Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-konsel/130

e-Konsel edisi 130 (19-2-2007)

Tatkala Tidak Direstui Orang Tua

                    Edisi (130) -- 15 Februari 2007

                               e-KONSEL
======================================================================
        Milis Publikasi Elektronik Pelayanan Konseling Kristen
======================================================================

Daftar Isi:
  = Pengantar : Bahan Perenungan untuk Kita
  = Cakrawala : Hubungan Tanpa Restu Orang Tua
  = TELAGA    : Relasi yang Tidak Direstui
  = Kesaksian : Mertuaku Tidak Merestui Pernikahanku
  = Tips      : Untuk Pasangan yang Tidak Mendapatkan Restu dari Orang
                Tua

                ========== PENGANTAR REDAKSI ==========

  Selain saling mengenal secara pribadi, setiap pasangan yang hendak
  menikah tidak seharusnya melupakan restu dari orang tua. Meski
  setiap orang tua tidak dengan mudah merestui hubungan anak dengan
  pasangannya, tidak berarti restu orang tua tidak penting. Setiap
  orang tua pasti memiliki pertimbangan dan alasan-alasan tertentu
  dalam hal ini. Bagi pasangan yang belum juga direstui, hendaknya
  mereka terus mengusahakan supaya hubungan mereka direstui, bukan
  malah melarikan diri kepada hal-hal yang negatif, misalnya bunuh
  diri, meninggalkan orang tua, ataupun tidak lagi menghormati orang
  tua.

  Menutup edisi bulan Februari ini, topik mengenai restu dari orang
  tua diangkat sebagai perenungan orang tua dan pasangan yang hubungan
  kasihnya tidak direstui. Kiranya sajian ini bisa menjadi bahan
  pemikiran lebih lanjut bagaimana sebaiknya kita bertindak jika kita
  menghadapi permasalahan ini. Selamat menyimak, Tuhan memberkati.

  Redaksi e-Konsel,
  Ratri

                   ========== CAKRAWALA ==========

                    HUBUNGAN TANPA RESTU ORANG TUA
                        oleh Christiana Ratri

  Menjalin hubungan tanpa restu orang tua bukanlah hal yang diinginkan
  setiap pasangan. Saat memutuskan untuk menikah pastilah mereka
  membutuhkan orang tua sebagai pembimbing dan "guru cinta" untuk
  menjalani lika-liku kehidupan berumah tangga. Artinya, restu orang
  tua terhadap hubungan dengan pasangan sangat diharapkan.
  Kenyataannya, banyak orang tua menolak untuk memberikan restu itu
  kepada anak dan pasangannya dengan dilandasi berbagai alasan.

  Ada banyak perbedaan yang sering kali menjadi alasan mengapa orang
  tua menyatakan ketidaksetujuan mereka. Karena menikah bukan hanya
  menyatukan dua pribadi saja, tetapi juga dua keluarga. Masing-masing
  pihak mungkin memiliki perbedaan-perbedaan yang dianggap amat
  prinsip bagi orang tua dan dianggap tidak dapat membawa anaknya
  kepada rumah tangga yang bahagia kelak.

  Orang tua dapat mengungkapkan ketidaksetujuan mereka melalui
  kata-kata, sikap tidak peduli atau sikap campur tangan yang
  berlebihan, dan bisa juga melalui tindakan-tindakan yang dengan
  jelas menunjukkan penolakan mereka.

  Ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan anaknya selalu dilatari
  oleh sejumlah alasan. Mari melihat alasan-asalan tersebut.

  1. Perbedaan agama

     Salah satu perintah Tuhan dalam hal pasangan hidup adalah supaya
     kita memiliki pasangan hidup yang seimbang, dalam arti yang
     seiman, seperti yang tertulis dalam surat 2 Korintus 6:14-16.
     Akan tetapi, anak muda yang mengabaikan firman Tuhan, yang tetap
     menyebut diri Kristen, di zaman ini tidaklah sedikit. Alhasil,
     tak jarang muda-mudi kita banyak yang menjalin hubungan justru
     dengan pasangan yang tidak seiman. Tayangan televisi pun seolah
     menegaskan bahwa pasangan tidak seiman pun dapat tetap bersatu.

     Perbedaan agama inilah yang sering menjadi alasan kebanyakan
     orang tua untuk tidak merestui hubungan anaknya. Penolakan
     tersebut bukan karena mereka tidak ingin melihat anaknya bahagia,
     tetapi tentu saja karena mereka merasa bertanggung jawab untuk
     membimbing anak mereka turut pada perintah firman Tuhan, termasuk
     dalam hal memilih pasangan hidup.

  2. Perbedaan usia

     Secara psikologis menikah dengan orang yang usianya terpaut
     sangat jauh memang dapat menimbulkan beberapa kendala. Hal itu
     juga dianggap tidak lumrah dan dapat menimbulkan pandangan yang
     kurang baik dari masyarakat. Hal-hal seperti ini sering kali
     dijadikan alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan anaknya
     dengan orang yang berusia jauh lebih tua atau lebih muda dari
     anaknya. Selain tidak mau mendengar komentar negatif dari
     masyarakat, alasan yang paling kuat biasanya karena mereka tidak
     ingin banyak masalah terjadi dalam rumah tangga anaknya kelak
     karena perbedaan usia yang sangat jauh tersebut.

  3. Latar belakang keluarga

     Azas bibit, bebet, bobot (istilah Jawa) masih sangat memengaruhi
     pengambilan keputusan orang tua untuk merestui hubungan anaknya
     atau tidak. Artinya, dalam memilih pasangan hidup, orang tua
     ingin anak-anaknya memilih pasangan hidup dari keluarga
     baik-baik, sederajat dengan keluarga mereka, memiliki status
     sosial yang jelas dan baik dalam masyarakat, serta sehat jasmani
     dan rohani. Dari segi ekonomi pun masih banyak orang tua yang
     tidak ingin anaknya menikah dengan orang yang bertaraf ekonomi
     lebih rendah. Begitu juga dengan pendidikan, jabatan, dan
     lain sebagainya. Semuanya harus setara, jika bisa memilih yang
     lebih baik dari yang telah dimiliki sang anak. Tidak direstuinya
     hubungan anak karena alasan ini lebih banyak menyangkut harga
     diri keluarga, untuk menghindari tanggapan miring dari
     masyarakat, dan adanya ketakutan dari orang tua apabila anaknya
     kelak tidak bahagia jika bibit, bebet, dan bobotnya tidak
     seimbang dengan pasangannya.

  4. Ras/suku

     Di beberapa suku tertentu, menikah dengan orang bukan dari suku
     yang sama dianggap sebagai pelanggaran adat yang berat. Selain
     itu, pernikahan sesama suku ditujukan untuk menjaga kemurnian
     darah kesukuan mereka. Suku-suku tertentu bahkan menerapkan
     aturan jika ada anak yang menikah dengan pasangan yang bukan dari
     suku yang sama, warisan nenek moyang tidak akan jatuh ke tangan
     mereka. Biasanya hal seperti inilah yang sangat dihindari. Alasan
     yang lebih modern mengenai pernikahan antarsuku adalah perbedaan
     budaya kelak dapat menjadi pemicu perselisihan dalam rumah tangga
     anaknya.

  5. Tidak sehat jasmani atau rohani

     Inilah alasan lain mengapa orang tua tidak menyetujui hubungan
     anaknya. Adanya penyakit yang diidap oleh calon menantu, misalnya
     AIDS, kanker, cacat fisik, ataupun penyakit terminal lainnya
     dijadikan alasan kuat orang tua untuk tidak merestui hubungan
     sang anak. Kebanyakan orang tua akan berpikir bahwa penyakit atau
     cacat yang dimiliki oleh calon menantunya ini akan menjatuhkan
     harga diri keluarga serta hanya akan membuat anaknya menderita
     karena harus terus merawat pasangannya. Selain itu, mantan
     pencandu obat-obat terlarang pun sering kali tidak luput dari
     konsekuensi ini.

  6. Masih ada hubungan keluarga

     Ungkapan bahwa cinta dapat tumbuh kapan saja, di mana saja, dan
     kepada siapa saja mungkin ada benarnya juga. Tidak sedikit
     terjadi kasus seseorang jatuh cinta pada saudara dekat (misalnya,
     kepada sepupunya, keponakannya, pamannya, dll.). Jika hal seperti
     ini terjadi, bukan saja orang tua tidak merestui, tetapi juga
     keluarga besar. Memang ini bisa menjadi alasan yang sangat kuat
     karena berdasarkan pernyataan yang sudah umum di masyarakat,
     pernikahan dengan saudara dekat dapat menghasilkan keturunan yang
     cacat. Untuk menghindari hal tersebut biasanya orang tua sangat
     berusaha memutuskan hubungan anak dengan pasangannya.

  Jika orang tua tidak menyetujui dan tidak akan memberi restu akan
  hubungan ataupun pernikahan anak mereka, apakah reaksi yang
  diberikan sang anak? Reaksi yang paling aman sampai yang paling
  ekstrim dapat menjadi respons mereka menanggapi penolakan tersebut.

  1. Menuruti keinginan orang tua

     Saat orang tua mengatakan tidak pada hubungan si anak dengan
     pasangannya, biasanya hal ini dijadikan tanda bagi si anak bahwa
     hubungan ini bukan hubungan yang dikehendaki Tuhan. Selain itu,
     anak juga ingin menuruti firman Tuhan untuk selalu menghormati
     ayah dan ibunya. Memutuskan hubungan dengan pasangan dan menuruti
     kehendak orang tua merupakan salah satu bentuk pengorbanan anak.
     Si anak ingin menunjukkan baktinya kepada orang tua meskipun
     harus mengorbankan kebahagiaannya. Bisa pula ketika anak
     melakukan ini karena alasan yang dipakai orang tua untuk tidak
     merestui mereka adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima
     dengan lapang dada oleh anak. Misalnya, calon menantunya ini
     tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau bukan orang yang seiman.

  2. Trauma untuk berhubungan kembali

     Saat anak memilih menuruti kehendak orang tua untuk memutuskan
     hubungan dengan pasangannya, bukan tidak mungkin timbul trauma
     dari diri anak sebagai salah satu bentuk kekecewaannya yang
     terpendam. Anak menjadi trauma untuk berhubungan kembali dengan
     lawan jenis dan memutuskan untuk tidak menikah (melajang) seumur
     hidupnya.

  3. Nekad melanjutkan hubungan meskipun tidak direstui

     Banyak pasangan yang tetap bertahan dan memperjuangkan hubungan
     mereka walaupun orang tua tidak merestuinya. Mereka masih
     berharap orang tua dapat memberi restu di kemudian hari, meskipun
     akan banyak halangan dan pengorbanan untuk itu. Biasanya jika
     tetap tidak mendapatkan restu, mereka memutuskan untuk tetap
     menikah (kawin lari). Yang lebih membahayakan lagi jika mereka
     tetap melanjutkan hubungan dengan hidup bersama layaknya suami
     isteri tanpa ikatan pernikahan yang sah (kumpul kebo).

  4. Bunuh diri

     Reaksi ini adalah reaksi yang bisa jadi paling tidak diinginkan
     orang tua. Tetapi bukan tidak mungkin hal ini menjadi keputusan
     anak. Saat merasa tidak mendapat restu dari orang tua dan segala
     perjuangannya untuk mempertahankan hubungan sudah gagal, si anak
     akan menunjukkan pemberontakannya dengan mengakhiri hidup.
     Kemungkinan ini bisa semakin terbuka lebar apabila dalam
     menyatakan penolakan orang tua hanya terus menerus menyalahkan
     anak, tidak mau mendengar pendapat anak, bertindak kasar, dan
     gelap mata terhadap anaknya.

  Reaksi yang diberikan anak memang bisa berbeda-beda dan kadang di
  luar dugaan orang tua. Sebenarnya, jika ketidaksetujuan bisa
  disampaikan dengan baik disertai alasan yang sungguh masuk akal dan
  menyentuh hati si anak, reaksi yang ditimbulkan mungkin bukan reaksi
  yang merugikan (Kolose 3:21). Sebaliknya, orang tua pun harus bijak
  dengan mendengarkan terlebih dahulu alasan anak mengenai pasangannya
  tersebut, mencernanya, lalu menjelaskan alasan ketidaksetujuannya.
  Duduk bersama untuk tukar pikiran sebagai sesama orang dewasa tentu
  akan lebih membantu untuk mencari jalan keluar bersama. Berdoalah
  bersama-sama agar masing-masing pihak mengetahui kehendak Tuhan
  dalam hidup si anak (Efesus 5:17).

  Untuk anak, jika berbagai macam usaha untuk berkompromi dengan orang
  tua menemui jalan buntu, itu bukan alasan untuk mengambil jalan lain
  dengan cara memberikan reaksi negatif. Jika pasangan kita tidak
  seiman, alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan kita
  sebenarnya merupakan alasan yang baik. Firman Allah pun telah
  memberikan rambu-rambu ini pada kita (2 Korintus 6:14-16). Di sisi
  lain, walaupun kita sudah seiman jangan pula menutup telinga
  terhadap ketidaksetujuan orang tua kita. Kita juga perlu
  mendengarkan pendapat mereka sebagai salah satu pertimbangan bagi
  kita dalam mencari kehendak Tuhan.

  Selain merugikan diri sendiri, reaksi-reaksi negatif yang
  ditunjukkan dengan tidak menjaga kekudusan, selain merugikan diri
  sendiri juga membawa kita jauh dari hubungan yang harmonis dengan
  Tuhan. Harapan agar dengan memperoleh kehamilan orang tua akan
  merestui hubungan merupakan hal yang tidak benar. Memang pada
  beberapa kasus, orang tua dengan terpaksa mengizinkan pernikahan
  anaknya daripada menanggung malu. Tapi itu bukan restu melainkan
  keterpaksaan. Namun, tidak jarang pula orang tua justru meminta anak
  untuk pergi jauh-jauh dari mereka dan hal itu dapat membawa masalah
  yang lebih kompleks lagi.

  Kawin lari terkadang juga menjadi pilihan sebagai reaksi negatif
  anak terhadap ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan yang
  dijalinnya dengan pasangan. Dengan kawin lari (perkawinan yang sah
  walaupun tanpa restu orang tua) anak dan pasangannya berharap bisa
  mendapat restu dari orang tua ketika suatu saat mereka kembali pada
  orang tua. Pada beberapa kasus memang ada orang tua yang akhirnya
  merestui pernikahan anaknya karena ternyata menantunya memiliki
  sifat yang baik. Apalagi ketika pihak orang tua melihat rumah tangga
  anaknya yang bahagia.

  Meskipun restu orang tua dan kebahagiaan rumah tangga bisa saja
  terjadi setelah kawin lari, bukan berarti hal sebaliknya tidak
  jarang terjadi. Segala perbedaan di antara keduanya, yang mungkin
  menjadi alasan orang tua untuk tidak merestui, bisa menjadi bumerang
  dalam rumah tangga. Malahan, tak jarang yang akhirnya bercerai.

  Apa pun alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan sepasang
  kekasih, jangan dijadikan sebagai alasan untuk tidak lagi
  menghormati orang tuanya (Efesus 6:1-3). Baik Anda maupun pasangan
  Anda, tetaplah menunjukkan rasa hormat dan sikap positif kepada
  mereka. Selain itu, tetaplah menjaga jalinan hubungan dan komunikasi
  yang baik dengan orang tua. Hal ini penting karena perbedaan
  pandangan yang ada mudah sekali menjadi konflik yang berkepanjangan.

  Tetaplah bertekun dalam doa; satu hal yang tidak boleh kita
  tinggalkan di saat-saat membingungkan ini. Jika kita yakin hubungan
  ini benar dan dia memang pasangan hidup yang Tuhan sediakan bagi
  kita, bawalah permasalahan ini ke dalam tangan Tuhan. Doakan orang
  tua kita yang belum bisa memberikan restu, minta Tuhan supaya
  memberi pencerahan kepada mereka. Selain itu, dukungan doa dari
  saudara-saudara seiman juga akan menolong kita dalam menghadapi
  masalah ini (Matius 21:22; Roma 12:12; Filipi 4:6).


                     ========== TELAGA ==========

  Pdt. Paul Gunadi Ph.D. dalam ringkasan tanya jawab berikut ini
  mengungkapkan perlunya kebijakan dari anak untuk bisa mengurai
  mengapa orang tua tidak menyetujui hubungan anaknya. Berikut
  ringkasan tanya jawab tersebut, selamat menyimak.

                      RELASI YANG TIDAK DIRESTUI

  T : Apabila orang tua tidak merestui pernikahan anaknya, apakah hal
      ini berarti secara otomatis Tuhan juga tidak merestui?

  J : Tidak, sebab orang tua bukanlah Tuhan. Orang tua adalah manusia
      yang kadangkala bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang sangat
      subjektif dari dirinya yang akhirnya menelurkan sikap membenci
      calon menantunya. Jadi, restu orang tua tidak sama dengan restu
      Tuhan. Yang kita utamakan adalah restu Tuhan, namun kita juga
      mesti terbuka mendengarkan masukan orang tua sebab mereka dapat
      melihat sesuatu dengan jelas hal-hal yang mungkin kita luput
      melihatnya.
------
  T : Bagaimana kalau orang tua itu sulit untuk disadarkan bahwa
      sebenarnya dia salah?

  J : Sering kali ini menjadi perangkap. Sekali berkata "tidak",
      orang tua akan kesukaran menarik kata-kata itu karena ini
      menyangkut harga diri. Rasanya mereka harus merendahkan diri
      kalau mereka harus mengaku keliru. Ada juga orang tua yang
      dengan berani mengakui kekeliruannya. Namun, sering kali kita
      dipengaruhi oleh unsur budaya "yang muda harus mengalah".
      Prinsip ini tidak alkitabiah sebab prinsip Alkitab tidak
      mengatakan yang muda harus mengalah meskipun yang tua itu salah.
      Siapa yang berada di pihak yang salah dialah yang mengalah dan
      mengakui kesalahannya, siapa berada di pihak yang benar, dialah
      yang benar. Jadi dalam hal ini, orang tua juga mesti belajar
      objektif dan melihat dengan lebih terbuka, mau menanyakan
      pendapat orang. Kadang-kadang memang ada orang tua yang tidak
      mau menanyakan pendapat orang lain, malah mencoba memengaruhi
      orang untuk mendukung dia dan melawan menantu.
------
  T : Bagaimana dengan anggapan bahwa dengan kawin lari nanti suatu
      saat orang tuanya pasti akan luruh dan menerima?

  J : Sudah tentu kita mesti melihat alasan mengapa orang tua kita
      tidak menyetujui dan apakah orang tua kita berada di pihak yang
      benar. Kalau nasihat-nasihat anak Tuhan yang telah kita dengar
      mengatakan kita ada di sisi yang benar, silakan melangsungkan
      pernikahan. Bagaimana kalau orang tua marah, tidak mau datang
      dan sebagainya? Kita terpaksa menerimanya, mungkin minta
      perwakilan dari orang lain yang bisa mendukung kita. Sudah tentu
      ini akan menyakiti hati orang tua dan tindakan ini dinilai
      kurang ajar, tidak hormat, tidak menghargai orang tua, dan tidak
      berterima kasih. Tindakan ini biasanya menimbulkan rasa sakit
      hati yang dalam, orang tua merasa dibuang, dianggap tidak
      bernilai karena anak lebih mementingkan pasangan. Jadi setelah
      pernikahan, penting bagi anak untuk tetap menunjukkan hormat dan
      kasih kepada orang tua, kendati orang tua berusaha menolak.
      Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orang tua untuk
      menyembuhkan lukanya dan sekaligus "memukul balas" anak karena
      mereka merasa dilukai dan mereka memang ingin mengganjar si anak
      dengan penolakan itu. Jadi, biarkan saja. Hanya saja, orang tua
      perlu melihat sikap anak yang tetap memelihara hubungan, tetap
      menegur, menyapanya, menanyakan kondisinya, dan sebagainya.
      Orang tua membutuhkan waktu untuk sembuh dan "membalas". Selang
      beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka sudah cukup
      puas dengan pembalasan itu, biasanya mereka akan menerima
      anaknya kembali kalau memang pada akhirnya mereka melihat bahwa
      anaknya menikah dengan orang yang tepat.
-----
  T : Dalam banyak hal, sering kali yang disalahkan orang tua itu
      malah menantunya bukan anaknya. Itu bagaimana?

  J : Ini reaksi alamiah, kita mengerti orang tua itu, bagaimana pun
      mereka cenderung membela anaknya, jadi akhirnya menimpakan semua
      kesalahan kepada menantu. Kebencian orang tua yang sebetulnya
      tertuju kepada anak sekarang dikonversi semua, diubah menjadi
      kemarahan terhadap menantu. Kita dapat menyimpulkan, biasanya
      kemarahan dan penolakan orang tua terhadap menantu jauh lebih
      lama ketimbang terhadap anak sendiri. Mungkin dalam beberapa
      lama orang tua bisa kembali baik dengan anak, tapi terhadap
      menantu tidak. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya, menantu
      jangan agresif menjahit kembali relasi yang telah robek ini.
      Sikap yang agresif akan membuat orang tua menjauh dan
      menimbulkan rasa tidak suka. Mereka akan menuduh tindakan
      menantu itu sebagai tindakan mencari muka belaka. Jadi, meskipun
      si menantu baik hati, mau merendahkan diri, jangan bertindak
      berlebihan, tapi seperlunya saja. Sebab mudah sekali nanti
      dilabelkan mau mencari muka dan orang tuanya makin benci
      bukannya makin menerima si menantu.
------
  T : Sering kali pada awalnya orang tua merestui hubungan mereka
      bahkan sampai ke pernikahan. Yang menyulitkan, seiring
      berjalannya waktu orang tua menyadari bahwa menantunya ini tidak
      cocok untuk anaknya. Mereka pun tidak lagi merestui hubungan ini
      dan menjelek-jelekkan menantu di hadapan anaknya maupun di
      hadapan orang lain. Bagaimana jika ini terjadi?

  J : Ini juga sering terjadi. Orang tua sebaiknya jangan terlalu
      aktif dan agresif mencampuri urusan anaknya. Kalau si anak yang
      datang meminta masukan, berilah masukan, tapi kalau tidak jangan
      terlalu agresif menyerang si menantu. Lebih baik orang tua
      bersikap pasif terhadap hal-hal seperti ini. Kalau tidak,
      (tindakan yang terlalu agresif) ini sering kali memperluas
      masalah.
------
  T : Kalau seandainya orang tua sudah mengakui bahwa dia salah dan
      mau menerima kembali atau merestui hubungan anak dan menantunya
      itu, bagaimana seharusnya sikap anak dan menantu terhadap orang
      tua mereka?

  J : Harus memaafkan. Kadang-kadang hal ini menjadi masalah sebab si
      anak merasa sakit hatinya sudah terbalas, tapi tidak bisa
      memaafkan. Berdoalah kepada Tuhan, meminta Tuhan memberikan
      pengampunan. Biarkan Tuhan mengisi hatinya dengan pengampunan
      sehingga dia bisa mengampuni mertuanya yang telah melukai
      hatinya itu.
-----
  T : Apa yang firman Tuhan katakan untuk memperbaiki hubungan seperti
      ini?

  J : Matius 5:44 dan 45, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
      musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena
      dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di
      sorga ...." Kita tidak punya musuh kalau kita mendoakannya.
      Begitu kita mulai mendoakan musuh kita, orang itu berhenti
      menjadi musuh kita karena kita tidak bisa menggabungkan
      keduanya. Siapa pun yang merasa dilukai, datanglah kepada Tuhan,
      berdoalah bagi orang yang telah melukai itu, begitu kita
      mendoakan dia luluhlah kemarahan-kemarahan dan dendam kita.

  Sajian di atas, kami ambil/edit dari isi kaset TELAGA No. #189B
  yang telah diringkas/disajikan dalam bentuk tulisan. -- Jika Anda
  ingin mendapatkan transkrip lengkap kaset ini lewat e-mail,
  silakan kirim surat ke: < owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org>
                    atau: < TELAGA(at)sabda.org >


                   ========== KESAKSIAN ==========

  Berikut ini kesaksian yang dikirimkan kepada Redaksi e-Konsel oleh
  Meilina, seorang staf sebuah yayasan di Solo.

                 MERTUAKU TIDAK MERESTUI PERNIKAHANKU

  Saya bertemu dengan suami saya, Tio, sekitar empat tahun yang lalu.
  Waktu itu kami dikenalkan oleh salah seorang teman. Sejak semula
  kami sadar bahwa kami berbeda keyakinan dan itu yang harus kami
  perjuangkan supaya hubungan kami bisa dilanjutkan ke jenjang
  pernikahan. Kami tinggal di kota yang berbeda sehingga hanya di
  akhir pekan saja kami bisa bertemu. Pertentangan dari orang tua
  mulai saya rasakan ketika saya diperkenalkan kepada keluarganya.

  Meskipun keluarga saya tidak mempermasalahkan perbedaan keyakinan
  kami, namun ternyata tidak demikian dengan orang tua Tio. Wujud
  ketidaksetujuan mereka sering saya alami melalui kata-kata kasar
  yang mereka ucapkan ketika saya berkunjung ke rumahnya. Waktu demi
  waktu kami lalui dengan penuh pertimbangan, apakah kami akan
  melanjutkan hubungan kami atau tidak.

  Karena perbedaan keyakinan adalah masalah utama kami, saya
  berinisiatif untuk mulai mengenalkan Yesus kepadanya sedikit demi
  sedikit. Iseng-iseng saya mengajaknya ke gereja, membaca buku-buku
  kristiani, dan mengenalkan kegiatan maupun sakramen Kristen. Di luar
  dugaan, rupanya dia sangat tertarik dan bahkan lebih bersemangat
  untuk mempelajari kekristenan dibanding saya.

  Perubahan dalam dirinya mulai saya rasakan, inilah yang menjadi
  pemicu semangat saya, begitu pula dengan dia, untuk terus
  mempertahankan hubungan kami. Puncak kegembiraan saya adalah ketika
  dia bersedia dibaptis dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru
  Selamat hidupnya.

  Namun, rupanya masalah tidak selesai sampai di sini. Orang tuanya
  justru semakin menentang hubungan kami ketika mengetahui bahwa dia
  sekarang menjadi Kristen. Kami pun sering mendoakan mereka, meminta
  agar Tuhan memberikan jalan keluar bagi hubungan kami. Sering saya
  merasa putus asa dengan hubungan kami ini, tapi dukungan dari
  keluarga dan teman-teman saya selalu berhasil memompa semangat saya
  untuk kembali bangkit.

  Akhirnya, kami menikah meskipun calon mertua saya merestui dengan
  terpaksa, bahkan mereka tidak berkenan hadir di gereja menyaksikan
  pemberkatan pernikahan kami. Mereka mengutus salah satu saudara
  untuk menjadi wali nikah suami saya. Meskipun demikian kami tetap
  bersabar dan tabah. Beberapa hari setelah pernikahan, diadakan acara
  "Ngunduh Mantu", yaitu pesta pernikahan yang diadakan oleh pihak
  suami. Setelah acara ini selesai, saya tinggal bersama mertua selama
  beberapa hari. Di saat-saat tersebut saya mengalami ketakutan yang
  amat sangat, mengingat saya harus tinggal bersama mereka ketika
  suami saya bekerja di siang hari.

  Rupanya selama saya tinggal bersama mereka, mereka menilai saya
  melalui tingkah laku dan tutur kata saya selama berada di sana. Dari
  situlah saya mulai merasakan perubahan sikap dari mertua saya.
  Mereka mulai bisa menerima saya, memperlakukan saya dengan baik
  seperti anak mereka sendiri. Saya benar-benar bersyukur dengan
  perubahan ini.

  Tak berapa lama kemudian saya hamil, kami memberitahukan berita
  bahagia ini kepada mereka. Mereka tak kalah bahagianya dengan kami.
  Dan reaksi mereka itu sungguh di luar dugaan saya. Sejak saat itu,
  mereka mulai memberi perlakuan-perlakuan khusus kepada saya. Mereka
  mulai mencurahkan lebih banyak perhatian dan nasihat kepada saya.

  Saat ini kami tengah menanti kelahiran anak pertama kami. Tak
  henti-hentinya saya bersyukur atas campur tangan Tuhan dalam masalah
  ini.

  Kiriman dari: Sdri Meilina <meilina<at>>

                        ========== TIPS ==========

      UNTUK PASANGAN YANG TIDAK MENDAPATKAN RESTU DARI ORANG TUA

  1. Libatkanlah Tuhan dalam setiap pergumulan. Carilah kehendak Dia
     dan pijakan yang kuat dalam Firman Allah untuk hubungan Anda.
     Banyaklah membaca buku rohani untuk membangun karakter
     masing-masing, terutama dalam mempersiapkan diri menuju
     pernikahan.

  2. Pertimbangkanlah calon pasangan Anda dengan baik, terutama segala
     perbedaan yang ada dan kesiapan Anda untuk menghadapinya.

  3. Carilah pembimbing rohani yang teruji dan memiliki pandangan yang
     objektif dalam kehidupannya. Akan lebih baik jika pembimbing
     tersebut sudah menikah. Jangan sembunyikan apa pun saat
     berkonsultasi.

  4. Jangan menutup diri terhadap pergaulan. Melalui pergaulan, Anda
     bisa lebih memahami diri Anda dan apa yang Anda inginkan.

  5. Buanglah keinginan untuk membela diri. Katakan apa yang benar dan
     izinkan Tuhan membela kita. Dalam masa pergumulan, jangan
     terpancing untuk menggunakan kelemahan orang lain untuk membela
     hubungan Anda. Perkataan yang mencela hubungan Anda tidak boleh
     ditanggapi dengan emosi, apalagi mencari kelemahan pihak lain dan
     menyerang balik.

  6. Tetaplah bersikap hormat dan rendah hati serta menjaga diri dalam
     pergaulan berpacaran yang baik dan tidak bercela. Lingkungan
     saudara seiman akan dapat menjaga Anda berdua dari salah
     melangkah dan jatuh ke dalam dosa.

  7. Bersikaplah dewasa dengan tidak mengabaikan tanggung jawab lain,
     contohnya dalam urusan pekerjaan atau keluarga. Jika tidak, ini
     akan menjadi peluang bagi pihak yang menentang Anda untuk
     menyerang Anda melalui kelalaian Anda.

  8. Berusahalah untuk melihat masalah ini secara positif dari sisi
     orang tua Anda, serta tidak memaksakan prinsip yang Anda pegang
     kepada orang lain.

  9. Tetap atau terus membangun hubungan yang baik dengan orang tua
     masing-masing.

  Bahan diambil dan diedit seperlunya dari:
  Judul majalah: getLIFE!/Edisi Spesial Christian Marriage
  Penulis      : Daniel dan Lidia Kurnia
  Penerbit     : Yayasan Pelita Indonesia, Bandung 2004
  Halaman      : 75

============================== e-KONSEL ==============================
                         STAF REDAKSI: Ratri
                    PENANGGUNG JAWAB ISI dan TEKNIS
                         Yayasan Lembaga SABDA
                     INFRASTRUKTUR dan DISTRIBUTOR
                          Sistem Network I-KAN
                      Copyright(c) 2007 oleh YLSA
                      http://www.sabda.org/ylsa/
                       http://katalog.sabda.org/
                     Rekening: BCA Pasar Legi Solo
                 No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
======================================================================
Anda punya masalah/perlu konseling?        masalah-konsel(at)sabda.org
Informasi/artikel/bahan/sumber konseling/surat/saran/pertanyaan/dll.
dapat dikirimkan ke alamat:           owner-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
  Berlangganan: subscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
  Berhenti    : unsubscribe-i-kan-konsel(at)hub.xc.org
  Sistem lyris: http://hub.xc.org/scripts/lyris.pl?enter=i-kan-konsel
  ARSIP       : http://www.sabda.org/publikasi/e-konsel/
  Situs C3I   : http://c3i.sabda.org/
======================================================================

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org