Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/62

e-Reformed edisi 62 (6-6-2005)

Perubahan-Perubahan Radikal, Sebagai Akibat Reformasi

        PERUBAHAN-PERUBAHAN RADIKAL, SEBAGAI AKIBAT REFORMASI


Pikiran-pikiran pokok dari Reformasi memberi kemungkinan untuk
perubahan-perubahan radikal dalam seluruh konsep dan tempat kaum awam.
Pada saat yang menentukan, karena kepatuhan kepada Firman Allah,
Luther menolak untuk patuh kepada gereja yang terjelma dalam kekuasaan
hirarkis Paus. Konsep Luther tentang gereja, terutama dalam tulisan-
tulisan militannya yang terdahulu, adalah suatu serangan frontal
terhadap konsep gereja hirarkis. Faham tentang pejabat gereja yang
hirarkis juga ditolak. Secara prinsip perbedaan antara "kaum klerus"
dan "kaum awam" tidak ada lagi.

Dalam manifestonya kepada kaum bangsawan Kristen ia mengumumkan,
"Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di
antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah
dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup
atau paus." Hanya demi ketertiban, orang-orang tertentu dipisahkan
oleh jemaat, mereka adalah "pelayan-pelayan", bukan imam-imam dalam
arti budaya, orang-orang perantara antara Allah dan jemaat atau antara
Allah dan manusia, tapi "pelayan-pelayan Firman" (verbi divini
ministri). Pada prinsipnya, pelayanan yang diartikan secara baru ini
(mengajar dan berkhotbah, membaptiskan, melayani Perjamuan Kudus,
mengikat dan melepaskan dosa, berdoa syafaat, mempertimbangkan ajaran
dan membeda-bedakan roh) adalah hak setiap orang Kristen yang telah
dibaptis. Ini berarti imamat orang-orang yang percaya atau, seperti
biasa disebut, "imamat am" adalah semua orang yang percaya. Sejak itu
prinsip ini selalu disertai oleh hukum "sola gratia", "sola
scriptura". Kedua prinsip ini sudah menjadi prinsip besar resmi dari
Reformasi dan khususnya Protestantisme.

Dalam faham-faham yang militan ini terdapat benih-benih individualisme
dan equalitarianisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan
Alkitab, yaitu "imamat yang berkerajaan", yang adalah milik semua
orang percaya secara keseluruhan. [1] Militansi dan pernyataan yang
nampaknya berlebih-lebihan ini dapat dimengerti melihat kenyataan
bahwa pada waktu itu Luther harus berjuang melawan sistem hirarki yang
luar biasa, faham hirarki yang sudah tertanam sangat dalam di pikiran
orang sejak berabad-abad. Faham seperti itulah yang hendak digugatnya
di hadapan forum faham Alkitab mengenai gereja beserta anggota-
anggotanya. Implikasi dari serangan-serangannya itu ialah penghapusan
semua klerikalisme dan pemulihan tempat yang sewajarnya bagi kaum awam.

Tapi, secara jujur harus disebut di sini bahwa konsep baru tentang
gereja dan pemulihan tempat kaum awam tidak pernah menjadi pokok-pokok
yang dominan. Prinsip yang banyak digembar-gemborkan tentang "imamat
am semua orang percaya" mempunyai akibat-akibat tertentu yang sangat
menarik dalam Dunia Baru, tapi pada umumnya di Dunia Lama hal ini tak
pernah punya efek apa-apa. Sampai sekarang prinsip itu hanya punya
peranan sebagai bendera, bukan prinsip yang memberi hidup dan
kekuatan. Sudah tentu, sejak Reformasi dan lahirnya banyak macam
gereja sebagai akibatnya, pandangan eklesiastik hirarkis tentang
gereja tidak pernah lagi mendapat tempat yang tidak dapat diganggu-
gugat seperti sebelumnya. Panggilan untuk membenarkan setiap doktrin
gereja dan tugas anggota-anggotanya berdasarkan Alkitab, tak pernah
lagi diabaikan seperti sebelumnya. Dasar etika Calvinisme tentang
orang-orang awam yang harus membuktikan bahwa mereka adalah orang-
orang yang sudah dipilih Allah dengan bekerja sepenuh hati, adalah
akibat dari prinsip "imamat am semua orang percaya". Juga tak dapat
disangkal bahwa prinsip ini, terutama pada abad 19 di bawah pengaruh
faham liberalistis-individualistis, sudah lebih merupakan kata-kata
muluk teologis untuk faham modern pada waktu itu, dari pada sumber
kekuatan rohani yang mengubah gereja.

Mengapa definisi baru dari Luther dan Calvin tentang gereja, pelayanan
dan tentang tempat sentral dan utama dari jemaat secara keseluruhan,
akhirnya hanya menjadi prinsip dan bukan menjadi kenyataan? Mengapa
kaum pendeta yang jadi dominan dan bukan jemaat (Gemeinde) secara
keseluruhan?

Pertama-tama, kita akan menyebut sebab-sebabnya, lepas dari keadaan-
keadaan sejarah yang banyak mempengaruhinya. Ketika para Reformator
kembali kepada Alkitab dan mendapati bahwa Yesus Kristus adalah satu-
satunya Kepala Gereja yang benar, yang memerintah gereja melalui Roh-
Nya yang kudus, anugerah dan pengampunan-Nya, dan menghapuskan semua
tingkatan-tingkatan kekuasaan dan hak, mereka bertekad untuk
meninggalkan sistem tingkatan-tingkatan hirarkis dan penyamaan gereja
dengan kaum klerus yang dianggap sebagai imam pengantara sakramen.
Gereja terdiri atas orang-orang percaya dan orang-orang berdosa yang
sudah diampuni. Tapi ketika mengorganisir atau mereorganisir gereja,
mereka berusaha menghindari dan menghapuskan pelanggaran-pelanggaran
mencolok dan kebobrokan sistem yang dominan. Pandangan para Reformator
tentang gereja tidak sepenuhnya alkitabiah. Ini dapat dimengerti,
sebab kecamuk dan hangatnya perjuangan dan pandangan mereka sangat
dipengaruhi oleh protes dan polemik. Lagi pula, ucapan-ucapan Luther
bahwa setiap orang Kristen yang dibaptis mempunyai kuasa seperti yang
dipunyai oleh paus, uskup-uskup dan imam-imam, mengandung bahaya-
bahaya tersembunyi.

Bahaya PERTAMA ialah: bahwa dalam suatu gereja yang sudah berabad-abad
"orang Kristen yang dibaptis" sama sekali tidak sama dengan seorang
Kristen yang benar-benar percaya. Sebab, walaupun benar pendapat bahwa
otoritas untuk mengatur dan mengadakan konsep tentang gereja terletak
dalam pola-pola alkitabiah tentang gereja, itu bukan berarti bahwa
pola-pola alkitabiah itu yang harus ditiru. Situasi sejarah yang lain
memerlukan ekspresi kreatif yang lain walaupun peraturan dan konsep
pokoknya sama.

Yang KEDUA: anggota-anggota gereja yang sudah berabad-abad itu
menghalangi anggota-anggotanya menjadi dewasa secara rohani, karena
ajaran tentang "iman implisit" dari kaum awam, tidak dapat dengan
tiba-tiba menjadi orang-orang dewasa dalam kerohanian.

Yang KETIGA: gerakan Reformasi menekankan pentingnya khotbah di
samping penghapusan habis-habisan perbedaan antara "kaum klerus" dan
"kaum awam". Memberi tekanan penting terhadap khotbah yang benar dan
"murni" [2] (die reine Predigt) sebagai makanan rohani yang memberi
hidup. Untuk itu, diperlukan orang-orang yang cakap untuk memegang
jabatan itu. Pelayanan sakramen yang benar, yang juga dinyatakan
sebagai salah satu tanda hakiki dari gereja, terutama Perjamuan Kudus
di banyak gereja, tidak mendapat tempat yang sama penting seperti
"khotbah murni Firman Allah". Pelayanan sakramen hanya diperuntukkan
bagi pendeta-pendeta. Walaupun perkembangan ini mempunyai alasan-
alasan yang baik, hal ini menimbulkan kekaburan arti dalam keseluruhan
konsep "pelayanan". Di satu pihak, hal ini cenderung kepada
pembentukan kembali suatu golongan "kaum klerus", padahal di pihak
lain, setidak-tidaknya dalam prinsip, diusahakan menghapuskan
perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam".

Pentahbisan ke dalam "status rite vocatus", yang telah menjadi dinding
pemisah antara "kaum klerus" dan "kaum awam" di gereja sebelumnya,
sebenarnya sekarang juga masih menjadi semacam dinding pemisah.
Seperti yang telah dikatakan di atas, perbedaan ini diadakan demi tata
tertib. Motif itulah satu-satunya motif yang benar, kalau ditinjau
dalam terang prinsip "imamat am semua orang percaya". Sebagai jawaban
terhadap konsep imam sebagai perantara sakramen di masa yang lalu,
prinsip itu ingin meninggalkan faham tentang "para klerus" yang
mempunyai tempat yang lebih tinggi dan terasing dari kaum awam. Tapi
sebenarnya, berlawanan dengan teori tentang tidak adanya perbedaan
secara fundamentil, dalam praktiknya prinsip itu menempatkan kaum awam
lebih rendah dari kaum pendeta, membuat kaum awam jadi pasif, memberi
tekanan besar pada arti "jabatan" (Amt) dan pimpinannya.

Perkembangan ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa para pendeta,
yang tugas utamanya ialah untuk mengkhotbahkan Firman Allah dengan
benar, makin lama makin kelihatan sebagai "ahli-ahli teologia",
"orang-orang yang tahu", dan dalam tingkatan sosial mereka mempunyai
status "rohaniawan"; dengan kata lain sebagai pneumatikoi, manusia-
manusia rohani (1Korintus 3). Akibat buruknya ialah bahwa kaum awam
lambat-laun menerima saja kedudukan sebagai "orang-orang yang tidak
tahu", orang-orang yang tidak dewasa secara rohani. Hal ini
menghasilkan suatu situasi, yang terdapat di semua gereja, dimana ada
perpisahan jelas antara pejabat gereja yang memimpin dan kaum awam
yang dipimpin. Dengan kata lain, gereja adalah urusan pendeta-pendeta.
Pada masa Reformasi sendiri dan pada masa-masa permulaan
pengkonsolidasiannya, unsur-unsur konkret dalam sejarah sudah
menghalangi dipraktikannya "imamat am semua orang percaya" itu. Pada
mulanya, Reformator-reformator itu tidak bermaksud mendirikan gereja
baru. Tujuan mereka mula-mula ialah untuk memurnikan iman. Tapi ketika
perlawanan keras dari pimpinan gereja memaksa mereka untuk
mengorganisir hidup gereja menurut prinsip-prinsip mereka sendiri,
maka mereka harus berhadapan dengan kurangnya pengetahuan dan
pengertian kaum awam dan dengan susahnya memelihara ketertiban dalam
jemaat-jemaat. Keadaan seperti ini bukan saja terdapat di Jerman,
melainkan juga di Inggris, dimana Reformasi berlangsung tidak
sedrastis dan sesistematis seperti di negeri-negeri lain [3].

Lagipula, suatu Reformasi yang terorganisir tak dapat dilangsungkan
tanpa pertolongan dan kekuasaan raja-raja dan hakim-hakim yang memihak
kepada gerakan Reformasi itu. Akibatnya ialah bahwa raja-raja dan
hakim-hakim menduduki tempat-tempat penting dalam urusan-urusan
gereja. Jadi, golongan awam yang besar itu walaupun mereka bukan
orang-orang yang tidak tahu, tidak melihat kemungkinan lain kecuali
menyerahkan saja kepengurusan hidup gereja kepada para pendeta dan
badan-badan negara yang dibentuk itu. Pada tahun 1526 Luther sudah
mengakui bahwa untuk mendirikan suatu jemaat yang benar-benar ideal,
ia belum mendapati cukup banyak orang-orang Kristen dan malahan ia
belum menjumpai banyak orang yang meminta supaya jemaat seperti itu
didirikan. Organisasi yang dihasilkan oleh perkembangan itu tidak
memberi status yang memungkinkan jemaat-jemaat mempunyai tanggung
jawab yang aktif. Jemaat-jemaat itu menjadi objek dari pekerjaan
pastoral pendeta dan peraturan-peraturan pemerintah. Akibatnya,
walaupun kaum awam lain keadaannya dari masa sebelum Reformasi, mereka
tetap seperti semula, tetap sebagai objek, sama sekali bukan sebagai
subjek. Berlainan dengan Luther, Calvin menghadapi soal yang sama
hanya dalam satu kota dan bukan di negeri-negeri yang berlain-lainan,
makanya ia lebih berhasil dengan "Ordonnance ecclesiastique"-nya pada
tahun 1541 untuk mewujudkan kebebasan relatif dalam kehidupan gereja.
Ini merupakan hasil dari fahamnya tentang tata gereja yang ditetapkan
oleh Allah. "Ordonnance ecclesiastique" Calvin itu adalah tata gereja
yang paling dinamis yang berasal dari Reformasi. Konsepnya tentang
kekuasaan dan pentingnya pendeta bagi suatu gereja yang terpimpin
baik, mengandung unsur-unsur, walaupun tak disengaja, yang mengabaikan
arti dan pentingnya kaum awam.

Amerika, yang waktu itu disebut Dunia Baru, mempunyai corak-corak
tersendiri. Sejarah Amerika merupakan suatu rangkaian dari adaptasi
dan readaptasi kepada dunia yang baru dengan kondisi-kondisi baru dan
dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi. Gereja-gereja
di Amerika adalah gereja-gereja Eropa yang dipindahtanamkan dalam
tanah baru dengan keadaan sekeliling yang baru. Dalam proses ini
Amerika memperkembangkan gereja corak baru. Sejak datangnya pendatang-
pendatang baru, terutama gelombang-gelombang besar pendatang baru pada
abad 19, proses itu berjalan terus. Hasilnya ialah munculnya gereja-
gereja parokhial yang berpemerintahan sendiri yang khas Amerika,
dengan pengawasan dan partisipasi yang lebih besar dari kaum awam.
Dengan prinsip yang sangat dipegang teguh, yakni prinsip kemerdekaan
beragama dan pemisahan antara gereja dengan negara, gereja dianggap
sebagai perkumpulan sukarela dari orang-orang yang diselamatkan dan
sebagai suatu institut untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan
jalan menyelamatkan perorangan-perorangan. Urbanisasi telah memaksa
gereja mencari dan melayani segala macam orang dan golongan, dan
gereja-gereja itu cenderung untuk memperkuat persekutuan batiniah dari
gereja setempat. Pelayanan oleh kaum awam telah makin maju karena
perkembangan ini.

Kalau kita bandingkan kehidupan gereja di Eropa dengan Amerika, kita
lebih cenderung untuk berkata bahwa struktur dan suasana di dalam
gereja-gereja Eropa tidak memberi banyak dorongan kepada inisiatif-
inisiatif kaum awam. Di Amerika sebaliknyalah yang terjadi. Di
Amerika, bukannya hasil pemikiran-pemikiran teoritis yang menghasilkan
keadaan seperti itu, melainkan hasil pertimbangan-pertimbangan
pragmatis, yaitu bahwa kegunaan gereja sebagai institut yang efektif
tergantung hampir sepenuhnya pada kesediaan kaum awam untuk melibatkan
dirinya.

Untuk mengakhiri pembahasan historis yang selektif tentang status
teologis kaum awam, kita hendak menyebutkan beberapa patah kata lagi.
Pada abad 19, pada zaman dimana orang semakin menjauhi gereja dan
kekristenan, Johann Heinrich Wichern [4], bapak dari "Innere Mission"
di Jerman, mencoba mengaktuilkan "prinsip-prinsip" Reformasi tentang
imamat am semua orang percaya. Ia tidak menafsirkannya menurut
tafsiran biasa seperti "mempunyai hubungan langsung dengan Allah"
tanpa perantaraan imam, tapi sebagai kewajiban terhadap "diakonia",
yang berlaku bagi semua anggota gereja. Dinamisme "Communio Sanctorum"
terletak pada kenyataan, menurut dia, bahwa "communio sanctorum" itu
bukan saja "Congregatio vere credentium" (persekutuan orang-orang yang
benar-benar percaya), melainkan terutama adalah "congregatio vere
amantium" (persekutuan orang-orang yang benar-benar mengasihi). Hal
ini sudah menunjuk kepada suatu arah yang baru.

----------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki:
-------------
[1] T.F. Torrance, Royal Priesthood, hal. 35, catatan 1, mencela
    sebutan "imamat am orang-orang percaya" sebagai sesuatu yang
    kurang tepat, "sebab di dalamnya ada unsur-unsur individualisme
    yang merusak".
[2] Yaitu tafsiran yang benar dari Firman Allah.
[3] Pembahasan yang berikut banyak saya ambil dari buku W. Pauck "The
    Ministry in Historical Perspectives", hal. 110 - 147.
[4] Bnd. Martin Gerhardt: J.H. Wichern, Hamburg 1927.

======================================================================

Bahan di atas diedit dari sumber:
---------------------------------
Judul buku   : Theologia Kaum Awam
Penulis      : Dr. H. Kraemer
Penerbit     : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985
Hal          : 45 - 51

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org