Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/154

e-Reformed edisi 154 (24-7-2014)

Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya bagi Pelayanan pada Abad XXI (2)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya bagi Pelayanan pada Abad XXI (2)
Edisi 154/Juli 2014

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: PETA PERUBAHAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN DAMPAKNYA BAGI PELAYANAN PADA ABAD XXI (2)

Dear e-Reformed Netters,

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel bulan lalu. Setelah kita 
mengerti pergeseran teknologi yang terjadi, kita harus menyusun 
strategi untuk dapat tetap menjadi garam dan terang bagi dunia sesuai 
konteks zamannya. Mari kita simak lanjutan artikel ini. Soli Deo 
Gloria!

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >


  ARTIKEL: PETA PERUBAHAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN DAMPAKNYA BAGI 
                 PELAYANAN PADA ABAD XXI (2)

Pendidikan jarak jauh juga dapat dilakukan. Gelar-gelar dan kursus-
kursus tidak terlokalisasi di satu tempat saja. Bahkan, perguruan 
tinggi dapat dibuat dengan bermodalkan sebuah ruko atau gedung 
sederhana, tetapi dengan jangkauan sedunia dan akses data serta 
pengajar secara luas.

Yang pasti, kehadiran komputer yang semakin murah dengan sejumlah 
aksesorisnya di Asia Tenggara telah mulai menjadi bagian hidup. Sebuah 
komputer dapat memainkan musik, film/laser, menjadi alat melalui 
jaringan internet, alat mengobrol bahkan dapat diprogram untuk 
mengatur listrik, dan berbagai alat di rumah kita. Jangan lupa, kita 
pun dapat membeli dan menjual barang melalui komputer serta kartu 
kredit. Dengan alat itu, pencarian informasi dan berbagai keputusan 
dapat dimulai di rumah. Lebih lanjut lagi, kalkulator akan digantikan 
dengan komputer saku yang setiap anak SD pun akan membawanya. Alat ini 
pun akan berfungsi sebagai telepon tangan, jam, dan alarm. Jadi, alat 
yang tadinya merupakan pengolah informasi, ternyata menjadi alat yang 
serba bisa, budak yang penurut dan setia selama kita memperlakukannya 
dengan baik dan benar.

Semuanya hanya menyiratkan satu hal bagi keluarga kita, yaitu dunia 
yang tadinya didominasi oleh ciptaan alamiah (biosphere), kini mulai 
didominasi dengan alat-alat buatan manusia (techno-sphere). Banyak 
alat komunikasi dan informasi tadi sudah demikian canggihnya. Kita 
tidak mengerti cara kerjanya, tetapi toh dapat menggunakannya. Kita 
mulai semakin tergantung padanya. Bila hal ini membuat manusia lebih 
menyukai hubungan dengan alat daripada hubungan antarpribadi secara 
nyata, jumlah manusia yang kesepian akan semakin bertambah. 
Kecenderungan ini akan membuat pola hubungan suami istri semakin 
steril. Demikian pun dengan anak. Keluarga sangat rentan terhadap 
penyakit kehilangan kehangatan emosi. Jadilah dikenal dengan apa yang 
dinamakan "virtual home" atau "virtual family". Hanya namanya saja 
masih satu keluarga, tetapi kebersamaan selalu jarang terjadi, semua 
penataan keluarga berjalan secara remote/jarak jauh.

VI. Dampak bagi Pelayanan Khusus di Indonesia

Indonesia dikenal dengan berbagai hal yang khas. Pertama, Indonesia 
adalah kerumunan manusia. Sekitar 250 juta jiwa manusia tersebar 
dengan tidak teratur di negara ini, hampir 80%-nya mungkin bertumpuk 
di pulau Jawa yang kian bergerak ke tengah kota-kota. Manusia-manusia 
ini juga mencerminkan pluralitas atau keberbagaian corak yang membuat 
Indonesia bagaikan sepiring rujak raksasa. Pluralitas tadi dapat 
berupa pluralitas orientasi nilai, pola hidup, kekuatan ekonomi, dan 
etnis serta pluralitas dalam bidang spiritual. Pengaruh perubahan tren 
yang telah kita bahas akan dirasakan berbeda di berbagai kelompok yang 
ada. Namun, jumlah orang yang merasa keder dan tercabut dari akar 
semakin nyata--hal mana sering terlihat dalam menumpuknya jumlah orang 
yang meminta pelayanan pastoral konseling. Mereka kehilangan dunia 
stabil yang dulu mereka huni secara kejiwaan, sedangkan dunia baru 
begitu beragam dan mungkin mereka belum memiliki tempat di dalamnya.

Dari sudut perubahan komunikasi, ketika sebagian besar rakyat meloncat 
dari pola lisan langsung ke komunikasi televisi tanpa menguasai 
komunikasi tertulis, guncangan besar terasa. Yang pasti, perbedaan 
antara kota besar dan kecil serta desa akan semakin terasa.

Bagi pelayanan Kristiani, kesulitan yang diakibatkan oleh pluralitas 
tadi adalah luar biasa. Dari pengamatan penulis, agaknya bagi lingkup 
antargereja, kecenderungan untuk menghasilkan keberagaman sama kuatnya 
dengan kecenderungan untuk mencari bentuk kesatuan atau keesaan. Sifat 
individualis yang diakibatkan oleh pendidikan kita juga membuat orang 
sulit bekerja sama dan memiliki wawasan yang luas. Kalaupun dipaksakan 
keesaan tadi, sering kali totalitarianisme yang tersamar serupa dengan 
yang terjadi di masyarakat feodal kuno menjadi modus kerja.

Kedua, situasi politik dan budaya Indonesia menunjukkan suatu 
pergeseran yang serius. Keenam sentra kuasa politik sedang bergerak 
saling memengaruhi secara lebih aktif. Keenam sentra tadi adalah kuasa 
lembaga presiden, birokrat, ABRI, massa Islam, para pelaku bisnis, dan 
lain-lain. Media massa juga menonjolkan istilah demokratisasi, suatu 
proses pemberian dan penyadaran kuasa kepada lebih banyak orang yang 
semakin popular dituntutkan, bertentangan dengan kecenderungan 
pemusatan kuasa yang juga meningkat. Internet semakin memungkinkan 
falsafah ini tersebar luas. Apakah pelimpahan kuasa tadi sejalan 
dengan perkembangan kesiapan orang banyak untuk memikul tanggung jawab 
yang lebih kompleks, tentu dapat dipertanyakan. Dunia bisnis 
memberikan contoh bahwa perusahaan yang menekankan struktur organisasi 
raksasa dan serupa piramid mengalami kerugian yang serius, sedangkan 
beberapa dari mereka yang berpedoman pada ukuran yang ramping, 
jaringan yang luas, serta pendekatan hi-tech dan hi-touch mengalami 
pesatnya pertumbuhan. Namun, sering kali, banyak perusahaan yang 
membelah diri ke dalam sentra-sentra yang lebih kecil malah ambruk 
karena "empowerment" tidak sejalan dengan pembinaan pelaku-pelakunya 
sehingga mereka tidak siap secara mental dan keterampilan, untuk 
mengikuti strategi yang lebih lincah dan organisasi yang lebih 
ramping. Di pihak lain, angin demokratisasi tadi berembus di berbagai 
negara dengan sangat kuatnya. Khusus untuk Indonesia, agaknya masih 
perlu dikaji akibat kemungkinan tren ini berhadapan langsung dengan 
tren penyatuan kuasa bisnis, teknologi, dan komunikasi bersama aparat-
aparat pemerintah.

Ketiga, gereja-gereja di Indonesia terus bertumbuh, tetapi 
dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, serta pertumbuhan 
di kalangan Buddha, Hindu, dan Islam, mungkin pertumbuhan gereja tidak 
menimbulkan dampak makro secara nasional dan berjangka panjang. Dialog 
eksternal sering dilaksanakan secara sporadis, tetapi dialog internal 
di dalam kelompok sendiri malah lebih sulit dijalankan dengan tulus. 
Antar tiga unsur perubahan di dalam organisasi menurut teori Vijay 
Sathe, yaitu kepemimpinan, struktur organisasi, serta iklim kerja atau 
budaya organisasi gereja dan lembaga-lembaganya tidak bergerak 
seirama.

Dengan kata lain, di dalam pelayanan, dalam berbagai terobosan harus 
terjadi sesuatu yang menghasilkan dampak pada generasi yang akan 
datang. Di sini, pada dasarnya memang kita perlu mengkaji apakah 
perubahan di bidang komunikasi serta pergerakan manusia ke kota-kota 
di Indonesia merupakan alat Tuhan untuk memberikan kita kesempatan 
membuat terobosan serupa itu atau merupakan ancaman yang dapat 
menyulitkan kita.

VII. Tantangan dan Apa yang Dapat Dilakukan?

Pada zaman yang lalu, ketika para misionaris memasuki suatu ladang 
baru, mereka umumnya bekerja dengan pola yang serupa, yaitu membentuk 
sistem pendidikan, rumah sakit/kesehatan, percetakan, dan kemudian 
tempat pemeliharaan iman/gereja. Demikianlah kajian Thomas van den 
End. Jelaslah mereka menggunakan pendekatan yang holistik, yang masih 
relevan untuk zaman ini, yaitu melalui pendidikan, sistem pemeliharaan 
kesehatan, sistem komunikasi, serta sistem pemeliharaan dan pembinaan 
iman untuk menggarami masyarakat di mana mereka melayani. Namun, 
apakah cara kerja kita untuk menggarami lingkup-lingkup tadi perlu 
diubah? Tentunya masih harus diperjelas. Untuk itu, kita perlu 
merangkum situasi pelayanan masa kini.

Bagaimana dengan situasi sekarang? Masyarakat sekarang jelas digarami 
oleh media massa. Selain itu, pluralitas di dalam tubuh gereja terus 
menjadi-jadi di samping usaha pengembangan kerja sama. Untuk situasi 
yang dinamis dengan perkotaan sebagai pusat orientasi, cara kerja 
pelayanan yang berabad-abad tidak pernah diubah agaknya perlu 
pengkajian ulang. Cara yang lama mungkin tidak lagi dapat meraih 
kesepian orang-orang yang sedang bingung, tergoyah (displaced), serta 
lelah mengkaji alternatif jalur hidup karena perubahan yang demikian 
cepat sehingga mereka melarikan diri dengan mencari-cari kenikmatan 
dan hal-hal yang baru. Gereja yang lahir dari dalam budaya lisan dan 
menyelam ke budaya tulisan, sekarang harus meraih manusia yang 
berbudaya elektronis. Gereja mungkin mengalami kesulitan untuk 
memahami manusia yang berbudaya elektronis, apalagi untuk mampu 
berkomunikasi dengan mereka tentang Injil dan menyimak mereka. Mengapa 
Tuhan membiarkan hal ini terjadi tentu merupakan tantangan besar yang 
bersifat teologis dan budaya yang menuntut kerendahan hati kita dalam 
menjawabnya. Kita perlu menggumuli apa inti pelayanan dan bagian 
manakah yang dapat ditawar karena itu merupakan alas dalam menjalankan 
pelayanan tadi.

Tantangan lain terjadi pada tingkat manajerial pelayanan. Bila pada 
abad pertengahan dan zaman sebelum abad X gereja-gereja menguasai kota 
bersama para bangsawan dan kemudian bersama para pedagang, sekarang 
keadaan sudah lain. Tidak lagi mungkin sistem sekolah, rumah sakit, 
media massa, dan gedung-gedung gereja dimiliki oleh satu kelompok 
gereja yang bercorak iman yang sama walaupun gereja tadi berpusat di 
perkotaan, di mana segala sumber daya dan dana tersedia. Biaya 
overhead dan operasional akan terus berkembang melebihi daya dukung 
finansial yang dapat dikumpulkan oleh gereja dari warga dan donatur-
donatur besarnya. Kompleksitas dan ragam pelayanan yang semakin 
membutuhkan pelayan-pelayan spesialis dan bukan hanya generalis 
membuat pembiayaan untuk SDM semakin cepat meningkat pula.

Keadaan serupa ini menuntut gereja dan umat Kristen untuk menempuh 
strategi yang berbeda dari abad pertengahan dan abad lain sebelum abad 
XX. Pertama, pelayanan harus ditangani, baik oleh gereja maupun oleh 
organisasi yang bercorak Kristen, walaupun organisasi tadi tidak 
dimiliki oleh gereja. (Pertanggungjawaban dan kaitan organisasi tadi 
ke gereja adalah melalui pertanggungjawaban moral-spiritual, bukan 
lagi struktural dan organisasional.) Dengan demikian, hubungan antara 
"church" dan "parachurch", yang notabene sudah ada lama di tanah air 
ini, harus dijadikan sinergi daripada dipandang sebagai persaingan, 
serentak dengan semakin lancarnya komunikasi antara pribadi orang 
Kristen yang saling berbeda serta telah ditembusnya batas-batas 
denominasi dan gaya spiritual serta gaya kerja pelayanan masing-
masing.

Kedua, hubungan sinergisme antargereja sendiri menjadi hal yang tidak 
lagi dapat ditawar dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berdaya raih 
luas dan mendalam. Hal ini tidak berarti bahwa gereja harus meleburkan 
diri dengan wujud yang besar. Pendekatannya harus bagaikan internet, 
yaitu independen, tetapi interdependen dalam network. Tidak lagi 
mungkin pada zaman yang berubah cepat ini kita berkomunikasi sendiri, 
mengatur jalur kerja dan pelayanan sendiri, serta membuat pelayanannya 
sendiri pula. Zaman ini menuntut kerja sama dan aliansi strategis 
seperti yang disampaikan konsultan internasional Keniichi Ohmae. 
Menarik sekali bahwa berita ini disampaikan dari luar gereja dan 
sangat menggemakan apa yang disampaikan oleh firman Tuhan. Jadi, 
pengelolaan dan pembangunan rumah sakit, wisma pelatihan, atau sharing 
gedung gereja besar, dan sebagainya perlu dipikirkan sebagai suatu 
pilihan. Hal ini semakin mendesak terutama dengan terbukanya 
kesempatan untuk pengabaran Injil secara utuh melalui media massa, 
suatu usaha yang membutuhkan modal, sumber daya manusia, dan network 
yang sangat besar dan tidak mungkin dikelola untuk jangka panjang oleh 
satu dua kelompok Kristen.

Ketiga, network merupakan salah satu tiang utama dalam usaha apa saja 
di Indonesia. Tanpa network yang memadai di dalam dan luar negeri, 
informasi serta relasi yang dimiliki tidak akan cukup membuat 
terobosan inovasi yang bersifat nasional dan berdampak untuk jangka 
panjang. Di sini, kita menyadari bahwa kebutuhan untuk membuat pusat 
informasi bersama untuk seluruh kelompok Kristen akan menjadi tugas 
besar dalam waktu dekat. Pusat ini mungkin tidak harus besar dalam 
arti fisik, tetapi besar di dalam kemampuannya mengolah data dan 
memperoleh data dari berbagai sentra informasi yang telah ada. 
Teknologi komunikasi jelas sangat memungkinkan hal tadi. Network juga 
membuat kita terhindar dari duplikasi. Misalnya, antar sekian banyak 
sekolah teologi dan perpustakaannya di Jawa Barat dapat dilakukan 
sistem sharing peminjaman majalah, sistem transfer kredit, dan 
sebagainya.

Keempat, keseluruhan kemungkinan pelayanan yang dipaparkan di atas 
memanggil kita untuk menoleh sepenuhnya kepada Salib Kristus dan tidak 
terpaku untuk memandang diri sendiri, gereja sendiri, atau luka-luka 
hubungan antara gereja dan organisasi parachurch pada masa lalu. 
Selanjutnya, kita harus mengadopsi apa yang disebut oleh Taichi 
Sakaiya sebagai sikap "outward looking". Untuk menyiapkan sikap mental 
tadi dan sikap iman serupa itu, suatu crash program dapat 
dilaksanakan, khususnya dalam pelatihan pembentukan wadah muda-mudi 
Kristen antargereja atau menghidupkan salah satu wadah yang masih 
berpotensi. Masa depan kota dengan teknologi dan pluralitasnya 
membutuhkan kaum pemimpin muda yang memiliki karakteristik sebagai 
berikut:

A. Memiliki sikap ingin bekerja sama,

B. lebih berporos pada visi kerajaan Allah daripada visi yang terikat 
hanya pada denominasi, mampu membuat konsep pelayanan bersama para 
teolog,

C. mampu mengenali kesempatan melayani, antara lain melalui dunia 
komunikasi dan lingkup kota-kota,

D. andal dalam menyusun strategi,

E. mampu menjamin pelaksanaan operasionalnya dan mampu memiliki hati 
yang peka pada kehendak dan kuasa Allah bagi kenyataan di Indonesia, 
antara lain lajunya pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya 
jumlah mereka yang lebih lemah secara pendidikan, ekonomi, dan politis 
daripada kita,

F. mampu menangani pertumbuhan iman pribadinya secara serius.

VIII. Penutup

Kesimpulan sejauh ini ialah dunia Asia dan Indonesia bergerak ke kota 
dengan berbagai pola komunikasi dan pluralitas yang dihasilkannya. 
Kota berarti kebutuhan untuk pegangan hidup dan peta perjalanan iman 
di tengah dinamika yang sering membingungkan. Teknologi komunikasi dan 
polanya yang beragam berarti tersedianya kemungkinan kita meningkatkan 
daya jangkau dalam usaha penginjilan dalam arti yang holistik. 
Pluralitas berarti kita perlu menggunakan pendekatan network dalam 
menjalin keesaan dan bukan pendekatan struktural birokratis. Di pihak 
lain, perkembangan kota, teknologi komunikasi, dan pluralitas juga 
dapat menghasilkan manusia yang bingung, mau enak saja, dan terbius 
kesan.

Dari mana kita memulainya? Berbeda dari lembaga lain dan umat lain, 
gereja dan orang percaya tidak bisa tidak harus mulai merespons 
perubahan yang ada dengan kaitan yang kian mendalam dengan Allah di 
dalam Tuhan Yesus. Kerinduan untuk mengungkapkan kasih dan perasaan 
berutang pada karya keselamatan dan kasih-Nya yang demikian luhur, 
harus menjadi tumpuan dari segala karya pelayanan dan strategi baru 
yang akan ditempuh dalam rangka kita melaksanakan tugas sebagai saksi-
Nya. Lebih lanjut lagi, perubahan yang ada harus dipandang selaku 
kesempatan untuk lebih mengkaji dan mendalami makna hubungan kita 
dengan Bapa. Dengan demikian, perubahan tidak dilihat sebagai ancaman 
yang harus ditangkal, tetapi sebagai kesempatan mencari kehendak-Nya 
dan menjalani lagi langkah kepatuhan bagi Kristus dan kerajaan-Nya, 
serta sekaligus menunjukkan kasih kita bagi-Nya. Dengan kata lain, 
perubahan yang terjadi dan demikian mendasar mempertanyakan sedalam-
dalamnnya siapa diri kita dan sejauh mana kita bersedia bergantung 
pada kehendak-Nya.

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Jurnal Pelita Zaman, Volume 12, Nomor 01 (Mei 1997)
Judul bab: Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI
Penulis: Robby I. Chandra
Penerbit: Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman
Halaman: 53 -- 67


Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Teddy Wirawan, Yulia Oeniyati, dan Ryan
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org