Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/35

e-Reformed edisi 35 (19-6-2003)

Presuposisi Teologi

PRESUPOSISI TEOLOGI Pdt. Sutjipto Subeno LATAR BELAKANG Di dalam kita menggumulkan suatu permasalahan yang dilontarkan seringkali saya mendapat kesan terjadi perdebatan yang serius dikarenakan bukan di dalam permasalahan itu sendiri, tetapi di dalam pola berpikir yang melandasi permasalahan. Inilah yang seringkali dikenal sebagai Problema Presuposisi (atau kemudian dikenal sebagai Pra-asumsi atau yang oleh Thomas Kuhn disebut sebagai Paradigma). Pada intinya, setiap argumentasi yang kita keluarkan, di belakangnya pasti ada satu set pola pikir yang melandasinya, entah ia sadari atau tidak sadari, terstruktur atau acak-acakan, integratif atau kontradiktif. PROBLEMATIKA PRESUPOSISI Jika kita menyadari hal ini, tentulah kita segera sadar bahwa akar permasalahan perdebatan kita disebabkan karena tidak adanya dasar pijak yang sama, dan lebih parah lagi, setiap kita (entah sadar atau tidak) tentunya memegang mati dasar pijak tersebut sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh salah. Hal ini dapat dimengerti, karena kalau ia sendiri belum yakin dasar pijaknya sebagai sesuatu yang mutlak benar, tentu ia tidak akan berargumentasi dengan orang lain. Paling jauh ia hanya berani bertanya atau memberi pertimbangan, tetapi tidak berargumentasi, apalagi berdebat. Ketika seseorang sudah berani berdebat, tentulah ia beranggapan dasar pijaknya mutlak benar. Namun, masalahnya, apakah pasti benar dasar pijak yang dimutlakkan tersebut. Di sini terdapat problematika yang serius. Dengan orang bukan Kristen, pergunjingan ini bisa menimbulkan masalah besar, karena seringkali manusia tidak suka kalau dasar pijaknya mulai dipertanyakan (tentu dengan alasan tertentu, yang akan saya kemukakan kemudian), sehingga lebih menimbulkan amarah ketimbang penyelesaian. Tetapi, bagaimana di kalangan Kekristenan sendiri? Di tengah Kekristenan, presuposisi ini bukannya tidak menjadi masalah. Tetapi seringkali di tengah era Post-Modernisme yang serba relatif dan dekonstruktif, maka manusia cenderung menolak adanya presuposisi ini, sekalipun penolakan presuposisi sebenarnya merupakan satu presuposisi juga (bahkan filsafat dasar bagi orang itu sekaligus merupakan presuposisi bagi pikiran dan hidupnya juga). Jelas perlu disadari dan diterima bahwa sekalipun sama-sama Kristen, presuposisi setiap orang Kristen tidaklah sama. PRESUPOSISI DAN TEOLOGI Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa presuposisi Kristen identik dengan teologi yang dipegangnya. Padahal tidaklah demikian. Presuposisi justru masih berada di belakang teologi (doktrin) yang dipegangnya. Mengapa seseorang lebih mau menerima teologi A ketimbang teologi B, disebabkan karena ia sudah mempunyai 'ancang-ancang' yang baginya lebih 'cocok' dengan teologi A, ketimbang teologi B. Persoalannya, jarang kita uji, mengapa kita lebih cocok dengan teologi A ketimbang B, atau lebih tajam lagi, betulkah sikap kita lebih mencocoki teologi A ketimbang teologi B? Apa dasar pembenaran, sehingga kita bisa mengatakan bahwa memang menerima dan menyetujui teologi A lebih bertanggung jawab dan lebih tepat benar ketimbang memegang teologi B. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa presuposisi tidak sama dengan teologi. Lebih jauh lagi, hal ini jika dipertajam lagi, menyebabkan seseorang sekalipun memegang teologi tertentu, kemudian dalam bidang-bidang atau aspek-aspek tertentu bisa tidak menyetujuinya, lalu berpindah ke tempat lain. Terkadang hal ini membuat konsep dan pengertian teologinya tidak terintegrasi lagi, alias saling berkontradiksi, karena ia sudah punya presuposisi yang mau dipasangnya. Yang lebih membahayakan lagi, jika orang itu kemudian menggunakan dalih, yang kelihatannya sangat rohani, tetapi justru menggambarkan egoisme dan ke-'sok tahu'-annya dengan mengatakan bahwa ia tidak memegang teologi A atau B atau C, tetapi memegang teologi 'Yang Alkitabiah.' Di balik perkataan ini, ada presuposisi pribadi yang mengatakan bahwa semua teologi yang sekarang ada adalah teologi yang tidak atau kurang Alkitabiah, dan hanya teologi yang ia bangunlah yang alkitabiah. Kembali lagi, presuposisi ini didasarkan pada apa? Jika setiap orang melakukan ini, maka akan terjadi Anto-isme, Budi-isme, atau John-isme dan berbagai 'teologi baru' yang semuanya mengaku Alkitabiah, padahal justru mungkin paling tidak Alkitabiah. Semangat relativisme seperti ini merupakan bahaya besar di dalam dunia Kekristenan saat ini, karena setiap orang akhirnya menjadi bingung dan berdebat tanpa ujung pangkal, karena seluruh presuposisi yang dipegang setiap orang berbeda tanpa bisa ditelusur dan dibereskan lagi kebenarannya. MEMBANGUN PRESUPOSISI YANG BENAR Sentral pembahasan saya ada disini. Dan harus disadari terlebih dahulu, bahwa pembangunan presuposisi inipun merupakan satu presuposisi, sehingga jika ingin mengomentarinya, tentu haruslah juga kita mulai dari sini. Ada beberapa presuposisi dasar yang perlu dipakai untuk membangun suatu presuposisi utama dalam kita berteologi. 1. Kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya tidaklah absolut (banyak kesalahan yang masih kita lakukan di dalam hidup kita). Karena itu, jika kita mau mencari kebenaran, haruslah kembali kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan dirinya kebenaran. Secara inkarnasi, maka di sepanjang sejarah, hanya satu 'manusia' saja yang berhak mengklaim diri sebagai Kebenaran, yaitu Yesus Kristus sendiri, Anak Allah yang Tunggal (Yoh 14:6). 2. Allah mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaran-Nya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab merupakan satu-satunya sarana untuk manusia bisa kembali mengerti kebenaran yang paling hakiki. Inilah yang ditekankan dengan proklamasi: Sola Scriptura (Hanya Alkitab Saja). Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus berpresuposisi pada Alkitab. Dengan lebih kritis lagi, bahwa setiap kebenaran yang bisa kita dapat dan mengerti, jika memang benar, maka ia tidak bisa bertentangan dengan Alkitab. 3. Alkitab merupakan satu kebenaran yang utuh dari Allah yang satu. Karena Allah yang sama mewahyukan seluruh bagian Alkitab, maka seluruh bagian Alkitab tidak bertentangan satu sama lain. Jika terjadi pertentangan, maka bukan pengertian Alkitab itu sendiri, tetapi kesulitan pikiran manusialah yang memang mempertentangkannya. Maka kembali lagi, presuposisi manusia di dalam menghadapi Alkitab adalah presuposisi keutuhan, bukan dekonstruktif. DASAR PRESUPOSISI KRISTEN Dalam acuan ini, Cornelius Van Til (18 -1987), seorang teolog dan filsuf abad ini telah dengan sedemikian serius menggumulkan permasalahan ini. Van Til melihat bahwa di dalam berpikir, yang mendasari seluruh konsep teologis dan praktis kehidupan seseorang, hanya ada dua presuposisi dasar yang sangat menentukan, yaitu: (1) Kedaulatan Allah atau (2) Otonomi manusia. 1. Kedaulatan Allah dengan presuposisi ini, manusia akan mengacu dan melihat segala sesuatu dari aspek kedaulatan Allah. Allah dipandang sebagai Sumber segala sesuatu, Dasar dan Tujuan segala sesuatu (Rom 11:36). Inilah dasar yang benar bagi seluruh pemikiran manusia, apalagi orang Kristen. Kita percaya bahwa Allah adalah Pencipta, Penopang dan Penyempurna seluruh alam semesta, termasuk manusia. Hanya percaya pada kedaulatan Allah, manusia bisa mendapatkan arah dan patokan dasar berpikirnya secara benar. 2. Otonomi Manusia Gejala ini muncul ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Manusia berusaha mencari kebenarannya sendiri di mulai dengan meragukan kebenaran dan kedaulatan Allah di taman Eden (Kej 3:6 dst.). Ciri ini merupakan ciri manusia berdosa di sepanjang sejarah zaman. Ketika manusia mulai berpikir menurut pikirannya sendiri, ada beberapa hal yang pasti akan terjadi: (1) Non-proportional thinking. Manusia jadi tidak lagi bisa berpikir proporsional secara tepat. Karena titik acuannya tidak tepat, maka Martin Luther memisalkan keadaan seperti ini bagaikan roda yang as-nya tidak tepat di tengah. Manusia tidak lagi memiliki acuan yang tepat untuk berpikir, sehingga pemikirannya pasti tidak mungkin berdiri tegak dalam kebenaran yang asasi. (2) Inconsistency Manusia tercemar oleh prinsip dosa, yaitu inkonsistensi. Manusia tidak dapat lagi konsisten secara murni di dalam cara berpikirnya. Akibatnya, manusia hidup terus dalam konflik (entah disadari atau tidak disadari). Dengan kembali kepada presuposisi yang benar, barulah kita bisa membangun seluruh teologi kita secara benar. Dan berdasarkan teologi yang benar, pembentukan konsep berpikir kita juga akan menjadi beres. Tanpa presuposisi yang tepat, maka teologi kita akan diwarnai oleh presuposisi yang tidak tepat, dan akibatnya hidup kitapun akan bercorak dosa. Inilah bahaya kesalahan presuposisi yang seringkali tidak disadari oleh orang Kristen. PENUTUP Sebagai penutup, saya ingin memberikan satu contoh kongkrit yang merupakan problematika presuposisi di tengah Kekristenan. Ketika seseorang berpresuposisi dasar 'otonomi manusia', yang berarti manusia menegakkan sendiri apa yang ia anggap benar, maka ia terlebih dahulu sudah menetapkan bahwa dirinya menjadi pusat segala sesuatu (bukan Allah dan kedaulatan-Nya). Dari sini, pasti ia akan memulai segala pemikiran yang akan memuaskan kepentingan dirinya. Itu kemudian tercermin di dalam ia berteologi. Teologi menjadi 'conveyor' (pembawa) pemuasan kepentingannya itu. Maka, karena ia menganggap bahwa hidup ini perlu mendapatkan kepuasan dan kenikmatan, perlu ditunjang dengan pemuasan keinginan duniawi, maka ia akan memperlakukan dan membentuk teologi yang sesuai dengan itu. Dari sini tercermin beberapa implikasi, seperti: (1) Saya senang lho ke gereja anu, karena di situ saya bisa melepas stress saya, bisa bersukacita, atau (2) Wah, kalau jadi Kristen ya musti kaya, karena Tuhan ingin kita kaya, nggak mau kita miskin. (Apa iya..?) atau (3) Kalau saya disembuhkan dari penyakit saya, atau saya bisa sukses bisnis, atau saya bisa dapat pacar yang cantik, ya saya mau jadi Kristen, bahkan, (4) Kristen memberikan keselamatan buat saya, tetapi cukup sampai sekian, kalau saya disuruh berkorban, ya saya keberatan, karena itu tidak cocok dengan semangat cinta kasih Kristen (Apa iya...?), atau (5) Jadi Kristen jangan fanatik-fanatik, nanti rugi, apalagi kita nggak diberi makan oleh gereja, dll. Saya rasa daftar di atas ini bisa diperpanjang tanpa batas, sejauh teologi dibangun berdasarkan Otonomi Manusia. Alkitab meminta kita untuk bertobat, menanggalkan segala pikiran dosa, menjauhkan diri dari nafsu daging dan keinginan daging yang mematikan dan kembali taat kepada kedaulatan Allah (Gal 5: 16 dst.). Persoalannya, apakah di dunia modern ini, semua orang Kristen, termasuk para hamba Tuhan, menyadari kesalahan-kesalahan seperti ini? Apakah implikasi yang dihasilkan oleh gereja-gereja Kristen saat ini? Sudahkah betul-betul menghasilkan orang-orang Kristen yang bergumul terus semakin mendalam di dalam firman Tuhan, semakin mengerti kebenaran dan mengaplikasikan kebenaran? Ataukah kita hanya menghasilkan orang-orang yang ahli berdebat dan menggunakan argumentasi duniawi untuk menjadi acuan dasar atau presuposisi kita? Biarlah perenungan ini bisa menjadi berkat bagi kita semua. Soli Deo Gloria --------------------------------------- Sumber: Tulisan diatas diambil dari website GRII Sby-Andhika, ==> http:/www.griis.org

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org