Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/163

e-Penulis edisi 163 (5-3-2015)

Baca Tulis: Upaya Merdeka dari Pembodohan (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                         Edisi 163/Maret/2015
          Tema: Baca Tulis: Upaya Merdeka dari Pembodohan (I)

e-Penulis -- Baca Tulis: Upaya Merdeka dari Pembodohan (I)
Edisi 163/Maret/2015

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: KUNCI UNTUK MEMBUKA JENDELA DUNIA
ARTIKEL: INDONESIA BELUM MERDEKA DARI BUTA HURUF
POJOK BAHASA: BELAJAR MEMBACA DAN KECERDASAN ANAK PADA USIA DINI

           DARI REDAKSI: KUNCI UNTUK MEMBUKA JENDELA DUNIA

Kita pasti pernah mendengar ungkapan, "Buku adalah jendela dunia". 
Untuk membuka jendela tersebut, kita harus mempunyai kemampuan untuk 
membaca. Namun, sayangnya, di zaman yang sudah modern ini, masih ada 
beberapa orang yang belum bisa membaca (buta huruf). Mereka tidak 
pernah mendapatkan kesempatan untuk belajar membaca sehingga wawasan 
mereka menjadi sempit dan tidak bisa mengetahui banyak hal. Di 
Indonesia, sejak zaman Bung Karno, sudah ada usaha untuk memberantas 
masalah buta huruf ini. Namun, seiring berjalannya waktu, usaha ini 
mengalami kemunduran. Melalui sajian e-Penulis edisi ini, kami 
mengajak Anda semua untuk melihat kembali bagaimana perjuangan 
beberapa pemimpin Indonesia dalam memberantas buta huruf. Selain itu, 
kami juga ingin berbagi wawasan tentang kapan waktu terbaik 
mengajarkan anak membaca dan pentingnya mengenali tipe anak Anda dalam 
belajar membaca. Selamat membaca sajian kami. Tuhan Yesus memberkati.

Staf Redaksi e-Penulis,
Santi T.
< http://pelitaku.sabda.org >


           ARTIKEL: INDONESIA BELUM MERDEKA DARI BUTA HURUF

Sekali kau belajar membaca, selamanya kau akan merdeka. Kata-kata itu 
diucapkan Frederick Douglass, pejuang penghapusan perbudakan 
(abolisionisme) di Amerika Serikat.

Pada awalnya, Frederick Douglass adalah seorang budak. Namun, pada 
usia 12 tahun, istri tuannya iseng-iseng mengajarinya membaca. Minat 
membacanya pun tumbuh. Sayang, aktivitas itu diketahui tuannya dan 
segera melarangnya.

Namun, Douglass tak patah semangat. Ia belajar membaca secara 
sembunyi-sembunyi. Kadang-kadang minta belajar kepada anak-anak kulit 
putih tetangganya. Pelan-pelan ia mulai mengunyah informasi dan 
pengetahuan dari berbagai koran dan buku. Belakangan Douglass 
mengakui, kemampuan membaca telah mengantarkannya berhasil keluar dari 
perbudakan.

Negeri kita, Indonesia, juga pernah mengalami penjajahan selama 
ratusan tahun. Kartini menggambarkan masyarakat terjajak ini tak 
ubahnya "hutan rimba" yang gelap gulita. Kepada kawan karibnya, 
Estelle Zeehendelaar, Kartini menulis: "Duh, sekarang aku mengerti, 
mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang 
Jawa terpelajar, dia tidak akan gampang menjadi pengamin saja, takkan 
menerima segala macam perintah atasannya lagi."

Akan tetapi, Kartini tidak pasrah dengan keadaan gelap gulita itu. Ia 
sangat menyadari, bahwa keadaan gelap gulita itu bisa diterangi dengan 
obor pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, ia selalu berusaha untuk 
memajukan pengajaran bagi kaum pribumi.

Semangat Kartini sangat gampang ditemui di setiap ruas pemikiran para 
pejuang kemerdekaan Indonesia. Makanya, tidaklah mengherankan bila 
salah satu tujuan nasional kemerdekaan Indonesia, sebagaimana 
termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah: mencerdaskan kehidupan 
bangsa.

Seturut dengan itu, begitu Proklamasi Kemerdekaan baru usai 
dikumandangkan, pemerintahan Soekarno tidak hanya menyerukan 
mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga 
memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta huruf di 
kalangan rakyat Indonesia.

Dimulai pada tanggal 14 Maret 1948, Bung Karno meluncurkan program 
Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Padahal, saat itu Indonesia masih 
berjibaku dalam perang melawan kolonialisme Belanda. Mengenai hal itu, 
Bung Karno berkata, "Bukan saja kita menang di medan peperangan, 
tetapi juga di dalam hal memberantas buta huruf kita telah mencapai 
hasil yang sangat `menjugemaken` dan itu adalah pula salah satu great 
achievement."

Makanya saat itu, di tengah bahaya perang, pemerintahan Soekarno masih 
sempat menyelenggarakan kursus PBH di 18.663 tempat, yang melibatkan 
17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sedangkan yang digelar 
secara independen berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 
33.626 murid.

Pada tahun 1960, Bung Karno kembali mengeluarkan komando: Indonesia 
harus terbebas dari buta huruf hingga tahun 1964. Seluruh rakyat pun 
dimobilisasi untuk menyukseskan ambisi tersebut. Banyak orang yang 
pandai baca tulis dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. 
Organisasi-organisasi massa, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), 
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan PGRI nonvaksentral, terlibat 
dalam kegiatan ini.

Hasilnya sungguh menakjubkan: pada tanggal 31 Desember 1964, semua 
penduduk Indonesia usia 13 -- 45 tahun (kecuali yang ada di Irian 
Barat) dinyatakan bebas buta huruf (Ali, 2007).

Yang patut dicatat dari pengalaman itu ada dua. Pertama, adanya 
komitmen kuat pemerintahan saat itu untuk menempatkan pemberantasan 
buta huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak boleh 
dikesampingkan. Kedua, adanya proses pelibatan dan mobilisasi rakyat 
dalam menyukseskan pemberantasan buta huruf.

Bagi saya, memberantas buta huruf bukan sekadar misi mengajari rakyat 
bisa membaca dan menulis. Juga bukan sekadar untuk mengantarkan rakyat 
dari gelap menuju tempat terang. Namun, lebih penting dari itu, ini 
adalah misi menyempurnakan "kewarganegaraan". Maklum, mengutip Lenin: 
"Seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik". Maksudnya 
sangat jelas: tanpa bisa membaca dan menulis, yang berarti tidak 
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga, seseorang akan sulit 
bertindak atas nama dirinya dalam politik.

Dalam ranah kehidupan sehari-hari, misalnya, bagaimana seseorang bisa 
menilai kebijakan seorang pejabat negara, apakah itu sah atau tidak, 
bila tidak bisa membaca dan memahami isi konstitusi.

Sayangnya, sampai tahun 2011, angka buta huruf di Indonesia masih 
mencapai 8;3 juta jiwa atau 4,79 persen dari total penduduk Indonesia 
berusia 15 -- 45 tahun. Sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak 
melaporkan, hingga tahun 2011, masih ada 11,7 Juta anak Indonesia yang 
tidak pernah tersentuh pendidikan dasar.

Ini jelas sebuah ironi. Bagi saya, angka-angka di atas menyiratkan 
tiga hal:

Pertama, perjuangan memberantas buta huruf di Indonesia mengalami 
kemunduran. Pada tahun 1964, jumlah buta huruf untuk penduduk usia 13 
-- 45 tahun (kecuali Irian Barat) dinyatakan NOL. Nah, pada tahun 
2011, misalnya, untuk penduduk usia 15 -- 45 tahun, jumlahnya malah 
mencapai 8;3 juta orang.

Kedua, pemerintahan sejak Orde Baru hingga sekarang ini kurang 
menganggap penting pemberantasan buta huruf. Pada masa Orde Baru, 
masih ada program pemberantasan buta huruf yang disebut Program Paket 
ABC. Akan tetapi, program itu murni hanya bersandar pada birokrasi 
pemerintah. Nyaris tidak ada mobilisasi rakyat secara masif. Di masa 
pascareformasi, program pemberantasan buta huruf malah nyaris tidak 
terdengar.

Ketiga, ada kesalahan dalam sistem pendidikan nasional, yang 
menyebabkan institusi pendidikan gagal mencerdaskan bangsa. 
Seharusnya, bagi saya, pemberantasan buta huruf integral dengan 
meningkatnya partisipasi anak usia 7 -- 12 tahun dalam Pendidikan 
Dasar. Pada kenyataannya, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk usia 7 -
- 12 tahun dalam pendidikan dasar kita baru 97,88 persen (2012).

Ada kendala, misalnya, sekarang ini pemerintah terkesan menganggap 
buta huruf bukan sebagai aib. Akibatnya, pemerintah merasa tidak 
tercoreng ketika mengklaim prestasi ekonomi, tetapi jutaan rakyatnya 
masih mengidap aib bernama buta huruf.

Di beberapa negara, kaum buta huruf yang menolak terlibat dalam 
pemberantasan buta huruf dikenai hukuman. Di Rusia, penolakan untuk 
ikut kursus pemberantasan buta huruf diancam hukum denda, kerja paksa, 
dan kehilangan kartu makanan. Di Turki, pemerintah mengumumkan bahwa 
lapangan kerja di pemerintah hanya tersedia bagi orang-orang yang 
dapat membaca dan menulis.

Kendala kedua adalah bahwa pemerintah tidak menganggap pendidikan 
sebagai senjata memajukan bangsa. Pada kenyataannya, sekarang ini 
pendidikan terjebak dalam logika pasar. Lembaga pendidikan telah 
berubah fungsi, yakni dari tugas mencerdaskan bangsa menjadi instrumen 
untuk menggali keuntungan. Akibatnya, lembaga pendidikan hanya diakses 
oleh segelintir orang.

Seharusnya, bila merujuk ke amanat Konstitusi, yakni mencerdaskan 
kehidupan bangsa, maka pendidikan itu seharusnya menjadi hak setiap 
warga negara. Sebagai konsekuensinya, pemerintah punya kewajiban untuk 
menyelenggarakan sistem pendidikan yang membuka pintu selebar-lebarnya 
kepada setiap warga negara untuk mengakses pendidikan. Tanpa adanya 
diskriminasi apa pun.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: Berdikari Online
Alamat URL: http://www.berdikarionline.com/opini/20130809/indonesia-belum-merdeka-dari-buta-huruf.html#ixzz3HVLwSvsW
Penulis artikel: Mahesa Danu
Tanggal akses: 29 Oktober 2014


   POJOK BAHASA: BELAJAR MEMBACA DAN KECERDASAN ANAK PADA USIA DINI

Pada masa awal si kecil mulai menagih minta sekolah, muncul wacana: 
Apakah anak harus sudah bisa membaca sebelum masuk SD? Apakah 
mengajari anak membaca adalah tugas guru kelas 1 SD? Lalu, mengapa di 
TK sekarang sudah mulai banyak anak yang bisa membaca? Apakah nantinya 
tidak mubazir?

Sekarang ini semakin marak saja berbagai cara membuat anak jenius. 
Metode-metode membuat anak bisa ini dan itu di usia dini juga terus 
dipasarkan. Dari metode Glenn Doman untuk anak belajar membaca, sampai 
Shichida Method yang katanya bisa membuat anak punya memori 
fotografis. Jangan salah, anak-anaknya disuruh belajar dari bayi lho! 
Bahkan, iklan di Shichida saja bilang bisa mulai dari umur 2 bulan!

Mulai umur 2 tahun, anak-anak sudah bersekolah di "preschool plus" 
yang belajarnya juga serius. Duduk di kursi dengan bahasa pengantar 
yang bilingual, mulai dari latin sampai Mandarin. Di Kuala Lumpur 
bahkan anak yang mau masuk SD harus sudah bisa baca tulis. Lalu, apa 
fungsinya Sekolah Dasar?

Bukankah TK itu taman kanak-kanak? Taman Bermain? Tempat anak bermain. 
Fungsinya lebih ke arah perkembangan sosial dan emosional. Kalaupun 
ada sisi inteligensinya, bukankah lebih baik dilakukan tanpa paksaan?

Tapi karena diharuskan, mau tidak mau, orang tua tidak punya pilihan 
lagi. Anak tetap mesti diajar membaca sebelum usia Sekolah Dasar. Di 
beberapa preschool Montessori pun akhirnya banyak yang terpaksa 
mengajarkan baca tulis serius karena tuntutan itu, walaupun sistemnya 
lebih longgar; biasanya hanya ketika usianya 5 tahun ke atas, atau 
murid masih diberi kebebasan untuk beristirahat ketika bosan.

Apakah anak perlu belajar membaca di usia dini?

Ternyata dari banyak literatur justru sebaliknya. Tidak ada jaminan 
seseorang yang lebih dahulu bisa membaca akan lebih sukses di masa 
depan daripada mereka yang terlambat. Banyak tokoh sukses yang justru 
terlambat membaca. Di buku "Right Brained Children in a Left Brained 
World" disebutkan tokoh-tokoh seperti Albert Einstein, George S. 
Patton, William Butler Yeats adalah mereka yang terlambat membaca. 
Anak-anak di Rusia baru membaca di usia 7 tahun, tapi mereka sangat 
cerdas.

Dari beberapa informasi disebutkan bahwa syaraf mata anak balita belum 
siap untuk membaca, masih bersifat kontralateral (masih terbalik-
balik), seperti antara "b" dan "d". Karena itu, risiko balita yang 
diajarkan membaca untuk terkena kesulitan belajar (baca tulis) 
nantinya lebih besar.

Informasi yang sama ada pada buku Dr. Jalaludin Rahmat "Cara otak 
belajar". Dikatakan bahwa waktu terbaik untuk belajar membaca sesuai 
dengan perkembangan otak justru pada usia sekolah dasar.

Tipe anak dalam belajar membaca.

Mengajarkan membaca juga tentu ada tekniknya. Sebelum mulai mengajari 
membaca, lebih baik jika kita mengenali dulu bagaimana sebenarnya tipe 
berpikir anak kita. Banyak anak yang mengalami kesulitan membaca, 
padahal masalah sebenarnya ada di teknik mengajar.

a. "Visual Learner"

Anak lebih cepat dan kuat hafalannya bila diajarkan dengan simbol yang 
menarik dan tegas.

Kemungkinan besar anak akan kesulitan belajar membaca di sekolah umum 
yang kebanyakan sistem KBM-nya (Kegiatan Belajar Mengajar) tidak 
bersahabat dengan anak-anak visual learner. Padahal anak-anak visual 
learner adalah pembelajar cepat dan rata-rata memiliki ingatan yang 
kuat. Untuk mengajarinya membaca, justru kita harus memanfaatkan 
kekuatan visualnya. Pergunakan gambar-gambar dan logo. Ajak mereka 
untuk memvisualisasikan apa yang dibaca. Rata-rata anak visual learner 
dapat membaca sendiri tanpa diajari hanya dengan melihat. Secara 
otomatis, mereka menghafal dan mempelajari pola.

b. "Auditory-Learner"

Anak lebih cepat dan tertarik bila disampaikan dengan penyampaian 
kalimat yang jelas, keras, dan berulang. Dan, hal ini kini adalah 
mayoritas di dunia, yaitu sistem fonetik

Sistem ini mengajarkan mengenal huruf lewat cara mengucapkannya, a=ah, 
b=beh, dsb..

Teorinya, untuk cara pikir otak yang berbeda seharusnya digunakan 
teknik belajar yang berbeda pula, tetapi di dunia nyata hampir semua 
sekolah sekarang mengajarkan baca dengan sistem fonetik.

Tanamkan budaya membaca.

Yang penting untuk anak usia dini bukanlah mengajar membacanya, tetapi 
mengajarkan budaya membaca. Belum tentu anak yang bisa membaca lebih 
dahulu akan suka membaca.

Penulis sendiri adalah "early reader". Penulis bisa membaca sebelum 
masuk TK, di usia 4 tahun bacaan saya sudah surat kabar. Anak sekarang 
lebih hebat lagi bisa hafal alfabet umur 1 tahun dan sekarang sudah 
baca kata-kata yang sering dia lihat lewat media visual seperti TV dan 
buku cerita.

Yang terjadi adalah, sebagai seorang visual learner, dia belajar 
sendiri. mulailah dari alfabet, dan membaca cerita bergambar, tetapi 
jangan pernah memaksa anak, dibuat menyenangkan saja karena bisa jadi 
sebenarnya anak belum bisa membaca, hanya sekadar hafal.

Kenapa tidak sekalian saja diajari membaca? Stimulasi harus terus 
diberikan karena kebanyakan anak adalah "late talker". Sekali lagi 
untuk tidak memaksa, jika anak yang mulai, dia yang suka. Jadi, ya 
biarkan saja, karena itu adalah suatu perkembangan.

Kepada Anda yang harus mengajarkan anak-anak belajar membaca karena 
tuntutan sekolah, saya ucapkan selamat berjuang, tetapi harus diingat 
agar jangan terlalu memaksakan.

Referensi:
"Right Brained Children in a Left Brained World", by Jeffrey Freed & 
 Laurie Parsons, 2006
"Belajar Cerdas, Belajar Berbasiskan Otak", Dr. Jalaludin Rahmat, 2007

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: Anakku
Alamat URL: http://www.anakku.net/belajar-membaca-dan-kecerdasan-anak-pada-usia-dini.html
Penulis artikel: Imas Nuryati
Tanggal akses: 28 Oktober 2014


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Berlin B., Santi T., dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org