Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/122

e-Reformed edisi 122 (25-6-2010)

Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri -- (Bagian 1)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

Dear e-Reformed Netters,

Saya minta maaf sebesar-besarnya karena untuk beberapa saat e-Reformed
tidak mengirimkan artikel. Semoga dengan pengiriman ini, Anda tidak
lagi perlu menunggu. Doakan juga supaya pengiriman selanjutnya bisa
kembali dilakukan secara teratur.

Kali ini saya mengirimkan sebuah artikel yang cukup panjang, karena
itu saya akan membaginya menjadi dua bagian (dalam dua surat
terpisah). Artikel ini adalah salah satu bab dari buku yang berjudul:
"Help Yourself; Today`s Obsession with Satan`s Oldest Lie". Buku ini
sangat menarik karena ditulis oleh seorang yang sangat prihatin
melihat perkembangan gerakan pengembangan diri yang dilakukan oleh
motivator-motivator yang notabene `Kristen` tetapi sebenarnya mereka
justru lebih banyak melawan konsep-konsep dasar iman Kristen. Tapi
anehnya banyak orang Kristen, khususnya di Indonesia, yang tidak
tanggap sehingga ikut terbawa arus jaman yang sangat trendi pada 5
tahun terakhir ini.

Yang lebih menakutkan lagi adalah pemimpin-pemimpin gereja pun ikut
tergiur dengan penyesatan ini sehingga banyak gereja yang ikut-ikut
mengadakan berbagai seminar-seminar motivasi yang bertemakan tentang,
self-esteem/rasa percaya diri, berpikir positif, aktualisasi diri,
keberhasilan/kesuksesan/kebahagiaan, pengembangan kepribadian yang
holistik, kepemimpinan yang berpusatkan pada kekuatan/kharisma diri,
dll.. Pemimpin gereja-gereja kecil, yang tidak mungkin bisa mengundang
para motivator besar yang `mahal`, biasanya dengan diam-diam mulai
membaca buku-buku motivasi pengembangan diri yang sekarang banyak
sekali memenuhi toko-toko buku umum dan Kristen. Mereka melihat kunci
ketidakberhasilan dirinya dan gerejanya bukan pada hal yang rohani
tetapi pada diri, kepribadian dan sumber-sumber sekular yang jauh dari
kebenaran Allah.

Penulis artikel di bawah ini sangat kuatir melihat trend gerakan
pengembangan diri jaman ini yang dengan sangat mudah menyeret dan
membohongi orang-orang Kristen untuk tidak lagi melihat Allah sebagai
sumber kekuatan hidupnya, tetapi pada hal-hal lain. Karena itu, ia
memberikan jalan keluar bagi mereka yang sedang atau yang sudah
terlanjur tercebur dalam arus penyesatan ini dengan langkah-langkah
yang tepat, yaitu:

1. Mempelajari Alkitab
2. Mempelajari Sejarah Gereja
3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja
4. Mempelajari Apologetika
5. Belajar Untuk Menerima Paradoks
6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen
7. Ingatlah Siapa Musuh Kita

Silakan membaca dan merenungkan seluruh artikel ini dengan teliti.
Marilah kita dengan rendah hati segera kembali ke jalan yang benar dan
kembali menempatkan dasar-dasar iman Kristen kita di atas "Batu Karang
yang Teguh" supaya tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ajaran
penyesatan yang ditawarkan oleh setan.

Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >
http://reformed.sabda.org
http://fb.sabda.org/reformed

----------------------------------------------------------------------

            MELAWAN KEBOHONGAN GERAKAN PENGEMBANGAN DIRI
                             (Bagian 1)

Adalah tugas utama seorang penulis untuk mengamati dan memberikan
komentar kepada masyarakat sekitarnya, alih-alih menawarkan solusi-
solusi kepada permasalahan-permasalahan mereka. Seperti para seniman
lainnya, para penulis mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang tidak
harus mereka jawab sendiri. Tujuan seorang penulis adalah membuat
pembaca berpikir.

Ada hal-hal yang dapat dan perlu kita lakukan sebagai orang-orang
Kristen untuk melindungi diri kita melawan godaan kebohongan dari
(penulis-penulis) gerakan pengembangan diri. Oleh karena itu, saya
menawarkan saran-saran saya dalam artikel ini dengan kerendahan hati.

1. Mempelajari Alkitab

Garis perlindungan pertama kita melawan kebohongan musuh adalah
Alkitab. Yesus sendiri menggunakan firman Allah untuk melawan serangan
Iblis; Paulus membimbing Timotius dan mengatakan, "Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah
diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik"[1]. Dalam salah satu
konfrontasinya dengan orang-orang Saduki, Yesus mengatakan bahwa
mereka jatuh kepada kesalahan karena mereka tidak mengetahui Alkitab -
- ini tudingan serius untuk orang Yahudi terpelajar mana pun. Bahkan
kecaman Yesus, "Tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah
kepadamu," lebih keras daripada bantahan yang biasa dikeluarkan oleh
para pendebat Yahudi, yang mengatakan kepada lawan-lawan mereka,
"pergi dan baca" bagian firman Allah untuk menyudahi suatu argumen.
Dalam tudingan-Nya, Yesus tidak hanya menekankan pentingnya Alkitab
dalam kehidupan bangsa pilihan Allah, tetapi Dia juga menyalahkan
mereka karena melalaikan tugas mereka kepada Tuhan, yaitu mempelajari
Alkitab[2].

Kecaman Yesus bahkan lebih tepat lagi ditujukan untuk zaman sekarang.
Pada orang-orang Kristen, baik kaum Protestan maupun Injili, karena
terdapat jurang pemisah yang lebar antara pengetahuan mereka dan
Alkitab. Menurut jajak pendapat Gallup, sekalipun delapan dari sepuluh
orang AS mengaku bahwa ia orang Kristen, pengetahuan dasar Alkitab
mereka mencapai titik terendah [di Amerika]. George Gallup, yang
memiliki perusahaan untuk melakukan penelitian terhadap tren-tren
rohani selama lima puluh tahun terakhir, mengatakan bahwa orang-orang
AS tidak tahu apa yang mereka percayai ataupun mengapa mereka percaya.
Gallup juga percaya bahwa buta Alkitab adalah masalah rohani, agama,
dan kebudayaan yang serius di AS[3]. Thomas Ehrlich, profesor etika
dan rektor Universitas Indiana, setuju dengan pendapat tersebut. Dia
mengamati bahwa saat ini hanya segelintir mahasiswa saja yang membaca
Alkitab sejak kecil[4].

Seburuk-buruknya buta Alkitab, membelokkan (menyalahgunakan) Alkitab
adalah masalah yang lebih serius lagi. Tidak memedulikan firman Allah
berbeda dengan membelokkan (melakukan distorsi) firman Allah. Tidak
memedulikan Alkitab hanya memengaruhi orang yang hidup dalam
ketidakpedulian itu sendiri. Tetapi, membelokkan Alkitab memengaruhi
semua orang yang mendengarnya -- baik orang yang percaya, lebih buruk
lagi orang yang belum percaya -- yang mungkin dipengaruhi oleh
interpretasi yang salah tersebut.

Distorsi Alkitab adalah taktik yang lazim digunakan di antara penulis-
penulis buku pengembangan diri, baik penulis Kristen maupun non-
Kristen. Salah satu penulis pengembangan diri Kristen menganjurkan
kita untuk mendengar firman Allah dengan saksama, dan kita akan
mendengar bahwa Allah mengatakan, Dia menyukai diri kita apa
adanya[5]. Penulis teologi sukses Kristen lainnya mengutip Perjanjian
Lama dan Baru secara acak untuk membuktikan bahwa Yesus adalah penjual
ulung yang telah memberikan kita alat untuk meraih kekayaan dan
prestasi[6]. Penulis lain mengatakan bahwa tantangan sesungguhnya dari
Alkitab bukannya memberi, melainkan menerima kasih[7]. Selain itu,
salah satu penulis non-Kristen yang menulis buku pengembangan diri
menafsirkan perkataan Yesus "Berbahagialah orang yang suci hatinya,
karena mereka akan melihat Allah" dengan mengartikan bahwa orang yang
menyucikan kesadarannya akan melihat diri mereka sendiri sebagai
Allah[8]. Hampir semua pengikut gerakan berpikir positif mengutip
Amsal 23:7 untuk membuktikan bahwa, "apa yang engkau pikirkan,
demikianlah hal itu terjadi."

"Tindakan memanipulasi Alkitab mengalir seperti sungai di sepanjang
sejarah gereja. Tetapi saat ini, pelecehan seperti itu telah berubah
menjadi banjir," tulis G. Walter Hansen, seorang pakar Perjanjian
Baru. Ia memperingatkan kita, "jika kita menggunakan Alkitab hanya
sebagai cermin untuk melihat diri sendiri, kita akan berakhir dengan
melihat refleksi keinginan diri kita sendiri lebih daripada
pengungkapan kehendak Allah"[9].

Namun, sebelum kita menyalahkan [para pendukung] gerakan pengembangan
diri untuk pelecehan ini, kita perlu menanyakan diri kita sendiri
apakah kita juga bersalah. Berapa banyak kelas-kelas pedalaman Alkitab
yang Anda hadiri yang pembinanya menanyakan, "Apa makna ayat ini `bagi
Anda`?" Atau berapa kali Anda sendiri telah memimpin kelas dan
menanyakan pertanyaan tersebut? Kesalahan dari pertanyaan ini adalah
ia gagal memberikan perbedaan mendasar antara kepentingan pribadi dan
artinya. Walt Russell, seorang pakar Alkitab, menjelaskan
perbedaannya: "Arti dari sebuah tulisan tidak pernah berubah.
Sebaliknya, kepentingan tulisan tersebut bagi saya atau orang lain
sangat tak tetap dan fleksibel. Dengan membingungkan kedua aspek
proses interpretasi ini, orang-orang Injili, memahami Alkitab dengan
"interpretive relativism". Jika [sebuah tulisan] memiliki satu arti
tertentu bagi Anda tapi berlawanan dengan yang saya mengerti, maka
tidak ada lembaga tinggi apapun untuk bisa naik banding. Kita tidak
akan pernah dapat menetapkan dan memvalidasikan interpretasi mana yang
benar"[10].

Relativisme? Saya merasa tidak ada serangan lain yang lebih
menjijikkan di mata orang-orang Injili daripada keyakinan relativisme.
Memang benar, orang-orang Injili sering menyerang relativisme
masyarakat modern, moralitas modern, etika modern, dan kebenaran
modern. Akan tetapi, simaklah statistik-statistik dari jajak pendapat
Barna Reseacrh Group berikut ini. Saat ditanyai tentang kebenaran
absolut, 66 persen orang AS dewasa (dan jumlah mengejutkan sebanyak 72
persen orang AS antara umur 18 sampai 25 tahun) menganggap bahwa tidak
ada yang namanya kebenaran absolut. Sebagian besar orang AS saat ini
percaya bahwa orang dapat membantah kebenaran dan tetap merasa
betul[11]. Jika kita memerhatikan jumlah orang AS yang menyatakan diri
sebagai orang Injili, tampak jelas bahwa pasti ada satu atau dua orang
yang menolak kebenaran absolut, dan logikanya, ia menolak pernyataan
Yesus yang mengaku diri sebagai Kebenaran yang absolut itu.

Dalam kerinduan mereka untuk membuat Alkitab bermakna bagi setiap
individu, dan untuk menemukan aplikasi hidup yang langsung dan
pribadi, kaum Injili cenderung mengabaikan konteks sejarah,
kebudayaan, dan kesusastraan dari perikop atau pasal atau kitab dari
Alkitab. "Pada saat kita memercayai bahwa firman Allah berbicara
kepada kita secara langsung, maka kita mengabaikan bahwa firman Tuhan
berbicara tentang kebutuhan kita MELALUI konteks historis dan konteks
tulisan dari penulis-penulis Alkitab," ujar Walt Russel[12]. Thomas
Olden, seorang teolog, telah menggemakan pandangan ini dan mengamati
bahwa beberapa orang-orang Injili "telah terpaku pada `aku dan
Alkitab, dan terutama aku,` sehingga pembacaan Alkitab terutama
hanyalah untuk keinginan dari perasaan dalam diri"[13].

Jadi, bagaimana seharusnya kita mempelajari Alkitab? Pertama, kita
perlu mempelajari Alkitab untuk kepentingan Alkitab itu sendiri, bukan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kita rasakan. Kita perlu
bertanya, "Apa yang Alkitab katakan?" bukan, "Apa yang Alkitab katakan
kepadaku?" Jika saya mempelajari Alkitab untuk mencari bukti bahwa
Allah menginginkan saya bahagia, atau sukses, atau puas, yakinlah
bahwa saya akan menemukannya, karena pola pikir saya akan menentukan
interpretasi saya terhadap Alkitab. Ketika saya membaca Alkitab dengan
kebutuhan-kebutuhan yang saya rasakan dalam pikiran saya, saya berarti
telah melucuti Alkitab dari segala kebenaran obyektifnya. Yang tersisa
hanyalah relativisme cair yang berubah sesuai dengan keadaan,
temperamen, dan kebutuhan-kebutuhan saya. Membaca Alkitab secara
subyektif, akan meninggikan konteks saya di atas konteks Alkitab.
Perspektif ini, tegas Russel, berbahaya karena "perspektif ini
memberikan praduga pada cara pandang eksistensialis dan yang berfokus
pada manusia"[14].

Akan tetapi, inilah praduga yang mendasari pemikiran pengembangan
diri, keyakinan bahwa saya ada untuk diri saya sendiri, dan kalau
Allah ada, maka Dia ada untuk membantu saya melihat diri saya dengan
lebih jelas dan dengan pandangan yang lebih positif. Tepatnya, inilah
anggapan yang didukung Robert Schuller ketika dia menekankan bahwa
kita memerlukan teologi yang berpusat pada manusia. Ini adalah cara
pandangan dunia yang merendahkan Allah menjadi Penolong supranatural
dari keinginan eksistensial kita dan Injil menjadi resep bagi kemajuan
dan pencerahan serta pemenuhan kebutuhan pribadi kita. Dalam konteks
pengembangan diri, Alkitab tidak dipercaya sebagai pewahyuan Allah
akan diri-Nya kepada kita. Alkitab ada untuk membantu kita mengerti
diri kita sendiri.

Bahkan pedalaman Alkitab yang berfokus pada pemuridan dapat berubah
menjadi kegiatan yang hanya sekadar melayani diri sendiri dan berpusat
pada diri sendiri. Sebagai orang Kristen, kita perlu membaca Alkitab
apa adanya, bukan untuk mencari sesuatu yang dapat dilakukan Alkitab
untuk kita. Kita mempelajari Alkitab karena itu adalah firman Allah,
karena firman Allah berasal dari Yang Esa, objek dari kerinduan
terbesar kita, keinginan kita yang terkuat.

Saya teringat kasih yang tampaknya membanjiri saya ketika masing-
masing anak saya lahir. Ketika mereka bertumbuh, saya akan
menghabiskan waktu berjam-jam untuk melihat mereka, mempelajari setiap
gerakan mereka, mempelajari sifat kepribadian mereka yang mulai
terbentuk, perubahan pola pikir mereka yang menonjol, dan ekspresi
pemikiran mereka yang khas. Saya ingin mengenal anak-anak saya, bukan
karena apa yang bisa mereka berikan kepada saya, bahkan bukan karena
saya ingin menjadi ibu yang lebih baik, tetapi benar-benar hanya
karena saya mencintai mereka.

Kasih kita kepada Allah harus jauh lebih besar lagi. Keinginan kita
kepada-Nya harusnya menjadi hasrat yang membara bahwa kita ingin tahu
segala sesuatu yang bisa kita ketahui tentang Dia. Betul, kita
mempelajari Alkitab untuk belajar tentang pemuridan, tetapi belajar
seperti itu tak ubahnya seperti tulang-tulang yang kering jika
dibandingkan dengan mempelajari dengan penuh hasrat Kekasih kita,
karena kita mencintai-Nya dan kita rindu berada di dekat-Nya.

Jadi, dalam pemahaman Alkitab, tujuan kita adalah sebisa mungkin
menjauhkan keinginan diri kita. Kita perlu ingat bahwa Firman Allah
adalah kebenaran, bahwa Allah ingin mengungkapkan Diri-Nya kepada
kita, dan bahwa semua kitab memunyai arti sesuai dengan yang Penulis
inginkan. Untuk menemukan kebenaran itu, untuk mengerti pewahyuan
Allah itu, kita perlu mempelajari Alkitab secara obyektif, termasuk di
dalamnya penelusuran dan penelitian eksegese ke dalam konteks
kebudayaan, sejarah, dan kesusastraan Alkitab. Saat kita mendekati
setiap kitab dalam Alkitab, kita perlu tahu sebisa mungkin segala hal
tentang sang penulis kitab yang diberi inspirasi oleh Allah --
kehidupannya, jamannya, tujuannya menulis kitab tersebut, dan
pembacanya. Kita perlu mengetahui apakah buku itu adalah buku
nubuatan, sejarah, atau syair. Kita perlu mengerti bagaimana buku
tersebut disatukan dan apa tema-tema besarnya.

Karena kita tidak memunyai naskah asli Kitab Suci (dan kalau adapun
hanya sebagian kecil orang yang bisa membacanya), maka kita membaca
Alkitab hanya dari terjemahannya. Terjemahan yang Anda pilih mungkin
tergantung dari selera dan latar belakang pribadi Anda. Ingatlah bahwa
terjemahan-terjemahan Alkitab memunyai kelebihan dan kekurangan mereka
masing-masing. Kadang kita mendapatkan pemahaman baru dengan membaca
terjemahan yang lain. Dalam hal ini ingatlah: "Masalah-masalah yang
muncul sebenarnya bukanlah disebabkan karena orang-orang membaca
Alkitab dengan terjemahan yang berbeda-beda; masalah yang paling
serius adalah karena banyak orang tidak membaca Alkitab!"[15]

Terjemahan apa pun yang Anda pilih akan membantu Anda "mempelajari"
versi terjemahan tersebut. Pendalaman Alkitab biasanya termasuk
informasi tentang latar belakang penulis seperti yang digambarkan di
atas. Anda juga perlu memunyai konkordansi yang lengkap, yang akan
menolong Anda melakukan eksegese yang mendalam, dan Anda perlu
tafsiran Alkitab sebanyak mungkin, milik Anda sendiri atau pinjaman
dari perpustakaan, teman, atau pendeta.

Sekilas tentang tafsiran. Sepanjang sejarah, kaum Injili telah
menunjukkan bias melawan otoritas. Karena gerakan Injili berakar pada
masyarakat yang demokratis, maka mereka sering menekankan kemampuan
setiap orang dalam menafsirkan Alkitab. Walaupun pedalaman Alkitab
secara mandiri dapat memberikan keuntungan, saya yakin membaca karya
pakar-pakar Alkitab yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk
mempelajari teks tertua yang ada akan lebih menjelaskan makna dan
kebenaran Alkitab. Allah telah memanggil para pakar Alkitab untuk
tugas mulia ini, dan saya percaya mengabaikan pekerjaan mereka adalah
perbuatan konyol yang membuang-buang waktu.

2. Mempelajari Sejarah Gereja

Thomas Oden mengamati bahwa fokus kaum Injili yang luar biasa besar
pada pengalaman pribadi dalam pedalaman Alkitab "telah menghambat
pembaca untuk belajar bahwa Roh memunyai sejarah, dan bahwa tubuh
Kristus yang dipanggil dari dalam sejarah itu memunyai satu
kesatuan...." Berhati-hatilah terhadap `orang-orang Injili` yang ingin
membaca Alkitab tanpa suara dari sejarah gereja, dan hanya mau
mendengar suaranya sendiri atau suara-suara kontemporer saja. Orang-
orang Injili sering menjadi pecundang ketika mereka secara sistematis
mengabaikan orang-orang suci dan para martir serta penulis-penulis
konsensus dari abad-abad awal kekristenan"[16]. Yang Oden katakan
adalah orang-orang Injili perlu mempelajari sejarah gereja dan karya
penulis-penulis besar Kristen, para teolog, dan para ahli yang
karyanya dapat memberitahu kita, paling sedikit, atau mungkin banyak,
tentang kebenaran dan makna Alkitab sebanyak atau lebih dari para
penafsir modern.

Banyak kaum Injili mendekati kekristenan dengan pikiran seolah-olah
hanya gerakan Injili modern yang memiliki doktrin yang benar dan
kesetiaan sejati terhadap Kristus. Ada kecurigaan dari kaum Injili
terhadap Roma Katolik dan bahkan denominasi Protestan, bahwa mereka
sulit menemukan kekristenan yang nyata di antara mereka. Sayangnya,
sikap ini menyebabkan mereka mengabaikan sejarah gereja, gerakan-
gerakannya yang penting dan pemimpin-pemimpinnya yang hebat.

Jika kita tidak belajar dari masa lalu, maka kita bisa dipastikan akan
mengulangi kesalahan yang sama. Gnostisisme, contohnya, telah
mengancam kekristenan sejak awal masa perkembangannya. Jika kita tidak
mempelajari masa lalu, maka kita tidak akan menyadari bahwa
manifestasi-manifestasi kontemporer dari musuh lama ini, muncul lagi
dalam buku-buku pengembangan diri. Dan Pelagianisme -- kepercayaan
bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik dan bahwa seseorang dapat
menyempurnakan diri mereka sendiri dengan kekuatan mereka --
mengajarkan filsafat yang sama dengan yang sedang diajarkan oleh
gerakan pengembangan diri. Ketika kita tidak mengerti masa lalu, kita
akan kesulitan mengenali musuh lama kita yang muncul dalam bentuknya
yang baru.

Kalau kita gagal mempelajari sejarah gereja, maka kita akan terpaksa
mengulanginya lagi -- memikirkan ulang doktrin kekristenan, dan
mendefinisikan ulang ajaran-ajaran ortodoks. Kita gagal menyadari
bahwa kebenaran kekristenan adalah kebenaran yang tidak lekang oleh
waktu. Kebenaran itu sama, kemarin, hari ini, hingga selamanya. Dengan
mempelajari sejarah gereja, kita mengakui kualitas kebenaran
Kekristenan yang tidak dibatasi oleh waktu, dan kita memasukkan
pemahaman kita dengan unsur yang melampaui pemikiran kita yang
dibatasi oleh waktu, pemikiran picik akhir abad keduapuluh yang
menekankan bahwa "lebih baru lebih baik".

Lebih jauh lagi, hanya dengan mempelajari masa lalu, kita dapat
menangkap sepintas hakikat gereja yang nyata dan abadi. Berada di
dalam waktu, kita hanya bisa melihat bayangan kecil gereja. Berada di
luar waktu, Allah bisa melihat gereja sepanjang sejarah dari masa para
rasul mula-mula sampai masa depan ketika gereja disatukan dengan
Kristus. Inilah gereja yang Allah pakai yang di dalamnya kita turut
ambil bagian. Kita tidak sendirian karena gereja pada saat ini sedang
berada dalam sungai waktu. Kita terhubung dengan saudara-saudara kita
dari segala masa, dan untuk segala masa, dalam pemujaan kekaguman
kepada Allah yang terus menerus dan komitmen kepada Kristus yang
memberikan gereja kekuatan. Dengan mempelajari masa lalu kita, kita
dapat mengumpulkan kekuatan untuk melindungi kepercayaan kita dari
kesalahan besar pengembangan diri yang berpusat pada diri yang
meyakinkan kita untuk menciptakan ulang gereja yang dapat memuaskan
kebutuhan modern. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan modern. Kebutuhan
itu adalah kebutuhan setiap orang Kristen sepanjang masa. Kebutuhan
itu adalah kebutuhan untuk mengenal Allah, untuk diselamatkan oleh
anugerah-Nya dan tinggal bersama-Nya dan untuk-Nya selamanya.

Dengan cara yang sama, mempelajari kehidupan pemimpin-pemimpin gereja
menunjukkan kepada kita siapa pahlawan-pahlawan yang nyata, bukannya
seperti pahlawan-pahlawan sekuler pengembangan diri. Tidak ada Tony
Robbins atau Stephen Covey di sini, tetapi pria dan wanita yang hidup
menjalankan pengajaran Alkitab dengan menyerahkan diri mereka sendiri
sebagai pelayanan kasih kepada Yesus Kristus, kepada Gereja yang
kudus, dan kepada satu sama lain. Dan karya-karya agung dari tokoh-
tokoh besar Kristen ini memberikan pencerahan terhadap Alkitab dengan
pemahaman dan penerimaan kebenaran yang tidak mungkin kita abaikan.

Sebagai contoh, percaya pada keabsahan total Alkitab bukanlah
pandangan teologia modern, sebagaimana banyak kaum Injili percayai.
Baik Gregorius dari Nyssa maupun Santo Agustinus menegaskan bahwa
Alkitab berbicara bersama suara Allah. Timothy George, dekan Beeson
Divinity School, menggarisbawahi pentingnya kita kembali kepada karya
Bapa-Bapa Gereja, dan mengatakan bahwa "konsensus besar-besaran
sepanjang zaman tentang interpretasi pemikiran Kristen pada Alkitab
(dan pada hal-hal paling penting lainnya) tidak mungkin salah"[17].

Catatan kaki:

 1. 2 Timotius 3:16-17.
 2. Matius 22:29-33.
 3. Dikutip di Karen R.Long, "Bible Knowledge at Record Low, Pollster
    Says," National Catholic Reporter, 15 Juli 1994, p.9.
 4. Thomas Ehrlich, "The Bible: Our Heritage," The Saturday Evening
    Post, Mei/Juni 1991, p.66.
 5. Earl D. Wilson, The Discovered Self: The Search for Self-Acceptance
    (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1985), p.9.
 6. Mike Murdock, One-Minute Businessman`s Devotional (Tulsa, Oklahoma:
    Honor Books, 1992).
 7. Robert J. Wicks, Touching the Holy: Ordinariness, Self-Esteem, and
    Friendship (Notre Dame, Indiana: Ave Maria Press, 1992), p.9.
 8. Dikutip di G. Walter Hansen, "Words from God`s Heart,"
    Christianity Today, 23 Oktober 1995, p.23.
 9. Ibid., p.25.
10. Walt Rusell, "What It Means to Me," Christianity Today, 26 Oktober
    1992, pp.30-31 [penekanan di "interpretive relativism" oleh saya].
11. Ibid., p.30.
12. Ibid., p.31 [penekanan oleh penulis asli].
13. Dikutip di "Classic and Contemporary Excerpts," Christianity
    Today, 25 Oktober 1993, p.73.
14. Walt Russell, "What It Means to Me," p.32.
15. Jack P. Lewis, The English Bible from KJV to NIV: A History and
    Evaluation (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), p.366.
16. Dikutip di Christianity Today, 25 Oktober 1993, p.73.
17. Timothy George, "What We Mean When We Say It`s True," Christianity
    Today, 23 Oktober 1995, p.19.

Diterjemahkan dan disunting dari:
Judul buku: Help Yourself; Today`s Obsession with Satan`s Oldest Lie
Penulis: Stephanie Forbes
Penerbit: Crossway Book, Wheaton Illinois
Tahun: 1996
Halaman: 177 - 184

______________________________e-Reformed______________________________
Pemimpin Redaksi: Yulia Oenijati

Kontak Redaksi: < reformed(at)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(at)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed
Situs SOTeRI: http://soteri.sabda.org
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) e-Reformed 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org