Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/153

e-Reformed edisi 153 (26-6-2014)

Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI (1)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI (1)
Edisi 153/Juni 2014

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: PETA PERUBAHAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN DAMPAKNYA BAGI PELAYANAN PADA ABAD XXI (1)

Dear e-Reformed Netters,

Teknologi terus berkembang dari zaman ke zaman. Tentunya bentuk 
pelayanan juga harus menyesuaikan dengan konteks perkembangan 
teknologi. Oleh karena itu, kali ini kita akan membahas peta perubahan 
teknologi komunikasi dan dampaknya bagi pelayanan pada abad 21. 
Meskipun artikel ini tergolong lama dan beberapa bagian sudah 
tertinggal zaman (karena ditulis sebelum pergantian milenium), tetapi 
tetap relevan untuk kita baca. Karena artikel ini cukup panjang, saya 
membaginya dalam 2 edisi (Juni dan Juli). Saya berharap artikel ini 
dapat menjadi berkat dan inspirasi bagi para pembaca. Selamat 
menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< http://reformed.sabda.org >


   ARTIKEL: PETA PERUBAHAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN DAMPAKNYA BAGI 
                      PELAYANAN PADA ABAD XXI (1)

I. Pendahuluan

Di negara bagian Illinois, Amerika Utara, terdapat sebuah kota bernama 
Streator. Pada saat memasuki Streator, kita akan terpana membaca 
tulisan raksasa dengan gambar sebuah bola bumi: "Selamat Datang di 
Streator, Pusat Pembuat Botol Sedunia". Tiga puluh tahun lalu, lebih 
dari 5000 orang di kota ini bekerja untuk dua perusahaan botol 
raksasa. Pada masa itu, berbagai produk cair seperti jus, susu, dan 
minuman lain dilarang dijual di Streator bila tidak dimasukkan ke 
dalam botol kaca. Pendek kata, pada tahun 1960-an, konon Streator 
adalah benar-benar menjadi pusat botol dan beling sedunia. Kini, 
Streator cuma menjadi kota kecil yang hidup senin-kamis tanpa 
antusiasme. Sesuatu telah terjadi. Pada awal tahun 1970-an, orang 
mulai bergeser menggunakan botol plastik, kaleng aluminium, dan karton 
untuk menampung berbagai benda cair. Streator juga berusaha mengatasi 
perubahan tadi dengan mengadakan suatu orkestrasi besar-besaran dari 
kekuatan produksinya, tetapi gagal total; bukan karena kurang 
motivasi, kurang terampil, atau kurang gesit berespons. Mereka gagal 
karena tidak mengenali peta yang sedang berubah secara mendasar. Suatu 
pergeseran paradigma terjadi dan Streator gagal memahaminya.

II. Di Mana Kita Berada?

Sebentar lagi, kita akan mengalami sesuatu yang tak dialami oleh ayah 
ibu kita serta kakek nenek kita, yaitu kita akan mengalami berakhirnya 
suatu abad, sekaligus awal milenium baru. Di dalam sejarah kita, 
pergantian ini merupakan hal yang menarik dan berdampak luas. Terakhir 
kali hal tadi terjadi adalah seribu tahun silam. Pada waktu itu, 
beberapa ciri terlihat:

Kota terbesar yang pernah dimiliki manusia sebelum abad ke-10 adalah 
Roma dengan jumlah penduduk sekitar satu juta dua ratus ribu orang. 
Namun, sekitar abad ke-10, kota-kota menjadi lebih kecil dan 
terisolasi dengan sistem mata uang, pajak, keamanan, budaya, 
pendidikan tersendiri.

Asia merupakan kerajaan-kerajaan yang unggul dan berteknologi tinggi 
pada masanya.

Sementara itu, Eropa sudah 5 abad berada dalam zaman amburadul, 
feodalistis, dan bahkan salah satu tiang kekuatan sosial pada saat 
itu, yaitu agama, sedang bergerak pecah dua, yaitu menjadi Gereja 
Barat (yang berpusat di Roma) dan Gereja Timur (Bizantium) pada tahun 
1054.

Masyarakat menjadi stagnasi, hanya terdiri atas bangsawan penguasa, 
pimpinan agama, kaum pedagang serta warga rakyat jelata.

Sebagian orang segan bepergian jauh karena tiap lokasi memiliki 
sistem, penguasa, dan kualitas keamanan yang berbeda. Hanya kaum 
pedagang yang berani menempuh jarak yang panjang dan berbahaya.

Dibandingkan dengan zaman itu, pergantian milenium ini menampilkan 
wajah masyarakat dunia yang jauh berbeda, antara lain:

Manusia lebih banyak bergerak ke kota-kota daripada ke desa-desa. 
Kota-kota yang memiliki lebih dari 7 juta penduduk semakin banyak.

Pusat dinamika kekuasaan sedang bergeser kembali ke Asia setelah dari 
Eropa ke Amerika (tingkat pertumbuhan ekonomi Asia sekitar 7 sampai 9 
persen per tahun).

Pusat ilmu pengetahuan tersebar di berbagai sentra di seluruh penjuru 
bumi. Keio University, East-West Center Hawaii, Nanyang University, 
National Singapore University, Monash, Harvard, Princeton, Berkeley, 
Northwestm University, dan sebagainya, mungkin lebih dikenal daripada 
perguruan-perguruan tinggi kuno dan top di Eropa seperti Padua, 
Salamanca, Den Haag, Praha, Heidelberg, Tubingen, Vrije, atau Geneva. 
Pendidikan lebih tersedia dan terjangkau untuk lebih banyak orang, 
termasuk warga jelata.

Teknologi tinggi menjadi tersedia, bukan hanya untuk para bangsawan 
dan mereka yang memiliki kelebihan, melainkan juga bagi warga jelata. 
Televisi, lemari es, radio, kalkulator, kamera, merupakan bagian hidup 
sehari-hari.

Manusia modern sudah bergerak dari pola komunikasi lisan audio ke 
komunikasi baca tulis, serta interactive electronic.

Masyarakat bergerak dengan cepat dan berubah tanpa dapat diprediksi 
dengan mudah. Susunan masyarakat tidak hanya dari kaum "atas", 
pedagang, agama, dan rakyat jelata. Kaum intelektual menjadi kekuatan 
tersendiri. Kaum bangsawan penguasa kini berwujud menjadi dua kelompok 
yaitu, militer dan/atau birokrat.

Berbagai tulisan telah membahas tren perubahan tadi. Di sini, saya 
akan membahas secara khusus akibat pergeseran pola komunikasi tadi dan 
dampaknya bagi pelayanan kristiani, terutama dengan fokus untuk 
lingkup perkotaan, mengingat lingkup perkotaan menjadi orientasi 
konteks hidup lainnya di Indonesia.

III. Pergeseran Pola Komunikasi

Ketika masyarakat masih mengandalkan komunikasi antarpribadi dengan 
metode audio (pendengaran) serta kata-kata lisan, jangkauan komunikasi 
antarmanusia dibatasi tempat dan waktu, demikian menurut studi yang 
dilakukan oleh pakar komunikasi di Ottawa, Walter Ong, SJ. Misalnya, 
ucapan Ratu Sima, atau Samarrotungga, tidak akan dapat didengar oleh 
cucu-cucunya karena untuk dapat mendengarnya, mereka harus hadir di 
sekitarnya dan hidup pada zaman yang sama dengannya.

Ketika metode komunikasi antarmanusia diperkaya dengan metode tulisan, 
sesuatu hal yang baru terjadi dalam hidup manusia. Hal itu terjadi 
setelah Guttenberg atau orang Korea atau Kaisar Shih Huangti di China 
memungkinkan rakyat untuk memiliki akses ke dunia komunikasi tulis 
menulis. Kini, komunikasi dapat diawetkan dan ditransfer melewati 
zaman yang berbeda, bahkan menembus batas geografis yang sulit. 
Contohnya, tulisan kuno dari zaman perang petani (Baueren Krieg) abad 
16-an, masih tersedia dalam bentuk aslinya sehingga kita dapat 
memahami situasi pada waktu itu.

Namun, dengan munculnya komunikasi elektronik, khususnya radio dan 
televisi, manusia berhasil menembus batas geografis lebih andal, serta 
batas waktu. Informasi-informasi dari tempat yang jauh dan dekat kini 
ada di ruang tamu kita secara serempak dan real time. Lihat saja 
program Discovery Channel. Bahkan menurut Tony Schwartz, media 
elektronik telah menjadi ilah kedua, yang hadir di mana-mana dan kapan 
saja serta penuh dengan kuasa.

Kehadiran komputer yang pada mulanya tidak ditujukan untuk konsumsi 
rakyat jelata ternyata mengubah dunia secara lebih radikal. Mulanya, 
alat ini diciptakan untuk membantu manusia dalam menyimpan dan 
mengolah informasi, khususnya mengolah penghitungan. Maka, muncullah 
bahasa komputer untuk mendukungnya. Bahasa pertama dibuat oleh George 
Boole pada tahun 1854. Demikian halnya dengan Charles Babbage. Pada 
tahun 1930, pembuatan metode perhitungan dengan komputer ini mencapai 
puncak dengan Massachusset Institute of Technology. Muncul pula nama 
Alan Turing, von Neumann, dan lain-lain. Dengan munculnya teknologi 
transistor, komputer yang sebesar deretan kulkas menjadi sebesar 
filing cabinet, dan akhirnya, sebesar desktop sekarang. Proses 
miniaturisasi mulai terjadi di dunia transistor. Muncullah berbagai 
cip yang berisi jutaan transistor dalam ukuran sebesar kuku jari 
manusia. Program yang semakin canggih membuat komputer memiliki 
multifungsi: menghitung, menyimpan informasi, mengklasifikasikannya, 
membuat simulasi untuk prediksi, membuat optimisasi, bahkan membuat 
desain, menulis, mengolah tampilan potret, dan sebagainya. Internet 
atau penghubungan komputer dengan rangkaian alat elektronik lain 
membuat komputer dapat mengatur lampu lalu lintas, kapan lampu rumah 
harus mati dan nyala, kapan suhu dari AC dikurangi, bahkan membuat 
berbagai keputusan sederhana sampai yang rumit dengan kecepatan yang 
luar biasa. Maka, terperangahlah para usahawan yang tadinya hanya 
menganggap komputer sebagai mesin hitung yang berlayar atau mesin yang 
rumit. Kini, di atas semua tadi, suatu tren terbaru muncul, yaitu 
membuat komputer dengan berbagai kehebatannya tadi dapat 
"berkomunikasi" satu dengan yang lainnya. Muncullah Local Area 
Network, Wide Area Network, serta yang kini digandrungi adalah 
internet. Data, gambar, dan berbagai pencarian informasi dapat 
dilakukan dari rumah secara interaktif. Dengan demikian, semestinya 
ada banyak pekerjaan dapat dikerjakan di rumah, dan bukan di kantor.

IV. Internet: Revolusi Diam-Diam

Internet pada mulanya adalah jaringan komputer yang dibuat oleh 
lembaga pertahanan Amerika dalam rangka perang dingin dengan USSR. 
Waktu itu, namanya DARPA yang kemudian menjadi Arpanet. Kemudian, 
jaringan tadi melibatkan universitas, laboratorium, serta kalangan 
bisnis. Akhirnya, jaringan ini mencapai 50 juta komputer di seluruh 
dunia.

Untuk mengaksesnya, seseorang hanya memerlukan komputer, modem 
(modulator demodulator), dan sebuah pesawat telepon serta berlangganan 
ke sebuah perusahaan yang menawarkan akses ke jaringan internet tadi. 
Perusahaan seperti ini dikenal dengan nama Internet Service Provider 
(ISP). Dengan memiliki akses ke internet, seseorang dapat mengirim 
pesan tertulis ke Skandinavia, misalnya, dengan biaya menelpon lokal, 
yaitu dari rumahnya ke kantor Internet Service Provider tadi, yang 
berada di kota yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia dapat pula 
mengirim file, gambar, musik, dan sebagainya.

Lebih hebat lagi, alat ini juga dapat menjadi alat untuk menolong kita 
mencari informasi di segala penjuru bumi. Misalnya, Anda ingin tahu 
apakah dijual Alkitab dalam bahasa Mandarin untuk para tunanetra.

Masih ada lagi yang internet dapat lakukan bagi Anda. Anda dapat 
bercakap-cakap dengan rekan dan saling melihat wajah Anda, yaitu 
dengan menghubungkan komputer Anda dengan sebuah kamera seharga US$ 
200 dengan program yang bernama CUC me.

Jelaslah, internet membuat desentralisasi kuasa terjadi melalui difusi 
atau penyebaran informasi dan akumulasi informasi yang tidak dapat 
dikendalikan siapa pun. Internet juga membuat manusia mampu 
mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan siapa saja melalui 
bahasa apa saja yang ia pilih, serta waktu yang ia kehendaki. Manusia 
bahkan dapat membentuk kelompok-kelompok, seperti asosiasi riset yang 
dilakukan oleh mahasiswa psikologi di tingkat pascasarjana, forum 
pelayanan muda-mudi sedunia, Pink Network (gay), dan sebagainya. 
Semuanya mengisyaratkan bahwa dunia modern merupakan dunia yang penuh 
dengan keberbagaian pilihan.

V. Dampak: Menuju Virtual Office, Virtual School, dan Virtual Home

Apa dampak pergeseran di atas bagi kejiwaan anggota masyarakat dan 
gereja? Pertama, dengan komunikasi lisan, kita tidak terpisah secara 
batin dari orang yang kita ajak bicara. "Kau dan aku diikat dengan 
kata-kata dan bisikan." Realita dan diri kita tergabung jadi satu 
dalam harmoni. Emosi dan nalar tidak terpisah. Kita belajar 
berkomunikasi dengan sabar. Kita belajar menyimak dengan baik.

Dengan berkomunikasi secara lisan dan juga masuk ke dunia tulis-
menulis, manusia belajar untuk menata kompleksnya realitas ke dalam 
format yang rapi, tersusun, dan terkendali. Entah kiri ke kanan, entah 
dari atas ke bawah, atau dari kanan ke kiri, manusia dibiasakan untuk 
membuat realitas terpilah dan tersusun. Hubungan antarmanusia pun 
mulai mengambil dua bentuk. Bentuk lisan yang tradisional dan bentuk 
tulisan. Di dunia tulisan, anehnya, semua harus rapi. Realitas 
diwakilkan sebagai hal yang tersusun. Apa yang ambivalen segera 
dianggap sebagai anomali (kelainan). Kelekatan dan kedekatan emosi 
semakin longgar. Nalar semakin menjadi pendominasi ulung. Maka, abad 
pencerahan pada abad XIX pun muncullah.

Manusia cenderung mengagungkan diri, merasa semakin rasional, bahkan 
sering menjadi pongah dalam menangani hidupnya, sampai muncullah 
perang dunia pertama. Di situ, manusia menyadari bahwa dirinya tidak 
hanya makhluk rasional, tetapi realitas juga tidak dapat disterilkan 
ke dalam format yang ia buat.

Pergeseran ke dunia elektronis membuat manusia menjadi lebih pasif. 
Menurut Jacques Ellul, televisi terutama membuat manusia menikmati 
realitas yang telah dipilihkan oleh sang penyiar. Televisi yang 
mulanya dianggap sebagai alat penerima informasi, kini menjadi alat 
untuk berekreasi. Manusia segan menelaah secara kritis, tetapi lebih 
suka menikmati dan meminta variasi lebih. Hal ini terlihat dengan 
munculnya para pembosan yang sebentar-sebentar mencari saluran dan 
acara televisi yang lain.

Khusus untuk Indonesia, terutama masyarakat kota besar dan masyarakat 
yang tidak sepenuhnya melek huruf, agaknya komunikasi elektronis 
rekreasional membuat dampak yang sangat kuat, entah untuk beberapa 
lama sampai keseimbangan tercapai. Apa yang disampaikan di media 
elektronik, terutama televisi, didifusikan, diadopsikan, dan jadi 
bagian hidup. Orang belajar dengan sukarela dari apa saja yang 
televisi sampaikan selama bobot rekreasinya tinggi karena kecepatan 
belajar dan kecepatan menyerap hal baru sangat meningkat bila orang 
merasa menikmati hal itu.

Dengan kata lain, pergeseran pola komunikasi umum di masyarakat, 
membuat manusia cenderung semakin tak mampu menyimak, meneliti, dan 
mengamati untuk waktu yang panjang, apalagi hal-hal yang ia tidak 
minati. Orang jadi pembosan dan semakin kompleks dalam dirinya.

Selain itu, manusia lebih suka berkecimpung dalam dunia kesan daripada 
memperhatikan pesan yang ada. Selama pesan tidak dikemas secara 
mengesankan (kalau perlu secara dramatis, berdarah, sadis, dan seksi), 
pesan tidak diperhatikan. Tingkat kekritisan menurun tajam. Inilah 
pop-culture secara global.

Internet sebagai hal baru mungkin belum terasa dampak massalnya, 
tetapi jelas akan merambah dengan cepat. Bila pada tahun 1994 
Indonesia memiliki satu service provider, kini telah tercatat 22 
provider walaupun baru 9 yang memiliki izin operasional. Service 
provider terbesar dan pemimpin pasar (Rahajasa Media Internet) 
mendapatkan pelanggan 450 orang per bulan secara nonstop sejak 
dibukanya pada bulan Mei 1995. Pendatang baru, CBN net, mengalami hal 
yang sama, sejak Januari 1996 sampai sekarang, mereka berhasil 
mendapatkan 1500 pelanggan. Perkiraan kasar menunjukkan sekitar 25.000 
orang telah menjadi pengakses internet. Hasil riset yang kami lakukan 
menunjukkan bahwa 87 % pengguna aktif (28 -- 40 jam per bulan) adalah 
orang yang berusia 19 -- 30 tahun dengan mayoritas para penyandang 
gelar S1. Mereka menggunakan akses internet terutama dalam rangka 
berekreasi dan mencari data (n=364, studi dilakukan di Jakarta selama 
bulan Februari sampai awal Mei 1996). Keseluruhannya mencerminkan 
bahwa internet sangat dibutuhkan karena merupakan kesempatan 
menelusuri pilihan-pilihan yang beragam. Semangat individualistis dan 
postmodernism semakin nyata.

Apakah ada dampak positif yang menyeluruh dari perkembangan pola 
komunikasi yang bergeser dan tumpang tindih? Pergeseran-pergeseran di 
atas membuat manusia menjadi semakin belajar untuk mengenal cara 
berkomunikasi yang berbeda-beda. Mereka belajar berbagai cara 
berkomunikasi serta sekaligus mengenali kompleksitas masing-masing. 
Manusia semakin mengeluarkan potensinya untuk berkomunikasi dalam 
berbagai mode.

Secara praktis, beberapa kemungkinan baru menjadi muncul seperti 
terlihat dari ilustrasi ini. Pada saat ini, saya masih memimpin sebuah 
kantor dengan 15 staf di dalamnya. Menghitung biaya yang dikeluarkan 
setiap bulan untuk membayar listrik, air, AC, telepon, kebersihan, 
uang keamanan, dan sejenisnya, serta pusingnya menghadapi staf yang 
saling bersaing, atau bersinggungan secara antarpribadi tentunya bukan 
cuma monopoli kami. Belum lagi risaunya kita mengamati staf wanita 
yang baru memiliki bayi kecil yang sudah harus ditinggalkannya di 
rumah dengan baby sitter. Mereka bekerja dengan hati yang terpecah 
dua. Akan tetapi, bayangkan kemungkinan seperti ini: Semua staf 
diizinkan bekerja di rumah. Masing-masing memiliki sebuah telepon 
selular, komputer notebook dengan modem-nya. Seminggu sekali atau dua 
kali, kami akan berjumpa di hotel atau restoran untuk menentukan 
pembagian tugas. Bagi para staf, tentunya hal tadi sangat 
menyenangkan. Anak-anak mereka yang biasanya tumbuh di bawah pengaruh 
pembantu, kini masih bisa melihat ibunya di rumah secara rutin. Waktu 
perjalanan dari dan ke kantor yang setiap hari menyita dua jam lebih 
dapat dipergunakan untuk hal-hal lain. Biaya pemeliharaan kantor dapat 
dipakai untuk biaya telekomunikasi per telepon dan modem yang semakin 
murah. Selanjutnya, para staf terpaksa belajar untuk berkomunikasi 
lebih efektif, yaitu menyimak dan memberi instruksi atau memberi 
laporan secara singkat, padat, dan efektif. Lebih menarik lagi, bila 
kantor kami tadi kami sewakan atau jual, tidakkah akan ada dana 
berlebih? Inilah gejala yang dikenal dengan nama virtual office atau 
kantor maya. Hal tadi secara potensial dapat dilakukan dengan 
tersedianya teknologi informasi dan komunikasi. Namun, apakah hal ini 
dapat diterapkan di Indonesia sepenuhnya? Banyak prasyarat yang perlu 
disimak. Teknologi yang tersedia sudah pasti memungkinkan penekanan 
biaya overhead dan operasional untuk menjalankan sebuah kantor, atau 
sebuah percetakan, bahkan sebuah rumah sakit.

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Jurnal Pelita Zaman, Volume 12, Nomor 01 (Mei 1997)
Judul bab: Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI
Penulis: Robby I. Chandra
Penerbit: Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman
Halaman: 53 -- 67


Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Teddy Wirawan, Yulia Oeniyati, dan Ryan
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org