Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/191

e-Reformed edisi 191 (24-8-2017)

Kebebasan Kristen

Kebebasan Kristen -- Edisi 191/Agustus 2017
 
e-Reformed Edisi 191/Agustus 2017

Publikasi Elektronik Teologi Reformed
Kebebasan Kristen

Edisi 191/Agustus 2017
 

Dear e-Reformed Netters,

Kebebasan adalah privilege yang Tuhan berikan kepada manusia, yang membuat manusia memiliki kehendak bebas untuk mencipta, merasa, dan berkarya. Namun, dalam praktiknya, kebebasan itulah yang justru menjerumuskan manusia ke dalam kejatuhan. Mengapa manusia sering salah mengerti tentang arti kebebasan?

Banyak orang mengidamkan kebebasan dalam arti yang liar, yaitu sebebas-bebasnya tanpa ikatan atau batasan. Tahukah kita bahwa kebebasan seperti itu justru akan menjerumuskan kita ke pengertian yang salah dan tidak alkitabiah. Melalui artikel yang berjudul "Kebebasan Kristen", yang merupakan refleksi teologis dari kitab 1 Korintus 9:1-6, mari kita belajar tentang arti sesungguhnya dari kebebasan. Selamat membaca. Salam MERDEKA! Tuhan memberkati Indonesia.

Ayub T.

Redaksi Tamu e-Reformed,
Ayub T.

 

ARTIKEL Kebebasan Kristen

1 Korintus 9:1-13

Kata kebebasan dalam bahasa Inggris ada dua macam, yaitu freedom dan liberty. Karl Barth lebih suka memakai kata freedom. Kata liberty mempunyai nuansa yang lebih bersifat sekuler. Patung Liberty di New York berasal dari Prancis, yang menghadiahkan patung tersebut dalam semangat revolusi dengan mereka mengangkat slogan egalite (equality/kesejajaran), fraternite (brotherhood/persaudaraan), dan liberte (liberty/kebebasan). Kebebasan maksudnya adalah bebas dari otoritas gereja, agama, dan kekuasaan dari raja atau bangsawan yang tidak mereka sukai. Semboyan ini adalah semboyan humanisme suatu konsep kebebasan yang liar, tanpa ada ikatan apa-apa, tidak dibatasi, dan tidak ada atasan atau otoritas.

Dalam konsep kekristenan, freedom (kebebasan) itu mempunyai batasan; dan kita juga mengatakan bahwa Tuhan pun dalam kebebasan-Nya rela "membatasi" diri. Sebebas-bebasnya Tuhan, tetap tidak mungkin Ia berbuat dosa. Ini berarti Tuhan juga tidak menggunakan kebebasan dalam pengertian bebas melakukan apa saja karena Tuhan tidak mungkin bertindak melawan natur-Nya. Kita percaya bahwa kebebasan ini adalah kebebasan yang rela membatasi diri. Bahkan, Tuhan Yesus turun menjadi manusia merupakan suatu ekspresi kebebasan yang luar biasa, ketika kita justru menjadi kagum, ketika Allah yang Mahabebas rela membatasi diri. Kebebasan yang tidak bisa membatasi diri bukanlah kebebasan. Dengan kata lain, orang yang demikian sebenarnya terikat. Kalau saya betul-betul mengatakan diri saya adalah orang yang bebas, saya juga bebas untuk membatasi diri -- itu baru dikatakan bebas. Kalau saya tidak mau dibatasi, berarti saya terikat oleh ketidakmauan membatasi diri. Itu adalah suatu hal yang keliru. Kita bisa melihat teladan Yesus Kristus sendiri yang walaupun bebas, rela membatasi diri.

Kebebasan Kristen

Bebas yang rela membatasi diri itulah yang dibahas oleh Rasul Paulus mengenai kebebasan Kristen (Christian freedom). Dalam 1 Korintus 9 tertulis bahwa ia belajar untuk menahan diri dalam kebebasan Kristen yang dimilikinya. 1 Korintus 9:1 berkata, "Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas?" Paulus bukan hanya memiliki pengetahuan, ia bahkan seorang rasul yang mempunyai jangkauan pengetahuan yang lebih luas dan dalam daripada banyak orang di Korintus. Ia mengatakan bahwa ia adalah seorang rasul dan ia juga mempunyai kebebasan. Kebebasan Paulus sebagai seorang rasul sebetulnya lebih dari sekadar kebebasan Kristen biasa karena jika kebebasan itu dikaitkan dengan pengetahuan, ia sesungguhnya sangat bebas.

Pada zaman dahulu, seseorang yang dianggap rasul harus mempunyai pergaulan yang langsung dengan Tuhan Yesus, seperti Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Kapan Paulus melihat Yesus? Pada saat ia dalam perjalanan ke Damsyik. Dalam Surat Galatia dikatakan bahwa Paulus pernah belajar di tanah Arab selama tiga tahun, saat Paulus mempunyai pergaulan yang erat dengan Tuhan (Galatia 1:15-18). Catatan tentang hal ini sangat minim dan kita tidak bisa mengutarakan terlalu banyak, tetapi ia mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan Yesus Kristus. Paulus telah melihat Yesus, dan kerasulannya sah -- bukan kerasulan yang dimeteraikan dan diteguhkan oleh manusia, tetapi dipanggil oleh Yesus Kristus sendiri. Akan tetapi, dalam pelayanannya di Korintus, ada sebagian orang yang tidak mengakui kerasulan Paulus. Mereka meragukan dan mempertanyakan apakah Paulus adalah seorang rasul.

1 Korintus 9:2 mengatakan, "Sekalipun bagi orang lain aku bukanlah rasul, tetapi bagi kamu aku adalah rasul." Paulus tidak terpanggil untuk menyatakan keuniversalan kerasulannya. Ini adalah poin yang penting. Ia adalah rasul sejati di hadapan Tuhan, maka di hadapan seluruh dunia ia adalah rasul. Ia tidak terpanggil dan tidak merasa perlu membuktikan bahwa ia benar-benar rasul dan harus diterima oleh seluruh dunia atau oleh mereka yang menolak kerasulannya. Demikian juga dengan kehidupan orang percaya. Meskipun kita sudah hidup benar, mungkin orang lain tidak mengakui kebenaran kehidupan kita sebagai seorang Kristen, mungkin kita dibenci, atau dikatakan fanatik. Itu adalah sesuatu yang wajar. Sebagaimana Tuhan Yesus datang ke dalam dunia, banyak orang tidak menerima Dia sebagai Tuhan. Hanya sebagian kecil yang mengakui Dia sebagai Tuhan. Begitu juga dengan pelayanan Paulus. Hanya sebagian orang yang menganggapnya rasul, dan Paulus memang tidak terpanggil untuk menyatakan dirinya sebagai rasul yang harus diterima oleh setiap orang.

Freedom

Lalu, Paulus berkata, "Sebab hidupmu dalam Tuhan adalah meterai dari kerasulanku" (1 Korintus 9:2). Ini merupakan suatu gambaran yang luar biasa. Paulus menunjuk dengan sangat tepat. Mengapa ia tidak mengacu pada penglihatan yang ia terima secara langsung? Banyak orang mau mengakui kebesaran seorang hamba Tuhan jika hamba Tuhan itu mengatakan ia sudah banyak mendapatkan penglihatan dari Tuhan dan bisa melakukan mukjizat yang orang lain tidak bisa. Pada zaman ini, hal ini sering dianggap sebagai validitas seorang hamba Tuhan. Paulus mempunyai banyak alasan untuk mengacu kepada hal tersebut. Ia telah mendapatkan penglihatan yang khusus dari Tuhan pada saat ia dalam perjalanan ke Damsyik, dan juga pembentukan dari Tuhan selama tiga tahun di tanah Arab. Ini merupakan suatu pergaulan yang indah dengan Tuhan, tetapi Paulus tidak mengacu kepada hal itu. Ia tidak berargumentasi dengan menggunakan hal-hal tersebut karena itu bukan kebanggaannya. Paulus tidak menggunakan hak istimewa tersebut karena bagi Paulus kemegahan kerasulannya adalah jemaat Korintus. Ini merupakan suatu hal yang sangat menarik.

Mengapa Paulus mengacu kepada jemaat Korintus, bukan mengacu kepada kekhususan hubungannya dengan Tuhan? Paulus ingin kemegahannya dibangun dengan benar. Kemegahan yang sesungguhnya adalah pelayanannya yang dikerjakan pada orang-orang Korintus. Ketika orang-orang Korintus mendengar hal tersebut, mereka tidak bisa berdalih lebih lanjut lagi. Andai kata Paulus mengatakan bahwa ia bisa berbahasa lidah, mungkin orang Korintus mengatakan bahwa mereka juga bisa berbahasa lidah. Itu bukan sesuatu yang unik. Atau, jika Paulus mengatakan ia sudah bertemu dengan Tuhan Yesus, orang Korintus dapat mengatakan mungkin itu penglihatan yang palsu. Akan tetapi, ketika Paulus mengatakan bahwa meterai kerasulannya adalah orang Korintus, mereka tidak bisa menghina diri sendiri. Orang-orang Korintus yang sombong tidak berani menghina diri mereka sendiri. Alangkah bijaksananya Paulus yang meletakkan validitasnya justru pada jemaat Korintus!

Zinzendorf, seorang tokoh pietis yang penting, yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Semenjak umur empat tahun, ia sudah berpikir untuk menjadi penginjil, dan Tuhan memakainya sebagai seorang misionaris. Setelah kematian istri pertamanya, ia menikah lagi. Istri keduanya punya kecenderungan mistik yang kurang sehat. Ia terpengaruh dan menekankan suatu "persatuan mistik" dalam luka-luka Kristus sampai akhirnya lalai menjalankan panggilan penginjilan. Hal ini tidak sesuai dengan Alkitab. Musa berbicara dengan Tuhan muka dengan muka selama 40 hari 40 malam, begitu khusus, begitu dekat, sampai wajahnya bercahaya. Namun, setelah itu Musa mengerjakan pekerjaan Tuhan. Lain halnya dengan Petrus yang kurang mengerti, di mana pada peristiwa transfigurasi Tuhan Yesus (yang disertai panampakan Musa dan Elia), ia begitu bahagianya sampai enggan kalau harus turun dari gunung. Ini sama dengan orang-orang yang hanya mau menikmati karunia tanpa mau melayani orang lain. Akan tetapi, kesejatian kerasulan Paulus adalah dalam pelayanannya, bukan pada "pengalaman mistiknya".

Dalam 1 Korintus 9:3 dikatakan bahwa Paulus melakukan suatu pembelaan bukan untuk mengharapkan orang lain akhirnya menerima dia. Pledoi sedemikian pada dasarnya bersifat menjelaskan supaya tidak didiskreditkan dan supaya orang mengetahui bahwa apa yang dikerjakan bisa dipertanggungjawabkan. Paulus melakukan pembelaan bukan dengan harapan agar orang-orang yang tidak percaya kerasulannya akhirnya menyesal. Pada intinya, Paulus hendak mengajar mereka yang tidak meragukan kerasulannya mengenai penyangkalan kebebasan Kristen. Validitas kerasulan Paulus adalah jemaat Korintus, buah pelayanannya, dan juga semangat menyangkal diri. Kesejatian kerasulannya adalah penyangkalan dirinya. Banyak karunia, tetapi tidak mau menyangkal diri tidak membuktikan kesejatian seorang hamba Tuhan. Demikian juga, kesejatian dari kekristenan kita adalah kehidupan penyangkalan diri.

Paulus di Korintus

Paulus juga tidak mengambil upah dari jemaat. Paulus bekerja dan melayani jemaat Korintus, tetapi ia tidak mau menjadi beban bagi jemaat (1 Korintus 9:6). Demikian juga dengan urusan makan dan minum, Paulus menyangkal untuk makan makanan yang paling wajar sekalipun karena tidak mau menjadi batu sandungan (1 Korintus 9:4). Spiritualitas yang benar adalah spiritualitas yang diekspresikan dalam seluruh aspek hidup kita, termasuk cara kita makan dan minum. Kedua, tentang hal menikah (1 Korintus 9:5). Meskipun menikah bukan dosa dan itu wajar, Paulus menyangkal dirinya untuk mengambil seorang istri.

Banyak cerita dalam kehidupan para misionaris yang mengalami kehidupan keluarga yang tidak wajar. Ada yang demi pekerjaan Tuhan, akhirnya harus berpisah dengan keluarga untuk jangka waku yang cukup panjang. Orang-orang yang melayani Tuhan, tetapi tidak bertanggung jawab pada keluarga merupakan kehidupan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Sebaliknya, kita tidak boleh begitu terikat dengan keluarga hingga akhirnya kita gagal berbuah bagi Tuhan. Bagi kita -- orang-orang yang "wajar" -- kehidupan para misionaris itu tampak sangat tidak wajar (atau jangan-jangan kita mengategorikan mereka sebagai cacat dalam kehidupan keluarganya); di hadapan Tuhan, mungkin mereka lebih mengerti bagaimana mengasihi Tuhan.

Kita sering terjerat untuk lebih mementingkan diri kita dan segala sesuatu yang ada pada kita melebihi Tuhan sehingga pelayanan kita tidak berkuasa. Dalam suatu konseling pranikah, seorang hamba Tuhan mengatakan bahwa dalam melayani Tuhan, seorang pelayan Tuhan memang harus belajar mengorbankan keluarga, dan begitu juga sebaliknya; pasangannya harus bisa mengorbankan suami/istri yang sedang melayani. Kita berkorban untuk Tuhan, dan di sisi yang lain, keluarga kita juga harus belajar mengorbankan kita. Pengorbanan harus terjadi pada kedua belah pihak. Saya bukan hanya mengorbankan diri saya bagi Tuhan, tetapi juga harus berani mengorbankan anggota keluarga saya bagi Tuhan. Ini dua hal yang berbeda. Yang berkorban aktif meninggalkan, tetapi yang ditinggalkan bukan berarti tidak memikul salib, mungkin justru salibnya lebih berat.

Paulus adalah seseorang yang menyangkal diri, no family at all. Kehidupan yang dipersembahkan kepada Tuhan berhak dipimpin oleh Tuhan dengan cara bagaimanapun. Hak yang terbesar adalah hak untuk menyangkal hak (ini adalah kesimpulan sebuah buku yang ditulis oleh seorang misionaris; buku ini sekarang menjadi bacaan wajib dalam suatu badan misi). Kalau kita menjalankan kewajiban, wajar jika kita menuntut hak. Akan tetapi, dalam kekristenan, hak yang dimiliki oleh orang Kristen adalah hak untuk menyangkal hak tersebut. Paulus bukan saja menyangkal hak untuk makan dan minum, tetapi ia juga menyangkal hak untuk menikah dan mendapat upah dari pelayanannya. Bagaimana dengan hidup kita? Marilah kita minta pada Tuhan untuk menolong kita belajar menyangkal diri sebagai meterai kesejatian pengikutan kita kepada Kristus. Orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan adalah orang yang bersedia kehilangan haknya. Tuhan Yesus, Paulus, dan semua hamba Tuhan di sepanjang sejarah telah belajar menyangkal diri. Kiranya kita belajar taat mengerjakan bagian yang dipercayakan kepada kita. Kiranya Tuhan memakai kita untuk menjadi berkat bagi banyak orang.

Audio Kebebasan Kristen

Diambil dari:
Judul buku : Ajar Kami Bertumbuh
Judul artikel : Kebebasan Kristen
Penulis : Billy Kristanto
Penerbit : Momentum, Surabaya 2006
Halaman : 125 -- 130
 
 
Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-Reformed.
reformed@sabda.org
e-Reformed
@sabdareformed
Redaksi: Amidya dan Yulia Oeniyati
Berlangganan|Berhenti|Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2017 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org