Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/62

e-Wanita edisi 62 (16-6-2011)

Aborsi 2

_____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen_______________
                           TOPIK: Aborsi 2
                          Edisi 62/Juni 2011

MENU SAJI
DUNIA WANITA: ABORSI: MASALAH ETIS-ROHANI 2

Shalom,

Dalam edisi yang lalu, kita telah menyimak masalah aborsi dengan
segala pengertian dan sudut pandang secara umum. Kali ini adalah
lanjutan dari topik tersebut. Pada bagian ini akan dijelaskan
dampak-dampak secara psikologis yang dialami oleh para pelaku aborsi
serta apa yang salah dari hal yang melatarbelakangi tindakan aborsi
tersebut.

Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.

Staf Redaksi e-Wanita,
Fitri Nurhana
< http://wanita.sabda.org/ >

             DUNIA WANITA: ABORSI: MASALAH ETIS-ROHANI 2

Dampak Psikologis pada Pelaku Aborsi

Dampak psikologis pada pelaku aborsi (wanita yang mengandung)
bervariasi, baik dalam jenis maupun intensitasnya. Sudah tentu akan
ada sebagian pelaku yang akan berkata bahwa aborsi tidak memberi
dampak negatif sedikit pun, malah aborsi memberikan rasa lega karena
bebas dari masalah. Saya tidak menyangkali akan adanya reaksi seperti
itu, sebab bagaimana pun peranan hati nurani sangatlah besar dalam hal
dampak psikologis ini. Jika kita tidak memedulikan (membukakan mata
terhadap) jeritan hati nurani, maka kita pun akan mampu membenarkan
segala tindakan kita. Namun yang benar tetap benar dan yang salah
tetap salah, ada atau tidaknya dampak psikologis tidaklah relevan. Di
bawah ini saya akan menguraikan beberapa jenis dampak psikologis yang
mungkin dialami oleh pelaku aborsi.

Rasa Bersalah

Perasaan bersalah karena telah menghilangkan nyawa atau kehidupan
seseorang sering kali muncul setelah aborsi. Tanpa ragu pemazmur
menyebut statusnya dalam kandungan sebagai bakal anak, "mata-Mu
melihat selagi bakal anak ..." (Mazmur 139:16). Alkitab terjemahan New
International Version (NIV) menggunakan istilah "my unformed body"
sedangkan The Defender`s Study Bible menjelaskan bahwa makna dalam
bahasa Ibraninya berarti embrio (janin atau bakal anak). Setiap wanita
yang hamil akan merasakan bahwa yang hadir di dalam tubuhnya bukanlah
sekadar gumpalan daging. Segumpal daging sampai kapan pun tidak akan
bermetamorfosis menjadi manusia, sedangkan janin yang hidup akan
bertumbuh kembang menjadi manusia. Meski belum bertumbuh lengkap,
seorang bayi tetap seorang manusia dan pengetahuan naluriah ini tidak
bisa begitu saja dikesampingkan. Itulah sebabnya, salah satu respons
emosional setelah aborsi ialah rasa bersalah.

Rasa bersalah pascaaborsi merupakan rasa bersalah ganda. Pelaku aborsi
sudah menyadari bahwa aborsi adalah tindakan yang salah namun dengan
penuh kesadaran ia menjalaninya. Jauh lebih mudah bagi kita untuk
mengampuni diri karena kesalahan yang kita perbuat dalam
ketidaktahuan. Namun dalam kasus aborsi, pelakunya sudah tahu salah
tetapi terus memilih untuk melaksanakannya. Ini yang saya maksud
dengan rasa bersalah ganda. Masalahnya adalah rasa bersalah ganda
menyulitkan pelaku aborsi mengampuni diri sehingga pada akhirnya rasa
bersalah ini terus menggenangi hati pelaku aborsi. Dan, untuk
mengatasi rasa bersalah ini pelaku aborsi cenderung berupaya melupakan
perbuatannya ini.

Rasa Malu

Rasa bersalah muncul karena pelaku aborsi tahu bahwa ia telah
melakukan suatu perbuatan yang salah. Rasa malu timbul karena pelaku
aborsi tahu bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang tak terpuji.
Sekali lagi, rasa malu yang dialaminya merupakan rasa malu ganda pula.
Pelaku aborsi malu bukan saja karena ia telah melakukan aborsi, ia pun
malu karena telah berhubungan seks di luar pernikahan
(setidak-tidaknya ini adalah salah satu penyebab aborsi yang paling
umum). Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada pelaku aborsi yang dengan
mudah mengakui perbuatannya, sekalipun ia tidak memandang aborsi dari
sudut etis-rohani. Ia cenderung menyimpan perbuatannya itu karena ia
menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukanlah suatu tindakan terpuji.

Rasa malu karena telah mengerjakan sesuatu tidak terpuji berpotensi
memengaruhi konsep diri kita. Dengan terpaksa pelaku aborsi harus
mengikutsertakan data tambahan yang tidak terpuji ini ke dalam
gambaran atau konsep tentang siapa dirinya. Mungkin sekali ia mulai
memandang dirinya tidak sebaik atau sepositif dulu. Perubahan konsep
diri sudah tentu berimbas pada perilakunya pula. Pelaku aborsi bisa
mulai merasa tidak layak diterima oleh yang lain atau merasa tidak
sepatutnya mendapatkan perhatian dari "pemuda yang baik-baik".

Pelaku aborsi dapat pula mengembangkan perilaku menutup diri demi
menjaga kelestarian rahasia yang memalukan dirinya itu. Ia merasa
bahwa sekarang ia telah cacat tanpa mendapatkan kesempatan untuk
memperbaiki diri. Tidak ada yang dapat diperbuatnya untuk
menghilangkan noda dalam hidupnya itu. Ia hanya bisa menunduk sedih
dan malu.

Rasa Tercemar

Pada umumnya wanita lebih peka dengan kesakralan tubuhnya dibanding
pria. Itulah sebabnya, konsep pencemaran lebih sering dikenakan pada
wanita daripada pria. Aborsi dapat membuahkan perasaan tercemar pada
pelakunya oleh karena pelbagai sebab. Dalam kasus hubungan seks
pranikah, pelaku aborsi datang ke klinik aborsi dengan perasaan
tercemar karena hubungan seks pranikahnya itu. Aborsi itu sendiri
memberi dampak pencemaran karena prosedurnya yang "intrusif". Dalam
klinik yang tidak profesional, perawat pria turut terlibat dalam
prosedur aborsi yang membuat pelaku aborsi terpaksa mengekspos diri di
depan para pria asing ini. Prosedur aborsi yang melibatkan pemasukan
alat ke dalam bagian tubuh yang paling pribadi ini juga menelurkan
rasa tercemar.

Perasaan tercemar juga timbul karena pelaku aborsi mengetahui bahwa
sesuatu yang tidak suci sedang dilakukan pada tubuhnya. Penghilangan
hidup bukanlah tindakan kudus dan hal ini disadari oleh pelaku aborsi
sendiri. Itulah sebabnya, aborsi dapat memunculkan perasaan tercemar
pada pelakunya. Ia tidak merasa suci bukan saja karena ia telah
melakukan sesuatu yang tidak suci yang akhirnya membuahkan bayi dalam
rahimnya. Ia merasa tercemar karena ia membiarkan tindakan yang tidak
suci (aborsi) dilakukan pada dirinya.

Rasa Marah

Penyesalan dan kemarahan biasanya berjalan berdampingan. Pelaku aborsi
memang akan merasa lega karena lepas dari permasalahan yang
mengikatnya. Namun kelegaan ini tidak berjalan dengan mulus sebab
penyesalan pun mulai merangkak masuk. Penyesalan muncul karena pelaku
aborsi menyayangkan mengapa pada akhirnya ia harus mengalami suatu
peristiwa yang begitu tidak mengenakkan. Ia juga menyesali mengapa ia
tidak lebih tegas terhadap keinginan kekasihnya dan keinginannya
sendiri. Penyesalan mengemuka ke atas sewaktu pelaku aborsi menengok
ke belakang dan melihat kehidupannya yang salah arah yang akhirnya
berakibat serius.

Kemarahan adalah reaksi yang sering muncul setelah penyesalan.
Kemarahan ini berobjek ganda: pertama, marah terhadap pria yang
berhubungan dengannya, dan kedua, marah terhadap dirinya sendiri.
Kemarahan terhadap pria itu bisa timbul karena banyak faktor. Ia
mungkin marah karena pada dasarnya ia tidak terlalu butuh dan ingin
berhubungan seks dengannya. Ia mungkin melakukannya karena hendak
menyenangkan hati kekasihnya atau karena tidak ingin mengecewakan
pacarnya itu. Ia bisa pula marah karena merasa bahwa pada akhirnya, ia
hanyalah alat pemuas nafsu pria dan sekarang terpaksa menanggung
sesuatu yang sebenarnya bukan akibat kesalahannya.

Dalam kasus seorang kekasih yang menolak untuk terlibat atau
bertanggung jawab, kemarahan pelaku aborsi sudah tentu akan berlipat
ganda. Ia benar-benar merasa dicampakkan, seperti peribahasa "habis
manis sepah dibuang". Kemarahan pada dirinya berwujud dalam
sesalan-sesalan seperti, "Betapa bodohnya aku", "Mengapa aku tidak
bisa menjaga diriku", "Mengapa aku bisa berbuat sejauh itu", atau
"Betapa teganya aku menghilangkan kehidupan anakku sendiri". Aborsi
dapat membuat pelakunya membenci diri; ia memarahi diri yang "telah
berbuat sekejam itu", yang "tidak bertanggung jawab", yang "tidak
layak mendapat pengampunan Tuhan", dan yang "munafik". Dicampur dengan
penyesalan dan rasa bersalah, pelaku aborsi dapat mengalami
penderitaan batin yang sangat berat.

Rasa Kecewa

Pelaku aborsi juga bisa mengalami rasa kecewa yang dalam. Kecewa bahwa
ia harus mengambil tindakan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kecewa karena apa yang selalu didengarnya terjadi pada orang lain
sekarang malah menimpanya. Kecewa karena ia tidak sanggup memikirkan
alternatif penyelesaian yang lain dan terpaksa mengambil jalan pintas
yang ia sadari salah. Kecewa karena sesungguhnya ia tahu bahwa masih
ada pilihan lain yang dapat diambilnya namun tidak sanggup
dilakukannya yakni memelihara bayi dalam kandungannya.

Kekecewaannya yang mendalam ini dapat membuatnya kecewa terhadap hidup
dan mungkin bisa membawanya ke krisis rohani. Hidup tidak seindah yang
ia bayangkan dan harapkan sebelumnya; ia merasa kecewa karena pada
akhirnya ia menjadi bagian dari noda kehidupan dan kecacatan dunia. Ia
mungkin kecewa terhadap "pemeliharaan Tuhan" dan mempertanyakan
mengapa Tuhan tidak mencegahnya melakukan hubungan seks. Ia mulai
bertanya mengapa Tuhan membiarkannya terjerumus begitu dalam.

Di dalam kekecewaannya ia mungkin merasa terisolasi dari
lingkungannya, hidupnya, dan juga Tuhan. Ia merasa bahwa kini ia telah
menjadi seseorang yang berbeda; perasaan "Aku tidak seperti yang dulu
lagi" melekat dengan kuat pada batinnya. Ia merasa orang lain tidak
lagi dapat memahami pergumulannya, hidup ini tidak adil, dan Tuhan
telah menjauhkan diri darinya. Ia merasa kesendirian yang dalam dan
meski tampil sama seperti biasanya, hatinya hampa dan sunyi. Ia merasa
kecewa.

Seks Tanpa Garis Rohani = Sub-Manusia

Kemuliaan kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tertinggi terletak
pada kapasitas rohaninya. Kapasitas rohani ini memungkinkan manusia
memberi respons kepada inisiatif Tuhan dan pada akhirnya mengenal hati
Tuhan. Sebaliknya, sebagai makhluk rohani manusia pun tunduk pada
hukum rohani yang Tuhan tetapkan. Itulah sebabnya, istilah dosa
dilekatkan pada perbuatan manusia saja, tidak pada ciptaan lainnya.
(Ciptaan lain memang terkena dampak dosa namun tidak berbuat dosa.)

Berbeda dengan "berkeringat" yang merupakan fungsi biologis belaka dan
tidak tunduk pada garis rohani, seks adalah fungsi biologis yang
diatur oleh perintah Allah. Dengan kata lain, seks bersifat biologis
sekaligus rohani karena berhubungan langsung dengan batas moral yang
ditetapkan Allah. Jadi, seks di antara manusia berkaitan erat dengan
keunikan manusia sebagai ciptaannya yang tertinggi karena seks adalah
salah satu fungsi biologi yang tunduk pada hukum Allah. Perilaku
seksual manusia merupakan ciri pengenal manusia sebagai manusia.
Berkeringat, yang tidak tunduk pada perintah Allah, bukanlah tanda
pengenal manusia sebagai manusia. Keunikan manusia tidak terletak pada
keringatnya, tetapi pada perilaku seksualnya.

Seks yang dilakukan di luar pernikahan melanggar perintah Allah dan
tatkala kita melewati batas rohani ini demi menuruti keinginan
pribadi, secara tidak langsung kita pun telah menjadikan seks sekadar
kegiatan biologis dan ekspresi emosional belaka yang hampa muatan
rohani. Pada saat itulah sebetulnya kita telah menurunkan kodrat
kemuliaan kita sebagai manusia dan membuat kita merosot ke dasar
sub-manusia. Pada titik itulah sekali lagi kita diingatkan bahwa
memang kita telah kehilangan kemuliaan Allah.

Dosa dapat didefinisikan secara bebas sebagai kegagalan manusia
menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, yakni menjadi
manusia yang rohani. Seks pranikah merupakan kegagalan manusia menjadi
manusia seperti yang diinginkan Allah. Tuhan membenci seks di luar
nikah karena Tuhan tidak mau manusia ciptaan-Nya berubah wujud menjadi
sub-manusia.

Seks Tanpa Garis Sosial = Nafsu

Tuhan menempatkan seks dalam naungan pernikahan supaya seks
mendapatkan pengakuan sosial yang resmi. Seks pranikah merupakan
pelanggaran batas sosial karena seks pranikah dilakukan tanpa tanggung
jawab sosial. Seks pranikah adalah seks yang bermuatan nafsu (hasrat)
pribadi yang tidak lagi menghiraukan "norma" sosial.

Seks tidak pernah dimaksudkan menjadi pemuasan nafsu pribadi belaka.
Seks adalah berbagi tanggung jawab dan dengan penuh tanggung jawab
kedua insan siap pula menyambut buah keintiman seksual itu, yakni anak
manusia. Tanpa tanggung jawab sosial, manusia berhenti menjadi manusia
sebagaimana Tuhan kehendaki dan berubah menjadi onggokan nafsu.

Seks Tanpa Garis Yuridis = Anarki

Di dalam pagar pernikahan, seks menerima perlindungan yuridisnya
(hukum) secara maksimum. Di luar pernikahan, seks merupakan perbuatan
anarkis alias sekehendak hati yang diatur oleh nafsu atau hasrat
pribadi yang pada akhirnya melahirkan kekacauan. Tanpa kehadiran garis
yuridis sebagai titik acuan, seks berjalan tanpa arah dan tanpa
kepastian. Tanggung jawab terhadap pihak yang satunya menjadi samar
karena pada dasarnya seks menjadi bagian dari kesenangan pribadi saja.

Tuhan menempatkan seks dalam garis yuridis karena bagi Tuhan, seks
mengandung tanggung jawab yang penuh terhadap pihak yang satunya.
Tanpa tanggung jawab penuh kepada pasangan kita, seks seolah berubah
menjadi sekadar hiburan malam di televisi boleh ditonton terus, boleh
dimatikan.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul asli buku: Seri Psikologi Praktis: Aborsi: Masalah Etis-Rohani
Judul asli artikel: Aborsi: Masalah Etis-Rohani
Penulis: Pdt. Paul Gunadi Ph.D
Penerbit: Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2001
Halaman: 8 -- 17

"Ratusan Karunia Tanpa Kasih Adalah Sia-Sia. Jangan Gunakan Karunia
Allah Untuk Membangun Menara Babel."

Kontak: < wanita(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti, Fitri Nurhana
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/wanita >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org