Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/243

e-Konsel edisi 243 (24-5-2011)

Mengapresiasi Prestasi Anak

______________________________e-KONSEL________________________________

        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
______________________________________________________________________

EDISI 243/MEI 2011

DAFTAR ISI
CAKRAWALA: SIKAP MENGHARAP YANG BERLEBIH ATAS PRESTASI SEKOLAH ANAK
KOMUNITAS KONSEL: PERLUNYA MENGAPRESIASI PRESTASI ANAK
REFERENSI

Salam kasih,

Sahabat Konsel, semua orang tua pasti berharap anaknya kelak akan
menjadi orang yang berhasil dalam studi maupun karier. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika banyak orang tua rela mengeluarkan banyak
uang untuk mendukung prestasi anak-anak mereka. Sayangnya, orang tua
terkadang tidak sadar bahwa dia terlalu berharap lebih kepada
anak-anaknya. Hal ini bisa menjadi masalah, karena anak-anaklah yang
akan merasa "tidak berguna" jika ternyata kemampuan mereka tidak
sesuai dengan harapan orang tua. Inilah yang justru menghambat anak
untuk berprestasi. Simak lebih lanjut tentang sikap orang tua yang
berharap lebih di edisi ini. Simak juga kolom Komunitas Konsel yang
membahas "Perlunya Mengapresiasi Prestasi Anak". Selamat membaca.

Redaksi Tamu e-Konsel,
Truly Almendo Pasaribu
< http://c3i.sabda.org/ >

           CAKRAWALA: SIKAP MENGHARAP YANG BERLEBIH ATAS
                      PRESTASI SEKOLAH ANAK
                  Diringkas oleh: Sri Setyawati

Bila kita berbicara mengenai prestasi sekolah anak, tidaklah semudah
yang kita bayangkan. Untuk itu, sebaiknya kita jangan terlampau cepat
mengatakan bahwa anak kita adalah anak yang kurang mampu mengikuti
pelajaran atau anak bodoh, jika anak kita menampilkan prestasi yang
buruk di sekolah. Banyak faktor yang memengaruhi prestasi sekolah
anak. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari diri anak sendiri atau
bisa juga dari luar diri anak. Faktor dari diri anak misalnya
kecerdasan, kepribadian, dan motivasi/hasrat untuk berprestasi.
Sementara faktor dari luar meliputi lingkungan sekolah (guru, teman,
situasi belajar), rumah (hubungan anak dengan orang tua dan saudara),
dan masyarakat. Namun, di antara faktor-faktor tersebut, orang tua
menempati peranan yang terbesar dalam banyak hal. Orang tua adalah
tokoh penting dalam kehidupan seorang anak. Jadi, tidaklah
mengherankan apabila orang tua memberikan pengaruh yang luas terhadap
diri anak, terutama dalam perkembangan kepribadian anak. Sikap orang
tua, corak hubungan orang tua-anak dan minat, serta perhatian orang
tua terhadap sekolah, bisa memengaruhi prestasi anak.

Di tengah-tengah masyarakat, kita bisa menemukan ada beberapa sikap
orang tua yang mendukung/mendorong anak untuk berprestasi. Akan
tetapi, tidak jarang pula kita melihat sikap orang tua yang justru
menghambat anak untuk menampilkan prestasi sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Salah satu di antaranya adalah sikap orang tua yang
mengharap berlebih pada anaknya.

Sikap Mengharap yang Berlebih dari Orang Tua

Dalam kehidupan keluarga, kehadiran orang tua yaitu ayah dan ibu
sangatlah besar artinya bagi perkembangan kepribadian seorang anak.
Namun, kehadiran ayah dan ibu saja belumlah cukup. Bagi perkembangan
kepribadian seorang anak, yang lebih penting adalah bagaimana corak
hubungan orang tua-anak dan bagaimana hubungan emosional di antara
mereka. Hal inilah yang sangat berpengaruh bagi perkembangan
kepribadian si anak.

Pada dasarnya, hubungan orang tua-anak merupakan hubungan
timbal-balik. Dengan demikian, untuk menciptakan hubungan yang
memuaskan bagi kedua belah pihak (orang tua-anak), maka peranan orang
tua maupun anak sangatlah besar. Hubungan yang memuaskan orang tua
maupun anak adalah hubungan yang ditandai dengan adanya saling
percaya, saling mengerti, dan saling menerima.

Orang tua memiliki masa lalu dan faktor-faktor eksternal yang
memengaruhi kepribadiannya. Faktor-faktor seperti pola asuh orang tua
mereka, nilai-nilai yang dianut oleh orang tua, tipe kepribadian orang
tua, kehidupan perkawinan orang tua, dan alasan orang tua memunyai
anak, sering kali memengaruhi macam-macam sikap orang tua. Salah satu
di antaranya adalah sikap orang tua yang mengharap berlebih.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, tidak jarang orang tua dalam mengasuh
atau mendidik anak-anaknya, sangat dipengaruhi oleh keinginan atau
ambisi dari orang tua itu sendiri tanpa melihat kemampuan anak. Sikap
yang demikianlah yang dikatakan sebagai sikap mengharap yang berlebih
dari orang tua terhadap anaknya. Contoh: Pada waktu anak masih kecil,
biasanya orang tua mengharapkan anaknya dapat "berdiri sendiri". Oleh
karena itu, ia melatih anaknya agar dapat "berdiri sendiri", tanpa
memedulikan apakah anaknya memang mampu "berdiri sendiri". Setelah
anak bertambah besar dan mulai bersekolah, orang tua berharap anaknya
berprestasi.

Pada awalnya, anak mungkin akan berusaha memenuhi harapan orang
tuanya. Akan tetapi, lambat-laun bila apa yang menjadi harapan orang
tuanya tersebut tidak kunjung terjangkau olehnya, hal ini dapat
membuat anak merasa bahwa harapan-harapan yang ditujukan pada dirinya
terlampau tinggi. Seolah anak merasa dirinya dituntut terlampau
banyak, karena yang diharapkan orang tuanya berada di luar batas
kemampuan yang dimilikinya. Jadi, tidaklah mengherankan bila
lambat-laun motivasi ataupun minat anak terhadap sekolah jadi
berkurang atau bahkan hilang. Sekolah dapat dianggap sebagai beban
bagi anak, yang membuatnya menemui berbagai kesulitan yang kurang atau
tak dapat diatasinya.

Dengan demikian, tanpa disadari orang tua telah menanamkan situasi
belajar yang kurang menyenangkan bagi anak. Situasi yang kurang
menyenangkan ini biasanya cenderung dihindari oleh anak. Jadi,
bukanlah hal yang mustahil bila kegagalan anak di sekolah merupakan
suatu reaksi menghindar dari anak terhadap situasi yang dirasakan
kurang menyenangkan tersebut. Di samping berkurangnya motivasi untuk
belajar, akibat yang dapat timbul adalah adanya ketegangan atau
kecemasan dalam diri anak. Menghadapi kenyataan bahwa ia tidak mampu
memenuhi harapan orang tuanya, maka dalam diri anak dapat timbul rasa
cemas akan kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
Oleh karena itu, ia akan berupaya untuk memenuhi harapan-harapan
tersebut. Jadi, sebenarnya usaha yang dilakukan anak hanyalah
didasarkan atau didorong oleh rasa cemas dalam dirinya. Adanya
kenyataan bahwa ia selalu gagal untuk mencapai yang diharapkan oleh
orang tuanya, lambat-laun hal akan menimbulkan rasa rendah diri pada
anak. Anak akan merasa dirinya bodoh, tidak mampu untuk menghasilkan
sesuatu yang dapat menjadi kebanggaan orang tuanya. Oleh karena itu,
ia acap kali diliputi oleh perasaan tidak berguna dan tidak berarti di
mata orang tuanya sendiri. Dampak akhirnya, anak akan memunyai konsep
diri yang kurang baik yang membawa anak pada keragu-raguan, kehilangan
kepercayaan terhadap diri sendiri, dan ini akan berpengaruh pula
terhadap prestasi sekolahnya.

Sikap orang tua yang berharap lebih juga bisa menjadi hambatan bagi
perkembangan sosialisasi anak. Hal ini dapat dimengerti karena anak
memunyai kesempatan yang kurang untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas
lain. Dengan begitu, anak merasa canggung dalam bergaul dengan orang
lain ataupun teman-teman sebayanya. Ia merasa terasing dari
kawan-kawannya dan keadaan ini justru akan mengganggu prestasi
belajarnya.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa sikap mengharap yang
berlebih dari orang tua, jelas akan menimbulkan keadaan-keadaan yang
tidak menguntungkan bagi anak , terutama dalam usahanya untuk mengejar
prestasi di sekolah. Sikap orang tua yang demikian justru dapat
menghambat prestasi belajar anak. Sungguh pun patut diakui bahwa
setiap orang tua tentu memunyai iktikad/maksud yang baik bagi
anak-anaknya. Bukanlah hal yang mustahil bila kadang-kadang sikap
orang tua yang demikian, dilandasi oleh adanya rasa tanggung jawab
yang besar dari orang tua terhadap masa depan anaknya. Banyak orang
tua yang beranggapan bahwa bila anak tidak dilatih untuk mencapai
prestasi sebaik mungkin, maka hal ini dapat membawa anak pada berbagai
kesulitan setelah terjun ke masyarakat di kemudian hari. Maka dari
itu, bila ditinjau dari sudut orang tua sikap yang berharap lebih
mungkin tidak buruk. Namun, bagaimanapun juga hal ini kurang
menempatkan anak pada tempat yang sebenarnya. Oleh karena itu, sudah
sepantasnyalah bila kita meninjau kegagalan anak dari sudut anak itu
sendiri, dari apa yang dirasakan oleh anak. Dengan melihatnya dari
sudut pandang anak, berarti kita telah menempatkan anak pada proporsi
yang sebenarnya, yaitu menghargai anak sebagai individu yang unik yang
memiliki kemampuan dan minat.

Adanya keunikan dari masing-masing anak, akan memengaruhi seberapa
jauh anak akan merasakan atau menganggap negatif sikap yang
ditampilkan orang tuanya, dan hal ini akan menentukan prestasi di
sekolahnya.

Dengan melihat uraian di atas, maka merupakan suatu tindakan yang
bijaksana bila orang tua dalam mendidik anak-anaknya, mau meninjau
kembali sikap yang ditampilkannya, terutama bila anak menemui
kegagalan di sekolah. Dengan demikian, orang tua pun akan lebih
menyadari bahwa kegagalan anak ini bukanlah semata-mata bersumber dari
diri anak saja, melainkan masih banyak faktor lainnya yang ikut
mendukung timbulnya reaksi tersebut, termasuk faktor orang tua
sendiri.

Adanya pengertian yang baik dari pihak orang tua terhadap kemampuan
ataupun minat anak, sedikit banyak merupakan sumbangan yang bernilai
positif bagi anak dalam usahanya mengejar prestasi di sekolah. Anak di
sini setidak-tidaknya memunyai kepercayaan terhadap dirinya sendiri
yang besar, serta adanya perasaan dihargai oleh orang tuanya. Keadaan
ini akan lebih mendorongnya dalam mengatasi berbagai kesulitan yang
dihadapi di sekolah. Oleh karena keberadaan orang tua yang sangat
berarti dalam kehidupan seorang anak, maka dukungan moril senantiasa
diharapkan oleh anak dalam usahanya mengatasi berbagai
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.

Adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak, yang mana
keduanya bisa saling mengerti, ikut menciptakan suasana atau iklim
emosional yang menyenangkan bagi anak. Suasana yang menyenangkan ini
merupakan suatu kondisi yang ikut mendukung terciptanya suasana
belajar yang menyenangkan pula, karena dalam keadaan yang demikian,
anak terbebas dari segala macam ketegangan emosi. Dengan demikian,
anak kemungkinan dapat lebih mengembangkan prestasi belajarnya selaras
dengan batas-batas kemampuan yang dimilikinya.

Saran kepustakaan:

1. Bakwin H., & Bakwin R.M., Behaviour Disorders In Children, W.B.
   Saunders Company, fourth edition 1972.
2. Binter, Alfred R. & Frey, Sherman H., The Psychology of The
   Elementary School Child, Rand McNally & Company 1972.
3. Cronbach, Lee. J., Educational Psychology, Harcourt Brace& World,
   Inc., seconded. 1963.
4. Hurlock, Elizabeth B., Child Development, McGraw-Hill Kogakusha,
   Ltd, fifth ed. 1972.
5. Lindgren, H.C., Educational Psychology In The Classroom, John
   Willey & Sons, Inc., New York 1972.
6. Smart, Mollie S. & Smart, Russell C., School Age Children,
   Macmillan Publishing Co, Inc., 1978.

Diambil dan diringkas dari:
Judul buku: Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja
Judul asli artikel: Sikap Mengharap yang Berlebih dari Orang Tua
                   dalam Hubungannya dengan Prestasi Sekolah Anak
Penulis: Dra. Linda Wahyuni
Penerbit: PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1995
Halaman: 139 -- 150

         KOMUNITAS KONSEL: PERLUNYA MENGAPRESIASI PRESTASI ANAK

Apresiasi adalah salah satu bentuk tindakan yang perlu diberikan
kepada anak-anak, atas apa yang telah mereka lakukan. Mereka sudah
berusaha dan melakukan yang bisa mereka lakukan, untuk itu kita
sepatutnya menghargai jerih lelah mereka. Seperti apakah pendapat
Sahabat e-Konsel tentang mengapresiasi prestasi anak? Silakan simak
penuturan para Sahabat yang tergabung dalam Facebook e-Konsel berikut
ini.

e-Konsel: "Mengapa kita perlu mengapresiasi prestasi anak? Cara apa
yang bisa kita lakukan untuk mengapresiasi prestasi anak?"

Komentar

Theresia S. Setyawati: Supaya anak bisa semakin termotivasi untuk
rajin belajar.

e-Konsel: @ Theresia: Betul, banyak anak merasa dihargai dengan adanya
apresiasi dari orang tua/orang lain.

Tatik Wahyuningsih: Supaya anak itu dapat bangga pada dirinya sendiri.
Memberinya pujian.

e-Konsel: @ Tatik: Hmm, Tatik benar. Pujian yang diberikan tepat pada
waktunya, bisa berdampak positif bagi kepribadian dan pribadi anak.

Truly Almendo Pasaribu: Menghargai dan melatih mereka untuk menghargai
kerja keras mereka. Kita bisa menghargai mereka dengan berbagai macam
cara, mulai dari pujian sampai hadiah, bukan?

Fitri Nurhana: Mengapresiasi prestasi anak perlu karena hal ini dapat
memberikan nilai penghargaan terhadap diri anak. Penghargaan terhadap
diri anak merupakan kebutuhan mereka. Penghargaan tersebut bisa
diberikan mulai dari pujian sampai pemberian hadiah.

Shmily Tilestian: Seorang anak ingin mendapat pengakuan atas hasil
usahanya, selayaknya orang dewasa. Jadi, sangat penting untuk
memberikan apresiasi pada anak, supaya ia tetap bersemangat dan
optimis untuk ke depannya.

e-Konsel: @ Truly, Fitri, dan Shmily, Saya setuju dengan pendapat
Anda. Anak-anak perlu diberi penghargaan/pujian atas usaha/belajar
mereka. Pengakuan bahwa mereka adalah anak-anak yang luar biasa dan
unik dapat membentuk karakter anak, sehingga dia tidak menjadi anak
yang rendah diri. Hal ini perlu terus dipupuk, terutama di dalam
keluarga. Terima kasih atas komentar Teman-teman.

Demikianlah pendapat Sahabat e-Konsel tentang perlunya mengapresiasi
prestasi anak. Kami mengundang pelanggan untuk ikut mengomentari
pertanyaan ini di dinding Facebook Konsel di
< http://www.facebook.com/sabdakonsel/posts/10150213607663755 >

Jika Anda ingin memberikan komentar untuk pertanyaan yang lain,
segeralah berkunjung ke < fb.sabda.org/konsel >. Mari kita saling
melengkapi dan berbagi pendapat dengan Sahabat e-Konsel yang lain.

     REFERENSI: SEPUTAR MENGAPRESIASI PRESTASI ANAK DALAM SITUS C3I

Anda dapat membaca tip dan artikel tentang perlunya mengapresiasi
prestasi anak dengan judul sebagai berikut.

1. Membangun Kepercayaan Diri yang Sehat Anak Usia SD.
==> http://c3i.sabda.org/dua_tips_tentang_anak_sekolah_dasar

2. Jangan Abaikan Kebutuhan Emosional Anak.
==> http://c3i.sabda.org/30/nov/1999/
    konseling_jangan_abaikan_kebutuhan_emosional_anak

Kontak: < konsel(at)sabda.org >
Redaksi: Sri Setyawati, Tatik Wahyuningsih, dan Davida Welni Dana
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/konsel >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org