yang menanti-
nantikan suami yang dicintainya itu mengatakan bahwa pihak yang 
berwenang beberapa kali mengunjunginya untuk menyampaikan perkembangan 
terbaru dari kasus tersebut, sekaligus memberikan dukungan moril 
padanya. "Mereka bilang mereka sangat peduli pada keluarga kami, 
tetapi nampaknya tidak ada kejelasan dan kepastian tentang kasus 
suamiku ini," katanya pada Open Doors.

Naghmeh, yang dilahirkan di Iran, tetapi dibesarkan di Amerika Serikat 
dan menjadi warga negara di sana, bertemu dengan Saeed saat 
mengunjungi keluarganya di Iran. Mereka kemudian menikah pada tahun 
2004 dan pindah ke Idaho setahun kemudian setelah Saeed diinterogasi 
oleh polisi Iran yang mencurigai aktivitas gereja rumah yang 
dilakukannya. Saat ini, Naghmeh tidak lagi dapat menghubungi suaminya 
via telepon maupun mengunjunginya di penjara Iran. "Inilah yang paling 
berat yang saya rasakan. Sebagai seorang Istri, tentunya saya sangat 
ingin mengunjungi suami saya. Namun, saya diancam akan dipenjarakan 
bila menginjakkan kaki di Iran. Bagaimana dengan anak-anak kami nanti? 
Kehilangan ayah dan ibu mereka ...," ujarnya sambil terisak. "Dukungan 
terbesar yang saya butuhkan adalah doa. Sebab, bila kami tidak 
berhasil membebaskannya dalam waktu dekat ini, selanjutnya akan sangat 
sulit untuk mengupayakan pembebasan suami saya. Mungkin baru bertahun-
tahun lagi kami dapat bertemu dan berkumpul kembali sekeluarga," 
lanjut Naghmeh sembari memeluk putra bungsunya, Jacob.

Diambil dan disunting dari:
Judul buletin: Frontline Faith
Edisi buletin: Maret -- April 2013
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Open Doors Indonesia, 2013
Halaman: 7


          DUNIA WANITA: PANDANGAN ETIKA TERHADAP REPRODUKSI

Sebuah studi dari Pew Research baru-baru ini menemukan bahwa sebagian 
besar orang Amerika tidak melihat fertilisasi in vitro (proses 
pembuahan sperma dan sel telur yang berlangsung di luar tubuh, dan 
kemudian meletakkan embrio sebagai hasil pembuahan tersebut ke dalam 
uterus/rahim dari pihak ketiga - Red.) sebagai isu moral. Pandangan 
dalam tradisi-tradisi keagamaan dewasa ini, termasuk para pendeta, 
tampaknya cenderung mengatakan bahwa fertilisasi in vitro (disingkat 
FIV) "bukanlah masalah moral" daripada mengkritisi atau menolaknya.

Sementara turut bersedih dengan orang-orang yang bergumul dengan 
masalah infertilitas (ketidaksuburan - Red.), orang-orang Kristen 
masih perlu melihat secara lebih hati-hati terhadap teknologi 
reproduksi saat ini, seperti FIV, dalam terang keyakinan kita terhadap 
Allah, kehidupan, tubuh kita, dan anak-anak kita.

Sejak zaman Perjanjian Lama, infertilitas telah menjadi bagian dari 
pengalaman manusia. Banyak dari kita mengenal seseorang yang telah 
berjuang mati-matian untuk memiliki anak atau bahkan mengalami sendiri 
kesulitan tersebut. Namun demikian, pada abad ke-21, infertilitas 
telah menemukan "pilihan", "solusi", dengan banyaknya teknologi yang 
menawarkan harapan bagi mereka yang ada di tengah-tengah kita, yang 
bergumul dengan masalah kesuburan. Daripada terburu-buru menjalankan 
prosedur tertentu yang mungkin memberikan seorang anak kepada kita --
FIV, pendonor sperma atau sel telur, rahim pembawa embrio/rahim 
pengganti --, kita harus mempertimbangkan penggunaan dan batasan-
batasan teknologi yang tepat.

Fakta bahwa begitu banyak orang gagal dalam mempertimbangkan implikasi 
moral dari FIV, menunjukkan bahwa pada masa perawatan kesuburan, 
penggantian rahim, dan pembentukan keluarga modern melalui kemitraan 
orang tua, rahim seorang wanita dipandang sebagai suatu wadah yang 
dapat diganti-ganti. Acara The New Normal dari NBC (Sebuah stasiun 
televisi terkemuka di Amerika Serikat - Red.) melontarkan kata bahwa 
para wanita adalah "oven yang untuk mudah memanggang" dan anak-anak 
adalah "cupcakes" (Kue mangkuk yang berwarna-warni dan dihias indah -
Red.).

Dalam Alkitab, Allah menegaskan bahwa apa yang terjadi di dalam rahim 
adalah penting, dan tidak dapat dipandang remeh atau tidak dipandang 
hormat. Rahim, tempat Allah pertama kali menenun kita semua (Mazmur 
139:13-14), bukanlah tempat yang bisa diganti-ganti bagi seorang anak 
untuk tumbuh dan berkembang. Bahkan, ilmu pengetahuan modern telah 
membuktikan betapa pentingnya masa kandungan 9 bulan, baik bagi ibu 
maupun anak.

Dalam bukunya "The Primal Wound" (Luka yang Pertama - Red.), Nancy 
Verrier, seorang terapis yang terkenal dalam bidang pernikahan dan 
keluarga, menulis tentang bagaimana para ibu secara biologis, 
hormonal, dan emosional diprogram untuk terikat dengan bayi mereka 
selama berada di dalam rahim sampai lahir. Seorang bayi mengenal 
ibunya saat ia lahir, dan entah ibu maupun bayinya akan mengalami 
kesedihan yang mendalam ketika terjadi pemisahan dalam peristiwa 
kelahiran. Luka yang pertama ini selalu ada selamanya.

Dengan kata lain, tidak ada kata lain semudah metafora Easy-Bake 
(Pemanggangan yang mudah - Red.). Dalam kasus penggantian rahim, kita 
dapat menganggu ritme alami ibu dan anak, dan menimbulkan risiko 
buruk. (Perlu dicatat bahwa penggantian rahim berbeda dari adopsi 
karena penggantian rahim sengaja menciptakan situasi yang menuntut 
bahwa seorang wanita tidak terikat dengan anak yang dikandungnya.)

Bersama Pusat Bioetika dan Kebudayaan, saya sedang mengerjakan sebuah 
film dokumenter tentang penggantian rahim. Dan, dalam wawancara kami, 
saya sedih mendengar cerita mengenai kompleksnya proses ini secara 
langsung -- bahkan, ketika setiap orang mengawalinya dengan niat yang 
paling baik. Seorang ibu ingin melakukan penggantian rahim diminta 
untuk melakukan aborsi karena anak yang dikandungnya memiliki cacat 
genetik. Anak-anak yang lain dari ibu yang melakukan penggantian rahim 
merasa terluka karena ibu mereka membuang bayi tersebut. Seorang 
wanita yang melayani sebagai penyedia rahim pengganti untuk kakaknya 
dan iparnya masih memperebutkan hak asuh atas anak mereka yang 
sekarang sudah bersekolah. Bahkan, Elton John (Penyanyi Inggris 
terkenal yang berorientasi sebagai kaum homoseksual - Red.), yang 
merayakan kelahiran anak-anaknya dengan bantuan donor telur dan ibu 
yang menyediakan rahim pengganti, mengakui bahwa sungguh menyedihkan 
menyadari bahwa anak-anaknya akan tumbuh tanpa seorang ibu.

Sebagai tanggapan atas teknologi dan prosedur reproduksi yang 
membantu, potongan-potongan kebijakan dan hukum yang ganjil di Amerika 
mencoba melindungi para orang tua daripada para perempuan yang 
menyediakan rahim pengganti atau anak-anak yang mereka kandung. 
Perdebatan legislatif sering terjadi tanpa pemikiran yang lebih besar 
atas daya tarik praktik ini, atau betapa hal ini dapat membahayakan 
keluarga dan masyarakat.

Sebagai contoh, tahun ini, di Louisiana, seorang senator negara 
memperkenalkan undang-undang yang akan mengizinkan kontrak penggantian 
rahim bagi pasangan heteroseksual. Para pembuat undang-undang, yang 
telah pergi ke negara bagian lain untuk melakukan kontrak dengan 
seorang wanita yang ingin melakukan penggantian rahim untuk memiliki 
anak, menjelaskan penggantian rahim seperti proses memanggang roti 
dalam oven, sebuah perbandingan yang -- seperti telah saya sebutkan 
sebelumnya -- meremehkan masalah-masalah yang jelas-jelas terlibat. 
Sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, wanita bukan 
oven, dan tubuh mereka bukan periuk sederhana untuk digunakan, dijual, 
disewakan, atau dipinjamkan.

Gubernur Louisiana, Bobby Jindal, sangat menyadari implikasi dari 
hukum yang baru ini, dan dalam memveto (menggunakan hak untuk menolak 
- Red.) RUU, ia menulis:

"Pembuatan struktur peraturan dengan sanksi dari negara untuk kontrak 
yang berkaitan dengan kelahiran anak menghasilkan pengaruh yang sangat 
besar terhadap lahirnya keluarga tradisional ...."

Permulaan tradisional bagi orang-orang yang mengakui pandangan Kristen 
mencakup pengajaran Alkitab mengenai kehidupan yang merupakan anugerah 
Tuhan, lebih baik daripada pemikiran dunia modern yang menganggap anak 
sebagai suatu hak atau jatah. Pandangan Kristen juga menyatakan 
pandangan kami mengenai pria dan wanita, pernikahan, dan misteri 
mengenai dua tubuh menjadi satu. Di dalam misteri ini, proses 
penciptaan adalah sebuah tindakan cinta, yang melaluinya kita menerima 
berkat dengan kehadiran anak-anak.

Mungkin, inilah saatnya untuk menyadari bahwa saudara-saudari kita 
yang Katolik sudah benar dalam hal ini, dan bahwa kaum Protestan dan 
Injili harus hati-hati mempertimbangkan apa yang harus mereka katakan. 
Dari Katekismus Gereja Katolik disebutkan:

"Teknik yang memerlukan pemisahan diri dari suami dan istri, melalui 
masuknya orang lain selain pasangan (sumbangan sperma atau ovum, rahim 
pengganti), benar-benar tidak bermoral. Teknik tersebut (inseminasi 
dan fertilisasi buatan yang heterogen) melanggar hak anak untuk 
dilahirkan dari ayah dan ibu yang dikenalnya, dan terikat satu sama 
lain oleh pernikahan. Mereka mengkhianati hak pasangan untuk menjadi 
ayah dan ibu, hanya melalui keberadaan satu dengan yang lain."

Rahim yang tidak dapat melahirkan anak adalah sebuah kepedihan hati 
dan kesedihan yang mendalam. Namun, bukankah itu sama seperti 
penderitaan lain yang harus kita pikul? Dalam hal apa pertanyaan Ayub, 
"Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau 
menerima yang buruk?" dapat memengaruhi pemikiran kita tentang 
infertilitas?

Puluhan tahun lalu, contoh-contoh situasi yang menandai realitas hari 
ini dalam program bantuan reproduksi akan tampak terlalu mengada-ada 
dan bahkan mungkin gila. Akan tetapi, selama 20 tahun lebih, kaum 
Protestan tidak melakukan upaya keras mengenai pemikiran Kristen 
tentang infertilitas atau tentang teknologi reproduksi yang baru 
seperti FIV, donasi sperma dan telur, dan penggantian rahim. Dunia 
baru yang berani sudah ada di sini, dan kita tidak dapat mengabaikan 
atau mengesampingkan masalah ini lagi. (t/N. Risanti)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Christianity Today
Alamat URL: http://www.christianitytoday.com/women/2013/august/overlooked-ethics-of-reproduction.html?paging=off
Judul asli artikel: The Overlooked Ethics of Reproduction
Penulis artikel: Jennifer Lahl
Tanggal akses: 16 Februari 2015


Kontak: wanita(at)sabda.org
Redaksi: N. Risanti dan Mei
Berlangganan: subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-wanita/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org