Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/401

e-Konsel edisi 401 (11-10-2017)

Menolong Mereka yang Memiliki Kecenderungan Bunuh Diri

e-Konsel -- Menolong Mereka yang Memiliki Kecenderungan Bunuh Diri -- Edisi 401/Oktober 2017
 
Gambar: Situs Christian Counseling Center Indonesia (C3I)

Publikasi Elektronik Konseling Kristen
Menolong Mereka yang Memiliki Kecenderungan Bunuh Diri

Edisi 401/Oktober 2017
 

Salam konseling,

Seseorang yang putus asa dan kehilangan harapan cenderung mengambil jalan pintas untuk keluar dari masalahnya. Salah satunya adalah dengan memutuskan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri. Jangan terkejut kalau kita akan semakin sering mendengar berita-berita seputar bunuh diri ini pada zaman ini. Hal ini mengindikasikan semakin banyak orang di luar sana yang perlu mendengar kabar baik akan pengharapan dan kasih dari Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan? Mendoakan mereka? Itu sudah pasti, bukan? Namun, sering kali Tuhan juga akan menggerakkan kita untuk datang kepada mereka yang sedang bergumul untuk bunuh diri. Jika kesempatan itu datang, jangan diam! Biarlah Tuhan memakai kita untuk membawa kabar baik bagi mereka yang membutuhkannya. Mari kita bersama-sama belajar melalui dua artikel dalam e-Konsel edisi Oktober ini agar kita siap melayani mereka yang sedang bergumul untuk mengakhiri hidupnya. Biarlah terang firman Tuhan menuntun kita dalam melakukan pelayanan ini. Tuhan Yesus memberkati.

Davida

Pemimpin Redaksi e-Konsel,
Davida


CAKRAWALA Ketika Bunuh Diri Datang Mendekat

Saya tidak akan pernah melupakan ketika pertama kalinya bunuh diri datang mendekat kepada saya. Saya bertemu dengan seorang wanita muda yang meninggalkan pekerjaan misinya di Eropa Timur. Dia dihantui oleh suatu pengalaman, yang bahkan tidak bisa dibicarakannya -- saya menduga ia terbebani oleh hubungan tidak pantas dengan seorang pemuda yang tinggal di sana.

Gambar: Pergumulan

Dua bulan kemudian, saya menerima surat dari orangtuanya. "Kami ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikan Anda terhadap putri kami dan ingin memberitahu Anda bahwa penderitaannya sekarang sudah selesai. Dia merenggut nyawanya sendiri dua pekan lalu." Surat itu penuh iman, kasih karunia, harapan, dan duka. Saya menyimpannya di laci meja saya selama lebih dari satu dekade meskipun saya tidak perlu sesuatu untuk mengingatkan saya bahwa mereka yang kita sayangi dapat mengakhiri kehidupan mereka sendiri, saya juga tidak butuh injeksi yang menambahkan perasaan bersalah "bagaimana seandainya" yang tak ada habisnya. Perasaan tersebut sudah ditorehkan dalam diri saya. Satu-satunya alasan mengapa penyesalan saya atas kematiannya tidak berlangsung lama adalah karena itu telah digantikan oleh bunuh diri lainnya.

Bunuh diri telah mendekat kepada sebagian besar kita. Kita telah membaca tentang cerita bunuh diri dari anak seorang pendeta yang dikasihi baru-baru ini. Kita tahu bahwa sejumlah veteran militer mengakhiri kehidupan mereka sendiri setiap hari, dan bahkan anak-anak dapat berbicara tentang kegelapan internal yang hanya dapat ditemukan pada mereka yang mengalami akumulasi dari banyak masa kesulitan dan rasa sakit.

Apa yang telah kita pelajari?

Kebanyakan bunuh diri berkaitan dengan depresi. Entah bagaimana, depresi bahkan lebih buruk daripada sakit fisik kronis. Mungkin ini karena orang-orang sakit fisik masih bisa melihat kebaikan dalam hidup dan masih dapat berharap, sementara mereka yang mengalami depresi tidak mampu melihat keduanya.

Mereka yang mengalami depresi dapat terlihat melakukan hal yang lebih baik sebelum mereka mencabut nyawa mereka sendiri. Itu tidak selalu terjadi, dan meningkatnya rasa depresi bukanlah bukti bahwa upaya bunuh diri yang pasti akan terjadi. Hal itu berarti bahwa prediksi yang pasti dari bunuh diri hanya mungkin setelah seseorang telah mengakhiri hidupnya, bukan sebelumnya.

Bunuh diri meninggalkan penyesalan yang amat luas. Peninjauan setelah kejadian menyebabkan kita memikirkan puluhan hal yang dapat kita lakukan secara berbeda. Kenyataannya, kita adalah orang-orang yang dapat mengendalikan dengan sangat sedikit.

Ketika kita melihat orang yang kita cintai menarik diri dari hal-hal yang pernah ia nikmati, seperti orang-orang, hobi, pekerjaan, atau bahkan kesenangan estetika, kita dapat mendekati orang itu dan mengajukan pertanyaan yang tulus, "Apa kabar? Saya bertanya-tanya selama ini, apakah kehidupan Anda menjadi begitu sulit akhir-akhir ini." "Saya selalu memikirkan Anda. Mungkin itu karena Anda tampak sedikit lebih menarik diri dan sedih. Bagaimana saya dapat mendoakan apa yang bisa saya doakan untuk Anda?"

Gambar: Pandang Yesus

Ketika kita prihatin untuk orang lain dan tidak tahu bagaimana cara untuk membantu, kita dapat meminta anggota masyarakat yang bijaksana untuk bermitra dengan kita. Ketika harapan berkurang, kehidupan manusia berada dalam bahaya. Keduanya tak dapat dipisahkan. Jadi, mari menjadi orang yang membawa harapan, yang kebetulan merupakan pesan dominan dalam keseluruhan Perjanjian Baru. Gereja mula-mula memiliki pengetahuan yang mendalam tentang penderitaan manusia. Mereka mengetahui sesuatu tentang hidup yang tampaknya tidak memiliki hal yang baik. Mereka harus berlatih melihat realitas abadi dengan iman atau mereka tidak akan bertahan sampai hari akhir. Anda hampir dapat mendengar mereka berbicara di antara mereka sendiri setelah membaca surat apostolik yang ditulis rasul: "Saudara, Saudari, mari kita bertahan bersama-sama, mari kita mengarahkan mata kita pada Yesus, mari kita menjangkau dan merasakan sukacita yang ada di depan, dan mari kita berdoa agar Roh akan memberi kita hal-hal tersebut."

Tuhan, kasihanilah mereka yang terkungkung oleh rasa depresi. Jangan biarkan kegelapan menyentuh mereka. Semoga mereka mendengar kata-kata dari realitas yang lebih dalam dan harapan tulus yang kami miliki oleh karena Yesus hidup. (t/N. Risanti)

Audio: Ketika Bunuh Diri Datang Mendekat

Diterjemahkan dari:
Nama situs : CCEF
Alamat situs : http://www.ccef.org/resources/blog/when-suicide-comes-close
Judul asli artikel : When Suicide Comes Close
Penulis artikel : Ed Welch
Tanggal akses : 5 Januari 2016

 

BIMBINGAN ALKITABIAH Menyikapi Bunuh Diri, Diiringi Simpati

Akhir-akhir ini, jumlah peristiwa bunuh diri semakin meningkat. Dari yang dilakukan oleh orang yang tidak tahan terus-menerus diimpit kemelaratan, sampai pada yang dilakukan oleh orang yang kaya raya. Ingat konglomerat yang terjun bebas dari tingkat 56 sebuah hotel? Dari yang dilakukan oleh orang dewasa, sampai yang dilakukan oleh seorang yang masih belia. Ingat anak 12 tahun yang gantung diri lantaran keluarganya tidak mampu menyediakan uang Rp2.500,00? Dan, jangan lupa untuk menyebutkan semakin populernya metode terorisme dengan "bom bunuh diri"!

Alkitab, baik PL maupun PB, menyebutkan beberapa kasus bunuh diri. Ada yang melakukannya karena harga diri, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahitofel (2 Samuel 17:23), Abimelekh (Hakim-Hakim 9:54), dan Saul (1 Samuel 31:4-5). Agaknya mereka berprinsip, "Lebih baik mati berkubur debu daripada hidup berkalung malu". Namun, ada pula yang melakukannya dengan prinsip yang lain, yaitu prinsip "kurelakan tubuhku hancur lebur, asal sama-sama menjadi bubur". Inilah yang melatarbelakangi tindakan nekat Simson (Hakim-Hakim 16:23-31) dan Zimri (1 Raja-Raja 16:18).

Bagaimana dengan Yudas, si orang Iskariot itu? O, dia lain lagi. Ia menggantung diri, membawa penyesalan yang menurut perasaannya tak mungkin terobati, akibat kesalahan yang dianggap tak mungkin terampuni (Matius 27:3-5). Alasan yang masuk akal juga. Adakah yang lebih menjijikkan daripada mengkhianati cinta?

Gambar: Apa Kata Alkitab?

Sebenarnya, bagaimana sikap Alkitab? Sangat jelas dan amat tegas! Alkitab menolak dan mengutuk keras hal ini. Sebagaimana kita ketahui, Alkitab mengutuk setiap bentuk "pembunuhan".

Sabda Allah melalui Nuh, "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya. Sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya sendiri" (Kejadian 9:5-6). Karena itu, walau terhempas ke dasar penderitaan yang terdalam sekalipun, seorang anak Tuhan seperti Ayub tetap menolak dengan tegas anjuran untuk bunuh diri (Ayub 2:9-10).

Di mata orang Yahudi, "bunuh diri" adalah "suatu tindakan yang sengaja dilakukan dengan tujuan menghancurkan diri sendiri". Jadi, sepenuhnya negatif! Sepenuhnya destruktif! Karena itu, dalam adat mereka mayat orang yang meninggal karena bunuh diri harus dipertontonkan secara terbuka; tak boleh ada perkabungan baginya dan pantang dikuburkan sampai matahari terbenam. Mayatnya pun mesti dikuburkan terpisah dari yang lain.

Hebatnya, toh di sela-sela keketatan dalam menaati hukum yang sangat termasyhur itu, mereka juga cukup realistis. Mereka menyadari bahwa dalam kehidupan nyata bisa saja muncul kasus-kasus ekstrem yang justru memerlukan tindakan bunuh diri tersebut.

Penulis sejarah, Yosefus, mencatat peristiwa yang mengerikan sekaligus mengesankan sehubungan dengan itu. Ketika benteng Masada diserang musuh dan segala harapan mempertahankannya telah punah, Eliezer, sang panglima, memerintahkan pasukannya membantai semua orang Israel yang ada, setelah itu membunuh diri mereka sendiri!

"Kita masih punya pilihan bebas, yaitu untuk mati secara terhormat," demikian ia berseru, "Biarlah perempuan-perempuan kita mati ketimbang dicemari dan laki-laki kita membuktikan bahwa mati lebih baik daripada menjadi budak. Kematian membawa kemerdekaan bagi jiwa. Karena itu, jangan sudi diperhamba! Marilah untuk setidaknya mati sebagai orang-orang merdeka!" Heroik sekali. Hari itu, Yosefus mencatat ada 960 orang membunuh diri mereka sendiri.

Namun, Yosefus juga mencatat sisi yang lain dari persoalan kita. Dalam hal ini, ia malah ikut langsung terlibat. Dalam insiden Yotapata, ia mengimbau dengan sangat agar orang-orang Yahudi tidak bunuh diri. Dalam imbauannya itu ia berkata, antara lain, "Mengapa kalian menyia-nyiakan kesatuan yang begitu indah antara tubuh dan jiwa sehingga ingin menceraikannya? Takut mati bagi seseorang yang mesti mati adalah sama pengecutnya dengan orang yang ingin mati ketika ia belum seharusnya mati. Ketahuilah bahwa tak ada kepengecutan yang lebih besar daripada tindakan seorang nakhoda yang lantaran takut pada badai yang akan datang, lalu menenggelamkan seluruh kapal bahkan sebelum prahara itu benar-benar tiba. Sesungguhnya, bunuh diri adalah tindakan melawan kodrat dan sekaligus tindakan melecehkan Tuhan. Mereka yang mati terhormat memenangkan kemuliaan, tetapi yang mati karena bunuh diri mewarisi kekelaman."

Begitulah bagi orang Yahudi, bunuh diri adalah dosa. Walaupun kadang-kadang, bisa saja seseorang dibenarkan merelakan nyawa karena iman, demi keyakinan dan Allahnya.

Yesus berkata, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal." (Yohanes 12:25)

Namun, dalam kenyataan, kita tahu bahwa iman bukan satu-satunya motif orang mencabut nyawa sendiri. Malah boleh dikatakan, yang begini termasuk jarang sekali. Yang lebih sering terjadi adalah orang melakukannya karena "mentok". Sebab, semua jalannya seolah-olah membentur tembok sehingga ia tak mungkin ke mana-mana lagi. Ia tak punya pilihan apa-apa lagi. Orang melakukannya karena merasa tidak sanggup lagi memikul beratnya beban kehidupan. Tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan karena tenaganya terkuras habis. Semangatnya telah padam. Dan, yang ia rasakan sekarang hanyalah kesakitan dan kepenatan semata-mata, sedangkan di depan ia tak melihat secercah pun cahaya pengharapan atau kemungkinan perbaikan. Karena itu, mengapa memperpanjang derita?

Masalah bunuh diri, saya akui, adalah masalah etis. Namun, mengingat sifat permasalahannya, penting sekali saya tekankan bahwa "masalah etis" ini wajib kita bahas dengan "sikap etis" pula! Ini perlu saya tekankan karena -- sebagaimana berulang-ulang saya kemukakan -- betapa sering orang membusungkan dada mengatakan hendak menegakkan moral, tetapi praktik dan cara-caranya sama sekali tidak bermoral.

"Sikap etis" yang saya maksud adalah sikap bersedia menempatkan diri dalam posisi dan situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar dengan jelas rintihannya yang tak terucapkan.

Maksud saya, kita tidak datang sebagai seorang guru yang mau mengajari atau sebagai seorang pengkhotbah yang mau mencerca atau sebagai seorang penasihat yang berpretensi bijak dan tahu semua, tetapi semata-mata datang sebagai sahabat. Bukan dengan menyandang kaidah-kaidah moral atau dengan mulut mencibir, melainkan datang membawa empati dan simpati yang memancar langsung dari hati. Tidak asal membenarkan, sebab kita mesti membuat penilaian dari dalam situasi si penderita. Penilaian yang memahami sepenuhnya pilihan-pilihan yang konkret, sulit, dan pelik yang dihadapi saudara kita.

Dengan berbekal sikap seperti itu, maka yang pertama-tama harus kita katakan adalah bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat, tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan justru dengan sengaja menghilangkannya.

Karena itu, dalam situasi normal, jelas sekali bunuh diri adalah sesuatu yang absurd, tidak dapat dibenarkan. Ia melawan naluri kehidupan. Sekiranya semua berjalan normal, hampir tak mungkin orang bunuh diri karena terpaksa.

Sebenarnya, tak seorang pun perlu mengatakan bahwa "bunuh diri itu salah". Sebab, kalau cuma itu, siapa yang belum tahu? Semua sudah mengetahuinya. Lagi pula tak seorang pun menginginkannya.

Mungkin yang belum banyak diketahui adalah bahwa kitalah yang tidak normal. Sebab, dalam situasi yang tidak normal, kita mau memaksakan ukuran-ukuran yang normal.

Hal terpenting dalam permasalahan ini sebenarnya bukan soal benar tidaknya atau boleh tidaknya bunuh diri. Sekali lagi, ini telah jelas bagi semua. Hal yang jauh lebih penting untuk dinyatakan dan ditanyakan adalah bagaimana sikap kita ketika mengatakannya? Apakah dengan cemooh? Atau, dengan simpati?

O, Saudaraku, dengarkanlah apa yang saya katakan ini! Tak ada kesempatan lain, ketika kasih dan sikap kristiani sejati begitu dibutuhkan daripada ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri.

Sayang sekali, yang lebih sering terjadi adalah mereka sendirian. Sendiri, tanpa teman sepenanggungan. Persis seperti ketika pada senja itu, di Taman Getsemani, Yesus hanya membutuhkan teman berjaga, tetapi mesti kecewa.

Diambil dari:
Nama situs : Christian Counseling Center (C3I)
Alamat situs : http://c3i.sabda.org/15/apr/2006/konseling_​menyikapi_​bunuh_​diri_​diiringi_​simpati
Penulis artikel: : Eka Dharmaputera
Tanggal akses : 12 Oktober 2016

 
Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-Konsel.
konsel@sabda.org
e-Konsel
@sabdakonsel
Redaksi: Davida, N. Risanti, Elly, dan Odysius
Berlangganan | Berhenti | Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2017 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org