Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/123

e-Wanita edisi 123 (23-1-2014)

Kesempatan bagi Wanita dalam Melaksanakan Amanat Agung

_____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen_______________ 
     TOPIK: Kesempatan bagi Wanita dalam Melaksanakan Amanat Agung                 
                     Edisi 123/Januari 2014

e-Wanita -- Kesempatan bagi Wanita dalam Melaksanakan Amanat Agung
Edisi 123/Januari 2014

Shalom, 

Tuhan berkenan memakai pria dan wanita untuk menggenapi rencana-Nya, apalagi 
untuk menjangkau jiwa-jiwa. Oleh karena itu, wanita seharusnya tidak dianggap 
sebagai warga kelas dua dalam penginjilan. Dahulu, wanita memang memiliki 
keterbatasan dalam menginjil, tetapi sekarang, wanita memiliki kesempatan luas 
untuk menginjil. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan setiap kesempatan untuk 
memberitakan firman Tuhan. Ketekunan dan kesungguhan para wanita lajang dalam 
artikel yang kami sajikan dalam edisi ini, kiranya memotivasi Sahabat Wanita 
untuk mengambil bagian dalam penginjilan. Hai Wanita, mari laksanakan Amanat 
Agung Tuhan dengan sekuat tenaga. Tuhan beserta kita.

Pemimpin Redaksi e-Wanita,
S. Setyawati
< setya(at)in-christ.net >
< http://wanita.sabda.org/ >


                    RENUNGAN WANITA: WANITA DEWASA

"Saudara-saudara janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. Jadilah 
anak-anak dalam dalam kejahatan, tetapi orang dewasa dalam pemikiranmu!" (1 
Korintus 14 :20)

Wanita ... menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan, pernyataan 
tersebut sangat tepat karena umur tidak dapat menjadi patokan untuk menentukan 
sudah atau belum dewasanya seseorang.

Orang yang sudah tua belum tentu dewasa, tetapi orang yang masih muda bisa saja 
bersikap dewasa. Sebagai wanita kristiani, kita dituntut untuk memiliki sikap 
yang dewasa. Sikap dewasa itu akan sangat menentukan ketika Sobat Wanita menemui 
orang-orang dengan berbagai macam karakter dan saat menjalin hubungan dengan 
mereka. Wanita yang bersikap dewasa adalah wanita yang peka dan mampu 
menyesuaikan diri dengan lingkungan, di mana pun ia berada. Kita mampu bersikap 
supel dan mudah bergaul dengan siapa pun tanpa mengubah kepribadian kita sebagai 
wanita kristiani. Wanita yang bersikap dewasa juga ditunjang oleh penampilan, 
tetapi penampilan yang tampaknya dewasa itu akan lebih baik jika diimbangi 
dengan sikap dewasa dalam diri kita. Jangan sampai ada kesan "jaim" atau jaga 
image.

Wanita dengan sikap dewasa pasti memiliki karisma, tetapi bukan berarti orang 
yang pendiam dapat dikatakan lebih dewasa daripada orang yang ceria. Wanita 
dengan sikap dewasa tentu selalu berbicara menggunakan kata-kata positif, 
membangun, menyemangati, bahkan mewartakan tentang kebaikan Tuhan (Efesus 4:29). 
Menjadi dewasa juga bukan berarti merasa lebih pintar, bersikap menggurui, dan 
pendapatnya benar (1 Korintus 4:5). Wanita dengan sikap dewasa tentu tidak 
mementingkan diri sendiri atau egois seperti anak-anak, tetapi rendah hati dan 
menganggap yang lain lebih utama dari dirinya (Filipi 2:3-4). Sobat Wanita, kini 
saatnya kita mengukur kedewasaan rohani kita. Apakah kita masih kanak-kanak atau 
sudah dewasa?

Kedewasaan seseorang dapat dilihat dari sikap dan pola pikir seseorang.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Renungan Harian Wanita
Alamat URL: http://www.harianwanita.com/?p=1499
Penulis: Tidak dicantumkan
Tanggal akses: 6 Desember 2013


       DUNIA WANITA: MISIONARIS WANITA LAJANG: "WARGA KELAS DUA"

Sejak dahulu, wanita sudah memiliki peran dalam dunia penginjilan. Dari zaman 
Perjanjian Baru, gereja mula-mula dan zaman Abad Pertengahan, sampai ke periode 
misi modern, pelayanan wanita sangat luar biasa. Para istri Moravia bahkan 
sangat menonjol dan berdedikasi terhadap dunia pelayanan, seperti juga para 
istri misionaris (misalnya, Adoniram Judson dan Hudson Taylor). Namun, ada juga 
para istri yang setia melayani meski sebenarnya tidak menyukai apa yang mereka 
lakukan. Kita tidak akan pernah tahu berapa jumlah istri yang tetap setia 
melayani meskipun itu bukanlah yang mereka ingini. Edith Buxton, dalam bukunya 
"Reluctant Missionary" (Misionaris yang Enggan), mengisahkan perjuangan dan 
ketidakbahagiaannya menjalani kehidupan sebagai seorang misionaris asing sebelum 
akhirnya ia mengetahui bahwa pelayanan ini adalah kehendak Tuhan; serta Pearl 
Buck yang mengisahkan tahun-tahun penuh ketidakbahagiaan yang dijalani ibunya 
sebagai istri seorang misionaris di China, sebelum akhirnya dia dapat menerima 
pekerjaannya.

Sebaliknya, ada jauh lebih banyak wanita lajang yang merasa bahwa Tuhan memang 
menginginkan mereka bekerja di ladang misi. Mereka merasa tertantang dengan 
adanya tuntutan yang besar di dunia luar. Para istri, dengan segala tanggung 
jawab rumah tangga dan anak yang harus dirawatnya, tentu tidak sanggup 
menanggung beban ini. Walaupun publik menentang mereka berkecimpung dalam ladang 
misi, pada awal tahun 1820-an, satu per satu wanita lajang mulai merambah ke 
luar negeri.

Wanita lajang berkebangsaan Amerika (bukan janda) pertama yang menjadi 
misionaris asing adalah Betsy Stockton. Ia adalah seorang wanita kulit hitam dan 
bekas budak yang pergi ke Hawaii pada tahun 1823. Ia bergabung dengan American 
Board dan mereka setuju untuk mengirimnya ke luar negeri, namun hanya sebagai 
pembantu lokal untuk pasangan misionaris lain. Terlepas dari rendahnya posisi 
itu, Betsy dianggap memiliki kemampuan untuk mengajar sehingga diizinkan untuk 
merintis satu sekolah. Menanggapi kebutuhan akan seorang guru wanita lajang, 
Chyntia Farrar yang berasal dari New Hampshire, bertolak ke Bombay pada tahun 
1820-an. Ia melayani dengan setia selama 34 tahun di bawah naungan badan Marathi 
Mission.

Diskriminasi terhadap wanita lajang menyebabkan munculnya konsep baru tentang 
misionaris asing, yaitu "lembaga wanita". Persepsi ini muncul pertama kali di 
Inggris dan dengan cepat menyebar sampai ke Amerika. Sampai tahun 1900, ada 
lebih dari empat puluh kelompok misi wanita di AS. Karena adanya "lembaga 
wanita" ini, jumlah wanita lajang di ladang misi meningkat pesat, bahkan 
melampaui jumlah misionaris pria. Di Provinsi Shantang, China, data statistik 
yang berkaitan dengan Lembaga Baptis dan Presbytarian menunjukkan ada 79 wanita 
berbanding 46 pria. Pada dekade selanjutnya, perbandingan itu meningkat menjadi 
2:1.

Dalam bukunya, "Western Women in Eastern Lands" (Wanita Barat di Tanah Timur) 
yang diterbitkan tahun 1910, Helen Barret Montgomery mengisahkan langkah 
mengagumkan yang dilakukan para wanita di dunia penginjilan.

"Benar-benar cerita yang mengagumkan .... Kami memulai semua ini dalam 
ketidakberdayaan, tetapi sekarang, kami dikuatkan. Pada tahun 1861, hanya ada 
seorang misionaris bernama Miss Marston di Burma. Tahun 1909 ada 4.710 
misionaris wanita lajang, 1.948 di antaranya berasal dari AS. Tahun 1861 hanya 
ada satu organisasi wanita, namun telah berkembang menjadi 44 pada tahun 1910. 
Pendukungnya semula hanya beberapa ratus, tetapi kini mencapai sedikitnya dua 
juta orang. Dana yang tersedia awalnya hanya dua ribu dolar dan tahun 1982 
meningkat menjadi empat juta dolar. Dan, kalau awalnya hanya ada seorang guru, 
pada awal tahun Yobel mencapai 800 guru, 140 dokter, 380 penginjil, 79 perawat, 
5.783 wanita pengajar Alkitab dan pembantu asli (native). Dari 2.100 sekolah, 
ada 260 sekolah tinggi dan sekolah asrama. Ada 75 rumah sakit dan 78 apotek .... 
Ini suatu prestasi yang patut dibanggakan para wanita. Namun, ini hanyalah 
permulaan yang sederhana dari apa yang bisa dan yang mampu dikerjakan wanita, di 
saat kegerakan siap dimulai."

Namun, apa yang sebenarnya mendorong para wanita lajang itu hingga rela 
meninggalkan keluarga dan tanah airnya, bahkan hidup dalam kesulitan, 
kesendirian, dan pengorbanan? Tampaknya, alasan terbanyak adalah karena kecilnya 
kesempatan bagi wanita lajang untuk melayani sepenuh waktu di tanah air mereka. 
Pelayanan Kristen dianggap sebagai pekerjaan pria. Beberapa wanita dari abad ke-
19, seperti Catherine Booth, mencoba terjun ke dalam dunia yang didominasi oleh 
para pria ini, namun juga mendapat tentangan. Wanita lainnya bekerja di dunia 
sekuler. Florence Nightingale misalnya, sangat rindu untuk melayani Tuhan dalam 
pelayanan Kristen, tetapi tidak mendapat kesempatan. Itulah alasan mengapa 
ladang misi menjadi wadah bagi para wanita yang ingin melayani Tuhan.

Selain itu, ladang misi juga penuh dengan pelayanan dan semangat yang menyala-
nyala. Wanita dari golongan miskin pun bisa terangkat statusnya melalui karier 
misionaris ini. Namun, pengaruh yang paling kuat adalah feminisme. Masuknya 
wanita Amerika ke dalam dunia misi, menurut R. Pierce Beaver, dianggap sebagai 
gerakan feminis pertama di Amerika Utara. Meski sebagian besar misionaris wanita 
bukan penganut feminisme, usaha mereka untuk menyelami dunia pria adalah bukti 
adanya rasa kesetaraan antara wanita dan pria, yang sedikit banyak dibantu oleh 
perkembangan "lembaga wanita".

Wanita lajang memiliki kesempatan unik yang tidak dapat dilakukan pria. Injil 
bisa menembus ke dalam budaya dan agama kuno adalah karena pekerjaan wanita 
(meskipun tak dapat disangkal juga bahwa di beberapa daerah, wanita hanya bisa 
bekerja bila sudah ada pria yang memulainya terlebih dahulu). Selain itu, wanita 
juga tidak terikat tanggung jawab terhadap keluarga. Menanggapi kebebasan 
tersebut, H. A. Tupper, sekretaris Southern Baptist Foreign Mission Board 
(Lembaga Misi Baptis Selatan), menyurati Lottie Moon pada tahun 1879, "Pekerjaan 
seorang wanita lajang di China setara dengan dua pria yang sudah menikah." 
Namun, karena merasa kesepian, tekanan, dan kondisi yang buruk, banyak 
misionaris wanita lajang yang menyerah dan meninggalkan ladang misinya.

Wanita memang lebih unggul di hampir semua aspek dunia misionaris, tetapi dalam 
bidang medis, pendidikan, dan penerjemahan, kemampuan mereka sangat berpengaruh. 
Rumah sakit dan sekolah kedokteran adalah dua di antara banyak hasil yang 
diraih, termasuk di antaranya salah satu sekolah medis terbaik di dunia yang 
berlokasi di Vellore, India. Mereka juga mendirikan banyak sekolah lainnya, 
termasuk sebuah universitas di Seoul, Korea, dengan jumlah mahasiswa yang 
mencapai delapan ribu orang. Kitab Injil untuk pertama kalinya diterbitkan dalam 
ratusan bahasa asing. Namun, jika ada satu generalisasi yang bisa ditarik dari 
misionaris wanita dan pelayanannya, itu adalah tekad mereka untuk merintis 
pelayanan yang sulit. "Semakin sulit dan berbahaya suatu pelayanan, rasio wanita 
dibanding pria akan semakin tinggi," tulis Herbert Kane.

Keunikan wanita dalam dunia pelayanan adalah mereka umumnya lebih mudah mengakui 
kelemahan dan menerima kritikan. Mereka juga lebih mewakili kehidupan pelayanan 
seorang hamba Tuhan. Lottie Moon, Maude Carys, dan Helen Roseveares memberikan 
pemahaman tentang kehidupan misi modern kepada para murid. (t/Lanny)

Sumber asli:
Judul buku: From Jerusalem to Irian Jaya
Judul asli: Single Woman Missionaries: "Second-class Citizens"
Penulis: Ruth A. Tucker
Penerbit: Academie Books, Grand Rapids, Michigan 1983
Halaman: 231 -- 234

Diambil dari:
Nama situs: e-Misi
Alamat URL: http://misi.sabda.org/misionaris_wanita_lajang_warga_kelas_dua
Tanggal akses: 11 Desember 2013


          STOP PRESS: BERGABUNGLAH DALAM KELAS PASKAH DARI YLSA!

Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org > melalui program Pendidikan Elektronik 
Studi Teologi Awam (PESTA) kembali membuka Kelas PASKAH 2014. Kelas diskusi 
Paskah mempelajari tentang arti Paskah dalam Perjanjian Lama maupun dalam 
Perjanjian Baru. Secara khusus, kelas ini membahas mengenai isu-isu kebangkitan 
Yesus Kristus dan maknanya bagi kehidupan Kristen.

Kelas diskusi ini akan dilaksanakan melalui milis (email) selama 1 bulan (3 
Maret -- 8 April 2014). Bagi Bapak/Ibu yang mengikuti kelas diskusi ini, silakan 
mendaftarkan diri ke Admin PESTA di < kusuma(at)in-christ.net >. Kami tunggu!


Kontak: wanita(at)sabda.org
Redaksi: S. Setyawati dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-wanita/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org