Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-leadership/174

e-Leadership edisi 174 (17-3-2015)

Kepemimpinan dan Wanita (I)

===========MILIS PUBLIKASI E-LEADERSHIP EDISI MARET 2015=============
                     Kepemimpinan dan Wanita (I)
                 
e-Leadership -- Kepemimpinan dan Wanita (I)
Edisi 174, 17 Maret 2015


Shalom,

Bagi beberapa kalangan, termasuk di beberapa gereja, dunia 
kepemimpinan masih dianggap tidak mengizinkan perempuan berdiri 
sebagai pemimpin. Kalaupun seorang perempuan memimpin, sebaiknya dia 
hanya memimpin kaumnya saja, tidak termasuk kaum pria. Wacana 
perempuan sebagai pemimpin memang selalu menjadi bahan diskusi yang 
menarik. Bagaimana kekristenan memandang hal ini?

Pada edisi ini, e-Leadership menyuguhkan artikel mengenai peran dan 
posisi wanita dalam dunia kepemimpinan. Kami berharap bahwa artikel 
ini dapat menjadi suatu pertimbangan yang menolong kita untuk 
mengambil sikap terhadap wacana ini. Pada kolom Inspirasi, Anda juga 
dapat belajar dari seorang Gladys Aylward, wanita yang memiliki tekad 
baja dalam panggilannya. Selamat menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Leadership,
Berlin B.
< berlin(at)in-christ.net >
< http://lead.sabda.org >


Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada 
hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena 
kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.
< http://alkitab.mobi/tb/Gal/3/28/ >


      ARTIKEL: MENJADI WANITA KRISTEN YANG BIJAK DI BUMI PERTIWI

Sebagai seorang wanita Kristen yang lahir dan besar di Indonesia, 
tentunya ada dua "ideologi" yang memengaruhi bagaimana saya melihat 
peran wanita di dalam masyarakat dan gereja. Yang pertama adalah 
budaya patriarkat yang masih mengakar sangat dalam di Indonesia pada 
umumnya, dan di dalam budaya suku-suku di Indonesia khususnya.

Di dalam budaya yang demikian, kita tidak bisa memungkiri terdapat 
unsur-unsur yang membuat wanita menjadi "masyarakat kelas dua" jika 
dibandingkan dengan pria. Di dalam budaya ini, ada tingkat 
"ketertundukan" tertentu dari wanita terhadap posisi pria sebagai 
pemimpin dan ekspetasi tertentu terhadap peran seorang wanita di dalam 
sebuah keluarga, seperti harus bisa mengurus rumah dan mengurus 
keperluan anak. Dengan demikian, stereotip yang ada adalah pria 
sebagai pemberi nafkah dan wanita mengurus urusan "dapur". Jika 
seorang wanita tidak memenuhi salah satu dari ekspektasi di atas 
(contoh sederhana: wanita yang tidak pandai memasak), masyarakat 
umumnya akan menilainya sebagai seorang wanita yang keluar dari 
"kodratnya".

Paulus: mendobrak stereotip gender.

"Ideologi" berikutnya yang sangat membentuk pandangan saya tentang 
peran seorang wanita di dalam tatanan kehidupan keluarga dan 
masyarakat, tentunya adalah prinsip-prinsip Alkitab tentang kesetaraan 
gender. Di dalam sejarah, kita bisa melihat bagaimana kekristenan 
menjadi pelopor pertama lahirnya kesetaraan gender sejak era 
Perjanjian Baru dimulai, di mana pada saat itu, isu kesetaraan gender 
merupakan sesuatu yang "counter cultural". Bagi orang Yahudi ketika 
itu, wanita adalah "lower class citizen", begitu juga dengan pandangan 
orang Yunani terhadap wanita.

Di tengah-tengah pandangan yang demikian, Paulus berkata, "Dalam hal 
ini tidak lagi diadakan perbedaan antara orang Yahudi dan orang bukan 
Yahudi, antara hamba dan orang bebas, antara laki-laki dan perempuan. 
Saudara semuanya satu karena Kristus Yesus" (Galatia 3:28).

Bagi sebagian orang, ayat ini hanya bicara tentang status di dalam 
Kristus yang tidak terkait dengan isu gender, antiperbudakan, atau 
rasisme. Namun, justru di dalam ayat ini, Paulus sedang menegaskan 
suatu prinsip kesetaraan yang penting di dalam Kristus yang mendobrak 
dan menghancurkan tembok-tembok perbedaan status tuan-hamba, pria-
wanita, dan Yahudi-Yunani di masa itu.

Di dalam Roma 16:1-16, kita pun dapat melihat bagaimana Paulus sangat 
mendukung peran wanita sebagai pemimpin dan pelayan di gereja mula-
mula, dengan menyebutkan nama-nama mereka sebagai rekan sekerjanya: 
Febe (sebagai diaken di Kengkrea), Priskila, Maria, dan bahkan Yunias. 
Tentunya penghargaan yang demikian terhadap peran dan posisi wanita 
sangat bertentangan dengan pandangan masyarakat Yahudi dan Yunani 
terhadap posisi wanita di dalam tatanan sosial masyarakat dan ritual 
keagamaan mereka.

Kristus dan perempuan.

Kita perlu menggarisbawahi bahwa tidak hanya Paulus yang mendongkrak 
posisi dan popularitas wanita di dalam masyarakat ada masa itu, tetapi 
juga kitab-kitab Injil seperti Markus dan Lukas. Lukas di dalam 
Injilnya menyebutkan 16 nama wanita yang tampil sebagai contoh teladan 
murid Kristus yang sejati. Yesus sendiri dicatat (Lukas 8:1-31) 
menerima dukungan material dari para wanita di dalam pelayanannya, dan 
itu bukanlah sesuatu yang lazim dilakukan oleh seorang pria Yahudi di 
dalam abad pertama.

Perikop yang sama juga mencatat nama Yohana, istri Khuza, pegawai 
istana Herodes; Susana, dan Maria Magdalena sebagai wanita-wanita yang 
mengiringi pelayanan Yesus di Galilea bersama dengan kedua belas 
murid. Yesus juga menerima wanita sebagai murid-Nya (walaupun tidak 
termasuk di dalam kedua belas murid/rasul), seperti Maria dan Martha 
(Lukas 10:38-42), di mana seorang Rabbi di masa itu umumnya tidak 
memiliki murid/pengikut wanita.

Data-data dari Alkitab tersebut di atas membawa kita kepada kesimpulan 
bahwa Yesus dan kekristenan yang lahir pascakebangkitan-Nya tidak 
hanya menjadi kabar baik bagi dunia dengan berita Injil, tetapi juga 
mengangkat harkat dan martabat wanita ke tempat yang terhormat 
sebagaimana Tuhan tidak memandang gender, status sosial, atau 
etnisitas seseorang. Kekristenan mendobrak praktik-praktik atau budaya 
yang menganggap wanita sebagai kelas rendahan.

Menyadari keunikan wanita.

Kedua ideologi di atas (prinsip kekristenan dan budaya patriarkat) 
tentunya seperti "berperang" satu sama lain, yang mendorong seorang 
wanita untuk berpikir keras dan bertindak bijak di dalam menjalani 
perannya, terutama sebagai seorang wanita Kristen yang hidup dengan 
budaya patriarkat yang kental seperti di Indonesia. Wanita perlu 
menyadari bahwa ada hal-hal khusus yang Tuhan anugerahkan hanya kepada 
para wanita, yang menyebabkan setiap wanita hadir dengan keterbatasan-
keterbatasan khusus (contoh: kendala yang dialami ketika menstruasi 
dan keterbatasan fisik ketika mengandung atau pascamelahirkan) ataupun 
kekuatan-kekuatan yang spesial (contoh: melahirkan, menyusui, dan 
membesarkan anak) yang membuat wanita memang berbeda dengan pria, 
sehingga ada aspek-aspek yang membuat wanita perlu untuk diperlakukan 
berbeda (contoh: hanya wanita yang mendapat cuti melahirkan).

Tetapi perbedaan itu seharusnya tidak membuat wanita dianggap nomor 
dua seperti halnya perbedaan gaji antara wanita dan pria di dalam 
posisi pekerjaan yang sama, atau wanita dianggap tidak mampu untuk 
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Wanita juga tidak perlu mempraktikkan emansipasi yang kebablasan, 
seperti hanya mementingkan karier sehingga lupa untuk mengurus 
keluarga dan anak-anak di rumah (walaupun dalam mengurus rumah tangga 
tentunya diperlukan kerja sama di antara istri dan suami) atau 
menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah profesi yang 
rendahan di era modern ini. Justru ada banyak ibu rumah tangga yang 
menjadi tokoh penting di belakang keberhasilan suami dan anak-anak 
mereka.

Di lain pihak, pandangan bahwa wanita hanya bisa mengurus urusan 
"dapur" dan tidak bisa menduduki posisi penting di masyarakat ataupun 
gereja karena dianggap tidak mampu juga tidak tepat. Terbukti dari 
tokoh-tokoh seperti Marie Curie, Corazon Aquino, Mother Teresa, Indira 
Gandhi, Sandra Day O`Connor, dan Eleanor Roosevelt, yang menjadi 
teladan bagaimana wanita dapat menjadi seseorang yang punya peran 
besar untuk bangsa mereka dan bahkan dunia.

Menjadi wanita yang bijaksana.

Oleh karena itu, hikmat untuk menjadi bijaksana menjadi sangat penting 
bagi seorang wanita di dalam menata kehidupannya, terutama di dalam 
budaya patriarkat yang kental seperti di Indonesia sehingga dirinya 
mampu keluar dari bayang-bayang "penjajahan" pria, tanpa harus 
memungkiri keunikannya sebagai wanita (tanpa harus kebablasan).

Kebijaksanaan seorang wanita dalam menampilkan kekuatan-kekuatan 
mereka tanpa memungkiri keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki 
sehingga tahu bagaimana bertindak, berkata-kata, dan mengambil 
keputusan dengan tepat di dalam konteks mereka masing-masing (termasuk 
jika peran itu adalah mendukung seorang pria), menjadi modal yang 
besar sebagai wanita untuk membawa banyak kontribusi bagi dirinya 
sendiri, keluarga, bangsa, dan dunia!

* Penulis adalah Chakrita Margaretha Saulina Tambunan, ST, Staff Siswa 
  Perkantas Jakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi Magister 
  Divinitas di Acadia Divinity College, Canada.

* Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013.

Diambil dari dan disunting seperlunya dari:
Nama situs: Majalah Dia
Alamat URL: http://dia.perkantas.net/menjadi-wanita-kristen-yang-bijak-di-bumi-pertiwi/
Judul asli artikel: Menjadi Wanita Kristen yang Bijak di Bumi Pertiwi
Penulis artikel: Chakrita Margaretha Saulina Tambunan, ST
Tanggal akses: 28 Februari 2015


                               KUTIPAN

"Allah adalah sumber kita yang tak pernah habis." 
(Pandita Ramabai -- Pendiri Mukti Mission)


                   INSPIRASI: WANITA BERTEKAD BAJA

Gladys Aylward, ia lahir pada 24 Februari 1902, dari keluarga kelas 
pekerja yang miskin, dibesarkan di Gereja Anglikan. Karena berasal 
dari kelas bawah, ia tidak mempunyai banyak pilihan untuk memilih 
studi, pendidikannya adalah pendidikan dasar. Ia mulai bekerja sebagai 
pembantu rumah tangga pada usia 14 tahun. Selama 4 tahun, ia bekerja 
sebagai pembantu rumah tangga. Dari sini, ia mulai mengerti sebuah 
hati hamba. Sebelum itu, ia sudah menjadi seorang Kristen, dan setelah 
itu ia mempunyai kerinduan untuk melayani Kristus selama hidupnya. 
Gladys mempunyai kerinduan untuk menjadi seorang misionaris yang 
diutus ke China. Menjelang usia pertengahan dua puluhan ia melamar 
menjadi seorang misionaris di China Inland Mission Center di London. 
Ia sempat bekerja di sana hingga usia 26, tetapi karena prestasinya 
menurun dan tidak memenuhi syarat, maka ia ditolak untuk melayani 
sebagai misionaris ke China.

Namun, panggilannya untuk pergi ke China sangat kuat. Ia mengumpulkan 
uang dengan bekerja kembali, dan pada usia 30 kesempatan itu datang. 
Ia bertemu dengan seorang misionaris senior Jeannie Lawson, ia menjadi 
asistennya. Mereka mempunyai kerinduan yang sama untuk pergi ke China. 
Karena Ibu Lawson tidak memiliki dana yang cukup, maka Gladys pergi 
dengan menggunakan kereta sedangkan Ibu Lawson dengan kapal. Dari 
beberapa perjalanan panjangnya, akhirnya ia sampai ke kota Yangchen, 
provinsi Shansi, daerah bergunung-gunung di sebelah Selatan Beijing.

Oleh penduduk di sana, mereka tidak diterima karena terlihat aneh dan 
berbeda. Mereka memikirkan cara untuk mulai menjangkau jiwa di sana. 
Mereka membangun penginapan di sana. Setiap malam mereka mengumpulkan 
para tamu untuk menceritakan tentang Yesus. Gladys belajar bahasa 
setempat setiap harinya. Sampai suatu ketika terjadi kecelakaan pada 
Ibu lawson yang menyebabkan kematian baginya. Sejak saat itu, ia 
berjuang sendiri. Ia mulai berkeliling untuk memberitakan injil, 
tetapi ia tergerak oleh keadaan lain. Ia melihat banyak anak-anak yang 
terlantar yang sangat membutuhkan pertolongan dan perawatan, mengingat 
saat itu Jepang terus menyerang China.

Perang semakin meluas dan ada banyak anak yang mengalami ancaman. 
Gladys menjadi buronan. Ia membawa dan memimpin seratus orang anak 
untuk berjalan kaki melewati gunung ke arah provinsi Sian. Dua puluh 
tujuh hari mereka berjalan, Gladys mengalami sakit selama 
perjalanannya. Setibanya di Sian, ia rebah dan membuat heran para 
dokter atas apa yang telah dilakukannya. Mereka takjub dengan kekuatan 
fisik Gladys. Ia tetap menderita sakit, tetapi ia terus melayani Allah 
setelah itu, dan mendirikan beberapa gereja. Sempat juga ia pergi ke 
Taiwan selama sisa hidupnya dan mendirikan panti asuhan di sana. Ia 
sangat dihormati oleh orang-orang di China hingga ia berpulang ke 
surga pada 3 Januari 1970.

Diambil dari dan disunting dari:
Judul majalah: Chariot of Fire
Judul asli artikel: Gladys Aylward Misionaris di China
Penulis artikel: Ronny Deddy Rondonuwu
Halaman: 67 -- 69


       STOP PRESS: PUBLIKASI ICW (INDONESIAN CHRISTIAN WEBWATCH)

Publikasi ICW berisi berbagai macam informasi dan ulasan penting 
tentang apa yang ada dalam dunia Kristen melalui media elektronik. 
Informasi-informasi tersebut antara lain informasi Situs-situs Web 
Kristen, Milis-milis Kristen, Software Alkitab, Publikasi Kristen 
Elektronik, Pendidikan Elektronik Kristen dan hal-hal lain yang 
berhubungan dengan pelayanan Kristen elektronik di Indonesia.

Kami mengajak Anda ikut berpartisipasi untuk mengirimkan artikel, 
maupun ulasan situs-situs Kristen ke < icw(at)sabda.org >, sehingga 
Anda pun dapat menjadi berkat untuk orang lain.

Pastikan Anda berlangganan publikasi ICW dengan mengirimkan alamat 
email Anda ke < subscribe-i-kan-binaanak(at)hub.xc.org >

Informasi selengkapnya silakan kunjungi:
http://www.sabda.org/publikasi/icw


Kontak: leadership(at)sabda.org
Redaksi: Berlin B., Mei, dan Ayub
Berlangganan: subscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-leadership(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/e-leadership/arsip
BCA Ps. Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org