Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/164

e-Reformed edisi 164 (29-5-2015)

Tantangan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Masa Kini di Ranah Formal

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Tantangan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Masa Kini di Ranah Formal
Edisi 164/Mei 2015

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: TANTANGAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN KRISTEN MASA KINI DI RANAH FORMAL

Dear e-Reformed Netters,

Bertepatan dengan hari pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Mei, 
maka e-Reformed dengan sengaja mengambil artikel yang membahas tentang 
tantangan pendidikan Kristen di ranah formal abad 21. Mari kita simak, 
dan semoga menjadi berkat bagi kita semua. Untuk memberi komentar 
tentang isi artikel ini, silakan bergabung di Facebook e-Reformed 
< https://fb.sabda.org/reformed >. Soli Deo Gloria.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
< ayub(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >


ARTIKEL: TANTANGAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN KRISTEN MASA KINI DI 
                            RANAH FORMAL

Kesadaran akan kekinian zaman dalam konteks tantangan pendidikan dan 
pengajaran, sepatutnya secara reflektif membawa juga kesadaran dari 
pihak pemimpin dan pendidik Kristen akan adanya tantangan pendidikan 
dan pengajaran kristiani, yang pada dasarnya bertujuan untuk 
menjadikan semua bangsa murid-Nya dalam rangka menunaikan misi Amanat 
Agung Tuhan Yesus. Seperti telah dipaparkan oleh Tilaar bahwa 
pendidikan secara umum terkait erat dengan perubahan zaman pada era 
globalisasi abad ke-21 ini, demikian pula halnya dengan pendidikan 
Kristen.

Dikatakan oleh Michael J. Anthony dalam bukunya yang berjudul 
"Introducing Christian Education: Foundations for the Twenty-first 
Century" bahwa karakteristik abad ke-21 ini adalah terus meningkatnya 
komunikasi, pasar internasional yang pesat, ekonomi global, pasar 
bebas, dan relasi yang multinasional. Semua hal baru ini telah membawa 
dampak yang mendalam dalam kehidupan generasi sekarang. Dalam konteks 
Amerika, ada tiga paham filosofis multikulturalisme, naturalisme, dan 
relativisme yang telah menggerus sistem hukum moral dan etika bangsa 
Amerika dan juga sistem pendidikan di sekolah negeri. Dikatakan lebih 
lanjut bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Kristen 
pada abad ke-21 ini adalah menghadapi serangan dari semua paham 
filosofis humanistik sekuler pada satu sisi, dan pada sisi lain 
mendidik orang Kristen dengan kebenaran mutlak yang hanya terdapat di 
dalam Alkitab. Tantangan yang lebih luas datangnya dari kalangan 
masyarakat masa kini yang semakin lama semakin sekuler dalam sistem 
nilai dan kehidupannya.

Pada era globalisasi ini, jelaslah bahwa pengaruh filsafat humanistik 
telah menyebar dan berdampak pada sekolah-sekolah Kristen, bahkan 
perguruan tinggi Kristen. Dikatakan oleh Chadwick bahwa memang 
pendidikan Kristen semakin sekuler, yaitu pendidikan digambarkan 
sebagai kekristenan yang berlapis cokelat/"chocolate-coating 
Christianity". Maksudnya adalah, keseluruhan praksis pendidikan di 
sekolah Kristen telah dibangun di atas basis filosofi pendidikan 
sekuler, cuma telah ditambahkan dengan program-program pendidikan 
Kristen, seperti: kebaktian sekolah di tengah minggu, saat teduh 
setiap pagi, pelajaran khusus agama Kristen, retret tahunan, dan lain-
lain. Dengan demikian, program-program pendidikan Kristen ini tidak 
mewarnai seluruh dinamika kehidupan dan proses belajar-mengajar, baik 
dalam diri para murid maupun para gurunya. Sebab itu, dapat dikatakan 
bahwa sekolah-sekolah Kristen tersebut hampir tidak berbeda dari 
sekolah-sekolah umum. Lebih lanjut, Chadwick menyatakan bahwa banyak 
sekolah Kristen, baik di level sekolah dasar maupun sekolah menengah, 
bahkan perguruan tinggi pun, sekadar menyandang nama Kristen saja. 
Pada umumnya, lembaga pendidikan Kristen ini lebih menjalankan praksis 
pendidikannya dengan menekankan prestasi akademis semata, keunggulan 
lulusan yang berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi 
bergengsi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, kenaikan 
peringkat sekolah dalam persaingan lokal-nasional-internasional, 
fasilitas perangkat keras dan lunak yang makin lengkap dan canggih, 
dan lain sebagainya. Hal serupa terjadi dalam praksis pendidikan, 
mungkin di kebanyakan perguruan tinggi Kristen.

Sepanjang tolok ukur pendidikan Kristen berorientasi pada sukses 
akademis, permasalahan berikutnya yang akan muncul sebagai konsekuensi 
logisnya adalah terjadinya persaingan yang kurang sehat di antara 
lembaga pendidikan Kristen. Fenomena ini terlihat jelas dari semakin 
berlombanya kegiatan "open house" yang dijadwalkan makin awal -- baru 
saja dilakukan penerimaan siswa baru, beberapa bulan kemudian sudah 
digelar "open house" lagi. Pasca "open house", orang tua yang berhasil 
mendaftarkan anaknya akan dituntut untuk segera membayar dana 
pembangunan, sekalipun memang ada beberapa sekolah yang memperbolehkan 
orang tua untuk mencicil sekian kali. Sangatlah tidak heran bila ada 
sebutan bahwa akhir-akhir ini, lembaga pendidikan Kristen tertentu 
lebih cenderung berorientasi bisnis daripada misinya.

Menjawab semua tantangan ini, sebenarnya para pemimpin gerejawi yang 
semula menjadi pendiri hendaknya berpartisipasi secara aktif dengan 
cara merumuskan ulang filosofi pendidikan kristiani. Tindakan ini 
benar-benar perlu diambil karena filosofi pendidikan berfungsi sebagai 
kemudi yang akan mengarahkan dan menentukan tujuan dan totalitas 
kurikulum dari proses belajar-mengajarnya. Dengan demikian, nama atau 
identitas "Kristen" tidak akan menjadi nama tanpa makna. Filosofi 
pendidikan Kristen berisi tentang pernyataan-pernyataan dari prinsip-
prinsip dasar yang esensial, yang mendasari praksis pendidikan Kristen 
secara komprehensif di lapangan. Beberapa prinsip dasar tersebut di 
antaranya adalah: (1) meyakini dan menjunjung tinggi Alkitab sebagai 
kebenaran mutlak, karena Alkitab adalah penyataan Tuhan secara 
tertulis; (2) meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, 
sehingga pendidikan Kristen diawali dengan keselamatan/hidup baru di 
dalam Kristus; (3) meyakini bahwa setiap murid adalah ciptaan Allah 
menurut gambar dan rupa Allah, yaitu sebagai ciptaan yang sangat baik 
di hadapan-Nya, tetapi yang telah jatuh ke dalam dosa; (4) meyakini 
bahwa lulusan yang pandai/berhikmat tidaklah diukur dari kepemilikan 
ilmu pengetahuan natural yang tanpa pengenalan akan Kristus sebagai 
hikmat Allah yang sejati. Tanpa Kristus, hikmat manusia adalah 
kebodohan; (5) meyakini bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan formal 
yang hadir sebagai mitra keluarga.

Tantangan lain yang bersifat spesifik terkait dengan salah satu elemen 
penting dalam pendidikan dan pengajaran, yakni: kurikulum. Pada 
umumnya, lembaga pendidikan formal sering kali kurang atau bahkan 
tidak mengkritisi kurikulumnya, seakan tidak ada pihak yang 
mempertanyakan filosofi yang mendasarinya, padahal jelas bahwa tidak 
ada kurikulum yang hampa filosofi atau ideologi tertentu. Jika 
dikaitkan dengan elemen metodologi, fungsi kurikulum terkait erat 
dengan metodologi, bagaikan "sebuah panah dengan busurnya" yang 
dipakai seorang pemanah untuk membidik sasaran. Gambaran ini 
menunjukkan bahwa kurikulum adalah salah satu alat utama untuk 
mewujudkan tujuan akhir dalam bentuk profil peserta didik yang akan 
dihasilkan. Akibatnya, jika suatu lembaga pendidikan didasarkan pada 
filosofi pendidikan yang bersifat "sekuler", secara otomatis kurikulum 
pendidikannya akan berisi tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang diperoleh 
dari kajian empiris yang secara teologis disebut sebagai kebenaran 
yang natural.

Pada saat kurikulum dibangun di atas dasar falsafah pendidikan yang 
mengesampingkan kebenaran supranaturalisme, profil alumni yang akan 
dihasilkan mungkin saja menunjukkan prestasi yang unggul dan siap 
bersaing pada era globalisasi ini, tetapi janganlah lupa bahwa 
kesuksesan akademis dan keterampilan bekerja itu tidak dibarengi 
dengan pembaruan hati sebagai inti kehidupan seseorang. Para alumni 
akan berkiprah sebagai kaum profesional yang mungkin saja menjadi 
pelaku kejahatan berkerah putih. Mengapa demikian? Pendidikan umum 
tanpa transformasi spiritualitas di dalam Kristus tidak dapat 
menyelesaikan masalah manusia terkait kegelapan hati yang penuh dosa 
dan yang cenderung jahat, bahkan sejak kecilnya (Kejadian 6:5; 
Kejadian 8:21). Palmer mengungkapkan kondisi ini dalam pribadi orang-
orang yang berpendidikan tinggi masa kini -- yaitu bahwa mereka ini 
berkompetensi untuk berfungsi dalam masyarakat yang bercirikan 
teknologi, tetapi mereka dikuasai oleh kegelapan batin yang sejak awal 
penciptaan menguasai diri Adam dan Hawa. Jika fakta ini terus tidak 
disadari, atau disadari tetapi dibiarkan oleh para pemimpin Kristen 
dan para tokoh pendidikan Kristen, secara langsung atau tidak langsung 
kita semua mendukung lembaga-lembaga pendidikan Kristen sebagai wadah 
pendidikan yang sedang mencetak para penjahat terdidik (educated 
gang).

Bersyukur bahwa ternyata Tuhan membangkitkan sekian tokoh pendidikan 
Kristen untuk mengatasi tantangan global dari pendidikan Kristen. Pada 
tahun 90-an, ada beberapa asosiasi pendidikan di Amerika yang bertekad 
untuk mempromosikan nilai-nilai kristiani melalui program sertifikasi 
para pendidik Kristen, bahkan sampai taraf akreditasi lembaganya. 
Salah satu di antara asosiasi ini telah berkarya dan terus 
mengembangkan sayapnya dalam skala internasional, yaitu: Association 
of Christian Schools International (ACSI). Sampai sekarang, asosiasi 
ini telah menjangkau sebanyak kurang lebih 150 negara di seluruh manca 
negara, termasuk di Indonesia. Di setiap negara, ada basis 
penyelenggaranya yang dipimpin oleh seorang direktur sebagai pengelola 
dan penyelenggara semua program pendidikannya, bahkan termasuk semua 
distribusi literatur pendidikan Kristen yang memuat kurikulum yang 
mengintegrasikan iman dan ilmu. Asosiasi ini telah memberikan 
kontribusi sangat berarti, khususnya dalam membangun pendidikan 
Kristen yang berbasis Alkitab, yang dijabarkan dalam lima elemen 
penting di bawah ini:

Elemen pertama adalah Kebenaran. Huruf "K" besar merujuk pada 
Kebenaran firman Allah sebagai kebenaran mutlak yang dinyatakan Allah 
dalam Alkitab untuk melawan paham relativisme. Alkitab berfungsi 
sebagai fondasi pendidikan Kristen. Melalui Alkitab, peserta didik 
belajar bahwa mereka adalah makhluk ciptaan Allah yang berharga dan 
selayaknya juga menghargai orang lain. Melalui Alkitab juga, berita 
keselamatan disampaikan kepada peserta didik agar mereka mengalami 
lahir baru sebagai awal dimulainya pendidikan kristiani. Melalui 
program pemahaman Alkitab, peserta didik dibimbing untuk lebih 
memahami dan menaati firman Tuhan.

Elemen kedua adalah Integrasi Alkitab dalam pemahaman dan penerapan 
integrasi iman dan ilmu. Mengingat bahwa tidak ada kurikulum yang 
bebas nilai, maka upaya integrasi Alkitab dilakukan untuk mengajarkan 
bahwa seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah di mana pun 
didapatkannya -- termasuk di dalam setiap disiplin ilmu. Dengan 
menegakkan integrasi Alkitab, peserta didik diajarkan bahwa seluruh 
alam semesta adalah ciptaan Allah sehingga seluruh kebenaran yang 
diperoleh dari disiplin ilmu mana pun seharusnya merefleksikan 
kehadiran dan karya-Nya, dan pada akhirnya, setiap ilmuwan akan 
memuliakan keagungan Penciptanya. Alkitab berfungsi untuk memberikan 
perspektif dalam mengembangkan cara pandang kristiani. Tanpa integrasi 
iman dan ilmu, lembaga-lembaga pendidikan Kristen secara eksplisit 
sedang mempromosikan sekularisme dan naturalisme yang mengarahkan 
peserta didik lebih memercayai kebenaran yang bersifat ilmiah 
(natural) daripada kebenaran Alkitab (supranatural).

Elemen ketiga adalah staf yang seluruhnya Kristen. Staf yang dimaksud 
terdiri dari para guru, administrator, dan karyawan Kristen. Mereka 
adalah jajaran pendidik dan nonpendidik yang bukan hanya mengaku 
Kristen dan mengenal Kristus, melainkan juga menghadirkan gaya hidup 
kristiani yang akan dicontoh oleh peserta didik.

Elemen keempat adalah potensi di dalam Kristus. Sekolah Kristen 
sebagai lembaga pendidikan kristiani hendaknya menggali potensi setiap 
individu anak didik sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus, 
maka seluruh potensi hendaknya dimaksimalkan berdasarkan sistem nilai 
kekal. Tujuan akhir pendidikan bukan aktualisasi diri yang 
berorientasi kepada diri sendiri, melainkan desentralisasi diri yang 
berorientasi pada sesama dan Tuhan.

Elemen kelima adalah praktik organisasional. Seluruh kegiatan 
operasional dan kebijakan didasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran 
yang alkitabiah. Orang tua adalah mitra pendukung sekolah yang selalu 
menjalin hubungan saling membantu dengan para guru. Alangkah baiknya 
bila ada orang tua yang juga duduk di yayasan sekolah dalam rangka 
turut menjaga arah dan kualitas pendidikan yang kristiani.

Membagikan kelima elemen ini kepada semua sekolah Kristen dalam 
konteks Indonesia merupakan suatu perjuangan tersendiri karena tidak 
semua sekolah Kristen menyambut kehadirannya dan bersedia untuk 
dibantu dalam menyelaraskan identitas dan praksisnya. Tentu saja 
banyak kendala di lapangan, selain biaya, kesibukan para guru, 
keterbukaan pihak yayasan, dan lain sebagainya. Namun, suatu hal yang 
menggembirakan adalah bahwa semakin banyak sekolah telah menyadari 
peran penting dari ACSI, baik dalam program sertifikasi pendidik 
maupun sertifikasinya. Namun, barangkali tantangan yang masih perlu 
diatasi adalah menjangkau dan memperlengkapi para anggota yayasan 
sebagai perumus kebijakan makro dari sekolah dan perguruan tinggi 
Kristen, agar benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan 
Kristen yang sejati (education that is truly Christian).

Tantangan pendidikan Kristen di Indonesia masa kini di ranah formal 
masih cukup memprihatinkan. Sebuah gambaran faktual yang disampaikan 
melalui sebuah seminar Pendidikan Kristen pada 12 Desember 2011 di 
Universitas Kristen Maranatha, Bandung, -- dengan pembicara David 
Yohanes Chandra (Ketua Majelis Pendidikan Kristen Indonesia) dan 
Jonathan L. Parapak (Rektor Universitas Pelita Harapan), bahwa sekian 
sekolah Kristen di Indonesia sudah ditutup. Berdasarkan sebuah ground 
research, dinyatakan bahwa keunikan/ciri khas pendekatan dan terapan 
pendidikan Kristen sudah tidak ditemukan lagi. Artinya, kekristenan 
sudah ditinggalkan. Lebih buruk lagi adalah bahwa di beberapa daerah 
seperti Jakarta, Bandung, Manado, Jawa Tengah, dan lain-lain, ada 
sekian sekolah sudah ditutup dan sekian sekolah secara radikal telah 
menghapus label/nama sekolah Kristen dan menggantinya dengan nama 
sekolah umum. Penyebabnya tentu saja cukup banyak, di antaranya adalah 
faktor biaya yang tinggi, jumlah pendaftaran siswa baru yang makin 
menurun, dan banyak yang "terjebak" dalam spirit pragmatisme dan 
sekularisme. Mengatasi problema besar seperti ini, UPH telah 
berinisiatif untuk melakukan "take over" beberapa sekolah selama 
periode empat belas tahun untuk pembenahan. Pada akhir periode ini, 
sekolah-sekolah ini akan diserahkan kembali kepada lembaga-lembaga 
penyelenggara semula. Inisiatif seperti ini sungguh sangat baik untuk 
diikuti oleh lembaga-lembaga Kristen lain atau universitas-universitas 
Kristen lainnya yang terbeban mengatasi tantangan sekolah-sekolah 
Kristen yang sedang membutuhkan bantuan.

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: STULOS Jurnal Teologi
Judul bab: Tantangan dalam Pendidikan dan Pengajaran Masa Kini
Penulis: Tan Giok Lie
Penerbit: STT Bandung, 2013
Halaman: 9 -- 16


Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Ayub, Yulia Oeniyati, dan N. Risanti
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >


______________________________e-Reformed______________________________
Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ >
Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ >
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org