Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-penulis/161

e-Penulis edisi 161 (8-1-2015)

Jurnalisme Sipil (I)

__________________e-Penulis (Menulis untuk Melayani)__________________
                       Edisi 161/Januari/2015
                     Tema: Jurnalisme Sipil (I)
               
e-Penulis -- Jurnalisme Sipil (I)
Edisi 161/Januari/2015

DAFTAR ISI
DARI REDAKSI: ERA BARU JURNALISME
ARTIKEL: MENGAPA JURNALISME WARGA?
POJOK BAHASA: CIRI-CIRI BAHASA JURNALISTIK

DARI REDAKSI: ERA BARU JURNALISME

Selamat Tahun Baru, dan selamat berjumpa kembali dengan e-Penulis. 
Bagaimana liburan Sahabat Penulis? Semoga menyenangkan dan membuat 
Sahabat kembali bersemangat menyongsong dan menjalani tahun 2015 ini. 
Pada edisi awal tahun ini, e-Penulis mengambil topik Jurnalisme Sipil.

Untuk sekian lamanya, jurnalisme telah identik dengan orang-orang yang 
terlibat dalam media-media cetak seperti koran, majalah, tabloid, 
dsb.. Namun, perkembangan teknologi telah mengubah gambaran itu. Dalam 
sepuluh tahun terakhir, telah muncul satu istilah yang disebut dengan 
jurnalisme warga. Jurnalisme telah memasuki suatu era baru. Apa itu 
jurnalisme warga dan bagaimana teknologi berperan di dalamnya?

Fenomena yang jelas kita lihat saat ini adalah banyaknya masyarakat 
yang menyampaikan informasi tentang apa pun di internet dalam berbagai 
format: teks, gambar, video, audio, dsb.. Dan, itulah jurnalisme yang 
sekarang berkembang. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai 
perkembangan jurnalisme dan seperti apa peran masyarakat, silakan 
simak selengkapnya pada edisi ini.

Pemimpin Redaksi e-Penulis,
Berlin B.
< berlin(at)in-christ.net >
< http://pelitaku.sabda.org >


                  ARTIKEL: MENGAPA JURNALISME WARGA?

Dalam satu dasawarsa terakhir, istilah jurnalisme warga (citizen 
journalism) mulai populer di kalangan masyarakat pengguna internet 
Indonesia. Kepopuleran ini salah satunya ditunjang oleh merebaknya 
blog dan situs jejaring sosial (social networking site) seperti 
Facebook dan Twitter.

Dengan adanya internet, orang bebas menyampaikan informasi apa pun ke 
masyarakat luas. Berita dan informasi bukan lagi monopoli jurnalis di 
lembaga pers, tetapi juga masyarakat umum. Melalui tulisan, foto, dan 
video, masyarakat menjadi pemegang kuasa atas arus informasi dunia.

Secara istilah, jurnalisme warga memang baru populer setelah adanya 
internet. Namun, secara konsep, jurnalisme warga telah ada sejak 
manusia mengenal tulisan.

Jurnalisme sendiri merupakan proses mengumpulkan, memproses, dan 
menyampaikan informasi atau berita kepada khalayak. Bill Kovach, dalam 
buku "Elemen-Elemen Jurnalisme", menyebutkan bahwa orang-orang 
primitif dari sekelompok suku di Afrika sampai pulau yang paling 
terpencil di Samudra Pasifik memiliki definisi yang sama tentang 
berita. Mereka memilih orang-orang yang mampu berlari cepat melintasi 
bukit, mengumpulkan informasi secara akurat, dan menceritakan ulang 
dengan memikat sebuah berita.

Berita merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, lanjut Bill 
Kovach. Mengetahui peristiwa yang tidak bisa disaksikan mata kepala 
sendiri, ternyata menghadirkan rasa aman, kontrol diri, dan percaya 
diri. Ketika membangun hubungan sosial pun, sebagian manusia 
memulainya berdasarkan pada reaksi terhadap informasi. Dalam jangka 
panjang, berita memengaruhi kualitas hidup, pikiran, dan budaya 
manusia. Untuk memasok berita, lahirlah jurnalisme yang merupakan 
sistem yang dilahirkan masyarakat.

Pada zaman primitif, kegiatan jurnalisme dilakukan oleh masyarakat. 
Sebelum adanya aksara, manusia berjurnalisme dengan lisan. Proses 
penyebaran berita dilakukan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke 
generasi dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti cerita dan lagu.

Ketika manusia memasuki fase sejarah (saat manusia mengenal tulisan), 
jurnalisme disebarluaskan melalui media tulis. Salah satu yang 
terkenal adalah Acta Diurna, pengumuman tentang sistem 
pertanggungjawaban harian senat dan kehidupan sosial serta politik 
Romawi.

Bentuk jurnalisme tulis kian berkembang setelah ditemukannya mesin 
cetak. Berita perkapalan, gosip, dan argumen politik dari kafe, 
dicetak di atas kertas, kemudian disebarkan ke khalayak umum. 
Jurnalisme tulis berkembang seiring berjalannya waktu dan teknologi 
percetakan. Pada tahap ini jugalah, kegiatan jurnalisme mulai 
terlembagakan menjadi organisasi pers dan bidang keilmuan jurnalistik.

Tahap setelah jurnalisme oral dan tulis adalah jurnalisme multimedia. 
Kemunculan jurnalisme ini ditandai dengan kemunculan radio pada awal 
abad 20. Beberapa dasawarsa setelahnya, televisi muncul. Jurnalisme 
berkembang tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga mencakup suara dan 
gambar bergerak. Di sisi lain, masyarakat pun sudah tidak lagi secara 
langsung terlibat dalam kegiatan jurnalisme. Mereka berada di posisi 
sebagai konsumen.

Tak ada gading yang tak retak. Jurnalisme di era modern mulai 
"terkontaminasi" kemurniannya. Sebagian besar pelaku jurnalisme --
dalam hal ini lembaga pers -- tidak lagi bekerja untuk manusia dan 
kemanusiaan, tetapi lebih karena pertimbangan politik dan ekonomi. 
Media menjadi alat untuk pencitraan politik dan meraih keuntungan.

Meskipun begitu, Bill Kovach berprinsip, "Setiap generasi menciptakan 
jurnalismenya sendiri". Memasuki era informasi pada abad 21, 
jurnalisme kembali dilakoni oleh masyarakat sendiri melalui jurnalisme 
warga. Julukan lainnya adalah Jurnalisme 2.0 dengan internet sebagai 
salurannya.

Pada era ini, masyarakat disebut Pro-Sumen. Mereka tidak hanya sebagai 
konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi. Adapun 
karakteristik jurnalisme ini adalah dua arah. "... Ini adalah 
jurnalisme yang menyerupai percakapan, sangat mirip dengan jurnalisme 
pertama yang berlangsung di kedai minum dan kafe 400 tahun lalu," 
simpul Bill Kovach.

Budi Putra, mantan jurnalis yang juga pendiri Asia Blogging Network, 
menyimpulkan ada 4 hal yang mendorong terwujudnya fenomena jurnalisme 
warga ini. Dari sisi teknologi, merupakan respons dari kemajuan 
teknologi internet yang memungkinkan orang dengan mudah berbagi 
informasi. Sedangkan dari sisi sosial, merupakan bentuk partisipasi 
warga masyarakat di tingkat akar rumput.

Adapun dari aspek politik, jurnalisme warga merupakan bentuk 
perlawanan terhadap media-media besar yang sarat akan kepentingan. 
Selain itu, jurnalisme warga juga merupakan pengisi kekosongan negara 
di level masyarakat akar rumput (grass root society).

Terakhir dari aspek jurnalisme, merupakan suara alternatif media massa 
arus utama yang memiliki jangkauan lebih luas dan dalam serta 
mengakar.

Meskipun tampak sepele, banyak peristiwa penting justru terekam oleh 
aktivitas jurnalisme warga ini. Salah satu contohnya adalah peristiwa 
jatuhnya pesawat Airbus A320 milik US Airways pada 15 Januari 2009 di 
sungai Hudson, di kota Newyork, Amerika. Rangkaian kejadian, mulai 
dari jatuhnya pesawat hingga evakuasi korban, tersampaikan ke publik 
melalui Twitter, Flickr, dan Youtube. Masyarakat yang berada di 
sekitar tempat kejadian merekam setiap kejadian menggunakan 
smartphone-nya.

Peristiwa ini digadang-gadang mengalahkan berita-berita yang disiarkan 
langsung di media arus utama. Bahkan, fenomena ini merupakan salah 
satu tonggak mulai berjayanya sosial media dan jurnalisme warga di 
dalam arus informasi global, khususnya di Amerika.

Di Indonesia, peran jurnalisme warga terlihat dalam kasus mi instan 
produk Indonesia yang tidak diperbolehkan beredar di Taiwan beberapa 
waktu silam. Peristiwa ini pertama kali ditulis oleh seorang blogger 
Indonesia yang sedang berada di Taiwan. Merujuk pada laporan jurnalis 
warga inilah, akhirnya media massa konvensional memverifikasi dan 
menyebarkannya ke khalayak yang lebih luas lagi.

Dari aspek kebutuhan masyarakat akan informasi yang berimbang dan 
berpihak kepada kebenaran, jurnalisme warga boleh jadi salah satu 
solusinya. Contohnya adalah invasi Amerika ke Irak pada 2003 silam. 
Ketika itu, masyarakat Amerika rela mengumpulkan dana guna mengirimkan 
blogger-blogger kepercayaannya untuk memberikan informasi yang benar 
tentang Perang Irak. Hal ini mereka lakukan karena media-media 
konvensional Amerika dinilai telah menjadi alat propaganda Amerika 
untuk membenarkan perang Irak.

Dengan adanya evolusi jurnalisme ini, tidak lantas jurnalis menganggur 
dan tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Bill Kovach berkomentar 
bahwa jurnalis era baru tidak lagi memutuskan apa yang seharusnya 
diketahui publik. Jurnalis era baru memverifikasi informasi untuk 
selanjutnya meruntutkannya sehingga warga mampu memahaminya secara 
utuh.

Keberadaan jurnalisme dan kebutuhan informasi yang benar tidak akan 
lepas dari manusia, dalam hal ini masyarakat. Seiring berkembangnya 
zaman, jurnalisme selalu berevolusi dari generasi ke generasi untuk 
menyampaikan kebenaran. Kemurnian jurnalisme akan selalu terjaga dalam 
masyarakat, dan jurnalisme warga merupakan salah satu wujudnya.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: ... Verba Volant, Scripta Manent
Alamat URL: http://myudhaps.wordpress.com/2012/07/25/mengapa-jurnalisme-warga/
Penulis artikel: Yudha P. Sunandar
Tanggal akses: 29 Oktober 2014


             POJOK BAHASA: CIRI-CIRI BAHASA JURNALISTIK

Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, 
yaitu bahasa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, 
bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio siaran, bahasa 
jurnalistik televisi, dan bahasa jurnalistik media online internet. 
Bahasa jurnalistik surat kabar, misalnya, kecuali harus tunduk kepada 
kaidah atau prinsip-prinsip umum bahasa jurnalistik, juga memiliki 
ciri-ciri yang sangat khusus atau spesifik. Hal inilah yang membedakan 
dirinya dari bahasa jurnalistik media lainnya.

Ada tujuh belas ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua 
bentuk media berkala tersebut, yaitu:

Sederhana: Sederhana berarti selalu mengutamakan atau memilih kata 
atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak 
pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat 
intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya.

Singkat: Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), 
tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu 
pembaca yang sangat sederhana.

Padat: Padat berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang 
ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak 
pembaca.

Lugas: Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari 
eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan 
khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan 
konklusi.

Jelas: Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. 
Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata 
atau kalimatnya, dan jelas sasaran atau maksudnya.

Jernih: Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, 
tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif 
seperti prasangka atau fitnah. Kata dan kalimat yang jernih berarti 
kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik 
pemuatan suatu berita atau laporan.

Menarik: Artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak 
pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, 
terjaga seketika.

Demokratis: Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal 
tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan 
pihak yang disapa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan 
komunal sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feodal 
sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan 
keraton.

Populis: Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun 
yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di 
mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca.

Logis: Artinya, apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, 
atau paragraf jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan 
dengan akal sehat (common sense).

Gramatikal: Berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang 
terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus mengikuti kaidah tata 
bahasa baku.

Menghindari kata tutur: Kata tutur adalah kata yang biasa digunakan 
dalam percakapan sehari-hari secara informal. Contoh: bilang, 
dibilangin, bikin, kayaknya, mangkanya, kelar, jontor, dll..

Menghindari kata dan istilah asing: Berita atau laporan yang banyak 
diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif, 
juga sangat membingungkan. Menurut teori komunikasi, media massa 
anonim dan heterogen, tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk.

Pilihan kata (diksi) yang tepat: Bahasa jurnalistik sangat menekankan 
efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif, 
tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektivitas. Artinya, setiap 
kata yang dipilih memang tepat dan akurat, sesuai dengan tujuan pesan 
pokok yang ingin disampaikan kepada khalayak.

Mengutamakan kalimat aktif: Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan 
lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Kalimat 
aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman, sedangkan 
kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.

Menghindari kata atau istilah teknis: Karena ditujukan untuk umum, 
bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, 
tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. 
Bagaimanapun, kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok 
atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, 
menurut perspektif filsafat bahasa, tidak boleh dibawa ke dalam 
realitas yang heterogen. Selain tidak efektif, itu juga mengandung 
unsur pemerkosaan.

Tunduk kepada kaidah etika: Salah satu fungsi utama pers adalah 
mendidik. Fungsi ini bukan saja harus tercermin pada materi isi 
berita, laporan gambar, dan artikel-artikelnya, melainkan juga harus 
tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja 
mencerminkan pikiran seseorang, tetapi sekaligus juga menunjukkan 
etika orang itu. Sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta tunduk 
kepada kaidah dan etika bahasa baku.

(Dirangkum dari buku Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan 
Jurnalistik; karya Drs. A.S. Haris Sumadiria, M.Si.)

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: Andrian Gunawan
Alamat URL: http://andriejangkung.wordpress.com/2013/03/08/ciri-ciri-bahasa-jurnalistik/
Penulis artikel: Andrian Gunawan
Tanggal akses: 29 Oktober 2015


Kontak: penulis(at)sabda.org
Redaksi: Berlin B., Santi T., dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-penulis(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-penulis/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org